Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Berkat “bantuan” dari Vania, Kirana mendapat kemudahan untuk melakukan bimbingan dengan Pak Bima, mengetahui jadwal yang tepat memang jadi kunci untuk menemui dosen yang sibuk. Pak Bima dan Bu Ratna setuju saja untuk menjadi pembimbing II bagi Vania dan Kirana, mereka berpikir tidak ada alasan logis untuk menolak.

Di pertemuan kedua, Kirana sudah mempersiapkan beberapa judul penelitian yang ia rasa cukup bisa ia kuasai dan budget-nya sesuai. Walau orang tua Kirana selalu mengusahakan yang terbaik untuk pendidikannya bahkan sampai memilihkan kos “terlalu nyaman”—setidaknya bagi Kirana, ia cukup bisa mengukur kemampuan diri.

“Saya enggak setuju.” Pak Bima menolak bahkan sebelum membaca rancangan penelitian yang Kirana bawa.

“Kamu teliti soal ini aja,” tandasnya lagi, tidak memberi ruang untuk diskusi.

Kirana tercekat. Dia tahu tidak ada artinya memberikan argumentasi lebih lanjut.

“Baik, Pak.”

“Oke, kalian boleh keluar. Saya masih ada urusan.” Pak Bima menunjuk pintu keluar.

Dingin! Kirana dan Vania keluar dari sana sambil saling melirik. Dalam hatinya Vania sedikit bersyukur ayahnya tidak merancang dosen barusan sebagai pembimbing skripsinya.

“Tentang apa?” tanya Vania agak penasaran.

“Uji toksisitas.” Kirana menjawab lemas. Materi yang tidak terlalu Kirana kuasai, penelitian yang belum ada gambaran mau dibawa ke arah mana.

***

“Kalian bebas, sih, mau meneliti soal apa. Jangan yang terlalu rumit untuk tingkat sarjana. Pertemuan selanjutnya harus sudah ada rancangan penelitian, ya.” Bu Ratna memberikan argumentasi.

“Kalau saya boleh menyarankan coba pakai ekstrak kembang bulan. Cari sampelnya nggak susah,” kata Bu Ratna lagi. Kemudian kembali sibuk dengan kertas-kertas yang ada di hadapannya seolah pertanda Vania dan Kirana harus segera pergi.

Sesudah berpamitan dan menuju pintu keluar, Bu Ratna berkata lagi, “Pertemuan selanjutnya sudah harus ada judul dan gambaran penelitian, ya. Kita diskusi bersama.”

Dingin! Lagi! Kirana dan Vania seolah diberi pilihan, tapi tanpa kebebasan.

Seolah mereka punya pilihan, selain menyisir berbagai referensi dan jurnal penelitian terkait untuk menemukan judul skripsi mereka yang semoga bisa di-ACC.

***

Kirana tidak membuang waktu, menelusuri sumber-sumber terpercaya di internet misalnya Google Scholar untuk mencari gambaran penelitian yang bisa ia kerjakan. Untuk tingkat sarjana, sebenarnya penelitian tidak harus “serumit”  itu.

Kirana ingat dosennya pada mata kuliah Metodologi Penelitian di semester 6 lalu pernah berkata, “Penelitian di tingkat sarjana bertujuan untuk membekali mahasiswa dengan keterampilan dasar penelitian, bukan untuk menghasilkan penemuan baru yang revolusioner.”

Kirana mungkin cukup perfeksionis, tapi ia juga bisa mengukur kemampuan, terutama kemampuan finansial.

Setelah puluhan jurnal dan beberapa malam panjang dihabiskan, Kirana merumuskan satu judul yang baginya cukup menarik dan rasional untuk diajukan sebagai judul skripsi. Kirana sudah menyusunnya dengan cukup lengkap dengan latar belakang juga metodologi penelitian. Ia tahu Pak Bima susah ditemui, setidaknya ia harus datang dengan data selengkap ini agar judulnya bisa cepat mendapat persetujuan.

***

Sudah beberapa minggu berlalu sejak Kirana selesai menyusun calon judul penelitannya, tapi Pak Bima malah susah dijangkau. Kirana sudah berusaha mengirimkan pesan super sopan lewat WA dan e-mail, menelepon dan tidak diangkat. Menunggu di depan ruangannya, bahkan mencoba bertanya jadwal Pak Bima pada bagian akademik, tapi tidak ada jawaban pasti.

Kirana sudah menduga akan seperti ini, tapi ketika dijalani rasanya lumayan menyesakkan, menghabiskan begitu banyak waktu hanya untuk ACC judul, karena dosen yang sulit ditemui. Bu Ratna yang merasa dirinya “hanya” pembimbing II pun menolak untuk berdiskusi karena beranggapan tidak mau “melangkahi” wewenang pembimbing I. Belakangan baru Kirana ketahui bahwa Pak Bima dan Bu Ratna sering berselisih, bahkan perang dingin. Entahlah … hal-hal di luar kuasa Kirana sebagai mahasiswa.

[Na, Pak Bima ada jadwal sore ini ke kampus. Mau bareng, nggak?]

Pesan dari Vania, seperti oase di tengah gurun pasir. Terkadang punya “kekuatan” orang dalam seperti Vania memang berguna di tengah ketidakpastian yang dialami rakyat jelata seperti Kirana.

[Boleh, boleh banget!!!] Kirana membalas cepat.

Selama cukup lama juga, Kirana hanya sesekali bertemu dengan Vania selain di kelas dan praktikum. Semester 7 ini mata kuliah yang Kirana dan Vania ambil hanya beberapa. Mereka sudah "kejar tayang" mencicil menyelesaikan mata kuliah dari semester 1-6, selalu ambil mata kuliah di atasnya. Vania tampak sibuk dengan kegiatan eksternal juga bimbingan dengan Bu Ratna—mungkin. Vania sering menghilang begitu saja. Bukan hal aneh karena sejak awal kuliah pun Vania memang orang sangat sibuk di antara mahasiswa lain.

[Oke, nanti ketemu di depan ruangan Pak Bima aja, ya.]

***

Di ruangan Pak Bima, beliau tampak sibuk seperti biasa, bahkan menerima telepon dari berbagai kolega penting saat Kirana dan Vania ada di depannya. Tangannya memberikan sinyal, agar kedua mahasiswa bimbingannya mengeluarkan berkas yang diperlukan untuk bimbingan untuk menghemat waktu.

Kirana mengeluarkan satu jilid proposal penelitan juga beberapa bundle jurnal terkait dari tasnya. Sementara Vania terlihat hanya mengeluarkan beberapa lembar kertas dan pena.

“Aku tinggal ACC judul sama Pak Bima, Bu Ratna udah ACC. Ini sekalian bawa surat izin penggunaan lab mana tahu rezeki ditandatangani juga.” Vania berbisik.

Kirana cukup takjub, sedikit iri dengan gerakan cepat Vania. Kalau begini ceritanya bisa jadi Vania akan jadi yang pertama mendapat gelar sarjana di angkatan mereka. Bagaimanapun Kirana ikut senang, kerja keras Vania selama ini cukup terbayarkan.

“Kamu anak Pak Widoyo yang todong saya baca proposal penelitanmu pas saya ketemu ayahmu di rumahnya dua minggu lalu, kan?” Pak Bima mengenali Vania. Tidak mungkin tidak. Selain prestasi akademiknya yang bagus, tentu anak rekan kerja ini cukup menarik perhatian.

“Iya, Pak.” Vania menjawab tenang.

“Sudah cukup oke walau ada beberapa bagian yang harus direvisi. Sudah saya tandai di sini.” Pak Bima menyerahkan berkas yang tampak agak lecek dan terdapat beberapa coretan.

Saat membaca judul yang ada di proposal penelitian itu, Kirana membeku.

“Apa kira-kira sudah bisa ACC judul, Pak?” Vania bertanya to the point.

Kirana di sebelahnya masih membeku, seolah adegan selanjutnya di hadapannya tersaji dalam gerak cepat, meninggalkan dirinya yang terpaku membisu.

“Ooo tentu, kalau kamu bawa suratnya, sini saya tanda tangani.”

Vania menyerahkan beberapa lembar berkas yang sudah dibubuhi tanda tangan Bu Ratna.

Mata Kirana tidak salah tangkap. Ia benar-benar melihat judul yang sama di sampul proposal penelitian juga berkas persetujuan judul dan izin penggunaan lab yang Vania sodorkan. Judul yang sama, tidak kurang satu huruf pun dari apa yang ingin Kirana ajukan.

“Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia Hemsley A Gray) Serta Penentuan Nilai LD-50 pada Mencit Putih Jantan”, terpampang di sana.

Judul itu… miliknya.

Identik dengan yang ada dalam pelukan Kirana.

Kenapa? Kenapa bisa begini?

Ia hafal susunan kata-kata itu karena telah menyusunnya dengan teliti selama berhari-hari, menyesuaikan dengan literatur yang ia baca. Bahkan saat mengetiknya di malam-malam sunyi. Tidak mungkin orang lain bisa merangkainya dengan identik kecuali menyalin. Mengingat treck record Vania selama ini? Setidaknya dari kecurigaan-kecurigaan yang terakumulasi, apakah Vania?

Kirana berdiri mematung saat Vania dengan luwes mengambil berkas yang sudah ditandatangani Pak Bima. Tak ingin berprasangka buruk, tetapi senyuman kemenangan Vania melirik Kirana saat berkasnya ditandatangani terlalu eksplisit untuk tidak diartikan berbeda.

Napasnya mendadak berat, seperti seluruh udara di sekelilingnya menekan dari segala arah. Ia mencoba mengingat, menggali kembali momen-momen kecil yang mungkin ia abaikan.

***

Empat minggu lalu. Di akhir pekan.

Setelah seharian mengurusi acara bakti sosial yang melelahkan, Kirana dan Vania masih bertahan di ruang panitia kampus. Beberapa pengurus lain sudah pulang lebih dulu. Di sudut ruangan, Kirana menaruh ranselnya dan membuka laptop, menyicil naskah proposal yang hampir rampung sambil menunggu waktu magrib.

“Sebentar ya, aku ke musala dulu,” ucap Kirana sambil menekan tombol save dan mengunci laptopnya. Ia memang selalu berhati-hati soal dokumen penting, terlebih ini menyangkut proposal yang hampir rampung.

Vania ada di ruangan, bersama satu dua teman lain yang sedang berhalangan salat. Masih tampak sibuk membereskan spanduk dan dokumentasi kegiatan. Vania hanya mengangguk pelan, menatap layar ponsel seolah tak peduli.

Namun, Kirana lupa satu hal: persahabatan bertahun-tahun tak hanya membentuk kedekatan, tapi juga celah. Vania tahu betul bagaimana cara Kirana berpikir. Ia tahu Kirana sering menggunakan sandi yang sentimental. Dan sore itu, ia hanya perlu satu tebakan. Tanggal lahir ayah Kirana, orang yang paling dekat dan sering menelepon Kirana selama ini.

Saat Kirana kembali beberapa belas menit kemudian, ruangan sudah jauh lebih lengang. Beberapa kursi telah terlipat, dan sebagian berkas disusun rapi di sudut. Layar laptopnya menyala kembali. Folder proposal masih terbuka di posisi yang sama.

Vania duduk santai di dekat meja, tersenyum sambil merapikan kertas laporan kegiatan.

“Kamu lama banget, Kir. Aku cuma sempat buka-buka ponsel sambil nunggu,” katanya.

Saat ia membuka kembali laptopnya di rumah malam harinya, Kirana menyadari file-nya yang disimpan di folder FinalProposal_Kirana, entah mengapa sudah berganti waktu modifikasi, bukan oleh dirinya.

Ia sempat bingung, tetapi menganggapnya kesalahan biasa. Atau mungkin ia lupa sendiri.

Kini, semua kebetulan itu terasa terlalu rapi untuk disebut kebetulan.

***

“Na? Kamu kenapa?” Suara Vania membuyarkan lamunannya. Seolah tak ada yang terjadi, ia masih bicara dengan nada hangat seperti biasa.

Kirana menarik napas dalam, mencoba menyembunyikan guncangan di balik senyumnya.

“Enggak. Nggak apa-apa.”

Ia tahu, andai pun ia melawan sekarang, andai pun ia melapor, ia tidak punya bukti bahwa file itu dicuri. Yang ia punya hanyalah ingatan, dan sebuah kenyataan pahit bahwa seseorang yang ia anggap sahabat ternyata bisa begitu tega.

Untuk sesaat, Kirana ingin marah. Ingin berteriak. Tapi seperti biasa, ia memilih diam.

“Kamu mau ajukan judul juga, kan?” Secepat kilat Vania mengambil berkas yang ada di tangan Kirana.

Kirana yang terlalu syok, tidak sempat melakukan perlawanan. Begitu saja, berkas itu sudah beralih ke tangan Pak Bima. Dan adegan yang selanjutnya terjadi seolah sudah ditata rapi oleh seseorang. Kirana tak sempat mundur, tak bisa mengatur ulang langkah.

Ruangan Pak Bima sore itu terasa makin sunyi, hanya sesekali terdengar suara kertas di balik dan denting pena menghantam meja.

“Jadi ....” Suara Pak Bima memecah keheningan. “Kirana, jadi judul ini yang mampu kamu hasilkan selama 4 minggu?”

“Iya, Pak.” Kirana menjawab pelan. Ia tidak berbohong, tapi seolah menjadi tersangka utama.

Pak Bima mengangguk pelan, wajahnya tampak sangat tidak puas. Ia menunjuk proposal di tangannya. “Masalahnya, judul ini—‘Uji Toksisitas Akut Ekstrak Etanol Daun Kembang Bulan (Tithonia diversifolia Hemsley A Gray) serta Penentuan Nilai LD-50 pada Mencit Putih Jantan’—persis dengan yang diajukan Vania kepada saya minggu lalu. Bahkan tanda baca dan urutannya pun tak berubah.”

Kekecewaan tergambar jelas di wajah Pak Bima, dan Kirana tidak bisa berkutik. Apa lagi yang bisa ia katakan sebagai bentuk pembelaan diri saat judul identik baru saja ditandatangani Pak Bima 10 menit lalu.

Vania di sebelah Kirana mendadak angkat suara, nada suaranya terdengar dibuat-buat polos. “Saya juga kaget, Pak. Serius. Kok judulnya bisa mirip. Saya pikir cuma mirip garis besarnya. Tapi ternyata... ya, kok bisa ya sama semua?”

Kirana menoleh sekilas, mencoba mencari sedikit kejujuran di mata sahabatnya. Tapi yang ia temukan hanya raut kepura-puraan yang terlalu sempurna.

Pak Bima mendesah, lalu menatap Kirana lurus-lurus. “Kamu sadar kan, Kirana? Ini bisa masuk kategori plagiarisme. Dan saya tidak main-main soal ini.”

“Saya… saya tidak menjiplak, Pak.” Suara Kirana gemetar. “Itu benar-benar ide saya. Saya sudah mulai menulisnya sejak—”

“Maaf, Pak,” sela Vania cepat, seperti sedang membela. “Saya yakin Kirana bukan orang yang akan menyontek. Kami sering diskusi bareng juga soal topik-topik penelitian. Bisa jadi… mungkin ya, kami memang kebetulan berpikir ke arah yang sama?”

“Kebetulan?” Pak Bima menyipitkan mata, tampak tidak mudah diyakinkan. Ia memijat pelipisnya yang mulai terasa berat.

Sebelum Kirana sempat membuka mulut untuk membela diri, Vania sudah lebih dulu bicara. Suaranya tenang dan terkontrol, tapi ada nada yang sulit dijelaskan. Campuran kepura-puraan dan kepemilikan yang menyesakkan dada.

“Pak, kalau boleh saya beri usul…,” ucapnya sambil menoleh ke arah Kirana, seolah sedang menjadi pahlawan dalam drama yang ia ciptakan sendiri. “Daripada salah satu dari kami harus mengganti topik sepenuhnya, bagaimana kalau Kirana mengembangkan penelitiannya menjadi uji toksisitas subkronis? Itu kan bisa jadi lanjutan dari penelitian saya. Durasi pemberian ekstraknya lebih panjang, dan tentu saja metode serta analisis datanya akan berbeda. Saya yakin itu juga akan jadi kontribusi ilmiah yang tidak kalah penting.”

Kirana tercekat. Matanya membelalak ke arah Vania, tapi yang ia dapatkan hanyalah senyum tipis yang nyaris mengejek.

Pikiran Kirana kalut. “Lanjutan dari penelitian saya”? Siapa dulu yang mencetuskan ide ini?"

Dadanya sesak. Ingin sekali ia menyela, mengatakan bahwa justru Vania yang telah mengambil idenya. Tapi bagaimana caranya? Tak ada bukti. Tak ada saksi. Dan sekarang, Vania menyarankan topik yang lebih kompleks, seolah-olah Kirana diberi kesempatan untuk ‘mengembangkan diri’, padahal kenyataannya, ia dipaksa mundur dari wilayah yang sejak awal adalah miliknya.

Pak Bima terlihat antusias dengan ide tersebut. Ia menatap Kirana sambil mengangguk-angguk pelan. “Hm… itu memang masuk akal. Subkronis memang lebih dalam dari segi metodologi. Lebih menantang juga. Kamu setuju, Kirana?”

Kirana tidak langsung menjawab. Ada denyutan halus di pelipisnya. Suara di dalam kepalanya riuh. Antara menolak, marah, dan kecewa pada dirinya sendiri. Ia merasa seperti sedang didorong ke tepi jurang oleh seseorang yang selama ini ia anggap sahabat. Tapi di hadapan dosen seperti Pak Bima yang nyaris tidak punya waktu dan hanya ingin semuanya selesai, ia tidak punya ruang untuk mengklarifikasi.

Vania kembali membuka suara, kini dengan nada lebih lembut, tetapi jelas menggiring.

“Daripada harus ganti topik dari awal dan mulai dari nol, menurutku ini opsi terbaik. Lagipula, kita bisa saling dukung selama prosesnya. Bisa atur jadwal bareng buat konsultasi juga.” Ia menoleh ke Pak Bima. “Saya juga bisa bantu Kirana memahami bagian metode kalau butuh, Pak.”

Bantuan.

Kirana nyaris tertawa getir di dalam hati. Vania benar-benar memainkan peran ini dengan sempurna: teman baik yang murah hati, sementara sebenarnya ia yang mencuri.

Pak Bima pun tampak puas. Ia mengambil pulpen dari saku kemejanya. “Kalau begitu, silakan kamu print surat persetujuan judulnya sekarang, Kirana. Pakai saja komputer dan printer di ruangan saya ini. Saya tandatangani hari ini juga. Saya tidak tahu kapan bisa ke kampus lagi. Proposal bisa menyusul. Yang penting judul disahkan dulu.”

Kirana memberanikan diri bersuara, bentuk perlawanan terakhir.

“Pak… kalau boleh, saya ingin mendiskusikan dulu topik ini dengan pembimbing II, Bu Ratna. Saya merasa akan lebih mantap mengerjakannya kalau mendapat arahan dari kedua pembimbing sejak awal.”

Pak Bima mengangkat alis, sedikit heran. “Untuk apa? Kalau saya sudah setuju, Bu Ratna tidak akan keberatan. Kita dosen-dosen ini saling percaya. Lagi pula, waktu terus berjalan. Kamu mau lama-lama hanya karena ragu-ragu?”

Kirana menelan ludah. Kalimat itu lebih terdengar seperti peringatan daripada nasihat. Ia hanya bisa mengangguk kecil, meski rasanya seluruh tubuh menolak.

“Baik, Pak….”

Tangannya menggenggam berkas yang masih kosong bagian tanda tangan itu—berkas yang akan meresmikan ketidakadilan ini. Di belakangnya, suara Pak Bima terdengar lagi, ringan dan tanpa beban.

“Oh ya, Kirana. Sekalian buat dua rangkap ya. Satu untuk arsip fakultas.”

“Iya, Pak….”

Langkah Kirana menjauh dari meja, menuju pintu ruangan. Vania mengikutinya dengan santai, masih dengan ekspresi manisnya yang menjengkelkan.

“Semangat ya, Na,” bisik Vania perlahan sebelum Kirana sempat keluar ruangan. “Kamu pasti bisa bikin versi yang lebih hebat.”

Hebat?

Kirana mengepalkan tangannya. Ia tak pernah membayangkan bentuk pengkhianatan bisa semanis dan serumit ini untuk dilawan. Dengan bantuan ayah Vania, bukankah adil hanya akan jadi kata dalam buku panduan akademik.

“Mau kutemani ACC ke Bu Ratna? Sekalian kita bisa diskusi teknis,” ujarnya ringan. Seolah-olah semua baik-baik saja. Seolah yang terjadi barusan bukan pengkhianatan.

Kirana menoleh, tersenyum tipis. Namun, tatapannya dingin.

“Terima kasih, Van. Tapi rasanya aku cukup bisa sendiri. Lagi pula, skripsi ini seharusnya memang dikerjakan sendiri, kan?”

Sepotong jeda menggantung di udara. Tak lama, Kirana melangkah pergi, meninggalkan Vania berdiri membeku dalam senyum yang perlahan memudar.

“Kamu nggak nuduh aku jiplak proposal penelitianmu, kan?” Vania berkata dengan nada defensif, tapi di dalamnya juga ada kesombongan. Seolah mengatakan, kalaupun Kirana menuduhnya begitu, tidak akan ada satu orang pun yang percaya.

“Aku nggak perlu jawab, Van. Kamu tahu persis jawabannya.” Kirana tersenyum sinis, melangkah pergi meninggalkan Vania.

Tangannya menggenggam berkasnya erat-erat. Ada sesuatu yang tertinggal di ruangan itu—barangkali kepercayaannya, atau mungkin sisa-sisa harapan bahwa persahabatan mereka masih bisa diselamatkan. Tapi yang pasti, ia melangkah dengan kepala tegak, meski hatinya belum utuh.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
ZAHIRSYAH
6448      1907     5     
Romance
Pesawat yang membawa Zahirsyah dan Sandrina terbang ke Australia jatuh di tengah laut. Walau kemudia mereka berdua selamat dan berhasil naik kedaratan, namun rintangan demi rintangan yang mereka harus hadapi untuk bisa pulang ke Jakarta tidaklah mudah.
Penantian
3886      1696     16     
Romance
Asa. Jika hanya sekali saja, maka...
Asa
4656      1386     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
Senja Belum Berlalu
4072      1440     5     
Romance
Kehidupan seorang yang bernama Nita, yang dikatakan penyandang difabel tidak juga, namun untuk dikatakan sempurna, dia memang tidak sempurna. Nita yang akhirnya mampu mengendalikan dirinya, sayangnya ia tak mampu mengendalikan nasibnya, sejatinya nasib bisa diubah. Dan takdir yang ia terima sejatinya juga bisa diubah, namun sayangnya Nita tidak berupaya keras meminta untuk diubah. Ia menyesal...
A Slice of Love
287      241     2     
Romance
Kanaya.Pelayan cafe yang lihai dalam membuat cake,dengan kesederhanaannya berhasil merebut hati seorang pelanggan kue.Banyu Pradipta,seorang yang entah bagaimana bisa memiliki rasa pada gadis itu.
Ruang Suara
176      126     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
DELUSION
6118      1814     0     
Fan Fiction
Tarian jari begitu merdu terdengar ketika suara ketikan menghatarkan sebuah mimpi dan hayalan menjadi satu. Garis mimpi dan kehidupan terhubung dengan baik sehingga seulas senyum terbit di pahatan indah tersebut. Mata yang terpejam kini terbuka dan melihat kearah jendela yang menggambarkan kota yang indah. Badan di tegakannya dan tersenyum pada pramugari yang menyapanya dan menga...
SEPATU BUTUT KERAMAT: Antara Kebenaran & Kebetulan
6950      2127     13     
Romance
Hidup Yoga berubah total setelah membeli sepatu butut dari seorang pengemis. Sepatu yang tak bisa dibuang dan selalu membawa sial. Bersama Hendi, teman sekosnya, Yoga terjebak dalam kekacauan: jadi intel, menyusup ke jaringan narkoba, hingga menghadapi gembong kelas kakap. Di tengah dunia gelap dan penuh tipu daya, sepatu misterius itu justru jadi kunci penyelamatan. Tapi apakah semua ini nyata,...
Cinta Semi
2419      998     2     
Romance
Ketika sahabat baik Deon menyarankannya berpacaran, Deon menolak mentah-mentah. Ada hal yang lebih penting daripada pacaran. Karena itulah dia belajar terus-menerus tanpa kenal lelah mengejar impiannya untuk menjadi seorang dokter. Sebuah ambisi yang tidak banyak orang tahu. Namun takdir berkata lain. Seorang gadis yang selalu tidur di perpustakaan menarik perhatiannya. Gadis misterius serta peny...
My SECRETary
553      351     1     
Romance
Bagi Bintang, menjadi sekretaris umum a.k sekum untuk Damar berarti terus berada di sampingnya, awalnya. Tapi sebutan sekum yang kini berarti selingkuhan ketum justru diam-diam membuat Bintang tersipu. Mungkinkah bunga-bunga yang sama juga tumbuh di hati Damar? Bintang jelas ingin tahu itu!