Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Vania menggulir ponselnya, membuka medsos sembari mengecek atensi orang-orang di dunia maya akan postingan-nya dua jam lalu. Vania sendiri memang lumayan “terkenal” di salah satu platform media sosial karena konten edukasinya tentang penggunaan obat. Ia juga punya modal wajah cantik, tubuh tinggi semampai, dan public speaking yang mumpuni.

Pujian seperti, “calon apoteker cantik kita”, “si malaikat Vania”, “udah pinter, cantik, peduli sosial”, sudah biasa Vania dapatkan.

Ia memilih duduk sendiri di salah satu sudut tenda, istirahat sejenak. Hari ini ia membantu di sebuah kegiatan bakti sosial sebuah organisasi kemasyarakatan. Kegiatannya beragam mulai dari pembagian sembako sampai cek kesehatan gratis. Animo masyarakat selalu tinggi, pasien yang memeriksakan dirinya pun cukup banyak. Periksa gratis, termasuk dapat obat dan suplemen pula jika diperlukan. Vania rutin terlibat kegiatan seperti ini sejak semester 8 sebagai “asisten” apoteker, perintah ayahnya. Perintah yang tidak bisa ditolak sama sekali kendati sebenarnya Vania malas berurusan dengan orang-orang yang bagi Vania “kotor” ini.

Sedang tenang dengan dirinya sendiri, tiba-tiba sebuah bola menghantam bahu Vania cukup keras. Meninggalkan jejak di jas putihnya. Sungguh Vania ingin berkata kasar sebab sudah dari tadi ia menahan diri saat orang-orang “kotor” ini mengerumuninya di posko obat, tidak mengerti cara mengantre. Namun, ia urungkan.

“Maaf Bu Dokter, anak saya nggak sengaja.” Seorang ibu berdaster merah kusut mendatangi Vania tergesa. Di sampingnya seorang anak laki-laki tampak diseret untuk meminta maaf.

Vania memasang senyum terbaiknya. Ada kekesalan tersendiri karena masyarakat tidak mengenal profesi apoteker konon lagi tenaga teknis kefarmasian, asal pakai jas putih pasti langsung dicap dokter. Mata Vania melakukan screening singkat penampilan ibu dan anak di depannya.

Kumal, bau, dekil. Entah apa lagi umpatan yang ada dalam hati Vania.

“Iya, Bu nggak apa-apa.”

Vania berjongkok, menyerahkan bola pada anak yang tampak ketakutan. “Kakak nggak apa-apa, kok. Lain kali kamu hati-hati, ya.” Lalu ia mengusap kepala anak itu lembut, juga menyerahkan sebuah lolipop.

Segera setelah anak dan ibu itu pergi, senyum Vania menguap. Ia langsung membuka jas putihnya yang kotor, mengambil tisu basah dari tasnya dan mengelap tangannya yang menyentuh kepala anak tadi. Ada rasa jijik yang menghinggapi.

Argh … melelahkan sekali harus berpura-pura seperti ini.

Emosi Vania makin memuncak, saat ia kembali menggulir ponselnya. Berniat mendapatkan energi positif dari puja-puji penghuni dunia maya. Yang muncul di berandanya malah unggahan Rayya yang tersenyum lebar, di sebelahnya ada Kirana memegang karung, dan Fathur yang berdiri di belakang Kirana sambil membuat tanda “V” dengan jarinya di atas kepala Kirana. Vania fokus pada latar tumbuhan kembang bulan, dan sosok yang berdiri membelakangi kamera agak jauh, tidak sengaja terfoto sepertinya.

Namun, walau dari belakang, Vania tahu betul itu Dirga.

 “Tim ekspedisi daun” menjadi takarir foto tersebut.

Vania merasa marah. Marah yang membakar diam-diam, menjalari dadanya dengan panas yang sulit dijelaskan. Ia pikir Kirana sudah habis. Sudah tumbang. Sudah tidak punya daya untuk kembali. Bukankah itu yang seharusnya terjadi? Setelah kehilangan dosen pembimbing, gagal penelitian, dan sempat menghilang dari peredaran, Kirana mestinya tak punya cukup kekuatan untuk berdiri lagi.

Namun, nyatanya Kirana kembali. Tampak tenang bersama teman-temannya, seolah tak pernah ada luka. Dan yang membuat Vania semakin geram, di sana juga ada Dirga.

Ia tidak bisa menerima ini. Dalam pikirannya, Kirana seharusnya menjadi masa lalu, bukan lagi ancaman di masa kini. Sosok yang sudah kalah dan dilupakan.

“Harusnya kamu udah jatuh dan tetap di bawah,” gumamnya pelan, nyaris seperti mantra kutukan. Ia mengepal tangannya keras, jari-jarinya memutih. Rasa marah ini terbalut dalam rasa iri.

Vania menoleh sekali lagi ke foto itu, terutama sosok Dirga. Hatinya mencelos mengingat suatu waktu ia tak sengaja melihat cara laki-laki itu memperhatikan Kirana. Bukan sekadar simpati, tapi sesuatu yang lebih dalam, yang Vania tahu tak pernah ia terima, meski telah berusaha keras menjadi sempurna.

Ia langsung melakukan panggilan telepon, berharap sosok di foto itu bukan Dirga. Sesaat setelah panggilan diangkat, Vania langsung memberondong Dirga dengan pertanyaan.

“Dirga, hari ini kamu nggak jadi ikut baksos?”

“Iya, aku udah kabarin koordinator, kok, nggak bisa ikut,” jawab Dirga yang waktu itu sedang memetik daun kembang bulan. “Ada urusan.” Dirga menjelaskan pendek, merasa tak ada kewajiban memberikan detail.

“Urusan apa?” Vania masih menyelidik.

“Biasa, jadi pengawal Rayya.”

Deg! Tangan Vania mengepal lagi. Ia juga tanpa sadar menggigiti kuku ibu jarinya, sebuah gerakan refleks saat ia merasa kesal, gugup, atau tidak nyaman. Sudah bisa dipastikan, sosok yang ada di foto tadi adalah Dirga.

“Ada apa ya, Van?” Dirga bertanya heran, jeda cukup lama di sambungan telepon. “Aku udah pastiin tim yang handle obat-obatan cukup. Temanku Hardi juga tadi datang kan, buat gantiin?”

Vania menjauhkan ponsel, memastikan Dirga tidak mendengar embusan napasnya yang kasar. “Nggak ada apa-apa, kok. Soalnya nggak biasanya kamu nggak hadir di kegiatan. Ok, salam sama Rayya, ya.”

Vania memutuskan sambungan telepon. Rasanya ia ingin pulang sekarang juga, masuk ke kamar dan meluapkan emosinya. Seorang Dirga yang biasanya sangat bertanggung jawab sampai rela mangkir mendadak dengan alasan jadi “pengawal” Rayya? Ha-ha, jelas sekali dia tidak mengatakan kebenaran.

Langkah kaki yang mendekat membuat Vania menoleh. Hardi datang dengan dua gelas plastik berisi minuman dingin.

"Teh melati Van. Biar agak seger karena harinya panas."

Hardi mengambil tempat di sebelahnya. Jas putih miliknya hanya ia sampirkan di bahu. “Semoga kamu suka, ya. Aku nggak tahu minuman favoritmu apa soalnya.”

Vania tersenyum kecil, dibuat semanis dan seramah mungkin. "Aku suka. Makasih, ya."

Harusnya seperti ini. Perlakuan yang seorang Vania Putri Anindya terima seharusnya seperti ini—princess treatment, perlakuan bak ratu yang dikagumi, didekati, dan diberi perhatian penuh. Ia pantas mendapatkannya. Vania yakin betul akan hal itu. Dirga seharusnya berdiri di sisinya, bukan memandang perempuan lain dengan sorot mata yang hanya pantas diberikan pada seseorang yang spesial. Dan bagi Vania, hanya dirinyalah yang pantas jadi spesial di mata Dirga.

Ia selalu percaya bahwa yang terbaik hanya pantas untuk yang terbaik. Ia, mahasiswi dengan IPK nyaris sempurna, pejuang lomba debat kampus, ikon mahasiswa berprestasi. Bukankah lebih masuk akal jika ia bersanding dengan Dirga, sang lulusan terbaik yang nyaris tak pernah gagal dalam hal apa pun?

Sejak kecil, ayahnya menanamkan satu prinsip: harus jadi nomor satu. Tidak ada tempat untuk posisi kedua, apalagi ketiga. Jika bukan pemenang, maka sama saja tidak berarti. Prinsip itu melekat dalam darahnya, membentuk egonya, membentuk cara pandangnya terhadap dunia, termasuk dalam memilih siapa yang pantas berdiri di sampingnya.

Di permukaan, Vania tetap tampak ramah. Ia mengobrol santai dengan Hardi, memasang senyum yang sempurna, tawa yang terdengar tulus, dan gaya bicara yang tetap menawan seperti biasa. Walau dalam hatinya menyala bara. Karena ia tahu, panggung yang seharusnya miliknya kini kembali dihuni oleh lawan lama yang mestinya sudah habis.

***

Saat mencuci daun kembang bulan satu per satu, Kirana kembali dihadapkan pada kenyataan pahit yang sudah lama berusaha ia kubur. Setiap lembar daun yang disentuhnya terasa seperti membuka kembali kenangan lama, tentang kerja keras yang tak dihargai, tentang persahabatan yang ternyata tak seimbang. Dahulu, bukan hanya jadi “relawan semak” yang menyusuri kebun untuk memetik daun, Kirana juga mengerjakan seluruh tahapan pembuatan ekstrak sendirian. Vania, dengan semua pesonanya sebagai bintang kampus, selalu punya alasan: rapat ini, acara itu. Dan dengan suara lembut yang lihai menenangkan, ia berhasil membuat Kirana menerima semua beban tanpa protes.

“Secara teknis, ekstrak kembang bulan ini milikku. Seluruh biayanya aku yang tanggung. Jadi terserah aku mau kuapakan!

Ucapan itu terngiang tajam di benak Kirana, bersama potongan gambar yang tak pernah hilang: Vania membuang botol ekstrak itu, hasil dari puluhan jam kerja Kirana ke dalam tong sampah. Pecah. Begitu saja. Seolah tak ada nilainya.

Sebuah adegan klimaks yang menjawab segala intuisi Kirana atas kejanggalan sikap Vania yang selama ini berusaha ia maklumi. Sekali lagi, atas nama persahabatan.

“Kenapa, Na?” Suara Rayya memecah lamunan. Rayya sadar Kirana seperti terdistraksi.

“Hm … nggak apa-apa, cuma lucu aja ingat aku harus mengerjakan hal yang sama dua kali.”

Kirana masih bingung, apakah harus mengungkap wajah asli Vania kepada Rayya. Bagaimanapun juga, masalah itu adalah antara dirinya dan Vania. Rayya tak seharusnya ditarik ke tengah. Apalagi Kirana tahu betul, Rayya dan Vania sudah bersahabat lebih lama daripada dirinya dan Rayya.

Ia takut, kejujuran justru akan melukai. Bagaimana jika setelah mendengar semuanya, Rayya mulai meragukan kedekatannya sendiri dengan Vania? Atau sebaliknya, bagaimana jika Rayya merasa Kirana hanya ingin menjatuhkan sahabat lamanya? Kirana tidak ingin menjadi penyebab renggangnya hubungan siapa pun. Tapi di sisi lain, diam pun tak lagi terasa sebagai pilihan aman.

Kirana masih mencoba menakar situasi, seperti menimbang bahan aktif dalam skala mikrogram. Terlalu sedikit mungkin tak berdampak, tapi terlalu banyak bisa berefek toksik. Dan ia tidak yakin, dosis diamnya sekarang masih bisa disebut aman. Tapi mengungkap semuanya? Ia belum siap menjadi penyebab reaksi tak terduga antara Rayya dan Vania.

Kirana juga tahu betapa halusnya Vania menyusun sikap. Ibarat reaksi obat, tidak semua interaksi tampak di permukaan, tapi bisa menimbulkan efek jika dibiarkan terakumulasi. Vania tidak perlu menyerang dengan kata-kata tajam. Sering kali cukup dengan isyarat, nada, atau senyum kecil yang mengandung dosis kecil ketidaksukaan, yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang pernah jadi sasarannya.

Maka Kirana memilih menahan diri, meski dadanya terasa sesak. Diam bukan karena takut, tapi karena ia belum menemukan cara yang tepat untuk bicara tanpa melukai.

“Tapi kali ini, aku nggak mengerjakan semua sendirian, makasih banyak ya, Ray,” ucap Kirana lagi, sangat tulus.

Rayya menoleh, tersenyum hangat. “Na … aku udah sering bilang, kan. Kalau butuh bantuan, aku pasti bantu semampuku. Kalau butuh tempat cerita….” Rayya menggantung kalimatnya sejenak, lalu menatap Kirana penuh makna. “Kapan pun kamu siap cerita, telingaku siap dengerin.”

Rayya bukan tidak peka. Setidaknya, pertemuan Kirana dan Vania di pelataran Asy-Syifa tempo hari cukup memberi sinyal bahwa ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka. Meski keduanya tampak menjaga sikap, Rayya bisa merasakan ketegangan yang tersembunyi di balik senyum dan kalimat sopan yang saling menusuk.

Ia sudah mengenal Vania sejak SMP, persahabatan panjang yang memberinya cukup pemahaman tentang pola dan kebiasaan Vania. Rayya tahu, Vania adalah pribadi yang cerdas, menawan, dan penuh inisiatif. Namun, di balik semua itu, Vania juga memiliki sisi lain: kecenderungan untuk mendominasi.

Yang membuat Rayya heran, selama satu tahun Kirana menghilang dari dunia kampus, Vania tidak pernah menunjukkan kegelisahan berarti. Seolah kehilangan itu tidak meninggalkan ruang kosong. Padahal, dulu mereka bertiga cukup dekat. Ada masa ketika Kirana menjadi bagian penting dalam lingkaran pertemanan mereka. Hadir dalam percakapan, dalam tugas kelompok, bahkan dalam obrolan di luar jam kuliah.

Rayya mencoba menepis pikirannya, berusaha menganggap mungkin setiap orang punya cara sendiri dalam menghadapi kehilangan. Namun, ada bagian dari dirinya yang terus terusik: Sorot mata Kirana yang berubah saat nama Vania disebut terlalu konsisten untuk diabaikan.

“Proses jemur daun ini bisa dua mingguan juga, ya, Na?” Rayya mencoba mencairkan suasana sambil tetap mencuci daun dengan sabar.

“Kalau lihat cuaca cerah begini, semoga sih nggak sampai segitu,” jawab Kirana. Ia lalu membuka karung terakhir, menuangkan isi daun ke dalam ember dengan gerakan pelan.

“Tapi, ini beneran nggak apa-apa aku numpang jemur daun di rumahmu, Ray?”

Kirana masih ragu harus merepotkan Rayya lagi. Ia memang sudah bertekad untuk lebih membuka diri, tidak menuruti ego mengerjakan semuanya sendiri, membuka ruang bagi orang-orang sekelilingnya yang ternyata sangat sigap memberikan pertolongan. Cukup sudah dulu Kirana menelan semua pil pahit sendirian, yang pada akhirnya bukan hanya menggerogoti diri sendiri, tapi juga tanpa sadar melukai orang lain yang mencemaskannya.

Rayya tersenyum sambil menyilangkan tangan di dada. "Tenang aja, Na. Ruang ini memang buat jemur-jemur. Nambahin daunmu juga nggak bakal ganggu.”

Ruang cuci jemur milik Rayya terletak di lantai dua rumahnya. Letaknya menjorok keluar dari bangunan utama, seperti balkon besar. Bagian atasnya dilindungi atap transparan dari bahan polikarbonat, memungkinkan cahaya matahari masuk sempurna sepanjang hari. Di sekelilingnya terpasang pagar besi dengan desain minimalis berwarna hitam doff, menciptakan kesan elegan dan terbuka.

Lantainya berlapis keramik putih gading dengan motif kasar agar tak licin saat terkena air. Di salah satu sudut, ada rak stainless besar berisi keranjang cucian, wadah deterjen, dan berbagai peralatan pembersih yang tertata rapi. Di sisi lain, beberapa meja panjang dari kayu solid sudah disiapkan untuk proses penjemuran. Rayya bahkan meminjamkannya tanpa perlu diminta.

Di ruangan itu, Kirana merasa seperti berada di luar kelas sosialnya sendiri. Tempat mencuci baju saja terasa lebih rapi dan estetik daripada ruang tamu di rumah keluarganya di kampung. Kirana sudah tahu dari dulu Rayya berasal dari keluarga berada, tapi masih sering terkejut dengan kesenjangan sosial yang ada di antara mereka.

***

Dalam perjalanan pulang siang tadi, Dirga sempat bertanya, “Daunnya nanti mau kamu keringkan di mana, Kirana?”

Kirana terdiam. Dia kembali ke kampus secara mendadak. Walau ia pikir semua sudah ia rencanakan dengan rapi. Tapi satu hal ini, tempat pengeringan ternyata luput dari perhitungan. Dulu, Kirana bisa menjemur daun di lantai atas kosnya yang cukup kondusif. Tetap terkena cahaya matahari tidak langsung dan memiliki teduhan. Sekarang?

“Mungkin di tempat jemur kain di kos,” jawabnya seadanya. Padahal ia tahu betul, kos barunya lebih sempit, lebih ramai, dan tempat jemurnya langsung terbakar matahari tanpa teduhan. Belum lagi harus rebutan dengan anak kos lain.

“Yakin?” Dirga menatap Kirana tajam.

Enggak yakin. Kirana hanya menjawab dalam hati.

“Atau … mungkin di rumah Om Deni.” Ia menambahkan. Tapi seketika ia teringat halaman rumah pamannya yang sempit dan ayam-ayam tetangga yang gemar mencakar-cakar apa pun yang ada di tanah. Tempat itu jelas bukan pilihan ideal.

“Kenapa nggak di rumah Rayya aja?” Dirga mengusulkan. “Rumahnya dekat kampus, banyak space aman buat jemur daun. Iya kan, Ay?” Dirga mencoba memberikan solusi.

Tunggu … Dirga sampai tahu hal sedetail itu tentang rumah Rayya? Kirana kembali bertanya-tanya dalam hati.

Selama kuliah, Kirana memang sudah beberapa kali berkunjung ke rumah Rayya yang super luas. Rumah yang menurut penuturan Rayya sengaja dibeli untuk mempersingkat jarak Rayya ke kampus. Kirana dan teman-temannya sempat ternganga. Orang kaya memang beda.

“Betul itu, Na. Win win solution.” Rayya menyetujui cepat.

“Tapi … harus izin dulu kan –“

Rayya memotong omongan Kirana, “Mama Papa pasti setuju, gampang!”

Dan begitulah, bagaimana Kirana berakhir di rumah Rayya. Dikelilingi daun kembang bulan dan bayang-bayang masa lalu, serta secercah harapan proses penyelesaian skripsinya.

***

“Ay, Dirga mana?” tanya mama Rayya sambil sambil menuangkan air hangat ke gelas-gelas di meja makan.

Rayya mengunyah cepat, lalu menjawab santai, “Tadi sih nganter Fathur, Ma. Katanya sekalian cari makan.”

“Padahal di sini banyak makanan.” Mama Rayya tampak kecewa.

Kirana sempat melirik Rayya. Jawabannya terdengar biasa, tapi entah kenapa ada sesuatu, hal kecil yang baru Kirana sadari hari ini. Nada Rayya yang tenang, cara dia menyebut nama Dirga dengan begitu akrab. Sampai orang tua Rayya pun menanyakan Dirga dengan nada dekat … seperti sudah biasa Dirga hadir di lingkaran keluarga ini.

“Kirana, jangan sungkan-sungkan ya. Atau makanannya kurang cocok?” tanya mama Rayya lembut, menyadari Kirana hanya menyentuh sedikit makanan.

“Enggak, Bu. Enak banget kok. Terima kasih sekali sudah dijamu dan diperbolehkan mengeringkan daun di atas,” jawab Kirana cepat, lalu menyendok salah satu lauk.

Selepas shalat Zuhur tadi, Kirana sebenarnya ingin langsung ke rumah pamannya mengambil barang-barang sesuai rencana, tapi mama Rayya mencegatnya dengan meja penuh makanan. Sebenarnya karena masih kenyang, ia ingin menolak. Namun, rasanya segan dan canggung sekali.

Mama Rayya tersenyum cerah. Dia suka sekali pada anak yang sopan dan pembawaannya tenang seperti Kirana.

Sambil mengunyah, pikiran Kirana justru sibuk memutar ulang percakapan antara Rayya dan mamanya tadi.

Kirana sudah menyadari kedekatan Rayya dan Dirga dari perjalanan hari ini. Namun, sedekat apa sebenarnya mereka, sampai nama Dirga begitu wajar diucapkan di meja makan keluarga?

Pertanyaan itu mengendap, tanpa Kirana tahu apa jawaban yang sebenarnya ingin ia temukan. Ia merasa itu bukan urusannya, tapi rasa penasaran tetap saja melanda.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When You're Here
2341      1055     3     
Romance
Mose cinta Allona. Allona cinta Gamaliel yang kini menjadi kekasih Vanya. Ini kisah tentang Allona yang hanya bisa mengagumi dan berharap Gamaliel menyadari kehadirannya. Hingga suatu saat, Allona diberi kesempatan untuk kenal Gamaliel lebih lama dan saat itu juga Gamaliel memintanya untuk menjadi kekasihnya, walau statusnya baru saja putus dari Vanya. Apa yang membuat Gamaliel tiba-tiba mengin...
Jawaban
376      239     3     
Short Story
Andi yang digantung setelah pengakuan cintanya dihantui penasaran terhadap jawaban dari pengakuan itu, sampai akhirnya Chacha datang.
Trasfigurasi Mayapada
201      155     1     
Romance
Sekata yang tersurat, bahagia pun pasti tersirat. Aku pada bilik rindu yang tersekat. Tetap sama, tetap pekat. Sekat itu membagi rinduku pada berbagai diagram drama empiris yang pernah mengisi ruang dalam memori otakku dulu. Siapa sangka, sepasang bahu yang awalnya tak pernah ada, kini datang untuk membuka tirai rinduku. Kedua telinganya mampu mendengar suara batinku yang penuh definisi pasrah pi...
Just For You
6026      1982     1     
Romance
Terima kasih karena kamu sudah membuat hidupku menjadi lebih berarti. (Revaldo) *** Mendapatkan hal yang kita inginkan memang tidak semudah membalik telapak tangan, mungkin itu yang dirasakan Valdo saat ingin mendapatkan hati seorang gadis cantik bernama Vero. Namun karena sesuatu membuatnya harus merelakan apa yang selama ini dia usahakan dan berhasil dia dapatkan dengan tidak mudah. karen...
Cincin dan Cinta
1404      833     22     
Short Story
Ada yang meyakini, jika sama-sama memiliki cincin tersebut, kisah cinta mereka akan seperti Vesya dan Zami. Lalu, bagaimanakah kisah cinta mereka?
Mic Drop
759      448     4     
Fan Fiction
Serana hanya ingin pulang. Namun, suara masa lalu terus menerus memanggilnya, dan tujuh hati yang hancur menunggu untuk disatukan. Dalam perjalanan mencari mic yang hilang, ia menemukan makna kehilangan, harapan, dan juga dirinya sendiri. #bangtansonyeondan #bts #micdrop #fanfiction #fiction #fiksipenggemar #fantasy
Crashing Dreams
261      219     1     
Short Story
Terdengar suara ranting patah di dekat mereka. Seseorang muncul dari balik pohon besar di seberang mereka. Sosok itu mengenakan kimono dan menyembunyikan wajahnya dengan topeng kitsune. Tiba-tiba sosok itu mengeluarkan tantou dari balik jubahnya. Tanpa pasangan itu sadari, sosok itu berlari kearah mereka dengan cepat. Dengan berani, laki-laki itu melindungi gadinya dibelakangnya. Namun sosok itu...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
BOOK OF POEM
2228      739     2     
Romance
Puisi- puisi ini dibuat langsung oleh penulis, ada beragam rasa didalamnya. Semoga apa yang tertuliskan nanti bisa tersampaikan. semoga yang membaca nanti bisa merasakan emosinya, semoga kata- kata yang ada berubah menjadi ilustrasi suara. yang berkenan untuk membantu menjadi voice over / dubber bisa DM on instagram @distorsi.kata dilarang untuk melakukan segala jenis plagiarism.
love is poem
1358      864     4     
Romance
Di semesta ini yang membuat bahagia itu hanya bunda, dan Artala launa, sama kaki ini bisa memijak di atas gunung. ~ ketika kamu mencintai seseorang dengan perasaan yang sungguh Cintamu akan abadi.