Loading...
Logo TinLit
Read Story - Manusia Air Mata
MENU
About Us  

“Keluarga depan itu selalu berisik ya.”

Shima memulai topik obrolan sarapan dengan gosip. Arjun yang baru meneguk susu putih hampir tersedak karena mamanya yang tiba-tiba membahas keluarga Mawar.

“Hush! Jangan gitu, Ma,” tegurnya. Namun, mamanya tetap melanjutkan obrolan.

“Kamu denger sendiri, kan? Udah dua minggu kita pindah ke sini, pasti rumah depan selaluuuu berisik. Marah-marah terus ke anaknya.”

Arjun akhirnya memilih diam karena tahu mamanya akan tetap berceloteh tentang keluarga Mawar. Apalagi ditambah informasi yang terpercaya dari tukang sayur, katanya.

“Keluarga mereka sebenernya baik-baik aja dulu. Sampai bapaknya nikah lagi, terus pas covid usahanya bangkrut dan dia kena stroke. Sejak itu ibunya marah-marah mulu kerjaannya.”

Ayam goreng di mulutnya terasa lebih alot dan sulit ditelan karena mendengar cerita itu. Ditambah bayangan wajah Mawar yang selalu nampak kosong, jadi membuat selera makannya hilang. 

“Kasian sih sebenernya si anak yang nggak lulus-lulus itu. Tapi ibunya juga stres pasti lihatnya. Lagian kok bisa ya sampai semester 13 belum beres juga?” 

Arjun sadar sepenuhnya kalau pertanyaan mamanya sedang terlontar ke arahnya. Ia hanya membalas dengan mengangkat bahu. 

“Ya kesulitan tiap orang kan beda-beda, Ma. Kita mana tahu apa yang buat Kak Mawar telat lulus.”

“Mawar?” 

Wajah Shima berubah jadi bengong. Tak mengira kalau Arjun bisa mengetahui nama tetangga yang sedang jadi bahan pembicaraan.

“Cewek yang dibonceng Kak Arjun itu, ya?” Airin menimpali sambil melahap satu suapan penuh ayam goreng.

“Kamu kenal, Kak?” Shima makin mengintrogasi Arjun dengan mata penuh penasaran.

“Kakak tingkat aku, Ma,” balas Arjun sekenanya. Ia menghabiskan satu suapan terakhir dengan cepat karena tak sudah tak nyaman dengan pertanyaan-pertanyaan yang tertuju padanya.

“Kok kamu nggak pernah cerita kalau akrab sama anak tetangga depan?”

“Nggak akrab. Cuma kenal.”

“Ya sudah. Bagus kalau gitu.”

Arjun sebenarnya tak terlalu minat dengan topik ini, tapi sahutan mamanya membuat dahinya berkerut.

“Kok bagus? Emangnya kenapa kalau aku akrab sama Kak Mawar?”

“Kamu tahu sendiri kan kalau ibunya galak. Permasalahan keluarganya juga rumit. Better kamu jangan deket-deket sama dia karena nanti ikut kena imbasnya.” Shima meneguk sedikit air, sebelum kembali berkata, “Gimana kalau dia jadi sering minta bantuan kamu? Terus ngutang banyak? Hayooo.”

“Apa sih, Ma ….”

Arjun bangkit dari meja makan sambil membawa piring kotornya ke wastafel. Selama mencuci piring, ia masih tak habis pikir dengan pola pikir mamanya. Membicarakan masalah orang lain, lalu melarangnya untuk berteman dengan seseorang karena memiliki hidup yang berat adalah perintah yang aneh. 

“Yuk, Dek. Kita berangkat.”

Arjun kembali ke ruang makan untuk mengambil tas dan memanggil Airin.

“Ih, bentar!!! Belum beres makan.” 

Arjun berdecak. Ia tahu kalau Airin sudah menghabiskan makanannya dari tadi, tapi malah mengambil sepotong ayam goreng lagi untuk digadoin.

“Udah jam segini,  entar lo telat.”

“Iya! Iya!”

Airin akhirnya berdiri dengan tak rela. Ia membawa piring kotornya dan mencuci tangan secepat mungkin.

“Kok nggak dicuci sih piringnya?” protes Arjun.

“Kan Kakak yang buru-buruin! Udahlah nanti aja!” Airin mendorong punggung Arjun agar terus berjalan keluar.

“Ma! Kita berangkat dulu!” pamit Airin sambil berteriak nyaring. 

Arjun langsung membekap mulutnya. “Jangan teriak! Papa masih tidur!”

“Oh iya, iya. Hehehe! Sowrryy!”

Airin hanya tergelak, sedangkan Arjun menggeleng heran. Padahal jelas-jelas dia yang tadi menyambut ayahnya pulang kerja karena shift malam, bahkan mengantarnya ke kamar juga. Tapi masih suka kelepasan berteriak di rumah.

Tidak gampang memang menghadapi remaja. Arjun sering sakit kepala karena tingkah Airin yang selalu ajaib. Contoh lainnya lagi seperti saat ini. Bisa-bisanya Airin menepuk bahunya dengan kencang setelah naik motor dan berseru, “Kak, kating lo abis nangis tuh.”

Suara Airin yang tak terdengar rendah sama sekali membuat Arjun kelimpungan. Apalagi saat Airin menunjuk-nunjuk ke arah Mawar yang tengah melihat mereka.

“Hush! Buruan!”

Tanpa menunggu Airin berpegangan, Arjun sudah menggas motornya dengan cepat. Membuahkan pekikan Airin yang makin membahana sampai ujung gang.

“Kak Arjun! Pelan-pelan woiiii!!!!”

Arjun merelakan punggungnya yang sudah menjadi samsak Airin. Baginya, ini lebih baik daripada bersitatap dengan Mawar. Ia tak mau lagi membuat mereka berada di posisi yang canggung dan memalukan. Setelah mendengar cerita dari mamanya, ia jadi makin takut menjadi beban tambahan dalam hidup Mawar.

***

Hal paling menyebalkan saat perkuliahan itu kelas yang tiba-tiba dibatalkan. Padahal ia sudah memaksa diri bangun pagi dan bersiap-siap. Ditambah, kelas berikutnya baru dimulai siang hari. Masih ada lima jam sebelum kelas lainnya. Arjun biasanya akan kembali ke kos dan lanjut molor, tapi karena ia sudah tidak kos sendirian, pulang jadi pilihan terakhir. 

Mamanya pasti mengomel kalau ia pulang hanya untuk tidur. Ia juga tak mau bilang kalau semalaman begadang karena mengerjakan tugas sehingga ia butuh tidur. Karena begadang sampai pagi juga kegiatan terlarang di rumahnya. Kesehatan nomor satu. Itu adalah prinsip keluarga yang selalu diagungkan. Bagus memang. Sangat bagus malah. Namun, cukup mengekang untuk Arjun dan Airin. Mereka bahkan pernah dihukum tak dapat uang saku karena ketahuan makan mi instan tengah malam.

“Itu siapa sih? Berisik banget.”

Lantai tiga perpustakaan menjadi tujuan utama Arjun kali ini. Ia ingin beristirahat sambil menunggu kelas selanjutnya, tapi suara dengkuran dan bisikan-bisikan dari mahasiswi lain membuatnya terhenti.

Memang bukan rahasia umum kalau perpustakaan bisa jadi tempat tidur selain belajar. Ia ingin acuh saja dan mengabaikannya, tapi langkahnya jadi kaku saat menyadari kalau pemilik suara dengkuran itu adalah tetangga barunya.

“Kita laporin ke penjaga perpus aja yuk.”

“Yuk ….”

Dua perempuan itu tersentak saat Arjun memotong jalannya. 

“Udah saya laporin,” ucap Arjun, tiba-tiba.

“Eh?”

“Udah saya laporin. Kalian lanjut baca aja.”

Mereka berdua saling pandang untuk sesaat, lalu mengangguk.“Oh… oke. Thanks.”

Arjun masih memperhatikan mereka yang kembali duduk dengan bersungut-sungut. Hingga akhirnya memilih pindah tempat duduk yang lebih jauh dari keberadaan Mawar. Memang masih banyak bangku kosong di perpustakaan karena hari masih pagi, tetapi ia lebih memilih menarik kursi yang berada di sebelah Mawar.

Keinginannya untuk tidur sudah hilang. Ia lebih tertarik mengawasi Mawar yang tidur telungkup di meja dengan berbantal berkas skripsinya. 

“Semalem nggak tidur lagi deh kayaknya,” gumamnya.

Arjun tahu kalau kamar mereka sama-sama berada di lantai dua dan saling berhadapan. Oleh karena itu, ia juga tahu kebiasaan Mawar yang sering begadang. Biasanya di jam satu dini hari Mawar akan membuka jendela, lalu membawa laptopnya dan duduk di balkon. Pemandangan itu cukup membuatnya hampir jantungan saat ia ingin keluar  untuk merokok karena tak bisa tidur.

Keesokan malamnya, Mawar juga melakukan rutinitas yang sama. Arjun sampai keheranan apa perempuan itu tak masuk angin karena terlalu sering berada di luar ruangan dalam kurung waktu yang cukup lama. Belum lagi kesan horor karena lampu-lampu di rumah sudah mati dan tersisa lampu jalan saja. Pokoknya, karena Mawar yang selalu di balkon tengah malam membuat Arjun jadi tak bisa merokok dengan leluasa. Padahal kesempatannya merokok di rumah hanya saat orang tuanya sudah lelap dan harus di balkon agar tak ada sisa asap.

“Eung.” 

Mawar berganti posisi. Kini wajahnya menghadap ke kanan, ke arah Arjun yang masih duduk tegak di sebelahnya. Lingkaran hitam dan sembab di mata Mawar sangat menunjukkan betapa kacau dirinya. Membuat Arjun kembali menyimpan rasa simpati.

“Siapa sih yang ngorok keras banget ini?”

Sayup-sayup suara gerutuan membuat Arjun tersentak. Ia ingin membangunkan Mawar, tapi bingung bagaimana caranya. Bisa-bisa Mawar kembali marah kepadanya karena mereka harus berinteraksi di keadaan yang canggung. 

“Itu … orang yang duduk di paling pojok.”

Dalam waktu dekat pasti ada yang menegur Mawar, jadi Arjun bergerak cepat menepuk punggung Mawar keras-keras sampai dia terbangun.

“Aduh! Sakit banget!”

Tepat saat Mawar membuka mata, Arjun sudah menelungkupkan kepalanya ke meja dengan mulut menganga dan mendengkur keras. Mawar masih terkejut dengan tepukan misterius di punggungnya, ditambah pemandangan Arjun yang tidur di sebelahnya dengan pulas. Ia belum memproses semuanya sampai seorang perempuan berkacamata datang dan menepuk-nepuk bahu Arjun.

“Eh? Kenapa ya?” Arjun mengucek matanya. Ia berusaha sebaik mungkin mempertahankan aktingnya sebagai orang baru bangun tidur. 

“Kamu kalau tidur tuh jangan di perpustakaan. Ini tempat belajar. Banyak yang terganggu.” 

Layaknya orang merasa sungkan dan bersalah, Arjun mengangguk-angguk dengan wajah melasnya saat mendapat teguran.

“Iya, maaf. Maaf. Nggak akan saya ulangi.”

Arjun masih terus merepetisi maafnya sampai orang itu melengos pergi. Ia baru menoleh kepada Mawar saat bahunya ditepuk.

“Kamu yang mukul punggung saya ya?” tanya Mawar.

Arjun menggeleng cepat. “Enggak! Kan kamu lihat sendiri saya tadi tidur.”

“Terus siapa—”

“Punggung saya tadi juga ditepuk kok! Mungkin ada yang kesel karena kita tidur di perpus.”

“Ck! Padahal kan bisa bilang baik-baik. Nggak perlu mukul juga.” Tangan Mawar masih kesusahan untuk mengelus area punggung. 

“Hantu …. mungkin?”

Arjun langsung menutup mulut saat mendapat lirikan tahan dari Mawar. Memang ucapannya sangat bodoh, tapi ia sudah buntu harus bagaimana demi menutupi bahwa dirinya tersangka pemukulan itu.

“Mau kemana, Kak?” 

Bibir bawahnya kembali digigit karena melempar pertanyaan spontan kepada Mawar yang baru beranjak. Mawar menaikkan satu alisnya, keheranan.

“Saya mau kemana juga apa urusannya sama kamu?”

Tak pernah sekalipun Mawar menunjukkan wajah ramah di depan Arjun. Di setiap pertemuan mereka, ia lebih banyak emosi. Tanpa sadar ia sudah menandai Arjun sebagai orang menyebalkan sejak dia memarahinya di lobi fakultas. 

“Dia yang tidur sambil ngorok tadi, kan?”

Mawar sengaja pindah tempat duduk untuk menjauhi Arjun. Ia ingin kembali melanjutkan acara tidurnya, tetapi bisik-bisik yang cukup jelas dari dua mahasiswa yang duduk dua kursi darinya membuat ia tetap duduk tegak.

“Iya. Bener.”

“Tapi tadi aku lihat yang kena marah malah cowoknya.”

“Hah? Kok bisa?”

“Dia pura-pura tidur sambil ngorok biar ceweknya nggak dimarahin kali.”

“Anjir! So sweet amat!”

Sweet sih, tapi resek juga ni couple. Bisa-bisanya nge-date tidur bareng di perpus.”

Mawar tak tahan untuk terus berpura-pura tak mendengar bisikan itu saat mereka mengatakan ia dan Arjun adalah pasangan. Wajahnya jelas menunjukkan ketidaknyamanan kepada mereka hingga mereka tutup mulut dan segera melesat pergi. 

Rencananya, Mawar ingin kembali tidur. Namun, ia tak kunjung lelap meski sudah sepuluh menit ia menelungkupkan kepala ke atas meja. Pembicaraan yang ia curi dengar tadi sangat mengusik hingga kepalanya hanya dipenuhi dengan Arjun daripada keinginan untuk tidur.

“Apa jangan-jangan dia yang tadi mukul punggung biar aku bangun? Biar … dia yang dimarahin? Tapi, kenapa? Kenapa dia rela dimarahin buat nyelametin aku? Apa karena perasaan bersalah yang dulu belum selesai?”

Pertanyaan-pertanyaan itu mengganggunya. Persis seperti senyum Arjun yang tak sengaja ia lihat di sudut perpustakaan. 

***




 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
JURANG
1015      502     5     
Short Story
Adikku memang orang yang aneh. Adikku selalu beri pertanda aneh untuk kehidupanku. Hidupku untuk siapa? Untuk adikku atau calon suamiku tercinta?
Ansos and Kokuhaku
3517      1142     9     
Romance
Kehidupan ansos, ketika seorang ditanyai bagaimana kehidupan seorang ansos, pasti akan menjawab; Suram, tak memiliki teman, sangat menyedihkan, dan lain-lain. Tentu saja kata-kata itu sering kali di dengar dari mulut masyarakat, ya kan. Bukankah itu sangat membosankan. Kalau begitu, pernah kah kalian mendengar kehidupan ansos yang satu ini... Kiki yang seorang remaja laki-laki, yang belu...
Mengejarmu lewat mimpi
2188      874     2     
Fantasy
Saat aku jatuh cinta padamu di mimpiku. Ya,hanya di mimpiku.
MY MERMAN.
617      457     1     
Short Story
Apakah yang akan terjadi jika seorang manusia dan seorang duyung saling jatuh cinta?
Aldi: Suara Hati untuk Aldi
382      278     1     
Short Story
Suara hati Raina untuk pembaca yang lebih ditujukan untuk Aldi, cowok yang telah lama pergi dari kehidupannya
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3149      1170     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Monday
310      242     0     
Romance
Apa salah Refaya sehingga dia harus berada dalam satu kelas yang sama dengan mantan pacar satu-satunya, bahkan duduk bersebelahan? Apakah memang Tuhan memberikan jalan untuk memperbaiki hubungan? Ah, sepertinya malah memperparah keadaan. Hari Senin selalu menjadi awal dari cerita Refaya.
Secuil Senyum Gadis Kampung Belakang
468      358     0     
Short Story
Senyumnya begitu indah dan tak terganti. Begitu indahnya hingga tak bisa hilang dalam memoriku. Sayang aku belum bernai menemuinya dan bertanya siapa namanya.
AKSARA
6552      2225     3     
Romance
"Aksa, hidupmu masih panjang. Jangan terpaku pada duka yang menyakitkan. Tetaplah melangkah meski itu sulit. Tetaplah menjadi Aksa yang begitu aku cintai. Meski tempat kita nanti berbeda, aku tetap mencintai dan berdoa untukmu. Jangan bersedih, Aksa, ingatlah cintaku di atas sana tak akan pernah habis untukmu. Sebab, kamu adalah seseorang yang pertama dan terakhir yang menduduki singgasana hatiku...
MASIHKAH AKU DI HATIMU?
682      457     2     
Short Story
Masih dengan Rasa yang Sama