Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Kirana tidak ingin menaruh curiga. Ia tidak ingin merusak persahabatan mereka bertiga hanya karena prasangka buruk. Ia percaya, persahabatan semestinya dibangun di atas kepercayaan. Namun, kebiasaannya untuk lebih banyak diam dan mengamati sering kali menjerumuskannya pada kesimpulan-kesimpulan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Mau tidak mau, kecurigaan itu tumbuh. Halus, samar, tapi nyata. Ini bukan pertama kalinya Vania menyabotase tugas presentasi kelompok. Nomor Induk Mahasiswa (NIM) yang kebetulan berdekatan membuat Kirana, Rayya, dan Vania kerap berada dalam kelompok yang sama.

Kecurigaan Kirana mulai muncul lebih jelas pada semester kedua. Saat itu mereka kembali sekelompok untuk tugas presentasi mata kuliah Teknologi Sediaan Farmasi. Topik kelompok mereka adalah: “Sediaan Suspensi: Stabilitas dan Teknik Pengemulsiannya”.

Kelompok mereka terdiri dari tujuh orang. Sesuai kebiasaan, pembagian tugas dilakukan secara adil dan disepakati bersama di grup. Kirana mendapatkan bagian penjelasan tentang komponen formula dan teknik pembuatan suspensi. Ia mengerjakan bagiannya dengan teliti, memverifikasi data dari berbagai sumber, mulai dari Farmakope hingga jurnal ilmiah terbaru. Dua hari sebelum presentasi, ia mengirimkan file yang sudah rapi ke grup WhatsApp.

“Biar aku yang satukan semua file, ya,” tulis Vania di grup. “Sekalian aku tata biar konsisten tampilannya.”

Kirana mengiyakan. Toh, selama kontennya tetap utuh dan akurat, urusan desain dan penyajian bukan masalah besar baginya.

Namun, pada hari H, Kirana langsung menyadari ada yang berbeda. Slide yang menampilkan bagian yang ia kerjakan tampak berubah. Bukan dari segi data, tetapi cara penyampaiannya. Kalimat-kalimat yang ia susun dengan hati-hati dipadatkan menjadi poin-poin ringkas. Penjelasan mendalamnya tergantikan oleh ilustrasi dan bagan, seolah nilai dari kerja kerasnya hanyalah dekorasi semata.

Kirana menoleh sekilas ke arah Rayya. Gadis itu tampak tidak menyadari sesuatu yang janggal. Malah, ia tersenyum lebar ketika Vania dengan percaya diri menjelaskan bagian tersebut, lengkap dengan gestur meyakinkan dan intonasi vokal yang sempurna. Vania membawakan bagian Kirana seolah-olah itu adalah hasil pemikirannya sendiri. Akibatnya, Kirana hanya mendapatkan porsi bicara yang sangat kecil, nyaris seperti figuran di presentasi kelompok.

Kirana tetap tenang. Ia tidak membantah. Tidak mengangkat tangan atau memperbaiki di depan dosen. Ia memilih diam, menahan kecewa yang menyelusup perlahan tapi dalam. Namun, ketika presentasi usai dan mereka duduk santai di lorong kampus menunggu mata kuliah lain, Kirana melontarkan komentar ringan. Suaranya datar, tetapi nadanya mengandung lapisan makna.

“Bagian suspensiku jadi lebih singkat ya di slide. Tapi bagus, sih. Jadi kayak… ringkasan.”

Rayya menoleh cepat, menyadari ada sesuatu di balik kata-kata Kirana. Tatapannya berpindah ke Vania yang hanya tertawa kecil sambil memainkan ponselnya.

“Aku cuma nyesuain biar satu gaya desain aja. Biar dosen nggak bingung,” jawab Vania ringan, seolah tidak ada yang salah.

Kirana tersenyum tipis. “Iya, penyajianmu memang mantap, Van. Ternyata data yang kukerjakan bisa terlihat lebih keren kalau dipresentasikan orang lain.”

Rayya terdiam. Matanya bolak-balik menatap dua sahabatnya yang duduk hanya selisih beberapa jengkal, tapi terasa berjauhan.

“Aku cuma bikin tampilannya lebih sistematis. Sama aja, kan? Tujuannya biar kelompok kita dapat nilai bagus.” Suara Vania masih tenang, tapi mulai terdengar defensif.

Kirana mengangguk pelan, menoleh sambil tetap tersenyum. “Tentu. Cuma… ada bedanya antara ‘mewakili kelompok’ dan ‘menghapus jejak kontribusi orang lain’. Tapi mungkin itu terlalu halus untuk diperhatikan.”

Ia bangkit perlahan, meninggalkan Rayya yang bengong dan Vania yang kehilangan kata.

Kirana tidak ingin emosinya menuntun ke arah perdebatan lebih panjang. Ia tahu dirinya bukan tipe yang suka keributan. Tapi dalam hati, ia menyimpan penilaian sendiri. Bagi Kirana, tindakan Vania yang menyalahgunakan kepercayaan dan mengabaikan kesepakatan kelompok bukanlah hal sepele. Terlepas dari kenyataan bahwa gaya presentasi Vania memang harus diakui lebih luwes dan memukau.

Sejak saat itu, atas nama persahabatan Kirana tetap bersikap seperti biasa, tetap ramah, tetap tertawa di waktu yang tepat. Rayya dan Vania pun tampak tak berubah. Namun, mata Kirana menjadi lebih awas, telinganya lebih tajam, dan memorinya lebih aktif menyimpan yang tak diucapkan. Ia tidak ingin begitu, tetapi terjadi begitu saja.

Bukan hanya soal presentasi. Setelah kejadian itu, Kirana mulai mendapati hal-hal kecil yang sebelumnya ia abaikan.

Misalnya saat praktikum Mikrobiologi, Vania pernah panik karena lupa membawa lembar kerja laboratorium. Kirana yang selalu rapi membawa dua lembar cadangan, menawarkan satu miliknya. Tapi entah bagaimana, di laporan akhir, Kirana mendapati hasil data dan analisis yang ia tulis tangan dengan gaya bahasa khasnya, dimuat hampir utuh dalam laporan milik Vania.

Atau saat mata kuliah Fitokimia, saat mereka harus menyusun laporan individu berdasarkan hasil praktikum kelompok. Kirana menyusun laporannya dua hari lebih awal, lalu tanpa sengaja meninggalkannya di meja kerja saat pergi shalat. Sekembalinya, file itu sudah tertutup, dan ia tak terlalu curiga. Tapi saat laporan Vania dikumpulkan dan Kirana sempat melihat, ia mengenali susunan kalimat yang terlalu mirip. Identik, bahkan. Vania hanya mengganti beberapa frasa dan menambahkan diagram yang berbeda.

Waktu itu, Kirana masih mencoba berpikir positif. Mungkin hanya kebetulan. Atau mungkin Vania memang terinspirasi. Tapi makin lama, kebetulan-kebetulan itu terlalu sering dan terlalu serupa.

Belum lagi kebiasaan Vania membujuk Rayya atau anggota kelompok lain untuk bertukar tugas dengan alasan "lagi banyak urusan keluarga", “lagi ada kegiatan organisasi”. Beberapa kali mereka luluh dan mengerjakan bagian Vania. Namun, saat laporan dikumpulkan, Vania menambahkan namanya paling atas, seolah yang paling berjasa menyusun laporan itu dari awal.

Kirana tidak mencatat semua itu dengan niat membalas. Tapi otaknya, yang terbiasa mencermati detail, menyimpan semuanya. Diam-diam, ia mulai bertanya pada dirinya sendiri: apakah semua ini memang ketidaksengajaan? Ataukah Vania sebenarnya tahu persis apa yang ia lakukan?

Namun sekali lagi, Kirana memilih untuk tidak meledak. Ia bukan tipe yang mengumbar konflik. Vania masih sahabatnya. Meski semua tanda mulai jelas: soal laporan yang disalin, data yang diambil, tugas yang dipindah tangan secara diam-diam. Kirana tetap diam.
Ia masih ingin percaya, bahwa mungkin Vania hanya tak sengaja. Atau sekadar lupa memberi kredit.

“Mungkin aku terlalu sensitif,” batinnya suatu malam sambil menatap langit-langit kamar kosnya. “Mungkin … Vania memang tidak berniat buruk. Toh, teman-teman yang lain tidak ada yang berpikir begitu.”

Ada rasa ganjil yang mengusik, tapi Kirana menekannya pelan.

Ia tak ingin menuduh. Tak ingin merusak sesuatu yang sudah dibangun dengan susah payah. Baginya, persahabatan bukan sesuatu yang bisa sembarangan dikorbankan hanya karena “kecurigaan” kecil yang belum tentu benar adanya.

Enam semester berlalu secepat kilat. Rasanya belum lama mereka sibuk meraba-raba peran sebagai mahasiswa baru, kini nama Vania sudah tercatat sebagai peraih IPK tertinggi angkatan. Ia bukan hanya cemerlang secara akademik, tapi juga aktif di organisasi dan dipercaya sebagai asisten praktikum Farmakologi. Langkahnya cepat, bicaranya tegas, dan selalu berhasil menarik perhatian banyak orang, terutama dosen-dosen.

Kirana di sisi lain menempuh jalannya sendiri. Tak kalah bersinar, meski dalam spektrum yang berbeda. Ia juga aktif di organisasi, tapi menolak setiap tawaran menjadi asisten laboratorium. Bukan karena tidak mampu, melainkan karena pilihan. Ia lebih memilih bekerja paruh waktu sebagai guru privat di sela jadwal kuliah, berusaha meringankan beban orang tuanya. Beasiswa memang membantu, tapi tetap ada hal-hal yang tak bisa ditutup hanya dengan itu.

Suatu sore di ruang baca, Fathur menghampiri Kirana sambil membawa buku Farmakologi tebal dan wajah penuh tanya. Waktu itu ia masih semester empat. Seperti biasa, Fathur datang dengan serangkaian lelucon receh sebelum akhirnya bertanya serius.

“Kamu kayaknya lebih pinter, deh, Kir,” katanya sambil mengambil catatan kuliah yang sudah dicorat-coret Kirana. Kali ini ia minta dijelaskan soal mekanisme kerja obat dan farmakodinamik.

Kirana menutup buku, baru saja selesai menjelaskan. Kirana merasa heran dengan tingkah Fathur yang sering muncul tiba-tiba dengan jokes recehnya, kemudian minta diajari materi perkuliahan yang tidak ia mengerti. Terutama, karena dia menolak memanggil Kirana dengan sebutan “Kakak”. Kirana lebih mungil katanya. Namun, biarpun begitu, selama mereka tidak sepenuhnya berduaan dan ada di tempat ramai, Kirana dengan senang hati menjelaskan. Toh, adik kelas lain juga Kirana perlakukan dengan serupa.

“Ha?” Kirana hanya menanggapi sekenanya.

“Iya,” Fathur melanjutkan, “waktu awal-awal kuliah, banyak temanku yang bilang Kak Vania itu super pintar. IPK-nya tinggi, aktif, vokal di kelas. Tapi kalau aku bandingin, kamu lebih ngerti materi. Penjelasanmu lebih masuk akal.”

Kirana menghela napas pelan. “Nggak usah dibanding-bandingin, Fath. Kamu juga nggak tahu seberapa keras Vania berusaha buat sampai di titik itu.”

Ia tidak sedang merendahkan dirinya sendiri. Hanya saja, Kirana tahu betul bahwa Vania sangat ambisius. Kadang terlalu ambisius. Sampai ada aturan yang dilangkahi, kesepakatan kelompok yang diabaikan, bahkan integritas akademik yang nyaris dikorbankan. Tapi Kirana memilih untuk tak ikut campur lebih jauh.

Lalu, seolah semesta mendengar, Vania muncul. Seanggun biasa, langkah ringan tapi percaya diri. Di tangannya tergenggam selembar formulir.

“Na, jadi ajukan dosbing hari ini?” tanyanya sambil tersenyum.

“Jadi, dong,” jawab Kirana, membereskan ranselnya yang mulai lusuh tapi setia menemani.

Mereka berjalan berdampingan menuju ruang administrasi. Di angkatan mereka, baru sekitar lima belas mahasiswa yang telah memenuhi syarat pengajuan dosen pembimbing skripsi, dan dua sahabat itu termasuk di antara sedikit orang itu.

Fathur hanya bisa memandang dari jauh. Ada sesuatu yang membuatnya heran sejak lama: bagaimana dua orang yang begitu berbeda bisa jadi sahabat dekat?
Yang satu begitu ambisius, elegan, berkilau seperti permukaan kaca.
Yang lain sederhana, bersahaja, dengan cahaya yang tenang dan tak pernah menyilaukan.

***

Hari pengumuman dosen pembimbing telah tiba. Di sela waktu ujian akhir semester. Kirana, Vania, beberapa orang teman, dan juga beberapa kakak angkatan kloter terakhir (sepertinya) berkumpul di salah satu ruang kelas.

Dosen yang menjadi penanggung jawab bagian akademik memanggil nama mereka satu per satu. Menyerahkan amplop berisi nama dosen pembimbing satu. Nama Kirana dipanggil paling akhir.

Dengan jantung berdebar, Kirana membuka amplop perlahan. Namun, hatinya agak mencelos saat nama Pak Bima tertera di dalamnya. Bukan apa-apa. Pak Bima adalah dosen senior yang sangat jarang terlihat di kampus. Mata kuliah yang seharusnya beliau ampu pun seringkali diwakilkan oleh dosen lain karena kesibukannya yang nyaris tak terbaca. Kirana menelan kekecewaannya dalam diam.

Vania di sebelahnya juga tak kalah kaget. Dia pikir ayahnya akan “mengatur” seperti biasa agar ia bisa dapat dosbing yang ayahnya bisa “kendalikan”. Namun, nama Bu Ratna tertera di sana. Dosen perfeksionis yang selama ini terkenal dengan integritas dan kejujurannya. Matanya melirik kertas milik Kirana.

“Ah … apa bagian akademik melakukan kesalahan?” Vania membatin. Pak Bima ini cukup dekat dengan ayahnya, Vania pikir malah ia yang akan jadi dosbingnya.

Kirana juga melirik kertas milik Vania.

“Wah … kamu enak ya, Van dapat Bu Ratna.” ujar Kirana tulus, meski menyimpan sedikit rasa iri. Ia pernah menghadiri beberapa seminar di mana Bu Ratna menjadi pembicara. Kagum. Itu kesan pertama yang Kirana tangkap. Kagum yang semakin tumbuh saat ia mengikuti kelas Bu Ratna. Tegas, sistematis, tapi tetap lembut dan membangun.

“Enak apanya?” Vania mendengkus dalam hati. Ia tahu betul, di kelas Bu Ratna, ia nyaris tak pernah mendapat nilai sempurna. Semuanya harus presisi dan jujur. Tak ada ruang untuk rekayasa.

“Iya… Bu Ratna kan terkenal aktif di penelitian.” Vania berkelit, menutupi kegelisahan yang perlahan mulai muncul. Namun, dalam waktu cepat, satu ide terlintas di kepalanya. Seperti biasa, ia tak membuang waktu untuk memanfaatkannya.

“Na, gimana kalau kamu coba ajukan Bu Ratna jadi dosbing dua? Aku ajukan Pak Bima juga sebagai dosbing dua. Kan asyik tuh, kita bisa bimbingan bareng, sekalian atur strategi ketemu dosen-dosen sibuk ini.”

Kirana tidak langsung menjawab. Akumulasi kecurigaan terhadap gerak-gerik Vania selama ini membuatnya terlalu sulit untuk meng-iya-kan. Pikiran buruk bahwa Vania berusaha merencanakan sesuatu demi kepentingannya langsung terlintas. Kirana waspada. Namun, ide Vania kali ini terdengar cukup masuk akal. Bu Ratna adalah sosok yang ia kagumi. Jika bisa mendapat bimbingan dari beliau, tentu akan jadi pengalaman berharga.

“Kalo kamu mau, aku bisa bantu tanya Papa soal jadwal Pak Bima. Beliau memang jarang di kampus, tapi kan kita bisa atur kalau tahu waktu senggangnya,” lanjut Vania, tetap dengan senyumnya yang manis.

Mendengar penurutan Vania barusan, Kirana cukup tergoda. Tidak apa-apa, kan?

Kirana mengangguk perlahan dengan hati masih 50% ragu. “Hm… boleh, deh. Kita coba ajukan. Siapa tahu disetujui.”

Saat kalimat itu lolos dari bibirnya, Kirana tak tahu bahwa keputusan kecil tersebut akan menjadi salah satu hal yang kelak ia sesali dalam hidupnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Fidelia
2069      890     0     
Fantasy
Bukan meditasi, bukan pula puasa tujuh hari tujuh malam. Diperlukan sesuatu yang sederhana tapi langka untuk bisa melihat mereka, yaitu: sebentuk kecil kejujuran. Mereka bertiga adalah seorang bocah botak tanpa mata, sesosok peri yang memegang buku bersampul bulu di tangannya, dan seorang pria dengan terompet. Awalnya Ashira tak tahu mengapa dia harus bertemu dengan mereka. Banyak kesialan menimp...
Anikala
898      427     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
SANTA GIRL
513      264     5     
Short Story
Ternyata! Santa itu nyata. Ada yang pernah melihatnya di Litlagea, uptown Loughrea. Bukan seorang kakek dengan kereta rusa, tapi seorang gadis kota yang kamu sukai.
Taruhan
49      47     0     
Humor
Sasha tahu dia malas. Tapi siapa sangka, sebuah taruhan konyol membuatnya ingin menembus PTN impian—sesuatu yang bahkan tak pernah masuk daftar mimpinya. Riko terbiasa hidup dalam kekacauan. Label “bad boy madesu” melekat padanya. Tapi saat cewek malas penuh tekad itu menantangnya, Riko justru tergoda untuk berubah—bukan demi siapa-siapa, tapi demi membuktikan bahwa hidupnya belum tama...
Langit Jingga
2768      976     4     
Romance
"Aku benci senja. Ia menyadarkanku akan kebohongan yang mengakar dalam yakin, rusak semua. Kini bagiku, cinta hanyalah bualan semata." - Nurlyra Annisa -
love is poem
1352      861     4     
Romance
Di semesta ini yang membuat bahagia itu hanya bunda, dan Artala launa, sama kaki ini bisa memijak di atas gunung. ~ ketika kamu mencintai seseorang dengan perasaan yang sungguh Cintamu akan abadi.
SEBUAH KEBAHAGIAAN
565      440     3     
Short Story
Segala hal berkahir dengan bahagia, kalau tidak bahagia maka itu bukanlah akhir dari segalanya. Tetaplah bersabar dan berjuang. Dan inilah hari esok yang ditunggu itu. Sebuah kebahagiaan.
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2312      1060     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Selepas patah
202      166     1     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
I'il Find You, LOVE
6122      1673     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.