“Yang sabar ya, Mawar. Ini ujian buat kamu dan keluargamu.”
Mawar sudah lelah mendengar ucapan itu semenjak ia bercerita kepada sahabatnya semasa SMA tentang ayahnya yang menikah lagi. Ia menangis tersedu-sedu sampai kesulitan bernapas kala menjelaskan tentang ayahnya yang lebih memilih perempuan baru itu daripada keluarganya.
“Sabar, ya. Kamu bisa cari naskah lagi.”
Dan Mawar juga jengah dengan keprihatinan teman kuliahnya saat objek penelitian skripsinya harus diganti, padahal ia sudah mengerjakan sampai bab tiga. Di semester delapan saat ia sudah yakin bisa menyelesaikan skripsi tepat waktu, topik penelitian harus diganti total. Tiga bab yang ia tulis hanya menjadi kesia-siaan.
Ia juga kesulitan mencari naskah kuno yang baru karena terhalang pandemi Covid. Seluruh akses ke museum dan perpustakaan yang berada di luar kota jadi terhambat karena lockdown. Ia baru menemukan naskah kuno yang sesuai setahun kemudian. Sebuah naskah kuno berbahasa Kawi dengan tulisan yang sulit dibaca karena faktor usia yang sudah ratusan tahun.
Naskah itu sangat sulit hingga ia berbekal kamus dimanapun ia berada. Kendati usahanya tetap mengkhianati karena permasalahan dengan dosen pembimbing yang tak berkesudahan. Dosen pembimbing pertamanya pensiun sehingga ia dilempar ke dosen pembimbing baru. Membuatnya kembali mengulang dari bab satu untuk kedua kalinya karena Bu Endang tak setuju dengan topik dan cara analisis teks yang ia lakukan. Waktu berjalan terlampau cepat hingga ia tak sadar sudah memasuki semester tiga belas.
“Sabar ya, Mawar. Kamu bisa minta tolong aku kalau butuh apa-apa. Pokoknya kamu harus sabar.”
Adel, sahabat satu-satunya selama kuliah, juga mengatakan hal yang sama saat ia bercerita tentang usaha ayahnya bangkrut pasca Covid dan terserang stroke. Seluruh sisa hartanya dibawa kabur oleh istri kedua dan beliau pulang hanya dengan tangan kosong.
Kata sabar, sabar, dan sabar yang selalu diterima ketika ia berkeluh kesah membuatnya membenci kata itu. Meskipun ia tahu kalau tanggapan pendengar hanya berusaha untuk menenangkannya. Sabar ya, semua akan berlalu. Sabar, ini ujian buat kamu. Ia sudah khatam dengan petuah itu sampai-sampai tak ingin mendengarnya lagi.
Mawar sudah bersabar. Di setiap masalah yang datang silih berganti, ia sudah tahu harus menerimanya dengan sabar. Semarah apapun ia dengan takdir, pada akhirnya ia akan menerima dan melanjutkan kehidupan meski dengan menangis.
Demi Tuhan. Ia sudah sangat bersabar.
Hatinya bahkan bisa meledak kapan pun karena terlalu banyak bersabar. Karena selalu mendapat anjuran untuk bersabar saat bercerita, pada akhirnya Mawar memendam semua masalahnya.
Ia tak pernah bercerita lagi kepada siapapun tentang ibunya yang berubah menjadi garang dan selalu memarahinya. Ia tak bercerita kalau selalu berusaha mencari pekerjaan di sela-sela mengerjakan skripsi, tapi selalu mendapat tatapan remeh dari perekrut karena belum bisa mengantongi ijazah sarjana. Ia juga tak bercerita saat gejala depresi mulai mengikis mentalnya.
Hari-hari yang ia lewati terasa lebih berat dan lama. Ia sering tak bisa tidur karena kepalanya yang berisik. Pun ia tak suka terus terjaga karena tak bisa melarikan diri ke dunia mimpi barang sejenak. Pemikiran untuk mengakhiri semuanya selalu muncul lima kali sehari. Tetapi ia tahu kalau ia harus bersabar. Dan ia tetap bersabar bersama luka-lukanya.
Buktinya, sekarang ia kembali ke rumah setelah puas menangis di masjid yang berjarak satu setengah kilometer dari rumahnya. Tak ada tempat untuknya kabur. Tidak mungkin ia menghubungi Adel. Ia tak mau temannya mengetahui kesulitannya. Maka, lebih baik kembali ke rumah meski pintu utama sudah terkunci sempurna.
Mawar pernah mengalaminya lima bulan lalu. Saat ia telat pulang karena mengajar les sehingga ia harus tidur di teras, meski malam itu hujan lebat. Setidaknya, malam ini langit gelap tak mengandung mendung sehingga ia bisa terlelap dengan tak terlalu menggigil di teras rumah.
Ia meringkuk di sudut teras sambil memeluk lutut. Sisi kanan jilbab pashmina hitamnya yang lebar digunakan sebagai selimut. Meskipun kain itu tak membantu banyak karena terlampau tipis.
Dengan kondisi yang jauh dari kata nyaman, ia mampu terbang ke alam mimpi. Mungkin karena semalam ia belum tidur. Matanya juga perih karena terlalu banyak menangis, jadi lebih mudah untuk mendapat tiket ke dunia bawah sadarnya.
Mawar tidur sangat pulas sampai tak sadar kalau ada mata yang terus mengawasinya sejak ia membuka gerbang rumah. Tepatnya di balkon lantai dua yang berhadapan dengan rumahnya, Arjun berdiri sambil memegang sebatang rokok yang tak kunjung menyala.
Sudah jam sebelas malam dan ia tahu kalau suhu udara akan makin mengecil saat melewati tengah malam. Meski Surabaya terkenal dengan hawa panas, kau akan tetap kedinginan jika menghabiskan malam di luar ruangan sampai pagi hari.
Melihat tubuh Mawar yang tampak kecil karena meringkuk di sudut rumah membuat perasaan Arjun sakit. Ia mengantongi lagi rokok itu dan memilih masuk ke kamar. Bergerak cepat membuka lemari untuk mencari selimut bersih.
Langkah kakinya berderap pelan saat menuruni anak tangga. Berusaha tak mengeluarkan sekecil pun suara agar tak mebangunkan orang rumah. Ia sudah mendapat omelan karena mamanya melihatnya mengantar Mawar dan mengejarnya tadi petang.
“Sudah Mama bilang jangan deket-deket sama dia! Lihat! Para tetangga banyak yang lihat! Gimana kalau mereka gosipin kamu juga?!”
Arjun yang masih kalang kabut karena kekhawatiran yang besar kepada Mawar hanya bisa diam saat mamanya terus menggelar seminar tentang dampak buruk Mawar dan bagaimana menghindarinya. Sudah berjam-jam ia berdiri di balkon menunggu kepulangan Mawar, sampai akhirnya perempuan itu kembali di jam sebelas dengan kedua bahu yang menjuntai.
“Aduh—”
Arjun menahan desisannya saat kunci pintu utama yang baru diputar dua kali terdengar cukup nyaring. Ia menoleh ke belakang, menahan napas barang beberapa saat demi mengamati keadaan. Tak ada tanda-tanda orang tuanya terbangun, jadi ia membuka pintu dan segera melesat keluar.
“Gini kali ya deg-degannya jadi maling,” pikirnya saat berhasil sampai di teras rumah Mawar.
Ia segera membentangkan selimut biru tuanya ke tubuh Mawar, lalu kembali berjalan cepat keluar pagar. Langkahnya sempat terhenti saat melihat kotak roti bakar yang masih utuh sudah berada di tempat sampah. Seketika bayangan senyuman Mawar saat membeli roti bakar itu kembali muncul di kepalanya.
“Adikku si Lea itu suka banget sama roti bakar cokelat stroberi. Hehehe! Dia pasti bakal happy.”
Senyum Mawar saat itu membuatnya terpana, tapi kini senyuman yang tertinggal di ingatannya malah menjadi belati yang menyayat hati. Ia begitu marah karena senyum yang indah itu dirampas dengan cepat oleh dunia. Ia marah karena binar di mata Mawar harus kembali tenggelam ke dasar jurang.
Pantaslah Mawar marah kepadanya saat ia berkata sabar. Kata itu tak membantunya sama sekali. Kata itu tak mampu menyelamatkannya dari kekejaman duniawi.
***