Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

Mawar benci dengan kenyataan bahwa segala hal di dunia ini tetap berjalan baik-baik saja. Sejak langit masih gelap sampai terang-benderang, ia sudah berdiri di balik jendela dengan mata nanar. Pemandangan jalanan Surabaya yang padat entah bagaimana berhasil menorehkan luka yang sudah menganga.

Ia sadar betul kalau dunia memang tak hanya berpusat padanya, tapi fakta bahwa hanya dirinya yang terluka dan hampir hancur sedangkan orang lain masih beraktivitas normal membuatnya sedikit marah. Mereka terlihat sangat sibuk dan serba cepat, layaknya kereta api suara klaksonnya terdengar saat membuka jendela kamar. 

“Dunia memang nggak adil. Nggak pernah adil.”

Kasur hotel memang memiliki tingkat kenyamanan seribu kali lebih baik daripada kasur di rumahnya, tapi tetap tak membuatnya tertarik untuk merebahkan diri ke atasnya. Ia lebih memilih berdiri di balik jendela sejak Arjun pergi. 

Pikirannya berisik, sedangkan jiwanya hampa. Perbedaan ini membuatnya kebingungan hingga tak tahu harus melakukan apa.

Mawar akhirnya mengakhiri ratapannya dengan menutup kelambu jendela rapat-rapat. Seolah tak mengizinkan sinar matahari masuk ke dalam kamar hingga mengusik kegelapannya. 

Pikirannya yang kacau membuatnya membenci banyak hal, termasuk sinar matahari yang terasa sok akrab. Sinar yang berlagak hangat itu bahkan tak mampu menghilangkan masalahnya. 

Mawar menekuk tubuhnya di sudut kamar. Wajahnya tersembunyi di balik lipatan kaki. Meringkuk bagaikan cangkang kosong kelomang. Tenggorokannya kering, ia ingin minum. Namun, tiap kali melihat ketel di atas nakas, air di dalamnya seolah sedang berteriak, “Aku tak sudi kau minum.”

Dadanya pun terasa sesak karena udara di sekitarnya seolah sedang berpaling. Semua yang ada di dunia ini sedang membencinya dan memandangnya dengan jijik.

“Kak!”

Ketukan pintu berkala membuat Mawar akhirnya mengangkat wajahnya yang tak tahu sejak kapan sudah basah.

“Kak Mawar! Ini Arjun!”

Mawar segera berdiri. Gerakannya yang terlampau cepat membuat tubuhnya terhuyung. Namun, ia segera memaksa kakinya berjalan untuk membuka pintu. 

Ketika tangannya menyentuh knop pintu, ia termenung barang beberapa detik untuk menetralkan deru napasnya. Air matanya juga diusap sampai kering. Tak lupa kedua sudut bibirnya dipaksa ditarik ke atas untuk membentuk senyuman.

“Hai, Jun—”

Mawar sudah berusaha untuk terlihat baik-baik saja, tetapi justru Arjun-lah yang sedang tak baik. Wajahnya yang babak belur, ditambah masih ada bekas darah di sudut bibirnya menunjukkan kalau dia baru dihajar habis-habisan.

“Kamu kenapa?” tanya Mawar dengan panik. 

Segala ketakutan yang semula terpendam di dalam dirinya bahkan menghilang, terganti dengan kekhawatiran karena kondisi Arjun.

“Nggak apa-apa kok, Kak. Cuma luka kecil,” balas Arjun, masih dengan terkekeh.

Mawar berdecak, “Luka kecil apanya yang sampai bikin mukamu hancur begini?”

“Tapi tetep ganteng, kan?”

“Kamu ini!” Mawar menahan tangannya untuk tak menoyor Arjun yang masih bercanda di keadaan seperti ini. “Masuk. Biar aku obati lukamu,” tambahnya dengan membuka lebih lebar pintu kamar hotel. 

Arjun menggaruk tengkuknya. “Aku beneran nggak masalah kok, Kak. Ini … baju-bajunya. Kamu bisa mandi sama ganti baju dulu. Biar aku tunggu di lobi, nanti kita sarapan bareng.”

Arjun sudah membalikkan tubuhnya, tetapi Mawar menahan ujung kaosnya. 

“Masuk. Nggak perlu sungkan, lagian aku udah kotor.”

Dari cara Mawar berbicara dengan wajah seriusnya, Arjun sudah paham jika trauma yang sedang dialami sudah berpengaruh besar ke hidup Mawar. Ia jadi membenci pencipta kata ‘kotor’ dan ingin melenyapkannya dari dunia ini.

“Jangan ngomong gitu lagi,” tukas Arjun. 

Mawar menghendikkan bahu. “Begitu kenyataannya.”

“Kamu korban, Kak. Tolong camkan baik-baik, kalau kamu hanya korban.” Arjun menekan kata korban serendah mungkin. 

Mawar bergeming, “Tapi aku tetap kotor. Ayo, masuklah. Obat dan salep yang kamu kasih kemarin masih ada.”

Mawar membuka pintu kamarnya makin lebar, tapi Arjun tetap berdiri di tempatnya tanpa menggeser kaki sesenti. 

“Jun?” panggil Mawar karena Arjun tak kunjung bergerak.

“Aku akan masuk kalau kamu berhenti anggap kamu kotor.” 

Arjun terkenal sebagai orang yang keras kepala. Banyak yang menyerah dan jengah dengan sikapnya yang satu ini. Menganggap Arjun arogan dan semaunya dalam bertindak, padahal ia hanya memiliki prinsip yang kuat. Sebagaimana sekarang ia tak mau mendengar kata kotor. Dan ia sungguh benci saat mendengar Mawar melabelinya demikian. 

“Masuk, Jun.”

“Nggak mau.”

“Arjun.”

Lingkaran hitam di sekitar mata Mawar terlihat sangat jelas. Arjun mengira mungkin dia hanya tidur satu jam sepertinya, atau bisa juga tak terlelap sama sekali. Namun, mata yang penuh lelah itu tak bisa menggoyahkan keputusan Arjun. 

Fine kalau kamu nggak mau masuk.”

Mawar menutup kembali pintunya, bahkan sedikit keras sampai terkesan membanting. Meninggalkan Arjun yang kini memandangi pintu dengan perasaan bersalah. Harusnya ia tak terlalu memaksa Mawar dan bisa bersikap sedikit lembut. 

“Arjun bodoh,” makinya sambil menampar dirinya sendiri. Padahal, ia tahu kalau Mawar baru mengalami kejadian tak mengenakkan tapi ia malah tetap bersikap keras. 

Tangan Arjun sudah terangkat untuk mengetuk pintu, namun pintu itu sudah terbuka bahkan sebelum buku-buku jarinya menempel ke kayu. 

Mawar kembali berdiri di depan Arjun, tapi kali ini dengan sekresek obat di tangannya. Tanpa mengatakan apa-apa, Mawar sudah menjulurkan kapas yang sempat dibasahi untuk membersihkan darah di sudut bibir Arjun.

“Kak ….”

Tubuh Arjun membeku. Ia tak mengira kalau Mawar akan bersikap nekat dengan mengobatinya di lorong hotel. Ia bahkan tetap diam dan hanya fokus menangani luka di wajahnya meski ada beberapa orang yang melewati lorong. 

“Biar aku sendiri aja—”

“Diam.”

Di detik itu, Arjun sadar kalau keras kepalanya tak bisa dilawan dengan keras kepala Mawar. Mereka sama-sama manusia yang berkepala batu.

Ketika Mawar akan mengoles salep antiseptik ke lukanya, Arjun menahan tangan Mawar. Ia akhirnya mengalah dengan melangkahkan kakinya untuk memasuki kamar hotel Mawar. 

“Duduk di sini,” tukas Mawar sambil menunjuk kursi di depan meja rias. 

Terdapat cermin yang cukup besar di sana sehingga Arjun melihat dengan jelas luka-lukanya. Ia meringis prihati saat melihat betapa kacau wajah di dalam cermin itu. 

“Aduh!”

Arjun merintih saat salep antiseptik itu menyentuh kulitnya yang terluka. Mawar menghentikan tangannya sesaat, tapi kemudian kembali mengoleskan salep dengan lebih pelan. 

Tidak ada yang bersuara di antara mereka berdua. Baik Mawar maupun Arjun seolah sedang lomba diam. Siapa yang tak membuka suara terlebih dahulu, dia lah pemenangnya. 

“Aduh! Kak, pelan-pelan.”

Arjun akhirnya menjadi orang yang kalah dalam kompetisi itu. Gerakan tangan Mawar yang kian cepat membuatnya tak bisa menahan rintihan.

“Cengeng. Aku kemarin biasa aja waktu diobati,” ucap Mawar.

“Soalnya kamu kan jagoan, Kak. Kamu manusia yang luar biasa kuat, kalau aku cuma pecundang.”

Ucapan Mawar pada awalnya hanya candaan, tapi jawaban yang Arjun lontarkan membuatnya terdiam seketika. Tangannya bahkan ikut membeku dan tak bisa mengoles salep ke wajah Arjun lagi.

“Jangan mengatakan hal yang mustahil. Aku tahu kamu mau menghiburku, tapi nggak perlu berlebihan,” tukas Mawar. 

Mawar meletakkan kapas-kapas bekas darah Arjun di meja rias. Ia juga sudah memasukkan kembali salep antiseptik ke dalam kresek. 

“Aku nggak berlebihan. Aku ngomong apa adanya. Kamu emang sehebat itu karena udah bertahan sejauh ini, Kak.”

“Dan aku bisa berhenti bertahan kapan aja. Jangan terlalu bangga atas pilihanku buat bertahan. Nggak ada satu pun yang bisa dibanggain dalam diriku dan hidupku, Jun.”

Pembicaraan Mawar dan Arjun biasanya mengenai makanan dan minuman kesukaan, momen konyol yang pernah dialami, dan semua yang tergolong ringan. Biasanya mereka akan saling terkoneksi, lalu tertawa bersama. Tak pernah sekalipun mereka berada di pembicaraan berat seperti sekarang. 

“Kak—”

“Percuma kamu coba hibur dan semangatin orang yang maunya pengen mati.”

Arjun tersentak saat Mawar memotong ucapannya. Mawar seakan tak mengizinkan ia berkata apa-apa lagi. Ia juga baru sadar kalau tatapan Mawar lebih dingin daripada sebelumnya.

“Aku nggak akan biarin kamu mati gitu aja,” kilah Arjun. “Aku nggak akan ngizinin kamu nyerah, Kak,” imbuhnya dengan lebih tegas. 

Untuk saat ini, keras kepala Arjun tak boleh dikalahkan. Ia harus mempertahankannya demi menarik Mawar dari ujung jurang. 

“Karena kamu semalam udah nolong aku, bukan berarti kamu punya hak atas keputusan yang akan aku ambil,” sahut Mawar. Matanya yang dingin semakin bersuhu rendah. Arjun bisa merasakan hunusan pedang es yang mengoyak hatinya.

“Bukannya kamu yang bilang nggak mau punya hutang baik secara materi maupun hutang budi?” tanya Arjun. 

Demi Tuhan, Arjun tak ingin mengeluarkan kartu memojokkan seperti ini tapi ia harus melakukan apapun untuk menyadarkan Mawar yang sedang kalut.

“Kak Mawar masih ada hutang ke aku, jadi nggak boleh mati. Lagian, aku udah janji semalam bakal kasih satu alasan buat hidup di setiap harinya.”

Arjun mencoba mengabaikan air muka Mawar yang terhenyak atas ucapannya. Ia tahu kalau Mawar sudah kehabisan bahasa untuk membalas, jadi dia hanya melengos pergi ke dalam kamar mandi beserta ransel berisi pakaian yang diberikan Arjun. 

Ketika pintu kamar mandi tertutup, Arjun langsung menghela napas panjang-panjang. Ia tak menyangka bisa berkata dengan nada seketus itu kepada Mawar. Hatinya masih merasa tak enak dan sungkan, tapi apa daya … kepala batu Mawar memang harus ditandingi dengan keras kepalanya. 

Setidaknya, ia bersyukur karena Mawar tak bertanya tentang luka lebam di seluruh wajahnya. 

Sepanjang perjalanan menuju hotel setelah membuat keributan di rumah, ia terus memikirkan alasan yang tepat untuk berbohong. Akan sulit jika Mawar tahu penyebab lukanya karena Rafli. Ia tak mau membuat Mawar merasa bersalah kepadanya. 

“Kamu bantu Mawar kabur?!”

Masih terngiang dengan jelas pekikan mamanya saat Rafli berhasil menguasai perkelahian. Aku sudah sangat benci dan malu karena kalah telak, dan semuanya makin berantakan saat mamanya ikut keluar rumah dan menyaksikan kekacauan itu.

Mamanya yang mendelik marah, ditambah ibu Mawar yang ikut mendekat dengan aura yang siap menerkamnya.

“Saya nggak tahu apa-apa!” 

Saat itu, Arjun hanya bisa mengelak meski Rafli terus-menerus mengatai dirinya pembohong dan berbicara omong-kosong tentang melaporkan ke kantor polisi. 

“Saya cuma sempat lihat dia di pinggir jalan. Wajahnya lebam kayak habis dipukuli. Jadi mungkin karena itu dia pergi! Saya bahkan nggak sempat nyapa waktu ketemu karena buru-buru pulang!”

Bola panasnya berhasil terlempar ke kerumunan. Para tetangga seketika memandangi Tri dan Rafli, lalu berbisik-bisik tentang penyiksaan yang dilakukan kepada Mawar.

“Iya sih. Kan kita juga sering lihat Mawar sering dipukuli sama dimarahi ibunya.”

“Iya. Anakmu mah kabur karena kamu sendiri, Tri. Ngapain ngefitnah anak orang.”

Bisikan para tetangga bagaikan gaungan lebah. Arjun diam-diam lega karena semua orang percaya dan memihak kepadanya. Bahkan, raut wajah mamanya juga terlihat lebih rileks.

“Lagian anak saya nggak akan berhubungan sama orang seperti Mawar.”

Namun, celetukan dari mamanya berhasil memecahkan perseturuan lain. 

Tri  sudah terlihat kesetanan. Dia berjalan mendekat dan langsung menjambak rambut Shima.

“Dasar orang sombong!”

Di tengah perdebatan antara Shima dan Tri, Arjun menggunakan kesempatan itu untuk cepat-cepat pergi. Ia memberi isyarat mata kepada Airin untuk membantunya mengatasi sang mama dan Airin membalas dengan anggukan mengerti.

Kini, ia harus memikirkan bagaimana cara membujuk mamanya saat pulang nanti. Pasti mamanya tetap akan mengamuk karena kena getah dari kekacauannya. 

Lamunan Arjun buyar saat pintu kamar mandi terbuka. Mawar yang semula mengenakan jaket hitam dan celana doraemon sudah mengganti pakaiannya—rok panjang denim yang dipadu blus lengan panjang berwarna putih tulang dengan potongan loose dan aksen kerut di bagian pergelangan tangan. Kerudung cokelat muda yang dikenakan juga menambah kesan manis Mawar.

Sebenarnya, Mawar kesulitan untuk membasuh dirinya di bawah guyuran air. Depresi yang kian menguat karena kejadian semalam membuatnya ingin berdiam diri dan hanyut dalam angan saja. Tapi keberadaan Arjun membuatnya terpaksa masuk ke kamar mandi. Dan di bawah shower, ia kembali menangis karena tubuhnya yang masih terasa kotor meski sudah menghabiskan berbusa-busa sabun.

“Kita makan sekarang yuk,” ajak Arjun. 

Ia sudah beranjak dari duduknya, tapi Mawar menggelengkan kepala. 

“Aku nggak mau makan.”

“Kenapa? Belum lapar?”

“Aku … nggak bisa makan.”

Ada firasat aneh yang muncul di benak Arjun saat mendengar suara lirih Mawar. Mata yang semalam dipenuhi luka, kini telah menjadi putus asa. Entah mengapa, ia lebih lega saat melihat Mawar menangis tersedu-sedu daripada diam memandangi lantai seperti sekarang. 

Arjun meninggalkan Mawar sendiri hanya tiga jam, tapi di selang waktu itu sudah cukup untuk merenggut jiwanya. 

“Kamu juga belum minum?” Arjun menebak-nebak. 

Mawar meliriknya sekilas, tapi tak menjawab apa-apa. Akhirnya, Arjun menuangkan segelas air yang kemudian dijulurkan ke hadapan Mawar.

“Aku nggak bisa minum.”

Alis Arjun terangkat. “Kenapa? Nggak mau air putih? Aku bisa buatin teh atau kopi—”

“Aku cuma nggak bisa minum.” Mawar memotong ucapan Arjun dengan helaan napas lelah.

No. Kamu harus minum. Sedikit aja, Kak.” 

Arjun tetap mendorong gelas itu mendekat, tapi Mawar terus menggeleng.

“Aku nggak bisa, Jun.”

“Sedikit aja, Kak. Seteguk juga nggak apa—”

“Aku nggak bisa minum! Kamu ngerti nggak sih?!”

Mawar menepis gelas yang akan menyentuh bibirnya dengan penuh emosi. Gelas kaca itu seketika terpental dan pecah berkeping-keping. 

Arjun tertegun memandangi pecahan kaca. Seketika ia menunduk untuk membersihkan pecahan itu dengan perasaan bersalah.

“Biar aku aja.” 

Mawar ikut menunduk dan meraih beberapa pecahan, tapi Arjun buru-buru mengambil pecahan yang sudah di tangannya.

“Jangan, Kak. Nanti tangan kamu kena pecahannya, sakit,” ujar Arjun. 

Gerakannya untuk membersihkan kekacauannya itu sangat cepat dan lincah hingga ia tak sengaja menggores tangannya. Seketika darah mengucur deras dari telapak tangannya. Arjun mencoba menyembunyikan lukanya karena takut memicu trauma Mawar. 

“Maaf, Kak. Aku ceroboh,” ucap Arjun. 

Saat Arjun menoleh untuk menatap Mawar, ia dikejutkan dengan wajah Mawar yang sudah dipenuhi air mata. 

“Kamu khawatir aku terluka, padahal kamu yang selalu terluka gara-gara aku,” isak Mawar. 

Pandangan matanya tak lepas dari wajah Arjun yang babak belur, juga tangannya yang terus mengeluarkan darah. Sejak ia membuka pintu dan melihat Arjun yang berantakan, ia tahu kalau penyebabnya memiliki sangkut paut dengan dirinya. Mungkin Arjun dihajar orang tuanya karena ketahuan membantunya, atau kemungkinan lain yang tak kalah menyakitkan.

Ia sudah bersikap pecundang karena tak berani bertanya lebih lanjut. Ia tak mau semakin membebani dirinya dengan perasaan bersalah karena semakin menyusahkan hidup Arjun, tapi melihat Arjun yang kini kembali terluka karena dirinya sungguh membuatnya merasa semakin bodoh. 

Harusnya, ia memang memberi batasan dengan Arjun agar tak terlalu masuk ke hidupnya. Karena pada akhirnya, ia tahu kalau Arjun hanya akan ikut terluka.

“Kamu harus lari dariku sekarang, Jun. Nggak akan mudah buat nemenin orang depresi. Nggak akan pernah mudah. Kamu bakal capek. Kamu bakal terluka.” Mawar berkata dengan air mata yang terus mengalir bagai hujan di bulan Desember. 

“Kamu harus pergi sekarang, Jun. Pergi sejauh mungkin. Pergilah sebelum semakin terluka.”

***



 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Akhi Idaman
1232      766     1     
Short Story
mencintai dengan mendoakan dan terus memantaskan diri adalah cara terbaik untuk menjadi akhi idaman.
Annyeong Jimin
29981      4050     27     
Fan Fiction
Aku menyukaimu Jimin, bukan Jungkook... Bisakah kita bersama... Bisakah kau tinggal lebih lama... Bagaimana nanti jika kau pergi? Jimin...Pikirkan aku. cerita tentang rahasia cinta dan rahasia kehidupan seorang Jimin Annyeong Jimin and Good Bye Jimin
HADIAH PALING BERHARGA
586      396     4     
Short Story
Seorang wanita yang tidak bisa menerima kenyataan, keharmonisannya berubah menjadi kebencian, sebuah hadiah yang mengubah semua hal tentangnya .
pat malone
4761      1371     1     
Romance
there is many people around me but why i feel pat malone ?
IMPIAN KELIMA
470      351     3     
Short Story
Fiksi, cerpen
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
1220      814     2     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
Monokrom
115      94     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
Teman Hidup
6813      2478     1     
Romance
Dhisti harus bersaing dengan saudara tirinya, Laras, untuk mendapatkan hati Damian, si pemilik kafe A Latte. Dhisti tahu kesempatannya sangat kecil apalagi Damian sangat mencintai Laras. Dhisti tidak menyerah karena ia selalu bertemu Damian di kafe. Dhisti percaya kalau cinta yang menjadi miliknya tidak akan ke mana. Seiring waktu berjalan, rasa cinta Damian bertambah besar pada Laras walau wan...
Moment
327      279     0     
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal [Maaf jika ...
Rumah
509      355     0     
Short Story
Sebuah cerita tentang seorang gadis putus asa yang berhasil menemukan rumah barunya.