“Selamat, ya.”
Mawar merasakan wajahnya memanas saat Arjun memberikan sebuket Mawar merah kepadanya. Seperti tersihir oleh tatapan mata, Mawar menerima bunga itu dengan anggukan kecil.
“Terima kasih.”
Pandangannya kini jatuh ke buket bunga mawar yang kini dipeluk erat-erat. Ini adalah buket mawar pertamanya di hari ini, karena Adel sebelumnya memberi buket bunga matahari untuk mempersembahkan bahwa hari-harinya akan kembali cerah seperti mentari.
Setiap bunga memang memiliki makna dan Mawar sudah memahaminya bahkan sedari kecil karena namanya. Ibu pernah berkata bahwa ia memiliki mata yang indah dan kulit memerah saat terlahir di dunia, oleh karena itu namanya Mawar.
Mawar yang dilambangkan sebagai bentuk cinta.
Mawar yang menjadi idaman para pecinta untuk mengungkapkan perasaannya.
Mawar yang menunjukkan keberanian dan pengorbanan.
Pemaknaan tentang mawar begitu indah … begitu mulia, sedangkan dirinya sendiri masih jauh dari pendefinisian itu. Ia adalah mawar yang layu dan terluka karena durinya sendiri.
“Kamu baik-baik aja, Kak?”
Pertanyaan Arjun membuat tatapannya dari bunga akhirnya kembali teralih. Ia menatap Arjun dengan lebih dalam, lalu mengangguk.
“Hm.”
Arjun ikut tersenyum. Wajahnya diliputi kelegaan seolah mengetahui kabar baiknya sudah seperti memenangkan lotre. Namun, Mawar bisa menangkap bahwa senyuman itu terlihat kaku dan bergetar.
“Aku yang nggak baik,” celetuk Arjun.
Mawar meremat buket bunga di dekapannya. Bersitatap dengan Arjun seolah membawanya ke dunia lain. Dunia yang hanya diisi oleh mereka berdua. Dunia yang sunyi tanpa satu pun suara.
“Aku kangen.”
Dan, ungkapan itu menghempaskannya dalam debur ombak yang membawanya ke tepi pantai. Menyadarkannya kalau sudah lama ia terombang-ambing di lautan resah yang tak bernama.
“Aku rindu.”
Rindu.
Lautan itu bernama rindu.
“Udah kubilang, jangan, Jun.” Mawar menyela, meski apa yang diucapkan bibirnya bertolak belakang dengan kata hati.
“Sayangnya, aku nggak bisa mengontrol perasaanku sendiri. Kamu yang jahat karena selalu bayangin hidupku, Kak. Nggak ada satu hari pun yang terlewati tanpa mikirin kamu. Harusnya kamu tanggung jawab atas rasa rinduku.”
Arjun tetaplah Arjun. Mawar terkekeh dengan omelan yang dilemparkan. Arjun ikut tertawa kecil. Untuk sesaat meredam ketegangan tak kasat mata di antara mereka.
Mawar teringat dengan sesi konsultasinya pada awal bulan Desember. Saat akhirnya ia menyebut nama Arjun untuk kali pertama setelah melakukan berkali-kali sesi konsultasi.
“Siapa Arjun?” tanya Dokter Fira.
“Cowok keras kepala yang terus-terusan menyelamatkan saya,” jawab Mawar kala itu.
Sesi kali itu diisi dengan pembahasan tentang Arjun. Tentang perasaan terdalamnya yang merasa tak pantas mendapatkan kebaikan-kebaikan dari Arjun. Tentang ketakutannya menyakiti Arjun jika terus bersamanya.
“Jangan menutup diri ke orang yang ingin menolongmu,” ucap Dokter Fira setelah mendengar ceritanya.
“Tapi saya takut dia ikut terluka, Dok.”
“Percayalah, dia akan lebih terluka jika kamu meninggalkannya. Terlebih jika orang itu sangat mencintaimu. Dia hanya ingin menjagamu.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan?”
“Jangan mendorongnya. Belajarnya menerima kebaikannya, sebagaimana kamu belajar bahwa kamu pantas mendapatkan hal baik di dunia ini.”
Arjun yang kini berdiri di depannya dengan wajah lelah dan senyuman jenaka. Lingkaran mata yang menghitam itu menunjukkan seberapa hancur jam tidurnya. Di mata, Mawar … Arjun sedang berantakan.
“Kamu ini … nggak kapok juga, ya?” tanyanya kemudian.
Arjun menjawab dengan gelengan.
“Kamu nggak benci aku?”
“Enggak.”
“Aku udah ninggalin kamu, Jun.”
“Aku tahu.”
“Aku udah nyakitin kamu.”
“Aku nggak merasa terluka.”
Mawar menghabiskan dua bulan dalam pelarian. Dua bulan untuk menghilang dari kehidupan Arjun. Dua bulan dalam masa penyembuhan dari segala trauma.
Dua bulan penuh sudah ia habiskan untuk mempelajari kehidupan, mempelajari dirinya, juga tentang makna cinta. Dua bulan yang ia rasa belum cukup untuk membuatnya mengerti tentang perasaan manusia.
“Apa yang kamu mau dariku?” tanya Mawar pada akhirnya.
“Jangan menghilang,” jawab Arjun secepat debar jantungnya.
Pagi menjadi saat yang paling Arjun benci belakangan ini karena membuatnya terus menghitung sudah berapa lama Mawar menghilang. Hari yang berganti tanpa adanya Mawar bagaikan kehampaan yang menyekik lehernya.
Orang tuanya sudah menyerah untuk menghiburnya. Begitu pula dengan Airin. Arjun seolah kembali seperti saat Ardian pergi. Sangat dingin dan hanya memeluk sepi.
Hanya Bima yang selalu berhasil membuatnya berbicara, meski hanya sepatah dua kata. Tapi pagi ini, Bima berhasil membuatnya kembali menemukan cahaya.
“Gue kan lagi di Graha Cendekia buat hadirin wisuda kakak tingkat di organisasi gue. Terus, tebak siapa yang gue lihat? Mawar! Bunga lo ada di sini!”
Arjun berlari dari kamar seperti atlet nasional yang mengidamkan kemenangan. Laju motornya juga mengalahi pembalap yang hampir menyentuh titik akhir. Sesampainya di depan gedung, matanya menelisik satu per satu orang yang baru keluar setelah menyelesaikan pengikraran wisuda. Dan ia ingin menangis layaknya bayi saat berhasil menemukan bunganya di antara ratusan manusia.
“Bunga, Kak. Murah kok.”
Dan seperti dibantu semesta, langkah Arjun dihadang oleh anak perempuan yang berusia sekitar sepuluh tahun. Anak itu mengulurkan sebuket penuh bunga mawar yang langsung diterima Arjun dengan senyuman.
Kini, bunga itu sudah berada di rumahnya, di pelukan Mawar yang mulai meneteskan air mata saat memandangnya.
“Jangan menghilang dari kehidupanku.” Arjun terus melanjutkan harapannya. “Dan jangan menghilang dari dunia ini.”
Mawar membiarkan air matanya mengalir layaknya sungai. Karena ia sudah tak memiliki tenaga untuk sekadar menghapusnya.
“Aku tahu kamu selalu mendorongku karena nggak mau aku terluka.” Arjun kembali berkata. Seolah-olah ia sedang melepas tuntas gejolak yang teredam selama dua bulan terakhir.
“Kalau kamu tahu, harusnya kamu berhenti,” balas Mawar.
Arjun menggeleng. “Asal kamu tahu, kamu itu persis seperti bunga itu, Kak.” Tangannya menunjuk sebuket bunga mawar merah yang masih di dekapan Mawar.
“Tangkainya berduri karena untuk melindungi diri. Berharap dengan durinya, maka nggak akan ada yang menyentuh dan nggak akan ada yang terluka.”
Penggambaran Arjun tentang Mawar dan bunga yang di pelukannya memang benar. Teramat benar hingga ia tak mampu menyela ucapanya.
“Nggak ada manusia yang berhenti menyukai mawar, Kak. Meski berduri, banyak yang ingin memilikinya. Keindahan yang dimiliki mawar sepadan dengan duri yang harus dilewati. Mereka menganggap duri itu malah mempercantik sang mawar. Seolah menjadi bukti keteguhan dan perlindungannya.”
Arjun mengambil satu langkah mendekat. Tangannya terangkat naik untuk menghapus air mata yang sudah membasahi pipi Mawar.
“Durimu nggak melukaiku, Kak. Aku nggak terluka saat bersamamu, justru aku menemukan bahagiaku.”
Tempat ini masih ramai dengan lalu-lalang manusia, tapi tetap hanya ada satu sama lain di mata mereka. Arjun yang berdiri di depannya dengan penuh keteguhan mampu membuat Mawar menyerah. Ia menyerah untuk terus mendorongnya.
“Aku mencintaimu. Dan kuharap kamu juga bisa mencintai dirimu sendiri,” ucap Arjun.
Buliran air mata Mawar telah menjadi hujan terlebat di bulan Desember. Namun, air mata itu bukan lagi air mata yang dipenuhi dengan luka. Melainkan air mata yang penuh dengan perasaan membuncah bernama cinta.
“Kamu harus tahu kalau mencintaimu semudah itu. Aku bahkan nggak sadar udah jatuh cinta. Jadi, aku yakin kamu juga mampu mencintai dirimu sendiri, Kak. Jangan menyakiti diri lagi. Jangan pergi lagi.”
Mawar mengangguk. Bukan anggukan kecil yang dipenuhi keraguan, tapi anggukan berulang yang dalam. Dokter Fira pasti akan bangga padanya karena sudah berhasil menerima cinta. Sesi konsultasi dan terapi yang rutin dilakukan akhirnya mampu membuatnya menerima hangatnya cahaya yang diberikan Arjun.
Di detik ini, ia belajar memaknai namanya sendiri. Karena mawar adalah cinta. Ia adalah penggambaran sempurna tentang cinta. Dan dirinya layak untuk dicintai dan mencintai.
“Tapi, Arjun—” Mawar tiba-tiba berkata cepat saat teringat akan hal penting.
Arjun mengerutkan dahi dengan was-was. “Kenapa?”
“Aku udah keterima kerja di Karawang. Dua hari lagi berangkat,” ucapnya.
Arjun menganga tak percaya, “Katanya nggak akan pergi lagi?!”
“Aku nggak pergi, aku cuma kerja,” koreksi Mawar.
Arjun masih menatapnya dengan tak percaya. Ia baru mengungkapkan segala kesenduannya, ketakutannya, tapi Mawar membalas dengan kabar yang luar biasa mengejutkan.
“Lagian kamu juga masih kuliah. Belajar yang rajin dan cepet lulus biar bisa nyusul,” timpal Mawar sembari mengacak rambut Arjun.
Arjun memberengut. Sisi dewasanya yang semula menguar kuat saat menenangkan Mawar sudah terganti menjadi Arjun si bayi besar.
“Tapi buka blokirnya. Dan harus hubungi aku tiga kali sehari,” tukas Arjun.
Mawar tertawa. “Udah kayak minum obat, ya.”
“Iya. Kan aku udah menawarkan diri sebagai obat berbentuk manusia yang selalu siap siaga kalau kamu terluka.”
Arjun tersenyum, dan Mawar membalas dengan senyuman tak kalah lebar. Dari kejauhan Mawar bisa mendengar suara siulan panjang. Tanpa menoleh pun, Mawar tahu jika itu perbuatan Adel. Hanya saja ia tak tahu sejak kapan Adel yang semula di belakangnya sudah berbaur akrab dengan keluarganya.
Sahabatnya itu sudah sibuk bersorak-sorai dengan Lea. Sesekali mengangkat kameranya untuk diarahkan ke arahnya dan Arjun.
“Ayo senyum yang lebih lebar!” pekik Adel.
Kedua sudut bibir Mawar terangkat naik. Ia siap berpose di depan kamera Adel, tapi genggaman tangan Arjun membuat senyumannya kaku. Ia menoleh ke Arjun yang ternyata juga memandanginya.
Mereka tak saling bicara, tapi suara ungkapan cinta menggaung keras dalam jiwa. Sekeras kehebohan Adel yang baru saja menangkap momen paling indah saat mata mereka saling menemukan cahaya.
TAMAT