Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Ruangan laboratorium dipenuhi suara gesekan kursi dan bunyi kecil dari alat-alat kaca. Kirana duduk dengan gugup di depan mikroskop cahaya yang baru saja ia bersihkan dengan tisu lensa. Jas lab putihnya masih tampak kaku dan sedikit kedodoran, sementara jilbabnya terpasang rapi, menyisakan bagian wajah yang tertutup masker, hanya memperlihatkan sorot mata dan sedikit pelipis yang berkeringat.

Di depannya, sudah ada preparat berupa butiran beras yang ia tumbuk halus, ditaburkan sedikit ke atas kaca objek, lalu ditetesi air suling dan ditutup cover glass dengan hati-hati.

“Jangan sampai ada gelembung udaranya ya, nanti pandangannya terganggu,” ujar dosen pendamping sambil berjalan memeriksa setiap kelompok.

Kirana mengangguk, lalu menunduk mengintip ke dalam lensa mikroskop. Butuh beberapa kali putaran halus pada knob fokus sampai akhirnya ia bisa melihat bentuk khas granula pati dari beras. Bulat lonjong, tersusun rapi, sebagian saling menempel satu sama lain. Garis hilusnya terlihat samar, tapi cukup untuk dikenali.

“Rayya, coba lihat deh. Ini cantik banget,” ucap Kirana berbisik, sambil sedikit memutar mikroskop ke arah sahabat barunya.

Rayya buru-buru duduk dan mengintip ke dalam mikroskop. “Wah! Ini kayak biji-biji salju mini.”

Mereka berdua tertawa pelan. Di meja sebelahnya, kelompok Vania sudah berganti ke pati jagung. Vania bekerja cepat, teratur, dan efisien. Setiap langkahnya seperti sudah dihafal. Tapi sesekali, matanya tetap melirik ke arah Kirana yang terlihat begitu menikmati proses pengamatan.

“Untuk pati jagung, bentuknya akan lebih poligonal. Beda banget sama kentang, nanti kalian lihat. Jangan lupa catat ciri morfologinya di lembar laporan,” seru asisten praktikum dari depan.

Kirana mencatat di kertasnya dengan tulisan rapi, sesekali mengangguk sendiri, terpesona pada dunia kecil yang tersembunyi di balik lensa.

Kirana masih asyik mencatat hasil pengamatan granula pati dari jagung ketika seseorang berdiri di samping mejanya. Sepasang sepatu hitam yang berdebu halus karena jalanan kampus.

“Objek mikroskopnya geser dikit ke kiri. Garis hilusnya belum kelihatan optimal.” Suara berat dan datar itu terdengar dari balik masker.

Kirana menoleh cepat. “Oh, iya, Bang... eh, maksud saya...”

Dirga menaikkan sebelah alis, setengah malas. “Nggak usah pakai ‘Bang’. Kita hanya beda satu angkatan, bukan beda zaman.”

Kirana tidak mengerti kenapa, tidak seperti senior pada umumnya, Dirga selalu menolak untuk dipanggil “Abang” atau “Kakak”. Kata teman-teman Kirana, sih, karena mereka sebenarnya seumuran. Dirga pernah ambil kelas akselerasi waktu SMA menurut kabar yang beredar.

Kirana langsung tersenyum kikuk, buru-buru membetulkan posisi mikroskopnya. “Oke… Dirga.” Rasanya masih aneh menyebut nama itu tanpa embel-embel apa pun.

“Bagus.” Dirga mengangguk pendek, lalu mencondongkan sedikit tubuhnya untuk mengintip ke lensa. “Nah, ini baru kelihatan. Granula poligonal. Catet juga ya, permukaannya lebih kasar dari beras.”

“Oke. Makasih,” jawab Kirana sambil menulis cepat.

Rayya mencolek lengan Kirana begitu Dirga berjalan menjauh.

“Hah. Gaya banget sih si Dirga. Datar abis, tapi sok-sokan muncul di momen heroik.”

Kirana tertawa pelan. “Tapi dia emang ngebantu, Ray. Tadi aku beneran panik soalnya.”

Rayya memutar mata. “Iya, iya. Emang nggak bisa dipungkiri kadang dia berguna. Tapi jangan tertipu tampang cool-nya. Di rumah ... eh maksudku, kayaknya dia bisa nyebelin banget kalau udah bawel.”

Rayya cepat-cepat mengoreksi, “Eh maksudku, dari vibe-nya aja kelihatan gitu. Senior-senior tipe perfectionist kan biasanya emang gitu.”

Kirana yang ada di sebelahnya tampak tidak peduli. Sepertinya tidak dengar omelan Rayya barusan.

Vania yang duduk tak jauh dari mereka menoleh sekilas, lalu mengatur posisi mikroskopnya lagi.

“Dirga memang orangnya gitu,” komentar Vania tanpa menoleh. “Kelihatannya dingin, tapi kerjaannya rapi. Kalau kita serius, dia bakal bantu kok.”

Rayya mengangkat alis. “Wow, kamu sampai bela dia gitu, Van.”

Vania hanya tersenyum tipis. “Bukan bela. Cuma observasi.”

Kirana tertawa kecil melihat dua orang di sampingnya saling lempar komentar. Ia kembali fokus mencatat bentuk dan karakteristik granula pati yang ia lihat

Vania berhenti mencatat. Ia memang sedang mengamati granula pati beras, tapi matanya sempat-sempatnya menengok ke arah Dirga lalu ke arah Kirana.

Ia melihat jelas bagaimana Dirga, si cuek misterius itu, memberi perhatian lebih dari yang biasa ia lihat selama bertahun-tahun mengenalnya. Tak ada candaan, tak ada basa-basi, tapi cukup untuk membuat Vania merasa ada yang bergeser. Bukan karena Kirana melakukan sesuatu yang salah, justru karena Kirana tak melakukan apa pun selain jadi dirinya sendiri.

Vania menggenggam pensilnya sedikit lebih erat. Ia menunduk, kembali menulis hasil pengamatannya. Namun, dari caranya menggaris bawahi kata-kata di bukunya, ada ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.

Sejak masa ospek, Kirana, Rayya, dan Vania memang mulai dekat. Kirana yang cenderung tidak banyak bicara, merasa nyaman dengan Rayya yang ceria dan baik hati. Vania, seperti biasa pintar, cekatan, dan populer. Ia cepat akrab karena sudah lebih dulu dekat dengan Rayya sejak SMP. Mereka bertiga sering terlihat bersama. Baik saat kegiatan kampus, makan di kantin, atau belajar kelompok.

Kirana tak merasa perlu membangun dinding. Ia bukan tipe yang langsung percaya, tapi juga bukan yang menutup diri. Dalam dinamika mereka bertiga, Rayya seperti jembatan: penuh tawa, selalu berusaha mencairkan suasana.

Meski berbeda karakter, mereka sering terlihat bersama. Bersama Rayya, mereka membentuk trio yang cukup dikenal di kalangan mahasiswa baru. Tidak karena mereka selalu tampil mencolok, tapi karena dinamika mereka terasa seimbang. Vania yang karismatik, Rayya yang spontan dan penuh semangat, serta Kirana yang tenang dan reflektif, seolah menjadi satu kesatuan yang unik. Di antara ketiganya, Kirana merasa punya ruang aman. Tak selalu berbagi cerita, tapi cukup merasa dihargai keberadaannya. Rayya yang ekstover serta Vania yang sangat pandai menyesuaikan diri dengan keadaan sedikit banyaknya membuat hidup Kirana dihiasi dengan lebih banyak tawa. Kirana sering merasa salut dengan mereka berdua yang sangat mudah beradaptasi, memiliki lingkup pertemanan yang luas pula.

Masa-masa perkuliahan yang sibuk, hectic, sampai rasanya sulit bernapas berhasil mereka lalui dengan cukup baik. Seperti roda yang terus berputar tanpa henti, hari-hari mereka dipenuhi rutinitas yang nyaris tak memberi celah. Pagi hingga siang biasanya dipenuhi jadwal materi kuliah. Dari teori dasar farmakologi hingga diskusi tentang metabolisme obat yang kompleks. Lalu, bakda zuhur sampai sore, mereka langsung bersiap masuk laboratorium untuk menjalani praktikum. Jas lab, masker, dan buku panduan jadi atribut wajib setiap hari.

Waktu luang adalah kemewahan bagi mahasiswa Farmasi. Langka, mahal, dan nyaris mustahil. Sebab jika ada waktu “kosong” yang tidak diisi oleh jadwal resmi perkuliahan atau praktikum, biasanya akan segera tersita untuk hal lain: antrean panjang untuk ACC laporan praktikum dengan asisten laboratorium, revisi tak berkesudahan, tumpukan tugas individu yang tak pernah selesai bercabang, atau diskusi kelompok yang harus diatur di sela-sela kelelahan masing-masing. Ah … belum lagi waktu yang harus dihabiskan untuk pengadaan sampel bahan praktikum. Namun meskipun melelahkan, ada sesuatu dalam semua kepadatan itu yang perlahan membentuk mereka. Entah itu rasa tanggung jawab, kebersamaan, atau mungkin—ketahanan untuk bertahan, bahkan saat dunia rasanya terlalu riuh untuk dipahami.

***

“Menurut kalian, siapa, sih yang bakal dapat IP paling tinggi di angkatan?” Entah dari mana, obrolan ini bermula di akhir semester 1.

Nama Kirana dan Vania kembali muncul di antara para mahasiswa. Mahasiswa cerdas yang lain juga banyak sekali, sebab dari awal bisa lulus di jurusan Farmasi bukan hal yang mudah. Namun, eksistensi Kirana dan Vania sudah berbeda sejak Ospek.

Dari awal semester, Vania dan Kirana memang terlihat cukup menonjol dibanding mahasiswa lainnya. Vania mencuri perhatian dengan caranya berbicara yang percaya diri, gaya berpenampilan yang selalu rapi dan stylish, serta cara ia membawa diri dalam setiap forum. Ia tahu bagaimana tampil di depan kelas, bagaimana menjawab dosen dengan bahasa yang tepat, dan bagaimana membuat orang menoleh ketika ia melangkah masuk ke ruangan. Ia tampak seperti paket lengkap. Cantik, cerdas, dan berwibawa. Tak butuh waktu lama bagi banyak orang untuk menaruh perhatian padanya, baik dalam bentuk kekaguman maupun rasa penasaran.

Sementara itu, Kirana menonjol dengan cara yang berbeda. Ia tidak pernah mencari sorotan, tapi kehadirannya sulit diabaikan. Sosoknya kalem, tapi selalu hadir penuh ketika dosen menjelaskan. Catatannya rapi, jawabannya lugas, dan setiap kali ia berbicara, terdengar pemikiran yang matang di balik suaranya yang lembut. Teman-teman sekelas mulai sering meliriknya saat diskusi kelompok atau praktikum. Bukan karena volume suaranya, tapi karena substansi yang ia bawa dalam diamnya.

“Menurutku Kirana. Dia tu kayak lebih paham konsep. Kalau Vania lebih ke hapalan text book, nggak, sih?” kata mahasiswa lain.

“Iya, aku juga ngerasa kayak gitu. Kalau nanya sama Kirana hal yang nggak dimengerti, dia tu ngejelasin pakai bahasa yang mudah dipahami. Vania memang outstanding kali, no debat. Tapi kalau ditanya soal hasil akhir, Kirana lebih unggul di banyak aspek.” Mahasiswa yang lain juga memberi komentar.

“Permisi!” Suara lembut tapi vokal itu mengagetkan ketiga mahasiswa yang sedang mengobrol. Mereka mendadak pucat, karena sumber suara itu adalah Vania.

“Maaf, ya, tapi tas lab-ku ada di situ,” ujar Vania menyela di antara mereka bertiga. Sengaja, walau sebenarnya ia bisa lewat di samping mereka tanpa menyela.

“Eh … iya, Van.” Mereka makin salah tingkah. Tidak menyangka orang yang diomongin ternyata ada di sekitar mereka.

Vania tersenyum. Manis. Tapi ada aura yang cukup membuat lawannya merinding. “Aku duluan, ya. Lanjut gih ngobrolnya.”

Saat berbalik badan, senyum di wajah Vania pudar. Omongan seperti ini sudah beberapa kali ia dengar. Kirana beginilah, Kirana begitulah. Seenaknya saja mereka membandingkan tanpa tahu sekeras apa usaha Vania untuk bisa tampil menonjol dan menjadi nomor satu. Tak ada yang tahu berapa banyak waktu yang ia korbankan hanya untuk bisa berdiri sejajar, apalagi melampaui Kirana. Vania sudah berusaha sangat maksimal. Masih terjaga saat orang-orang mungkin sudah tidur, membangun jaringan dengan para senior untuk dapat gambaran tipe dosen dan bahan kuliah yang bagus, membeli dan membaca buku-buku referensi lebih banyak dari siapa pun di kelas.

Ia tahu, ada dinding bernama kecerdasan bawaan yang tak akan bisa ia kalahkan sekeras apa pun ia berusaha. Dan itu bukan salahnya juga, bukan kesalahannya terlahir dengan “spesifikasi” kecerdasan yang mungkin berada sedikit di bawah Kirana. Namun, dunia tidak pernah memberi ruang untuk penjelasan seperti itu. Dunia hanya melihat hasil akhir.

Vania mengepal tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk menggigiti kuku ibu jarinya. Gerakan kecil yang mencerminkan kegelisahan besar. Ia gelisah. Usaha macam apa lagi yang harus ia lakukan untuk sepenuhnya mengalahkan Kirana dan jadi nomor satu? Apa lagi yang harus ia korbankan?

“Ini!”

Suara bentakan itu membuyarkan pikirannya. Ayah Vania melemparkan sebuah map cokelat ke atas meja belajarnya. Gerakan kasar itu bertentangan dengan nada suaranya yang tampak biasa saja—seperti melemparkan laporan belanja harian, seolah tidak ada beban moral di dalamnya.

Vania membuka map itu. Matanya terbelalak melihat isinya.

“Pa …,” ujarnya terbata. Napasnya tercekat. Ia tahu benar apa artinya lembaran-lembaran itu.

“Apa sih selama ini yang bisa kamu raih tanpa bantuan dari Papa?” Ayah Vania mengusap kepalanya dengan gerakan lembut, senyumnya mengembang, tetapi justru senyum itu yang membuat Vania semakin tercekik. Senyum itu bukan kasih sayang. Itu adalah tekanan, penuh intimidasi, penuh tuntutan.

“Pelajari baik-baik. Kamu harus jadi nomor satu, Nia. Karena selain nomor satu, semuanya cuma pecundang.” Bahu Vania ditekan pelan. Pelan, tapi cukup untuk membuat jiwanya bergetar.

“Hasil mid semestermu kurang sempurna. Siapa itu namanya? Kirana?” lanjut sang ayah, suaranya tetap tenang, terlalu tenang. “Dia dapat nilai lebih baik. Tapi tenang, ada beberapa dosen yang bisa Papa pegang dan atur supaya nilaimu di atas dia.”

Ucapannya seperti instruksi harian. Bukan konspirasi akademik. Seolah manipulasi semacam itu adalah hal biasa, semudah bernapas, semudah menyeduh kopi di pagi hari.

Vania terpaku. Ini bukan pertama kalinya. Bukan pertama kalinya.

Sejak kecil, sejak ia mulai bisa membaca angka dan huruf, sejak ia tahu apa arti kata “peringkat,” Vania selalu dituntut untuk jadi yang nomor satu. Dan entah sudah berapa kali ia menerima “bantuan” seperti ini. Bantuan yang tak pernah diminta, tapi tak bisa ia tolak.

Vania memukul-mukul dadanya sendiri. Rasanya sesak. Masih ada sisi kemanusiaannya yang menolak. Masih ada bagian dari dirinya yang ingin menang dengan cara yang murni. Padahal, tanpa “bantuan” ini pun, Vania merasa dirinya sudah cukup cemerlang. Ia cukup cerdas. Cantik. Menarik. Penuh potensi.

Tapi … seolah ia punya pilihan lain untuk memenuhi ekspektasi ayahnya. Ia tidak punya. Tidak pernah punya.

“Ha-ha-ha ….”

Tawa itu keluar begitu saja dari mulut Vania. Datar. Pahit. Ia menertawakan dirinya sendiri. Menertawakan orang-orang yang menyangka hidupnya sempurna. Menertawakan kesan luar yang tidak pernah benar-benar mewakili isi hatinya. Menertawakan hatinya sendiri yang semakin lama semakin mati, semakin terbiasa dengan semua ini, dengan kebusukan yang dibungkus ambisi dan nama baik.

Tangan Vania menggenggam lembaran kertas dalam map erat-erat. Soal-soal ujian akhir semester yang akan diadakan seminggu lagi harus ia pelajari dan hapalkan jawabannya baik-baik. Bukan untuk memperjuangkan mimpi, tapi demi mempertahankan ilusi kesempurnaan yang dipaksakan padanya sejak kecil.

***

Ujian akhir semester berlalu begitu saja. Tanpa sempat benar-benar terasa, waktu meluncur seperti anak panah. Liburan semester datang, disambut dengan kelegaan sesaat. Dan tiba-tiba ... semester dua pun telah dimulai. Mahasiswa kembali berkumpul di kampus untuk melakukan pengisian KRS. Gedung Fakultas Farmasi yang sempat lengang kini kembali ramai. Suara langkah kaki, tawa kecil, dan percakapan memenuhi koridor.

“Eh, seriusan IP Vania lebih tinggi dari Kirana?”

Desas-desus mulai berembus, awalnya lirih, tapi segera menyebar seperti api kecil yang menyulut rumput kering.

“Ya … mungkin aja, sih. Vania kan memang pinter,” bantah salah satu mahasiswa, mencoba bersikap netral.

“Iya … tapi kan Kirana itu … gimana ya bilangnya … kayak layak dapat lebih aja gitu dari Vania.”

Kalimat itu menggantung di udara. Tak sepenuhnya jahat, tapi jelas mengandung bias. Seolah-olah keberhasilan Vania adalah sesuatu yang harus dipertanyakan.

Vania berlalu begitu saja mendengar obrolan barusan. Tidak menoleh. Tidak memperlambat langkah. Tapi dalam hatinya, ia mencatat semuanya. Kata demi kata. Tatapan-tatapan samar yang mengarah padanya. Apa pun yang mereka katakan, faktanya di atas kertas dirinya adalah yang terbaik di satu angkatan.

“Jangan didengerin, Van.”
Kirana yang juga ada di situ melangkah mendekat. Ia bisa melihat ekspresi Vania yang sedikit berubah, meski hanya sekilas. Wajah itu tetap tenang, tapi mata Vania menyiratkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Campuran amarah, kebanggaan, dan kelelahan.

Kirana sendiri tidak pernah merasa bersaing dengan siapa pun. Ia belajar bukan untuk menang, melainkan karena ia menyukai prosesnya. Ia tak pernah berambisi menjadi nomor satu. Pencapaian akademik bukanlah medan perang baginya. Dan ia sepenuhnya menerima bahkan merasa bahagia atas keberhasilan Vania. Kirana tahu betul betapa kerasnya Vania belajar selama ini. Ia menyaksikannya sendiri. Malam-malam panjang. Buku-buku tebal. Catatan-catatan penuh coretan dan stabilo.

“Ya … memang nggak perlu didengerin, kan? Faktanya nilaiku memang lebih tinggi.”
Vania tersenyum. Cuek. Tapi senyum itu seperti perisai, bukan pantulan kebahagiaan sejati. Ia menegaskan posisinya memang paling di atas, dan ia ingin semua orang tahu itu.

Sepintas, Kirana merasakan ketidaknyamanan. Namun, perasaan itu langsung ia tepiskan. Kirana bukan tipe yang memelihara rasa tak enak di hatinya. Ia memilih percaya bahwa mungkin Vania sedang butuh pengakuan. Dan ia tak akan menjadi orang yang mengambil itu darinya.

“Tolong, ya … yang IP-nya bagus-bagus diam dulu.” Suara Rayya memecah ketegangan dengan keluh khasnya. Ia mengacak-acak jilbabnya sambil menghela napas. “Tolong beri sedikit pengertiannya pada mahasiswa IPK dua koma sepertiku.”

Mereka tertawa kecil. Tapi hanya sesaat. Dalam canda itu ada getir. Rayya memang dikenal ceria, tapi bukan berarti ia tak merasa kecewa. Padahal mereka bertiga sering belajar bersama. Duduk melingkar di taman kampus, bertukar catatan, berdiskusi soal soal. Tapi hasil yang Rayya dapat seolah mengkhianati semua usaha yang sudah ia keluarkan.

“Masih semester satu, Ray. Masih penyesuaian. Di praktikum Farmasetika Dasar, kamu bahkan lebih cepat bisa menimbang dengan presisi dibanding kami berdua.” Kirana mencoba menghibur. Nada suaranya tulus. Ia tahu, nilai bukan segalanya.

Rayya sedikit bersungut. Ia tahu Kirana bermaksud baik. Dan memang, sih ... di dunia ini tidak ada yang benar-benar mempermasalahkan nilai akademiknya. Bukan orang tuanya. Bukan teman-temannya. Bahkan dirinya sendiri pun jarang benar-benar terpaku pada angka.

Orang tuanya? Wah, mereka justru tipe yang paling santai. Asal anak mereka ini sehat dan bahagia saja, itu sudah cukup. Cukup untuk membuat mereka bersyukur. Bahkan, keputusan Rayya untuk masuk jurusan Farmasi awalnya ditentang karena mereka tahu betapa melelahkannya kuliah di jurusan itu. Tapi setelah dibujuk sedemikian rupa, dengan janji bahwa ia akan tetap menjaga keseimbangan hidup, barulah mereka mengizinkan.

“Iya, sih. Kalau praktikum aku nggak kalah dari kalian berdua,” ujar Rayya sambil mengusap hidungnya. Ekspresinya berubah sedikit bangga, sedikit lega. Setidaknya, di satu aspek, ia tahu dirinya punya tempat.

“Tapi tetap aja nilaimu itu perlu diperbaiki.” Dirga yang entah muncul dari mana tiba-tiba menepuk kepala Rayya dengan buku, pelan. Suaranya datar seperti biasa, tapi ada nada menggoda yang khas.

Rayya memegang kepalanya yang tidak sakit. “Tanggung jawab, Dir, kalau aku jadi bodoh.” Matanya menyipit, berpura-pura kesal. Tapi senyumnya tidak bisa disembunyikan.

“Iya, nanti kutransfer sedikit kejeniusanku.” Dirga memasang ekspresi tidak mau kalah. Alisnya terangkat, gaya bicaranya seperti pahlawan fiktif yang baru selesai menyelamatkan dunia.

“Iya, deh, Tuan Dirga yang Terhormat!”
Rayya menjulurkan lidah, lalu tertawa pelan. Candaan itu mengalir begitu alami di antara mereka. Ringan, tanpa beban.

Mereka berjalan beriringan menuju tangga. Langkah santai, seperti tidak diburu apa-apa. Di sela celetukan ringan dan gelak tawa kecil, suasana kampus terasa lebih hangat. Rayya dan Dirga terus berbalas komentar seolah dunia hanya milik mereka berdua.

Sementara itu, Vania yang dari tadi tampak mendengarkan sambil sesekali menata letak tasnya, melirik ke arah Dirga. Tatapannya bukan sekadar iseng. Ada rasa ingin tahu yang tidak ditutupinya.

“Eh, Dirga,” katanya santai tapi jelas terdengar, “IP semester kamu berapa, sih?”

Pertanyaan itu membuat langkah Rayya sedikit melambat.

Kirana dari tadi ternyata tidak memperhatikan. Perhatiannya terpaku ke papan pengumuman di sisi lorong. Kalau sudah di dunianya sendiri, Kirana sering tidak ambil peduli pada hal lain di sekitarnya.

Dirga mengangkat alis, menoleh sekilas ke Vania. “Kenapa nanya itu?”

“Ya penasaran aja,” sahut Vania sambil tersenyum manis. Senyum itu mengandung campuran antara kekaguman, evaluasi, dan sedikit tantangan. “Kamu keliatan santai banget tapi bisa jadi asisten lab. IP kamu pasti empat, ya?”

Dirga mendengkus pendek. Tidak menjawab langsung. “Nggak penting juga diumbar.”

Rayya menyeringai. “Tuh kan, dari dulu juga begitu. Ditanya nilai langsung menghindar.”

“Ya karena IP itu buat aku, bukan buat diumumkan.” Suara Dirga tetap tenang. Tidak defensif, hanya datar. Ia lalu sengaja melangkah lebih cepat, seperti ingin mengalihkan pembicaraan. Tapi sebelum benar-benar menjauh, ia menambahkan dengan nada datar, nyaris ringan:
“Lagi pula, nilaiku kan sering kali di bawah kamu, Vania. Dari SMP begitu, kan?”

Dirga tersenyum sekilas. Sepintas. Tapi cukup untuk membuat Vania terdiam.

Kalimat itu tidak menyakitkan, tapi cukup tajam. Mengandung sejarah. Mengingatkan kembali bahwa mereka memang sudah lama saling mengenal, dan bahwa perbandingan bukan hal baru di antara mereka.

Vania tidak membalas. Tatapannya kosong sesaat, lalu ia kembali berjalan. Namun, dalam dirinya ada sesuatu yang mengeras. Ia tidak suka merasa ditarik kembali ke masa lalu yang sudah ia coba tinggalkan.

Sementara itu, Kirana berhenti sejenak di depan papan pengumuman. Matanya tertuju pada sebuah poster seminar yang warnanya mencolok. Judulnya menarik, tentang pengembangan fitofarmaka dan peran mahasiswa dalam inovasi bahan alam. Kirana membaca cepat nama-nama narasumbernya, mencatat jadwal seminar itu dalam benaknya. Rasanya, ini bisa jadi pengalaman belajar yang menyenangkan di luar kelas.

“Na! Ditinggal!” Suara Rayya terdengar memanggil dari kejauhan.

Kirana tersadar dan buru-buru menyusul mereka, sambil tersenyum kecil.

Dari atas tangga, Dirga tanpa sadar menoleh ke belakang. Pandangannya tertuju pada Kirana yang sedang berjalan cepat, jilbab panjangnya sedikit berayun tertiup angin lorong. Beberapa detik sebelumnya, Kirana tampak begitu fokus. Dirga memperhatikannya lebih lama dari yang ia sadari.

Dan pandangan itu tertangkap oleh Vania. Lagi-lagi.

Vania tidak berkata apa-apa. Tapi sorot matanya berbicara banyak. Lebih dari cukup. Ada sesuatu dalam dirinya yang kembali bergolak, entah rasa cemburu, khawatir, atau mungkin sekadar ego yang terus-menerus terusik.

Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tapi wajahnya tetap datar. Tidak ada yang mencurigakan dari luar. Tapi dalam pikirannya, semuanya terasa ribut.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pilihan Terbaik
4838      1468     9     
Romance
Kisah percintaan insan manusia yang terlihat saling mengasihi dan mencintai, saling membutuhkan satu sama lain, dan tak terpisahkan. Tapi tak ada yang pernah menyangka, bahwa di balik itu semua, ada hal yang yang tak terlihat dan tersembunyi selama ini.
Accidentally in Love!
442      292     1     
Romance
Lelaki itu benar-benar gila! Bagaimana dia bisa mengumumkan pernikahan kami? Berpacaran dengannya pun aku tak pernah. Terkutuklah kau Andreas! - Christina Adriani Gadis bodoh! Berpura-pura tegar menyaksikan pertunangan mantan kekasihmu yang berselingkuh, lalu menangis di belakangnya? Kenapa semua wanita tak pernah mengandalkan akal sehatnya? Akan kutunjukkan pada gadis ini bagaimana cara...
How Precious You're in My Life
13927      2470     2     
Romance
[Based on true story Author 6 tahun] "Ini bukanlah kisah cinta remaja pada umumnya." - Bu Ratu, guru BK. "Gak pernah nemuin yang kayak gini." -Friends. "Gua gak ngerti kenapa lu kayak gini sama gua." -Him. "I don't even know how can I be like this cause I don't care at all. Just run it such the God's plan." -Me.
Survive in another city
124      103     0     
True Story
Dini adalah seorang gadis lugu nan pemalu, yang tiba-tiba saja harus tinggal di kota lain yang jauh dari kota tempat tinggalnya. Dia adalah gadis yang sulit berbaur dengan orang baru, tapi di kota itu, dia di paksa berani menghadapi tantangan berat dirinya, kota yang tidak pernah dia dengar dari telinganya, kota asing yang tidak tau asal-usulnya. Dia tinggal tanpa mengenal siapapun, dia takut, t...
Altitude : 2.958 AMSL
719      491     0     
Short Story
Seseorang pernah berkata padanya bahwa ketinggian adalah tempat terbaik untuk jatuh cinta. Namun, berhati-hatilah. Ketinggian juga suka bercanda.
Because Love Un Expected
11      10     0     
Romance
Terkadang perpisahan datang bukan sebagai bentuk ujian dari Tuhan. Tetapi, perpisahan bisa jadi datang sebagai bentuk hadiah agar kamu lebih menghargai dirimu sendiri.
Pupus
430      289     1     
Short Story
Jika saja bisa, aku tak akan meletakkan hati padamu. Yang pada akhirnya, memupus semua harapku.
Langkah Pulang
365      272     7     
Inspirational
Karina terbiasa menyenangkan semua orangkecuali dirinya sendiri. Terkurung dalam ambisi keluarga dan bayang-bayang masa lalu, ia terjatuh dalam cinta yang salah dan kehilangan arah. Saat semuanya runtuh, ia memilih pergi bukan untuk lari, tapi untuk mencari. Di kota yang asing, dengan hati yang rapuh, Karina menemukan cahaya. Bukan dari orang lain, tapi dari dalam dirinya sendiri. Dan dari Tuh...
Rindumu Terbalas, Aisha
539      374     0     
Short Story
Bulan menggantung pada malam yang tak pernah sama. Dihiasi tempelan gemerlap bintang. Harusnya Aisha terus melukis rindu untuk yang dirindunya. Tapi kenapa Aisha terdiam, menutup gerbang kelopak matanya. Air mata Aisha mengerahkan pasukan untuk mendobrak gerbang kelopak mata.
Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
627      283     7     
Fantasy
Lily adalah siswa kelas 12 yang ambisius, seluruh hidupnya berputar pada orbit Adit, kekasih sekaligus bintang pemandunya. Bersama Adit, yang sudah diterima di Harvard, Lily merajut setiap kata dalam personal statement-nya, sebuah janji masa depan yang terukir di atas kertas. Namun, di penghujung Juli, takdir berkhianat. Sebuah kecelakaan tragis merenggut Adit, meninggalkan Lily dalam kehampaan y...