Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Cahaya putih menembus kelopak matanya yang berat. Semuanya samar, dinding, langit-langit, bau alkohol medis yang tajam. Suara mesin monitor detak jantung berdetak pelan di sampingnya. Kirana mengerjap pelan, mencoba mengingat... sesuatu. Lalu tiba-tiba ….

“...Ayah?”

Ia panik. Menoleh cepat ke kanan dan kiri, meski tubuhnya terasa berat. Kakinya perih, dibalut perban dan digantung sedikit tinggi. Saat berusaha bangkit, rasa nyeri menyerang sekujur tubuhnya.

Seorang perawat segera menghampiri. “Kak, tolong jangan bergerak dulu ya. Kamu masih pemulihan.”

“Mana Ayah saya?” tanyanya, suaranya parau. “Bapak yang tadi bonceng saya… mana?”

Perawat itu diam. Matanya ikut redup. Ia menunduk, lalu perlahan meletakkan tangan di bahu Kirana.

“Maaf… Ayahmu... nggak tertolong. Kecelakaan semalam… beliau meninggal di tempat.”

Waktu berhenti.

Kirana terdiam. Tak ada air mata, tak ada jeritan. Hanya sunyi yang menggema di kepalanya. Suara perawat lenyap, suara monitor lenyap. Hanya satu kalimat berulang-ulang mengiris: Ayahmu nggak tertolong.

Ia tak tahu berapa lama dirinya duduk diam menatap langit-langit kamar rawat. Hujan semalam masih membekas di rambutnya yang kering sendiri. Dingin itu masih menempel. Tapi tidak sedingin yang bersarang di dadanya sekarang.

Karena ini semua… karena skripsi sialan itu…

Karena keinginannya untuk berjuang lebih keras, ia kehilangan orang yang paling ia sayangi. Yang tadi malam bilang, "Kita cari jalan keluar bareng-bareng." Tapi sekarang? Ia bahkan tidak bisa mengucapkan selamat tinggal.

“Kenapa harus Ayah?” bisiknya pelan, hampir tak bersuara.

Tangannya menggenggam kain sprei hingga buku-bukunya memutih. Di luar, langit masih kelabu, seolah ikut meratapi. Ia memejamkan mata, tapi justru semakin jelas bayangan malam itu. Motor tua mereka tergelincir, suara rem, lalu tubuhnya melayang sebelum semua jadi gelap.

Kirana menangis, tetapi tertahan. Kepalanya pening, dan tubuhnya terasa berat. Ia mencoba mengangkat tubuh, tetapi nyeri tajam menjalari kakinya. Sekujur tubuhnya seolah memberontak.

Lalu suara berbisik pelan menggema di telinganya.

“Kirana...?” Ia menoleh. Dengan usaha. Perlahan.

Seseorang duduk di kursi di samping ranjang. Dengan kerudung kusut, mata sembab. Genggaman tangannya begitu dingin dan erat.

“Ibu...?” Suara Kirana lirih.

Ibu Kirana langsung memeluknya, air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya tumpah.

“Maafin Kirana, Bu … semuanya, semuanya salah Kirana, Ayah … Ayah ….” Tenggorokan Kirana tercekat. Hanya tangisnya yang kian membahana. Tangis yang ia tahan sejak lama.

Ibu Kirana menahan isak, mencoba mengusap kepala anaknya, tapi Kirana hanya menunduk. Air matanya makin jatuh satu per satu.

Semua perjuangan Kirana kini terasa absurd. Apa gunanya membuktikan kebenaran? Apa gunanya menyelesaikan skripsi, IPK tinggi, atau predikat apa pun… jika orang yang paling berarti telah pergi? Dan yang paling menyakitkan: ini bukan salah siapa-siapa. Tidak bisa menyalahkan Vania, tidak juga dirinya. Takdir telah memilih waktu dan tempat itu.

Yang tersisa sekarang hanya kehampaan.

Ia memeluk dirinya sendiri. Rasa bersalah, kehilangan, dan getir bergulung dalam dadanya. Untuk pertama kalinya dalam hidup, Kirana merasa benar-benar hancur. Dan setelah semua ia tidak tahu apakah ia masih bisa bangkit.

***

Beberapa hari setelah pemakaman ayahnya yang bahkan tidak bisa Kirana hadiri, Kirana kembali ke rumahnya. Kirana tidak mengalami luka yang terlalu serius selain retak tulang dan luka cukup lebar di betisnya yang sudah mulai mengering. Namun, luka di hatinya terasa semakin dalam.

Ia sering terjaga di malam hari, memandangi langit-langit yang tak pernah menjawab. Ruang kamarnya terasa sepi, dunianya juga ikut sunyi.

Tiap pagi alarm berbunyi seperti biasa. Tapi tubuh Kirana tak bergerak, selain karena gips yang masih terpasang di kaki, Kirana hanya … tidak mau melakukan apa pun. Ia hanya menatap langit-langit, menunggu bunyi itu berhenti sendiri. Dulu, semangatnya untuk bersiap ke kampus datang dari ayahnya. Dari suara, “Semangat ya, Nak,” yang selalu hadir walau lewat telepon. Kini… tidak ada lagi.

Pesan dari dosen pembimbing, notifikasi grup kelas, puluhan pesan dari Rayya dan beberapa teman lain, semuanya tak dibaca. Ia hapus satu per satu, tanpa membuka. Buku catatan masih rapi di rak. Kertas-kertas data skripsi berdebu di dalam map bening di sudut meja. Lucunya kecelakaan hari itu merenggut nyawa ayahnya, tapi “menyelamatkan” ransel biru yang menemani Kirana dari awal kuliah. Selain laptop di dalamnya yang pecah, berkas lain masih utuh.

Kirana menghindari kampus. Menghindari pertanyaan. Menghindari semua hal yang terasa seperti lelucon kejam dari semesta.

Sekali waktu, Rayya mencoba menghubunginya. “Na, kami semua nunggu kamu balik. Jangan menghilang kayak gini.”

Tapi Kirana hanya membaca pesannya… lalu meletakkan ponselnya kembali, membiarkannya membisu. Hidupnya sekarang hanya bergerak dalam diam. Makan karena dipaksa. Tidur karena tubuhnya menyerah. Beribadah karena ia masih memiliki keimanan. Hari berganti, tapi Kirana seolah tak bergerak.

Di benaknya hanya satu pertanyaan yang berulang: Untuk apa semua ini?

Dulu, ia hanya ingin menjalani semuanya dengan baik. Bukan untuk membuktikan diri, bukan demi pujian, tapi karena ia mencintai prosesnya, mencintai dunia farmasi dan keajaiban interaksi obat yang bisa memberikan kesembuhan. Karena ia tahu ayah dan ibu percaya padanya, dan ia tidak ingin mengecewakan mereka.

Tapi sekarang… semua itu terasa hampa.

Seluruh upaya yang telah ia lalui, berjuang dengan jujur, sabar, dan hati-hati. Ternyata tak bisa mencegah apa pun. Skripsi itu, penelitian yang semula ia jalani dengan semangat, kini menjadi simbol dari kehilangan terbesar dalam hidupnya. Semua hal tak ada artinya… kalau orang yang paling ingin ia peluk saat wisuda tak lagi ada di sana. Yang tersisa hanyalah sepi, dan perasaan bersalah yang tak kunjung reda.

Suatu malam, Kirana berdiri di depan cermin. Wajahnya tirus, matanya cekung. Bukan karena skripsi. Bukan karena tekanan dosen. Tapi karena kehilangan yang tak bisa diberi nilai.

“Kalau Ayah lihat aku sekarang, apa Ayah masih bangga?” tanyanya lirih, pada pantulan dirinya sendiri.

Tak ada jawaban. Hanya bayangan kosong dari seorang gadis yang kehilangan arah.

Sekali waktu, ibunya mencoba menguatkan. “Kamu masih punya masa depan, Nak. Ayahmu pasti ingin kamu lanjut…”

Kirana hanya menunduk, menahan napas, lalu memejamkan mata rapat-rapat agar tak menangis lagi. Bagaimana bisa ia menatap masa depan, kalau bayangan ayahnya bahkan tak sempat ia genggam saat detik terakhir?

Baginya, semua ini seperti ujian yang terlalu kejam. Ia ingin lari, tapi tubuhnya belum sanggup. Ia ingin bicara, tapi hatinya belum pulih.

Di tengah malam yang hening, satu kalimat terus berulang di benaknya:

“Semuanya berakhir karena satu hal: skripsi.”

***

Butuh waktu hampir 2 bulan sampai Kirana sembuh secara fisik. Selama itu pula Kirana berada dalam mode hibernasi, bertahan di kamarnya dan hanya keluar rumah saat check up ke rumah sakit.

Beberapa minggu setelah kondisinya membaik, Kirana duduk berhadapan dengan ibunya di ruang tengah yang sederhana. Hujan rintik turun di luar jendela, membasahi dedaunan dan genting yang berlumut. Di atas meja, dua cangkir teh yang mulai mendingin dibiarkan begitu saja.

“Bu…” suara Kirana pelan. Jemarinya memainkan ujung lengan baju. “Kirana mau minta izin. Ada tawaran kerja… di luar kota.”

Ibunya menoleh dengan tenang, meski sedikit terkejut. “Kerja? Di mana, Nak?”

“Di Aceh, Bu. Tetangga kita, Bu Nida, bilang saudaranya punya toko besar di sana. Pegawai bagian keuangannya lagi cuti melahirkan. Dia butuh orang yang bisa dipercaya buat sementara waktu. Kirana ditawari gantiin selama tiga bulan. Gajinya lumayan.”

Hening sejenak. Lalu ibunya bertanya dengan suara ragu, “Kamu yakin kuat, Nak? Baru saja pulih dari kecelakaan…”

Kirana tersenyum lemah. “Justru itu, Bu. Kirana butuh menjauh sebentar. Biar kepala ini nggak terus dipenuhi rasa marah dan kecewa. Kirana juga pengin bantu Ibu. Uang pensiunan Ayah... kayaknya nggak cukup buat kita melanjutkan hidup.”

Ibu Kirana menunduk, mengelus punggung tangan anaknya. Air mata yang sempat ditahan, lolos juga dari sudut matanya. Ibunya hanya mengangguk pelan, menahan gelombang emosi yang menyerbu dada.

Dulu, Kirana selalu bersemangat setiap kali berbicara soal kampus, penelitian, cita-cita. Kini, yang duduk di depannya hanyalah bayangan dari gadis yang dulu ia kenal: murung, pucat, dan tampak letih, bukan hanya secara fisik tapi juga jiwanya.

Ia tahu betul Kirana sedang hancur. Kehilangan suami sudah cukup menyayat, tapi melihat anak semata wayangnya tenggelam dalam kekecewaan membuat luka itu terasa dua kali lipat lebih perih. Ia ingin menahan Kirana, memeluknya erat-erat dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi ia juga tahu, tak ada pelukan yang bisa menyembuhkan luka sebesar itu.

Mungkin... memang butuh jarak untuk menyembuhkan.
Mungkin... bekerja, bertemu lingkungan baru, bisa jadi ruang napas bagi Kirana.

Dengan suara nyaris tercekat, ia hanya mampu berbisik dalam hati, “Pergilah, Nak. Kalau itu bisa membuatmu menemukan dirimu kembali.”

“Kalau kamu rasa itu yang terbaik... Ibu izinkan.” Akhirnya hanya itu kalimat yang lolos dari mulut ibu Kirana.

Tiga hari kemudian, Kirana berangkat ke Aceh dengan bus malam. Di sepanjang perjalanan, ia memandangi hamparan sawah yang berlalu pelan di balik jendela, mengingat masa kecilnya, dan menatap masa depannya yang kini buram. Ia masih menyimpan kartu mahasiswanya. Masih membayar uang semester, walau hanya cukup untuk status aktif. Ia masih mengisi KRS, meski tak ikut kuliah satu pun. Karena ada satu hal yang belum pudar: harapan ibunya. Sederhana, tapi kuat. Dan harapan itulah yang Kirana genggam, meski dalam hati ia sendiri masih ragu apakah ia benar-benar sanggup bertahan.

Ia mulai berpikir untuk menyerah. Melanjutkan skripsi terasa seperti memeluk bara. Semua usahanya terasa percuma saat melihat Vania—si pelaku pengkhianatan—tetap bersinar, dielu-elukan dosen, menjadi pembicara seminar, dan bahkan katanya sedang dipertimbangkan sebagai kandidat asisten dosen tetap.

Sementara dirinya, Kirana, justru hampir hilang dari sistem.

***

Hari-hari di Aceh terasa sunyi namun teratur. Kirana bekerja di bagian keuangan sebuah toko alat rumah tangga milik keluarga Tionghoa yang cukup dikenal di kota itu. Awalnya ia hanya berniat menggantikan posisi staf tetap yang sedang cuti melahirkan. Namun, karena kerjaannya yang rapi, teliti, dan tidak banyak menuntut, pemilik toko memintanya bertahan lebih lama.

Dari sebulan menjadi dua. Lalu tiga. Tak terasa, Kirana bekerja di sana hampir sembilan bulan.

“Cara kerja kamu bikin toko ini tenang,” ujar Nyonya Tan suatu hari sambil menepuk pelan punggung tangannya. “Kalau mau, kamu bisa tetap di sini. Gaji dinaikkan sedikit. Uang makan tetap.”

Kirana hanya tersenyum kecil saat itu. Ia belum menjawab.

Rutinitasnya membuat hari-hari berjalan tanpa banyak ruang untuk berpikir. Bangun, mencatat transaksi, membuat laporan, mengecek stok, membantu kasir saat ramai, lalu pulang ke mess pegawai yang sederhana tapi cukup layak. Karena tak punya banyak kebutuhan pribadi, ia bisa mengirimkan hampir semua gajinya ke kampung setiap bulan.

Kirana jarang bicara soal perasaannya, tapi lewat pesan-pesan singkat kepada ibunya, ia selalu menyelipkan kabar dan kalimat ringan agar sang ibu tidak khawatir:

[Bu, aku sehat di sini. Udah biasa makan sendiri, udah hafal jalan ke pasar juga. Gajian kemarin udah kutransfer ya, buat beli beras dan bayar listrik.]

Di sela-sela hari-hari itu, pesan dari Rayya dan Fathur kadang masuk. Ringan, tapi mengandung kepedulian yang tulus.

[Kir, gimana kabar di sana? Masih suka nulis di buku kecil itu?]

[Kalau suatu hari kamu pengin cerita, aku masih di sini.]

Bahkan pernah muncul juga pesan dari Bu Ratna.

[Kirana, sudah sangat lama kamu tidak kelihatan di kampus. Jika ada kendala terkait penelitian atau ini masalah Pak Bima, kita bisa cari solusinya bersama.]

Kirana membaca pesan-pesan itu dalam diam. Tidak membalas sama sesekali. Tapi semua perhatian itu menjadi semacam jangkar, pengingat bahwa dunia yang dulu ia tinggalkan belum sepenuhnya hilang.

Lalu pada suatu sore yang dingin, saat hujan mengguyur deras di luar jendela mess, Kirana menelepon ibunya.

“Bu… tadi aku dipanggil pemilik toko. Katanya kalau mau, aku bisa kerja tetap di sini.”

Hening sesaat di seberang.

“Gajinya naik,” lanjut Kirana perlahan. “Aku kerja udah hampir sembilan bulan, katanya aku teliti dan cepat belajar.”

Hening sebentar di seberang.

Lalu suara ibunya terdengar pelan tapi tegas, “Kirana, itu bukan tanggung jawabmu. Bukan kewajibanmu cari nafkah.”

“Tapi Bu, uang pensiun Ayah kan—”

“Ibu udah buka warung kecil di rumah. Ada yang bantu titip jualan. Alhamdulillah, ada pesanan kue juga. Ibu bisa, Kirana. Biar kamu nggak perlu pikirin semua sendiri.”

Kirana diam. Ada perasaan hangat sekaligus getir mengalir pelan.

“Pulanglah, Nak.” Suara ibunya bergetar. “Kita bicara langsung. Ibu tahu kamu belum siap balik ke kampus, tapi Ibu juga tahu kamu belum selesai dengan semua yang kamu perjuangkan.”

Kirana menggenggam ponselnya erat. Layar yang kini padam seolah memantulkan bayangan dirinya sendiri, letih, kurus, dan jauh dari semangat yang dulu membawanya ke kota demi satu gelar sarjana. Ia tahu, ibunya benar. Mungkin ia belum pulih sepenuhnya, tapi ia tak bisa selamanya tinggal dalam pelarian.

Udara di mess sore itu lembap dan pengap, tapi dadanya lebih sesak dari apa pun. Ia menoleh ke arah koper kecil di sudut kamar, yang selama berbulan-bulan tidak ia sentuh selain untuk menaruh baju kerja. Di luar, suara kendaraan lalu lalang seperti mengingatkannya akan dunia yang terus bergerak tanpa menunggunya.

Apa ia benar-benar sanggup kembali ke kota itu? Bertemu wajah yang dulu jadi saksi kejatuhannya? Menapaki lagi lorong kampus yang setiap sudutnya menyimpan luka dan kenangan? Kirana tidak yakin. Tapi satu hal ia tahu: jika ia terus menunda, luka itu tidak akan pernah sembuh. Ia akan terjebak dalam ruang hampa bernama “nanti” yang bisa jadi berarti selamanya.

Ia menyandarkan kepala ke dinding, matanya menerawang ke langit-langit usang. "Ayah... apa aku harus kembali sekarang?" bisiknya nyaris tak terdengar. Tak ada jawaban. Hanya desir angin dari jendela kecil yang terbuka separuh.

Lalu ia menarik napas dalam. Tidak akan ada waktu yang benar-benar tepat. Tidak akan ada kondisi yang benar-benar siap. Tapi mungkin, pulang... adalah langkah awal untuk mulai menyembuhkan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
If Only
368      243     9     
Short Story
Radit dan Kyra sudah menjalin hubungan selama lima tahun. Hingga suatu hari mereka bertengkar hebat dan berpisah, hanya karena sebuah salah paham yang disebabkan oleh pihak ketiga, yang ingin menghancurkan hubungan mereka. Masih adakah waktu bagi mereka untuk memperbaiki semuanya? Atau semua sudah terlambat dan hanya bisa bermimpi, "seandainya waktu dapat diputar kembali".
MASIHKAH AKU DI HATIMU?
682      457     2     
Short Story
Masih dengan Rasa yang Sama
Kini Hidup Kembali
80      70     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
Sweeter Than Sweet Seventeen
744      534     5     
Short Story
Menunggu papa peka akan suatu hal yang aku impi - impikan. Namun semua berubah ketika ia mengajakku ke tempat, yang tak asing bagiku.
JANJI 25
48      41     0     
Romance
Pernahkah kamu jatuh cinta begitu dalam pada seseorang di usia yang terlalu muda, lalu percaya bahwa dia akan tetap jadi rumah hingga akhir? Nadia percaya. Tapi waktu, jarak, dan kesalahpahaman mengubah segalanya. Bertahun-tahun setelahnya, di usia dua puluh lima, usia yang dulu mereka sepakati sebagai batas harap. Nadia menatap kembali semua kenangan yang pernah ia simpan rapi. Sebuah ...
Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah
922      549     8     
Short Story
Sobara adalah anak SMA yang sangat tampan. Suatu hari dia menerima sepucuk surat dari seseorang. Surat itu mengubah hidupnya terhadap keyakinan masa kanak-kanaknya yang dianggap baginya sungguh tidak masuk akal. Ikuti cerita pendek Peri Hujan dan Sepucuk Mawar Merah yang akan membuatmu yakin bahwa masa kanak-kanak adalah hal yang terindah.
Dimensi Kupu-kupu
14362      2783     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
FLOW : The life story
97      87     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Secuil Senyum Gadis Kampung Belakang
466      357     0     
Short Story
Senyumnya begitu indah dan tak terganti. Begitu indahnya hingga tak bisa hilang dalam memoriku. Sayang aku belum bernai menemuinya dan bertanya siapa namanya.
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
131      108     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.