Laboratorium Fitokimia Farmasi terletak di lantai dua gedung lama yang masih mempertahankan desain arsitektur klasik kampus. Dari luar, tidak ada yang terlalu mencolok, tapi begitu pintu dibuka, aroma khas langsung menyeruak: campuran etanol, kloroform, dan wangi samar dari simplisia kering yang tersimpan dalam deretan stoples kaca di rak-rak tinggi.
Di dalamnya, laboratorium tampak cukup luas tapi padat dengan peralatan. Meja-meja panjang dari bahan keramik tahan panas tersusun berjajar, masing-masing dilengkapi dengan keran air. Di satu sisi ruangan, ada lemari asam dengan kaca tebal dan kipas penghisap, tempat percobaan dengan bahan kimia berbahaya biasa dilakukan. Tak jauh dari situ, lemari pendingin khusus menyimpan ekstrak tumbuhan yang sudah dikumpulkan dari berbagai praktikum atau penelitian. Terdapat rak-rak logam berisi botol-botol reagen bertuliskan label ilmiah: HCl, NaOH, Etanol 96%, dan banyak lagi. Di ruangan lain, satu meja memamerkan alat-alat analisis seperti spektrofotometer UV-Vis dan Kromatografi Lapis Tipis (KLT), yang sering digunakan untuk uji kandungan senyawa aktif pada ekstrak tanaman.
Suara mesin pendingin ruangan berdengung pelan, berpadu dengan suara gemericik air dari keran yang kadang lupa ditutup rapat. Sesekali terdengar bunyi centang dari gelas ukur, atau suara bisik-bisik mahasiswa yang bekerja, mencatat hasil ekstraksi atau menimbang simplisia kering.
Pagi itu, Kirana sudah sibuk di salah satu meja, mengenakan jas lab, masker, dan hand scoon. Di hadapannya ada timbangan digital, blender kecil, dan stoples besar berisi daun kering berwarna cokelat kehijauan.
“6,5 kilo daun basah jadi cuma segini,” gumamnya, menimbang ulang simplisia yang tinggal 750 gram. Ia mulai memblender daun itu, lalu menyaringnya lewat ayakan mesh 40 agar ukuran partikelnya homogen sehingga memudahkan proses ekstraksi.
Dirga duduk di seberang Kirana. Ia kelihatan nyaman di sana sambil membaca ulang tesis miliknya. “Aku lagi nunggu bimbingan, kok. Nggak perlu merasa terganggu,” kilahnya tadi saat ekspresi Kirana mempertanyakan keberadaannya di lab ini.
Kehadirannya jelas mengusik Kirana mengingat kesalahpahaman kemarin. Malunya masih terasa sekali. Apalagi Dirga duduk tidak jauh dari Kirana. Walau sambil konsentrasi membaca, ternyata ia juga cukup memperhatikan gerak-gerik Kirana.
“Aku bantu, ya,” ucap Dirga saat Kirana tampak kesulitan menuang etanol ke gelas ukur besar.
“Nggak apa-apa, aku bisa sendiri,” ujar Kirana pelan, tapi Dirga sudah lebih dulu mengambil alih sebagian alat.
Dengan sigap, ia membantu mengukur etanol 96% sebanyak sekitar 1.458 ml dan menuangkannya ke beaker glass besar. Kirana menambahkan aquades sekitar 542 ml dan mengaduknya hingga merata untuk membuat etanol dengan konsentrasi 70% sebanyak 2 liter
“Kamu nggak ekstraksi semua serbuknya?” tanya Dirga, memperhatikan catatan Kirana. Ia mengamati Kirana menuang 200 gram serbuk ke dalam botol kaca besar, lalu menambahkan 1.400 ml etanol 70% perlahan. Ia mengaduk campuran itu dengan hati-hati. Sisa etanol Kirana pindahkan ke wadah terutup dan diberi label nama larutan beserta namanya.
“Nggak. Belajar dari kesalahan sebelumnya. Segini aja cukup. Hemat pelarut juga.”
“Dan hemat waktu juga nanti pas penguapan,” tambah Dirga sambil mengangguk. “Pakai rotary evaporator, kan?”
“Tapi aku sengaja ambil daun cukup dan buat simplisia cukup banyak siapa tahu ‘gagal’ lagi.”
Dirga mengangguk-angguk. “Aku tadi baca proposal penelitianmu, Kirana. Kamu nggak ada niat ngurangin variabel penelitian?”
“Maksudnya?” Kirana menutup wadah kaca berisi campuran serbuk simplisia dan etanol dengan plastik hitam, kemudian menyimpannya di lemari di bawah meja agar proses ekstraksi berjalan maksimal serta terhindar dari cahaya matahari langsung.
“Menurutku, kalau kamu mau tahu efek toksisitas subkronik terhadap hati dan ginjal cukup sampai uji SGPT dan kreatinin dari darah aja. Kalaupun memang harus banget sampai histopalogi segala, kamu bisa tawar ke Bu Ratna dan Bu Desi untuk ambil dua aja dari masing-masing perlakuan. Buat preparat histopatologi itu biayanya besar, waktunya lama. Antreanya juga panjang di lab patologi anatomi FK sana.”
Kirana mendengarkan dengan seksama. Histopatologi itu usul dari Pak Bima atas masukan Vania yang dipaksakan harus Kirana terima. Untuk Kirana yang sedang diburu waktu dan menghemat biaya, usulan Dirga memang patut untuk disampaikan ke dosen pembimbing.
“Aku duluan, ya. Dosbingku udah nyampe,” kata Dirga. Terlihat dosen pembimbing tesis Dirga, Pak Handono masuk ke ruang kepala lab Fitokimia.
“Beneran mau bimbingan ternyata,” gumam Kirana sambil membereskan alat-alat lab yang ia pakai.
Selanjutnya ia tinggal melakukan pengadukan campuran tadi 3 kali sehari selama 5 hari. Disaring dan diperas untuk mendapat maserat kemudian ampasnya direndam lagi dengan sisa pelarut selama 2 hari, disaring dan digabung dengan maserat pertama. Maserat dikentalkan menggunakan rotary evaporator untuk menghasilkan ekstrak kental yang siap Kirana pakai ke hewan uji.
Sambil menunggu, untuk menghemat waktu Kirana sudah berencana untuk mengondisikan hewan uji pendahuluan agar nanti saat ekstrak siap, pengujian awal bisa langsung dilakukan.
“Kalau mau terhindar dari manipulasi Vania, kamu pakai lab Biofarmasi aja jangan Farmakologi. Alat-alat yang kamu butuh ada di sana. Hewan uji juga bisa kamu simpan di dalam lab. Temanku Hardi aslab di sana, dia bisa bantu kondisikan,” usul Dirga tempo hari saat Kirana mencetak surat izin penggunaan lab.
Kirana ingin bertanya lebih jauh, kenapa Dirga berkata seperti itu tentang Vania, tapi ia urungkan. Kirana hanya malas berurusan dengan hal yang berkaitan dengan Vania lebih jauh. Tidak penting. Kirana tidak punya waktu untuk hal lain selain skripsinya.
Ponsel Kirana bergetar sesaat setelah ia membereskan alat lab. Saat hendak menyimpan jas labnya di tas, Kirana tertegun membaca pesan anonim yang masuk ke e-mail.
[Kamu nggak niat balas dendam, Kirana?]
Begitu isi pesan di badan e-mail dan sebuah file attachment berupa video.
Penasaran, Kirana membuka video tersebut. Baru di sepuluh detik pertama, Kirana tidak berniat melanjutkan. Ia langsung menghapus pesan itu dan memblokir akun pengirim.
Kirana membereskan barang-barangnya. Sudah ada janji bimbingan dengan Bu Ratna siang ini, dan Bu Desi di sore harinya. Usulan Dirga tadi ingin coba Kirana utarakan. Jadwal Kirana padat. Ia benar-benar tidak mau ambil pusing hal lain. Walau video barusan tentu saja mengganggu pikirannya.
Siapa pengirimnya?
Apa motifnya?
Dari sudut lain tampak seseorang tersenyum penuh arti melihat foto yang dari tadi ia ambil. Foto Dirga membantu Kirana.Ia berpikir, kalau foto ini dikirim ke Vania, kira-kira apa reaksinya?
Ia terkekeh. Menikmati sudut pandang orang ketiga yang seolah mengetahui segalanya.
***
Vania menggigiti kukunya lagi. Dia resah mendapat kabar Kirana sudah selangkah lebih maju untuk menyelesaikan skirpsinya. Vania pikir Kirana akan sepenuhnya jatuh dilihat dari pertemuan mereka terakhir kali di kantin kampus. Siapa sangka, Kirana malah berani menemui dekan dan urusannya jadi lancar.
“Enggak bisa dibiarin!” Vania menyesap lemon squash dengan terburu. Ia berupaya mengatur napasnya. Apalagi menurut laporan salah staf administrasi—orang kepercayaan papanya—Dirga ada bersama Kirana saat mengurus pemberkasan penggunaan lab.
Pesan anonim yang baru Vania dapat juga makin menyulut emosinya. Nomor tidak dikenal, mengirimkan foto Dirga membantu Kirana di Lab Fitokimia.
[They’re getting more close day by day. Cemburu? Bertindak, dong!]
Takarir menyertai foto memprovokasi. Vania bingung pesan itu dari siapa, tapi ia lebih konsen dengan foto yang menyertainya.
Ia menatap sosok dirinya yang tampak anggun di pantulan cermin, duduk rapi di kafe fancy dekat dengan apotek tempat Vania PKP. Unggahannya barusan di media sosial, walau hanya foto estetik laptop dan camilan mahal di meja, tapi langsung mendapat ribuan likes dalam hitungan detik.
Andai saja menghancurkan Kirana sepenuhnya semudah mengunggah sesuatu di media sosial, pikir Vania. Namun, bagi Vania Kirana seperti kecoak yang susah dihabisi, diinjak masih sanggup bangkit lagi, disemprot insektisida tidak langsung mati. Seperti kecoak yang lebih cepat mati kalau tubuhnya dibalik, apalagi yang harus Vania lakukan untuk “membalik” posisi Kirana?
Vania menghentak-hentakkan jemarinya di meja, berpikir lebih keras. Masalahnya Kirana memakai lab Biofarmasi untuk perlakuan hewan ujinya. Salah satu laboratorium di mana kuasa Vania dan papanya tidak berlaku. Ia menarik napas panjang, matanya menyapu layar ponsel yang berpendar. Lalu ia tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip kalkulasi daripada kebahagiaan.
Tangannya membuka daftar kontak, lalu menggulir ke bawah dan mengetuk nama Hardi. Vania tahu memanfaatkan perasaan mungkin tampak kejam, tapi ini juga bukan pertama kalinya. Banyak laki-laki yang rela melakukan apa saja permintaan Vania selama ini, untuk mendapat sedikit atensinya.
Pesan singkat diketik cepat, ringan seolah ajakan biasa.
[Lagi di lab? Bisa ketemu bentar? Ada yang mau aku omongin. 😊]
Tak sampai lima menit, balasan datang:
[Bisa, Van. Di kafe kampus atau kamu ke ruang staf?]
Vania memiringkan kepalanya, mempertimbangkan sejenak sebelum membalas:
["Ke sini aja. Aku di Kafe UpRight, duduk dekat jendela.]
Disertai sebuah foto mirror selfie dirinya.
Hardi datang dengan langkah cepat dan sedikit canggung. Kemeja kerjanya rapi, tapi ada sisa noda kecil di ujung lengannya, jejak aktivitas di laboratorium. Usianya dua tahun lebih tua dari Vania, kini tengah menempuh program S-2 sambil menjadi asisten di lab Biofarmasi. Meski begitu, ekspresinya masih menunjukkan gugup saat berhadapan langsung dengan Vania.
“Ada apa, Van?” sapanya sambil menarik kursi.
Vania menyambut dengan senyum ramah yang penuh perhitungan. “Santai aja, Mas. Cuma pengin ngobrol sebentar.”
Hardi mengangguk perlahan. Vania memainkan sedotan lemon squash-nya, matanya melirik ke luar jendela sebentar sebelum kembali fokus ke Hardi.
“Aku dengar Kirana udah dapet izin lab Biofarmasi, ya?” tanyanya santai, seolah tak memuat muatan apa-apa.
Hardi mengangguk kecil. “Iya, baru kemarin dia ajukan permohonan penggunaan ruangan dan kandang. Kayaknya minggu depan mulai persiapan hewan ujinya.”
Vania menatap ekspresi Hardi yang berusaha tetap netral. Tapi matanya cukup tajam untuk menangkap satu-dua hal yang tidak terucap.
“Kamu … kenal Kirana, kan? Kirana tuh tipe yang serius kalau kerja,” ujarnya dengan nada basa-basi.
Hardi menggeser gelas air mineralnya, tidak menjawab cepat. Vania tahu ia sedang menimbang. Dan dalam jeda itu, ia menyisipkan senyum kecil. Senyum yang tidak pernah benar-benar polos.
"Ya, cuma kenal sekadarnya," sahut Hardi akhirnya. "Anaknya kata orang-orang ... cukup fokus."
Vania mengangguk pelan. Lalu dengan gerak lambat, ia menyandarkan punggung, menyilangkan tangan, dan menatap Hardi lebih dalam. "Aku pengen kamu bantu sesuatu. Kecil kok, nggak berat." Ia berhenti sebentar, memastikan perhatian Hardi tertuju sepenuhnya padanya.
“Kamu nggak perlu ngapa-ngapain yang ribet, Mas. Mungkin nanti, pas hewan uji Kirana udah mulai dipakai, kamu bisa bantu tukar posisi mereka dari kandang satu ke yang lain. Yang dosis rendah sama yang tinggi misalnya.”
Hardi sontak menegakkan tubuh. “Van… itu kan—”
Vania langsung memotong.
“Aku tahu, aku tahu. Tapi kamu kan cuma mindahin mencit di kandang, bukan hal besar, nggak ada yang bakal curiga juga.”
Ia mendekat sedikit, menurunkan suaranya.
“Mas, aku tahu kamu orang baik. Tapi kamu juga tahu, Kirana itu cukup mengangguku. Lagian... kamu bantu aku sekali aja. Nggak akan ada yang tahu.”
Hardi menelan ludah. Wajahnya nyaris tak menunjukkan ekspresi, tapi ada gerak samar di rahangnya, seperti sedang menahan sesuatu. Ia tahu ini bukan permintaan yang wajar.
Vania tidak menekannya lebih jauh. Ia hanya memberi senyum manis, lalu berdiri sambil mengambil tas. “Pikirin aja. Aku percaya kamu bisa bantu. Sekali ini aja.”
Dan dengan langkah ringan, ia meninggalkan Hardi yang masih duduk terpaku, menatap penuh arti ke arah meja.
***
Kirana menghitung mencit jantan dengan berat 20-30 gram berumur 2-3 bulan. Jumlahnya tepat 12 ekor. Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (EEDKB) sudah selesai Kirana buat, dan hari ini uji pendahuluan pertama dilakukan.
Ia membagi mencit ke dalam 6 kandang berbeda. Kandang buatan sendiri yang terbuat dari stoples persegi panjang cukup besar yang bagian tutupnya dilobangi dan ditutup dengan kawat jarang-jarang untuk sirkulasi udara. Bagian dasar ‘kandang’ dialasi sekam padi, juga ada wadah tempat makanan—walau biasanya nanti akan berantakan— juga botol minum dengan pipa kecil yang diletakkan di sela-sela lobang kawat. Botol minum juga Kirana buat sendiri dari botok kaca bekas dan besi berlubang dari antena (seperti pipa besi) yang diposisikan miring sedemikian rupa di tutup botol agar air hanya keluar saat mencit menyedotnya.
Tidak lupa bagian ekornya ditandai dengan titik menggunakan spidol permanen agar tidak tertukar selama perlakuan dan pengamatan.
Kirana menyerahkan daftar alat yang akan dipinjam hari ini. Oral sonde, timbangan, mortal dan alu, corong, dan labu ukur.
“Ini daftar alatnya ya, Bang.” Kirana menyerahkannya ke Hardi.
Setelah hewan uji siap, sediaan uji dibuat dengan konsentrasi 6 %, ditimbang ekstrak kemudian dimasukkan ke dalam lumpang, dan ditambahkan CMC-Na 0,5 % digerus hingga merata. Sediaan uji EEDKB dimasukkan ke dalam labu ukur, dicukupkan dengan aquades hingga dicapai batas volume.
Mencit Kirana timbang satu per satu dan dicatat di tabel yang sudah Kirana siapkan. Para mencit mulai diberi EEDKB satu per satu secara oral. Ini bagian yang cukup sulit, sebab para mencit melakukan perlawanan saat ‘dipaksa’ menegak ekstrak.
“Kami titip mencit di lab ya, Har.” Dirga muncul tiba-tiba lagi.
Lama-lama Kirana berasumsi Dirga seperti pengangguran yang gabut nunggu jadwal sidang. Namun, ia juga terlalu sibuk dengan laptop atau berkasnya untuk disebut sebagai pengangguran tiap kali ‘menemani’ Kirana di lab. Kirana tidak lagi ‘mengusir’ halus, karena Dirga selalu membuat alasan yang logis.
“Pasti dia membantu sebagai kembaran Rayya.” Kirana mencoba meluruskan pikirannya, walau asumsi lain mulai berkembang di hatinya.
“Aku punya beberapa referensi terkait penelitianmu, mungkin berguna nanti pas masuk bab pembahasan.” Dirga meletakkan map berisi kumpulan jurnal di sisi tas ransel Kirana yang sedang melipat jas labnya. Jurnal yang sudah dikumpulkan Dirga berbulan-bulan.
Kirana membolak-balik lembaran jurnal itu. Matanya berbinar. Sekilas saja sudah bisa dilihat banyak sekali informasi berguna.
Dirga melihat Kirana sambil tersenyum tanpa sadar. Mata berbinar saat berbicara atau mendapati hal-hal menarik terkait dunia Farmasi itu yang menarik perhatian Dirga dari dulu.
“Makasih banyak, Dir ….” Kirana tercekat sejenak. Melihat senyuman di wajah Dirga membuat efek takikardia sesaat. “Ini sangat berguna.” Kirana buru-buru mengalihkan pandangannya lagi, memasukkan map berisi jurnal ke dalam ranselnya yang penuh.
Manusia normal mana yang nggak berdebar lihat senyum macam itu? Kirana berupaya merasionalkan pikirannya.
Lagi-lagi situasi canggung ini diselamatkan dengan getar ponsel. Kirana menggulir ponselnya, mendapati e-mail anonim dengan akun baru lagi untuk keempat kalinya. Isinya selalu berisi pesan tendensius ajakan balas dendam pada Vania disertai video.
[Kalau kamu dekat sama Dirga, Vania bisa makin panas. Serius nggak mau take revenge? Atau butuh bantuan?]
Kali ini disertai juga foto Kirana dan Dirga saat ini di dalam lab. Kirana refleks menoleh, orang aneh ini … ada di sekitar mereka.
Kali ini Kirana memutuskan membalas.
[Aku nggak punya waktu untuk itu. Banyak hal-hal yang bahkan tidak berharga untuk jadi objek balas dendam.]
Hitungan detik, e-mail itu dibalas lagi.
[Nggak punya waktu atau nggak punya nyali?]
Kirana berpikir sejenak sebelum membalas.
[Waktu atau nyaliku tidak kugunakan untuk hal pengecut seperti mengirim pesan anonim dan berharap orang lain bergerak seperti pion. Sebaiknya Anda berhenti, untuk rencana tidak baik apa pun yang sedang Anda plot. Karena hal baik atau tidak baik seperti bumerang, akan berbalik lagi ke pelakunya ]
Pesan terkirim, Kirana menekan tombol blokir dan delete.
“Ada apa?” Dirga menyadari perubahan mimik wajah Kirana saat melihat ponselnya barusan.
Kirana diam saja. Ia menunduk, sedang menimbang untuk memberi tahu Dirga atau tidak. Juga ada kecemasan di hatinya, orang aneh barusan juga punya potensi untuk menganggu penelitiannya. Merusak perjalanannya menyelesaikan skripsi yang akhir-akhir ini berjalan terlalu mulus.