Akhirnya menemukan info kontrakan dari facebook. Suami coba chat, terus langsung kita survey, yang ternyata lokasinya tidak begitu jauh dari rumaah mertua. Kalau untuk ke tempat kerja suami menjadi lebih sedikit dekat. Rumahnya tipe rumah petak, sembilan rumah. Dan waktu itu yang kosong nomor dua. Harga perbulannya tujuh ratus lima puluh ribu belum listrik dan air. Suami bilang bismillah nekat mantep untuk mandiri. Dan ya kita putuskan untuk mandiri keluar dari rumah mertuaku. Awalnya sih pasti di kira ada apa-apa terlebih oleh tetangga, yang mana suami anak tunggal. Kenapa juga harus kontrak, emang tidak bisa ya momong mertuanya. Banyak banget sliweran ucapan - ucapan entah tetangga atau keluarga. Tetapi suami mantap ingin mencoba mandiri. Membesarkan anak - anak fokus benar - benar parenting berdua. Harga kontrakan perbulan seperti yang sudah aku jelaskan diatas itu sudah bonus kasur. Jadi kita bawa dari rumah mertua itu kompor gas karena dulu yang beli suami, sama beberapa peralatan dapur saja. Awal kontrak ya cuma punya kompor gas itu. Nasi masih beli dalam seminggu karena belum punya magic com. Baju - baju ditaruh di kardus karena memang belum lemari. Sebenarnya ada lemari plastik dirumah mertua yang dulunya aku bawa dari rumah awal nikah, tetapi tidak kita bawa. Setelah seminggu kita beli magic com, beli sapu dan perlengkapan dapur sedikit - sedikit. Lima bulan kontrak nambah bisa beli lemari plastik untuk baju - baju dan suami. Beli keranjang dan box container untuk baju - baju anak. Selanjutnya Alhamdulillah bisa beli kulkas. Tetapi lama - lama ya kita diuji di ekonomi. Kebutuhan anak masih pakai pampers semua, yang kerja hanya suami. Ekonomi mulai di uji, pernah beberapa kali mengalami beras habis, gas habis, pampers habis. Aku yang dari dulu dari jaman belum menikah itu sudah menerapkan tidak pernah yang namanya hutang. Pada akhirnya aku berada pada titik mau tidak mau, malu tidak malu karena mendesak harus memenuhi kebutuhan, akhirnya sampai pinjam uang ke teman dekatku. Temanku awalnya sampai bertanya ini beneran kamu kan? Takutnya nomor ku di hack disalahgunakan orang lain untuk pinjam uang. Aku pun menjelaskan bahwa benar memang aku, aku jelaskan kondisi ku aku kontrak dan kondisi keuangan benar - benar lagi diuji. Dia pun akhirnya meminjamiku uang. Tidak banyak yang aku pinjam hanya seratus ribu dan ketika suami ku gajian aku bayar. Bahkan sempat waktu aku pinjam yang kedua kalinya temanku bilang tidak usah dikembalikan untuk jajan anak - anak saja katanya. Aku merasa berterima kasih ketemenku itu, tetapi aku sedih. Aku bahkan sering marah - marah tidak jelas ke suami karena kondisi ekonomi kita yang benar - benar diuji. Kadang aku jadi membandingkan hidupku dengan orang lain, dengan mantannya suami yang si N itu, aku membandingkan hidupku dengannya, dia yang menikah sudah ada rumah sendiri suaminya. Ya walau hasil bukan sama -sama dari nol dengan suaminya sih ya, dari mertuanya alias orangtua suaminya. Padahal kata orang Jawa "Wang Sinawang" dilihat dari luarnya saja terlihat enak, padahal tetap yang namanya rumah tangga itu ada ujiannya masing - masing, hanya saja pada pintar menyembunyikannya, yang terlihat di sosial media itu hanya yang indah - indah yang diperlihatkan. Betul sih si N itu mungkin memang dapat keluarga suami yang baik, mertua adik ipar terlihat baik, tetapi ujiannya di anak yang qodarullah special. Kemarin aku nemuin kata - kata dari akun instagram Fotografer Mas Oky Arisandi.
"Memang benar di sosial media semua tampak bahagia. Bahkan kesedihan di filter agar estetika. Hidup tampak damai. Penuh warna. Padahal kenyataan hidup lebih banyak disimpan di galeri kedua"
Relate banget sih kata - kata itu. Semua orang, semua rumah tangga punya porsi ujiannya masing - masing. Alhamdulillah aku memang mendapatkan suami yang baik, pengertian, sabar ternyata letak ujiannya di ekonomi, kita belum punya rumah sendiri dan ngontrak.
Ada temanku yang di sosial media waktu itu terlihat baik - baik harmonis sekali dengan keluarganya tiap weekend liburan makan - makan enak dimana cafe, tahu - tahu usia pernikahan sepuluh tahun berpisah.
Semua ada porsi ujiannya masing - masing.
Pernah berada dimana tidak punya apa - apa untuk dimakan. Pernah ada nasi tidak ada lauk, aku sampai makan dengan garam. Pernah juga cuma punya mie, gas habis akhirnya digadoin. Sambil nangis. Apalagi kalau pas anak makan tidak punya apa - apa, rasanya udah paling menderita sedunia. Berkali - kali kita rasakan tidak bisa makan. Dan itu kita hadapi berdua, orang lain tidak ada yang tahu. Bahkan teman dekatku pun belum pernah aku ceritakan semenderitanya aku belajar mandiri dalam rumah tangga.
Beras, minyak jajan anak, kebutuhan kamar mandi seperti sabun terkadang suami ambil koperasi yang kerjasama sama perusahaan tempat dia bekerja, jadi di potong gaji bulan depan.
Pernah kita nyoba bungkusin camilan -camilan dan nitip jual ke tukang sayur dan warung - warung, untung walau cuma dikit sekali. Berjalan hanya sebentar padahal sudah beli alat pressnya juga untuk kemasannya agar awet. Nasi sisa dimagic com yang kering kita jemur, dibeli temannya suami yang punya hewan peliharaan entok, untuk tambahan makan entok tersebut. Lumayan perkg nya 5000. Bisa kumpul dua puluh ribu bisa buat beli gas atau pampers anak ecer.
Berumah tangga dan mandiri itu sangat tidak mudah. Kadang emang iri kalau lihat yang sudah punya rumah sendiri, bahkan masih dapat jatah uang jajan dari orangtuanya. Kalau kita benar - benar perintis walau punya warisan. Keluarga ku ada warisan tetapi belum dibagi dan entah kapan akan dibaginya. Yang dari peninggalan Bapakku banyak,manusiawi sekali kan kalau berharap. Mengharapkan itu setidaknya aku bisa buat rumah, tetapi sampai detik ini pun belum dibagikan, aku sebagai ahli waris terkecil tidak berani menanyakan ke Mbakku tiri, dia yang megang semua berkas - berkas warisan Bapak.
Aku yang terlalu berharap akan warisan tersebut seringkali membuat ku jadi mudah marah ke suami ketika kondisi lagi tidak punya uang dan kebutuhan dirumah habis. Beberapa kali aku ingi mengakhiri hidupku, aku ingin ikut bapakku.
"Kenapa hidupku dari dulu rasanya sulit, aku ingin punya motor sendiri harus kerja keras. Sekarang ingin punya rumah sendiri juga rasanya sangat benar - benar sulit seperti tidak ada jalan.
Aku sampai beberapa kali menyiksa anakku, ku kurung di kamar mandi, aku cubit sampai nangis kejer, pernah rasanya ingin ku bunuh juga mereka berdua. Sampai suami bilang istighfar.
Pada saat awal - awal kontrak rumah memang rasanya aku down sekali, ujian ekonomi benar - benar diuji serendah - rendahnya. Aku capek, aku putus asa, aku depresi. Tidak ada yang bisa ku mintai tolong masalah keuangan. Mbak ku kandung yang pertama yang tinggal diSemarang suaminya kerja pasang - pasang listrik, mbakku sendiri penjahit, anaknya satu SMA sekarang. Bahkan dari awal nikah sampai sekarang dia belum punya rumah sendiri jadi satu dengan mertua dan keluarga adik iparnya yang banyak banget. Untuk mbakku nomor dua anaknya satu masih SD tidak bekerja menemani ibu dan paklik dirumah, makan dengan jual hasil panen di kebun. Suaminya mbakku ini sudah meninggal ketika anaknya TK. Untuk sekolah anaknya biasanya dapat santunan kalau dihari sepuluh suro. Jadi keluargaku itu Bapak Ibu ada dapat warisan semua, tetap sama belum dibagikan semua. Kalau yang pihak dari ibu. Warisan tidak ada yang boleh di jual padahal punya asetnya tidak hanya satu, padahal kita yang muda mikirnya jual salah satu biar anak - anaknya bisa pada buat rumah gitu dan usaha. Tetapi tidak boleh, pikirannya pada tidak maju.
Jadi ya gitu kalau tidak pada kerja yang begitu keras rasanya susah sekali untuk mewujudkan punya rumah. Tidak ada yang bisa membantu.
Dulu rasanya ketika capek kerja, capek dengan semua. Ah ingin nikah saja biar ada yang menafkahi. Tetapi ternyata setelah menikah tidak seindah yang kita bayangkan ketika dulu. Menikah itu naik level, naik level permasalahan hidup.
Aku menikah dengan suami yang Alhamdulillah sejauh ini dia baik, sholat lima waktunya rajin, sholat sunah dan tahajud, tiap habis sholat sering ngaji, tidak merokok, sabar, pengertian, tidak pernah membentakku sedikit pun. Dan letak ujiannya pernikahan kita di ekonomi yang luar biasa diuji sampai titik terendah rasanya.
"Surga dunia dalam berumah tangga itu bisa tinggal sendiri bersama suami dan anak - anak. Bukan karena orang tua atau mertua jahat, tetapi memang lebih nyaman bisa menciptakan istana sendiri dengan aturan sesuai dengan keinginan kita sendiri bersama anak - anak dan suami. Walau hanya sebuah rumah kecil sederhana atau sekedar kontrak atau kos nikmat nyamannta bagi orang berumah tangga memang MasyaAllah banget.
Menjadi cucu, ahli waris dari seseorang yang terkenal kaya raya, sampai ada yang bilang mbah kamu dulu itu kayak sultan, karena paling kaya se desa. Tetapi faktanya aku tidak pernah merasakan kekayaan tersebut. Ketika ke makam Bapak bertemu tetangga - tetangga Bapak selalu di tanya, jadinya dapat bagian yang mana? Sebegitu terkenalnya Kakung ku warisannya. Dan selalu ku jawab sama sekali belum dapat apa - apa.