Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Kadang Kirana berpikir, dirinya mungkin memang senaif itu. Setelah kejadian judul penelitiannya “direbut” Vania dan ia dipaksa menerima judul penelitian lain yang tampaknya lebih sulit, ia masih saja mau berinteraksi dengan Vania.

Kirana memang mulai menunjukkan keberatan, tapi Vania lihai sekali membawa keadaan. Lihat saja, Vania berhasil membuat Kirana mengerjakan proses pembuatan ekstrak sendiri. Ekstrak etanol daun kembang bulan yang akan mereka pakai berdua.

“Dia nyumbang dana, aku nyumbang tenaga. Cukup fair,” kata Kirana pada dirinya sendiri. Lumayan, deh, biaya buat ekstrak bisa dialihkan untuk beli mencit uji pendahuluan.

Dari jauh, Dirga melihat Kirana yang membawa kontainer besar berisi aquades dan etanol serta beberapa perlengkapan lab lain. Di atasnya terdapat plastik putih besar berisi daun kering. Sampai sekarang Dirga masih heran, bagaimana manusia semungil itu sanggup membawa benda-benda besar sendirian. Kontainer dan plastik besar itu saja hampir menutupi wajahnya saat diangkat bersamaan.

Tanpa sadar Dirga tersenyum sendiri.

“Ngeliatin apa?” Vania di sebelahnya penasaran.

Ekspresi Dirga barusan termasuk yang sangat langka diperlihatkan. Senyum dengan pandangan penuh … perhatian?

Seorang Dirga?

Tanpa memperhatikan ke arah pandangan Dirga pun Vania sudah tahu apa yang Dirga lihat.

Kirana? Lagi?

“Nggak ada, cuma lihat sesuatu yang lucu aja.” Dirga menjawab. Seperti biasa selalu sekenanya.

Vania terbakar api cemburu. Setelah bertahun-tahun usaha Vania untuk selalu “menempel” dan menjadi setara, tidak sedikit pun Dirga pernah benar-benar menoleh ke arahnya.

“Aku nggak minat pacaran.” Dirga dengan tegas memberi batasan itu. Dari dulu. Memperlakukan Vania tidak lebih dari teman Rayya.

Apa istimewanya Kirana? Kenapa semua hal seperti selalu berpusat di sekitar dirinya?

***

Masuk semester 8, kampus mendadak gempar. Kasus korupsi dana hibah mencuat, dengan nama Pak Bima tercantum sebagai salah satu tersangka utama. Berita ini tersebar cepat, jadi headline beberapa surat kabar daerah, dan ramai diperbincangkan di grup-grup mahasiswa.

“Pa, jadi skripsi Nia gimana kelanjutannya kalau Pak Bima ditahan?” Vania panik, langsung mengeluh begitu melihat ayahnya pulang lebih awal hari itu. Padahal penelitiannya sudah selesai di semester 7, ia sedang menyusun berkas untuk seminar hasil.

Ayahnya hanya melirik sekilas. “Skripsimu yang judulnya terlalu sederhana itu?” Nadanya tajam, meremehkan.

“Papa udah lihat metode dan latar belakangnya. Mengecewakan. Dengan semua kemudahan yang Papa berikan koneksi, dana, fasilitas, otakmu cuma bisa mikirin topik set dangkal itu?”

Vania menunduk, napasnya tercekat. Matanya membakar, tapi bukan karena malu. Karena marah. “T-tapi, Pa ….” Ia ingin membela diri. Ia pikir tidak ada yang salah dengan judul penelitian yang ia pilih. Mereka “hanya” mahasiswa strata satu, skripsi lebih ditekankan untuk meningkatkan kemampuan analisis bukan bertujuan utama menghasilan penelitian yang bisa langsung diaplikasikan.

“Sengaja Papa dorong Bu Ratna jadi pembimbing I kamu. Dari segi kapasitas penelitian, dia paling top. Tapi kamu malah semaunya sendiri tarik Bima jadi pembimbing II tanpa bicara ke Papa dulu.”

Vania ingin membantah, tapi lidahnya terasa lumpuh. Ia tahu, betapa tidak adilnya semua tuntutan ini. Tapi seperti biasa, suaranya selalu tenggelam di hadapan figur dominan yang memegang penuh kendali hidupnya.

Ayahnya membuang napas panjang, lalu duduk. “Masalahnya sekarang, Pak Bima terlibat kasus. Dan itu bisa bikin proses skripsimu tertunda. Reputasi Papa juga bisa kena imbasnya. Kamu paham nggak sih?”

“Paham,” bisiknya, nyaris tak terdengar.

Namun yang benar-benar menyayat datang sesudahnya.

“Harusnya kamu bikin judul seperti … siapa tuh namanya? Kirana? Pakai ekstrak dan hewan yang sama, tapi pendekatannya jauh lebih kompleks. Analisisnya juga lebih dalam.”

Kirana. Lagi-lagi Kirana.

Nama itu selalu muncul menjadi bayang-bayang yang seolah selalu mengikuti pencapaian Vania ke mana-mana. Apa pun yang Vania berhasil capai selama di kampus, orang-orang seolah menganggap Kirana lebih pantas mendapatkannya dari Vania.

Bahkan papanya sendiri juga bukan sekali dua kali menyebutkan nama Kirana dalam obrolan mereka. Papanya bahkan tidak tahu, “penelitian sederhana” ini adalah buah pikir Kirana yang sedang ia puji. Sedang judul lebih kompleks yang Kirana punya adalah idenya.

Tapi, apa gunanya menjelaskannya sekarang? Yang ada papa Vania bisa lebih marah.

“Kalau saja kamu punya kecerdasan seperti Kirana, Papa nggak akan perlu support kamu dengan berbagai cara untuk jadi nomor satu.”

Vania memegang ujung bajunya erat-erat. Ia sudah biasa dengan kata-kata papanya yang memang tidak pernah menghargai apa pun pencapaiannya. Namun, kali ini rasanya jauh lebih menyakitkan saat dirinya dibandingkan dengan orang lain seperti Kirana. Manusia yang tidak punya ambisi untuk jadi nomor satu itu sangat tidak layak untuk jadi faktor pembanding.

Ayahnya, orang-orang di kampus, bahkan Dirga?

Kenapa mereka menganggap Kirana sempurna?

Kirana dianggap lebih murni, lebih cerdas, lebih layak dihargai. Sementara Vania? Meski sudah menyontek langkah demi langkah, tetap tak pernah cukup di mata siapa pun. Tidak ayahnya. Tidak dosen. Tidak teman-teman. Tidak… Dirga.

Matanya mengeras. Dingin. Perih.

Kalau Kirana memang pantas disebut hebat, maka Vania akan buktikan sebaliknya. Jika dunia terlalu sibuk menyanjung Kirana, maka ia akan jadi orang yang menyeret nama itu jatuh dari singgasananya.

Perlahan, bibir Vania membentuk lengkungan halus. Senyum itu bukan lagi manis seperti biasanya. Tapi getir. Penuh luka dan dendam.

***

Udara pagi terasa ganjil. Kirana datang ke laboratorium lebih awal dari biasanya, membawa buku catatan. Setelah meminjam kunci pet house dari laboran, pagi ini Kirana berniat mengecek pakan mencit jantan yang sudah ia rawat dan amati dengan penuh kesabaran selama dua minggu terakhir. Penelitian pendahuluan menggunakan 12 ekor mencit untuk penentuan dosis perlakuan nantinya, hari ini sudah memasuki hari ketujuh. Hanya satu hari lagi dan uji awal akan selesai. Cukup sudah rasanya drama di semester 7 lalu. Praktis Kirana hanya menghabiskan waktu untuk ACC judul dan membuat ekstrak. Penelitiannya pun "terhambat" sebab harus menunggu penelitian Vania selesai. Tidak harus, sih, tapi Pak Bima melarangnya memulai sebelum Vania selesai dengan dalih penelitian Kirana adalah penelitian lanjutan. Dan sekarang, dosen tersebut malah terhimpit kasus korupsi, meninggalkan mahasiswa bimbingannya dalam ketidakpastian. Entahlah, katanya itu akan diurus oleh pihak kampus, saat ini Kirana hanya ingin fokus pada penelitiannya.

Namun, langkah Kirana terhenti di depan pintu menuju rooftop.
Udara pagi membawa aroma tak biasa. Bukan bau menyengat, tapi ada jejak anyir yang samar, bercampur lembap khas sekam basah yang jadi alas kandang.

Kirana mengernyit, perasaannya tak enak.

Begitu membuka pintu pet house, suara-suara mencit langsung menyambutnya. Riuh seperti biasa. Tapi ia merasakan sesuatu yang berbeda. Entah dari suasana, atau dari napas Kirana yang tiba-tiba terasa berat.

Ia melangkah cepat ke rak tengah, tempat kandang hewan uji miliknya berada.

Langkahnya terhenti.

Tubuh-tubuh mungil yang selama ini ia jaga dengan penuh perhatian tergeletak kaku. Sebagian membiru. Sebagian lain masih hangat, tapi tidak bernyawa. Kirana langsung tersungkur, jantungnya berdebar tak karuan, tangan gemetar saat mencoba menyentuh satu per satu. Ini bukan efek uji coba. Ia tahu persis dosis yang ia berikan. Semua sesuai protokol. Tapi dari dua belas mencit yang ia pelihara sejak awal uji pendahuluan, hanya tiga yang masih bertahan hidup pagi ini.

Ini... bukan kesalahan prosedur.

Ini sabotase.

Kirana mencengkeram sisi kandang, mencoba mengatur napas yang memburu, saat matanya menangkap sesuatu tergeletak di lantai, nyaris terhimpit kaki meja besi.

Sebuah gelang kecil dari bahan anyaman sintetis. Warna hijau mint yang sangat dikenalnya. Satu dari sepasang gelang yang Vania sering pakai setiap hari, kadang dipadankan dengan jam tangannya.

Tangan Kirana mencengkeram benda itu erat-erat. Matanya panas, bukan karena air mata yang mengalir, tapi karena emosi yang berkecamuk: marah, kecewa, terhina. Potongan-potongan kejadian selama ini seakan bersatu dalam satu ledakan kenyataan: ini bukan lagi soal kemiripan judul. Bukan kebetulan. Bukan kesalahpahaman.

Ini penghancuran. Dan pelakunya adalah orang yang selama ini ia anggap sahabat.

Kirana menutup mata sejenak. Menata napas, tapi dadanya masih bergemuruh. Lalu ia membuka mata. Tatapannya tajam. Ia tahu ke mana harus pergi.

Orang seperti Vania tak akan jauh. Ia pasti menunggu. Pasti ingin melihat langsung bagaimana “korban”-nya bereaksi. Karena kemenangan semacam itu hanya lengkap jika disaksikan sendiri.

Kirana turun dari rooftop dengan langkah pasti, melintasi tangga kampus yang masih lengang.

Pagi itu laboratorium farmakologi masih sepi. Hanya ada satu laboran yang sedang mencatat inventaris di ujung ruangan. Di salah satu sudut ruangan, Vania sedang membereskan botol-botol pelarut.

Kirana datang dengan langkah berat, tapi mantap. Wajahnya tidak meledak-ledak, tapi ketenangannya justru lebih menakutkan. Ia meletakkan gelang di atas meja tempat Vania berdiri.

“Gelangmu jatuh.”

Vania menoleh. Sekilas terdiam. Kemudian, seperti biasa, senyum tipis muncul di bibirnya.

“Oh? Di mana kamu nemu?”

“Di sebelah kandang mencitku yang mati mendadak.” Suara Kirana tegas. “Kamu tahu betapa berharganya mereka buat penelitianku, kan?”

Vania tertawa kecil. Suara yang biasanya terdengar manis kini lebih mirip cemooh. “Kamu nyalahin aku sekarang? Karena gelang?”

“Karena semuanya.” Kirana membalas cepat. “Kamu tahu persis kapan aku mengatur jadwal dosis. Dan sebagai aslab kamu punya akses ke atap kapan saja selain laboran.”

Vania mendengus. “Jadi?”

“Jadi aku ingin kamu jawab jujur … kamu bunuh mereka?”

Diam. Untuk sesaat.

Tapi hanya sesaat.

Karena tiba-tiba senyum Vania mengembang. Topengnya benar-benar terlepas hari ini.

“Aku tidak bunuh. Aku hanya pastikan mereka… tidak mengganggu rencanaku.” Ia melangkah mendekat, membisik, “Kamu harus belajar, Kirana. Dunia ini bukan buat orang baik. Bukan buat yang cuma mengandalkan simpati orang.”

Kirana melangkah mundur.  “Simpati apa yang kamu maksud? Apa salahku ke kamu?”

Vania mencibir. “Kamu pikir semua orang suka lihat kamu dipuji? Kamu bahkan nggak pernah berusaha, tapi semua orang... Dirga… bahkan Papa... selalu menyebut-nyebut kamu. Seolah aku ini cuma bayanganmu. Aku cuma mau kasih pelajaran. Bahwa kamu bisa gagal. Dan aku bisa bikin itu terjadi.”

Kirana terdiam sejenak. Tidak karena tak tahu harus berkata apa, tapi karena napasnya tercekat oleh amarah dan keterkejutan yang begitu dalam.

Ia tertawa kecil, miris dan masih merasa tak percaya. “Dirga? Papa kamu? Apa hubungannya mereka sama penelitianku, Van?”

Wajahnya menegang. Bukan sekadar marah, tapi juga bingung dan sangat terluka.

“Kamu bunuh hewan uji aku. Kamu sabotase penelitianku. Cuma karena kamu… sakit hati orang lain lebih menghargai aku? Itu nggak masuk akal, Van!”

Matanya menatap lurus ke wajah Vania, mencari sedikit sisa logika dari semua ini. Tapi yang ia temukan hanya sorot puas bercampur dendam. Kirana menggeleng pelan.

“Aku nggak pernah sekali pun anggap kamu saingan, Van. Karena aku pikir… kamu temanku.” Napasnya bergetar. “Tapi ternyata aku salah. Kamu bukan saingan apalagi teman. Kamu cuma pecundang yang pakai cara licik buat jatuhin orang lain demi egomu sendiri.”

Vania tersentak, tapi Kirana belum selesai.

“Kamu bisa ambil apa pun yang kamu mau, Van. Judul penelitian, perhatian dosen, bahkan… entah kenapa, Dirga juga kamu sebut.” Kirana menahan napas, matanya tak berkedip. “Tapi kamu nggak akan pernah tenang, Van. Nggak akan.”

Vania menatapnya tajam.

“Karena kamu akan terus gelisah, terus marah, terus merasa kalah… bahkan ketika kamu menang sekalipun.” Kirana mengangkat dagunya sedikit.

Tersulut oleh perkataan Kirana yang sangat menusuk, Vania melangkah cepat ke freezer tempat ekstrak "mereka" disimpan. Satu ide kejam muncul lagi di kepalanya. Dengan satu gerakan kasar, ia mengambil botol kaca berisi ekstrak kembang bulan. Hasil kerja berminggu-minggu dan membuangnya langsung ke tempat sampah.

Botol itu jatuh dan pecah.

Ups,” katanya sinis. “Kebersihan lab harus dijaga, kan?”

Kirana mematung. Terlalu terlambat untuk tidak percaya Vania bisa bertindak sejauh ini.

“Van! Kamu beneran nggak waras, ya?”

“Secara teknis, ekstrak kembang bulan ini milikku. Seluruh biayanya aku yang tanggung. Jadi terserah aku mau kuapakan!

Vania meninggalkan Kirana begitu saja.

Kirana mengusap wajahnya kasar. Semuanya terjadi begitu cepat. Pak Bima tersangkut kasus dan nasib pembimbing I masih digantung Fakultas, mencitnya mati, dan sekarang … ekstrak yang jadi dasar penelitiannya pun rusak?

Satu per satu, hal yang ia jaga dengan hati-hati runtuh di depan matanya.
Berserakan seperti serpihan botol kaca di lantai, tak bisa dikembalikan lagi.

Ia berjongkok perlahan, menatap pecahan dan cairan pekat yang menggenang di ubin, seolah menatap bayangannya sendiri yang retak. Tidak ada yang bisa ia selamatkan pagi ini. Tidak bahan, tidak data, tidak harga diri. Telinganya berdengung. Punggung Kirana terasa berat, tetapi pahitnya, dunia tetap berjalan tanpa mau menunggu. 

***

Kirana menggertakkan gigi saat keluar dari ruangan kepala lab. Laporan yang ia ajukan berakhir buntu. Laboran yang tadi ia percaya bisa menjadi saksi justru berpihak pada Vania, seolah semuanya sudah diatur sejak awal.

“Saya… tidak tahu pasti, Pak. Tapi waktu itu saya lihat Kirana agak terburu-buru. Mungkin… ya mungkin saja botol itu jatuh karena tidak sengaja,” ujar laboran.

“Jadi maksudmu Kirana sendiri yang menjatuhkan botol ekstraknya?” Kepala menyelidik laboran, matanya tajam.

“Saya tidak bilang begitu, Pak. Tapi saya nggak bisa pastikan siapa yang menjatuhkan. Saya hanya lihat Kirana dekat rak waktu itu,” jawabnya, enteng. Seolah lupa siapa yang sebenarnya menyaksikan kejadian paling penting pagi itu.

Kirana mengepalkan jemarinya. “Pak, saya tahu Vania punya reputasi baik di sini. Dia pintar, rapi, semua orang suka padanya. Tapi bukan berarti dia tidak bisa melakukan kesalahan. Atau bahkan... sesuatu yang lebih dari sekadar kesalahan.”

“Jadi kamu menuduh Vania masuk ke pet house dan membunuh hewan-hewan uji coba juga menghancurkan botol berisi ekstrak?” Kepala Lab mengulang pernyataan Kirana dengan nada hati-hati. Wajahnya netral, tidak menghakimi, tapi juga tak menunjukkan tanda percaya.

Kirana dengar dengan jelas suara Vania tertawa kecil di belakangnya. Ringan. Seolah tak ada yang ia hancurkan.

“Saya tidak asal tuduh, Pak. Dia satu-satunya orang yang punya akses ke sana selain laboran. Dan saya temukan gelang ini di dekat kandang,” ujar Kirana, mengulurkan gelang kecil berwarna hijau mint dengan liontin huruf V.

Kepala lab menarik napas panjang. Ia menatap Kirana sejenak, lalu berkata, “Saya tidak meragukan integritasmu, Kirana. Tapi saya juga tidak bisa menyimpulkan apa-apa tanpa bukti kuat. Bukti fisikmu lemah gelang itu tidak bisa jadi bukti apa-apa karena sebagai asisten laboratorium wajar Vania sering ke pet house. Laboran yang hadir pun tidak mendukung klaimmu.”

“Tapi Pak, mencit saya—”

“Saya tahu betapa berharganya data penelitianmu. Saya juga tahu betapa mahal dan sulitnya mendapatkan hewan uji, apalagi untuk uji toksisitas subkronis. Tapi menuduh tanpa bukti kuat hanya akan merugikanmu sendiri.”

Kirana menelan ludah. Tenggorokannya kering. Ia mengangguk pelan, kemudian pamit dengan suara serak.

Langkahnya keluar dari ruangan terasa seperti menyeret tubuh yang nyaris runtuh. Dunia akademik yang ia kira menjunjung integritas dan kejujuran, justru memintanya untuk menelan ketidakadilan dengan diam.

Langit di luar sudah mulai mendung. Kirana menuruni tangga perlahan, pandangannya kosong. Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan. Pengkhianatan Vania, keheningan laboran, atau kenyataan bahwa keadilan hanya omong kosong belaka.

Di parkiran, suara laki-laki yang familiar memecah lamunannya.

“Eh, Kirana?” Om Deni berdiri di sisi motornya, hendak mengenakan helm. “Kamu dari lab? Mukamu pucat banget.”

Kirana ingin menjawab, tapi hanya mengangguk. Ia tidak sanggup berbicara. Ponselnya tiba-tiba bergetar. Nama Ayah muncul di layar.

Tangannya sedikit gemetar saat mengangkat.

“Halo, Nak? Kamu masih di kampus? Ayah kebetulan lagi ada urusan kerja dekat kampus. Bisa ketemu?”

Butuh beberapa detik sebelum Kirana bisa menjawab. Ketika suara akhirnya keluar, itu terdengar rapuh dan nyaris pecah.

“Ayah…” Hanya itu.

Tapi cukup untuk membuat Om Deni menghentikan gerakannya dan menoleh penuh perhatian.

“Ada apa, Kirana?” Suara Om Deni berubah cemas.

Kirana menutup telepon tanpa berkata banyak, lalu mendekat ke bangku kecil dekat parkiran dan duduk. Om Deni mengamatinya sejenak. “Duduk dulu sini. Jangan dipendam sendiri,” ujarnya pelan.

Kirana duduk, membungkuk, dan menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Akhirnya, ia biarkan satu dua tetes air mata turun tanpa suara.

***

Hujan mulai deras saat Kirana melangkah keluar dari parkiran. Langit kelabu seolah ikut meratapi apa yang baru saja menimpanya. Suara tetesan air memukul atap seng dan aspal menciptakan irama sendu yang menyesakkan.

Di pelataran dekat parkiran motor, di bawah kanopi sederhana yang biasa dipakai mahasiswa menunggu jemputan, seseorang berdiri. Sosok itu menoleh saat melihat Kirana datang. Kirana melihat ayahnya berdiri sambil memegangi dua helm. Jaket tuanya sudah basah di bagian bahu. Motor bebek kesayangan mereka terparkir tak jauh, basah kuyup, tapi tetap setia menunggu.

“Ayah?” Suara Kirana lirih, nyaris tenggelam oleh derasnya hujan.

Ayah menoleh, sorot matanya langsung berubah lembut saat melihat wajah putrinya yang jelas-jelas menyimpan luka. Tanpa banyak bicara, ia mendekat dan membuka tangan. Kirana menghampiri dan memeluknya erat, membenamkan wajah di dada ayahnya yang basah dan dingin.

Tangisnya pecah. Di tengah derasnya hujan, tak ada yang bisa membedakan air mata dari air langit.

Setelah beberapa saat, mereka duduk. Kirana menceritakan semuanya, dari awal hingga akhir. Sang ayah mendengarkan dalam diam, rahangnya sesekali mengeras, tetapi tangannya tak pernah lepas dari menggenggam bahu Kirana.

“Pantas perasaan Ayah nggak tenang,” ucapnya pelan. “Ada dorongan kuat buat lihat kamu. Syukurlah Ayah nurut sama rasa itu.”

Kirana mengangguk lemah. Matanya bengkak, wajahnya basah. Bukan hanya karena hujan, tapi karena luka yang tak kasat mata.

“Ayah…” bisiknya, “aku nggak tahu harus apa lagi. Rasanya semua jalan ditutup.”

Ayah menatapnya penuh kasih. “Makanya, kita pulang kampung dulu, ke rumah kita. Buat nenangin diri. Di sana kita bisa mikirin semuanya bareng-bareng. Kamu nggak sendiri.”

Ia mengulurkan helm yang sudah basah, menepuk kepala Kirana pelan.

“Kadang, pulang adalah satu-satunya cara buat ingat siapa diri kita sebelum semuanya berantakan.”

Kirana memandang ayahnya lama, lalu perlahan mengenakan helm itu. Hujan masih deras, mereka berdua naik ke atas motor dan memulai perjalanan.

Saat motor itu melaju keluar dari kampus yang kini terasa asing, Kirana menatap bayangan dirinya di kaca spion. Meski samar oleh hujan, ia tahu: ia tidak akan kalah oleh keadaan. Hanya perlu waktu dan tempat yang benar untuk menyusun langkah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Little Spoiler
1066      648     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
Why Joe
1279      658     0     
Romance
Joe menghela nafas dalam-dalam Dia orang yang selama ini mencintaiku dalam diam, dia yang selama ini memberi hadiah-hadiah kecil di dalam tasku tanpa ku ketahui, dia bahkan mendoakanku ketika Aku hendak bertanding dalam kejuaraan basket antar kampus, dia tahu segala sesuatu yang Aku butuhkan, padahal dia tahu Aku memang sudah punya kekasih, dia tak mengungkapkan apapun, bahkan Aku pun tak bisa me...
Renata Keyla
6700      1550     3     
Romance
[ON GOING] "Lo gak percaya sama gue?" "Kenapa gue harus percaya sama lo kalo lo cuma bisa omong kosong kaya gini! Gue benci sama lo, Vin!" "Lo benci gue?" "Iya, kenapa? Marah?!" "Lo bakalan nyesel udah ngomong kaya gitu ke gue, Natt." "Haruskah gue nyesel? Setelah lihat kelakuan asli lo yang kaya gini? Yang bisanya cuma ng...
Used to be Mine
36      21     0     
Romance
Sudah empat tahun Alya meninggalkan Seoul, selama itu pula dia berusaha mengubur kenangan selepas kematian sang ibu. Namun, saat CALYTRIX mengumumkan comeback dan memilih event organizer-nya untuk menggelar fansign, Alya mau tak mau harus menghadapi masa lalunya, Nam Hajoon. Hanya itu pula pilihan terbaiknya untuk mendapatkan penghasilan demi mempertahankan rumah warisan mendiang sang ayah. ...
Intertwined Hearts
965      544     1     
Romance
Selama ini, Nara pikir dirinya sudah baik-baik saja. Nara pikir dirinya sudah berhasil melupakan Zevan setelah setahun ini mereka tak bertemu dan tak berkomunikasi. Lagipula, sampai saat ini, ia masih merasa belum menjadi siapa-siapa dan belum cukup pantas untuk bersama Zevan. Namun, setelah melihat sosok Zevan lagi secara nyata di hadapannya, ia menyadari bahwa ia salah besar. Setelah melalu...
One Milligram's Love
1034      799     46     
Inspirational
Satu keluarga ribut mendapati Mili Gram ketahuan berpacaran dengan cowok chindo nonmuslim, Layden Giovani. Keluarga Mili menentang keras dan memaksa gadis itu untuk putus segera. Hanya saja, baik Mili maupun Layden bersikukuh mempertahankan hubungan mereka. Keduanya tak peduli dengan pandangan teman, keluarga, bahkan Tuhan masing-masing. Hingga kemudian, satu tragedi menimpa hidup mereka. Layden...
Let Me be a Star for You During the Day
962      500     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Mr. Invisible
762      398     0     
Romance
Adrian Sulaiman tahu bagaimana rasanya menjadi bayangan dalam keramaiandi kantor, di rumah, ia hanya diam, tersembunyi di balik sunyi yang panjang. Tapi di dalam dirinya, ada pertanyaan yang terus bergema: Apakah suaraku layak didengar? Saat ia terlibat dalam kampanye Your Voice Matters, ironi hidupnya mulai terbuka. Bersama Mira, cahaya yang berani dan jujur, Rian perlahan belajar bahwa suara...
Dibawah Langit Senja
1606      942     6     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.
Gray November
3644      1285     16     
Romance
Dorothea dan Marjorie tidak pernah menyangka status 'teman sekadar kenal' saat mereka berada di SMA berubah seratus delapan puluh derajat di masa sekarang. Keduanya kini menjadi pelatih tari di suatu sanggar yang sama. Marjorie, perempuan yang menolak pengakuan sahabatnya di SMA, Joshua, sedangkan Dorothea adalah perempuan yang langsung menerima Joshua sebagai kekasih saat acara kelulusan berlang...