Loading...
Logo TinLit
Read Story - Me vs Skripsi
MENU
About Us  

Mobil LCGC silver dengan dua baris kursi penumpang itu melaju membelah jalanan pagi yang masih sepi. Udara sejuk masuk dari jendela yang sedikit terbuka. Di dalam mobil, interiornya polos dan terawat. Tidak ada gantungan karakter lucu atau aksesori berlebihan. Semuanya tampak sederhana, rapi, dan bersih. Cocok dengan kepribadian pemiliknya yang kalem dan fungsional.

“Mobilnya sanggup jalanan nanjak, kan?” Fathur bertanya sambil melirik ke arah Dirga yang tengah fokus menyetir.

Dirga menoleh sekilas, lalu kembali ke jalanan. “Kalau tadi muatannya cuma tiga orang, dipastikan sanggup. Tapi semua tergantung skill pengemudinya,” jawabnya datar tapi tegas.

Rayya, yang duduk di belakang, menutup mulut menahan tawa. Nada sarkas Dirga yang khas itu seperti musik di telinganya. Penumpang dadakan seperti Fathur memang perlu disambut dengan sindiran halus sesekali.

Ashiap, Bos! Tapi kalau skill jadi patokan, gantian nyetir juga boleh. Aku punya SIM, kok,” balas Fathur dengan santai, walau dari nada suaranya aroma persaingan tipis tercium jelas.

Rayya membuka ranselnya dan mengambil sebungkus buah kering. Ia bersandar sambil mengunyah pelan, menikmati momen langka: si ‘kulkas dua pintu’ alias Dirga dapat tandingan yang berani nyaut. Seru juga kalau perjalanan ini diwarnai perang sindiran level menengah.

Sementara itu, Kirana yang baru selesai menelepon ibunya menyikut pelan lengan Rayya. Alisnya mengangkat, bertanya tanpa suara kenapa Rayya terlihat geli sejak tadi.

Rayya mengangkat tangan dan mengibaskan telapak seperti bilang, “Nggak penting”. Kirana mengangguk, senyum kecil terbit di wajahnya.

“Ibuku titip salam,” kata Kirana, pelan tapi hangat.

Rayya langsung membulatkan mata. “Ya ampun, senangnya!” katanya riang. Ia buru-buru membuka ransel dan mengeluarkan kotak bekal berisi sandwich telur buatannya sendiri. “Pasti belum sarapan, kan?”

Kirana sempat ragu, tapi tahu melawan Rayya itu percuma. Menolak pun bukan pilihan karena Rayya tahu persis kebiasaan buruknya: melewatkan makan pagi kalau sedang banyak tugas. “Tenkyu, Ray.”

Baru satu gigitan, Kirana sudah mengangguk-angguk puas. Ia memang tidak cerewet soal makanan, tapi lidahnya tahu persis mana yang enak. Dan sandwich buatan Rayya? Jelas menang telak dibanding masakannya sendiri.

Ehm, ehm, laper... lupa-lupa sama orang depan.” Fathur menyela, suaranya dikeras-keraskan.

Kirana langsung menyodorkan kotak bekal. Tapi Rayya buru-buru menahan tangan Kirana, wajahnya penuh penolakan. “Kalian nggak termasuk,” katanya sambil menunjuk ke dua makhluk di bangku depan. “Nggak ada porsi buat lelaki di luar sahabat.”

Kirana tertawa, berkata kalau dirinya juga tidak akan sanggup menghabiskan lima potong sandwich sendirian. Akhirnya, satu potong jatuh ke tangan Fathur yang bersorak girang sambil mengacungkan jempol, sementara Rayya mendengkus kesal.

“Jadi kemarin gimana pertemuan sama Bu Ratna?” Dirga mendadak membuka percakapan serius, suaranya tenang tapi penuh perhatian.

Rayya dan Fathur langsung diam, tertarik. Ini topik penting.

“Alhamdulillah, Bu Ratna masih welcome. Kami cuma sempat ngobrol sebentar karena udah sore, tapi dari rancangan penelitian yang kususun ulang, secara garis besar beliau menyetujui. Cuma ya... sesuai dugaan, revisinya masih banyak.”

Dirga mengangguk pelan. Rayya dan Fathur ikut bersimpati dengan ekspresi mereka.

“Masalah administrasi? Dosbing satu kamu, kan….”

“Dia yang kesandung korupsi, Kirana yang kena getahnya.” Rayya memotong cepat, cemberut.

Kirana mengusap tangan Rayya pelan, semacam ucapan terima kasih karena membela, meski sedikit dramatis. “Administrasi harus mulai dari nol. Ajukan dosbing pengganti, surat-menyurat, izin lab, semua dari awal.”

“Jadi sambil nunggu urusan administrasi kelar, aku mulai dulu proses ekstraknya. Biar lebih efisien waktu, soalnya dari daun segar sampai jadi ekstrak itu kan butuh waktu lama. Dari pengeringan, simplisia, maserasi, segala macam,” tambah Kirana, berusaha tetap produktif di tengah kekacauan.

Semua di dalam mobil menghela napas bersamaan. Perihal birokrasi di kampus mereka memang seperti labirin tak berujung.

“Memulai dari nol itu kadang lebih baik, Kir.” Fathur menimpali. “Kayak bikin suspensi dari awal. Daripada maksa nyelamatin yang udah mengendap kayak lumpur dan bau khas zat aktifnya udah keburu semerbak, mending aduk formula baru aja. Lebih terkontrol, nggak bikin stres!”

Rayya tertawa geli. “Ya ampun, itu suspensi atau endapan dosa masa lalu? Tapi bener sih, yang udah keruh mending jangan dipaksa.”

“Calon sarjana kita sekarang udah jago buat analogi, ya,” Kirana ikut menyambung. “Jadi ingat dulu ada mahasiswa semester satu yang nyetop seniornya di koridor kampus, minta diajari cara hitung jumlah zat tambahan kapsul.”

Fathur tertawa. “Ha-ha! Yang aku salah hitung terus kamu coret-coret pakai bolpoin merah, kan? Aku trauma liat warna merah gara-gara kamu, sumpah.”

Tawa mereka meledak lagi. Mobil terasa hangat dengan canda dan nostalgia. Bahkan Kirana yang akhir-akhir ini lebih banyak murung pun bisa tertawa lepas.

Selanjutnya mobil ramai dengan kelakar Fathur yang tiada habisnya. Kirana dan Rayya juga banyak menimpali sambil mengenang masa lalu. Dirga lebih banyak diam, sebab ia cukup merasa asing pada pembicaraan mereka dan tidak cukup ramah untuk bisa ikut bergabung. Tadinya ia mau langsung menawarkan bantuan untuk cek revisian draf penelitian Kirana karena ia cukup percaya diri bisa banyak membantu.

“Nanti saja, tunggu waktu yang tepat.” Dirga meyakinkan sendiri dalam hati.

Pandangannya sesekali tanpa sadar mengikuti sosok Kirana dari kaca spion tengah. Dirga ikut tersenyum melihat Kirana yang banyak tertawa saat berinteraksi dengan Fathur. Tawa yang mustahil ada saat Kirana berbicara dengannya. Komunikasi mereka sangat jarang dan selalu serius, itu pun terkait kegiatan di organisasi.

Walau sambil berkelakar, Fathur tetap bisa menyadari bagaimana pandangan Dirga, yang mungkin tidak disengaja, sesekali melihat Kirana diam-diam. Sebagai laki-laki Fathur sadar, senyum tipis di wajah Dirga, sorot matanya yang melunak setiap kali Kirana tertawa adalah pertanda ada rasa yang tidak biasa.

Dirga mungkin dikenal sebagai sosok sempurna, tapi dalam rangka memenangkan hati Kirana Fathur yakin ia tidak kalah begitu saja.

***

“Aku lupa bawa karung!” Rayya panik. Padahal ia sudah janji akan bawa karung gede sebagai wadah daun. Ini karena ia terlalu sibuk buat bekal dan camilan tadi pagi.

Additional player di last minute jangan ditanya, tentu saja aku juga nggak bawa apa-apa.” Fathur menjawab saat Rayya menatapnya.

Dirga muncul dari arah rumah warga. Ia baru saja menumpang parkir kendaraan sambil meminta izin untuk “mengggunduli” daun kembang bulan yang tumbuh subur di daerah tersebut. Warga langsung memberi izin, karena memang kembang bulan tumbuh liar begitu saja di sebidang tanah kosong yang luas di pinggir jalan dekat pemukiman warga itu.

Di tangan Dirga ada dua buah karung beras bekas kapasitas 20 kg. Daun kembang bulan massanya ringan, memang dibutuhkan wadah bervolume agak besar walau memang bisa saja dipadatkan.

“Mahasiswa magister memang beda, ya.” Rayya mengacungkan jempol.

Hal remeh seperti ini seharusnya tak berarti. Tapi entah kenapa, Dirga merasa menang. Sebuah kemenangan sunyi atas ketidaksiapan orang lain.

“Aku juga udah bawa, kok.” Kirana mengeluarkan karung yang sama dari ranselnya. Ia sudah persiapan dari kampung halaman.

Fathur mendekati Kirana, mengambil salah satu karung dari tangannya. “Daunnya yang ini, kan?” Tangannya mulai memetik satu helai daun kembang bulan. Daunnya tunggal, berseling, panjang 26-32 cm, lebar 15-25 cm, ujung dan pangkal runcing, pertulangan menyirip, berwarna hijau.

Kirana mengangguk. Setelah yakin dengan tanaman yang tepat, mereka pun mulai menyeruak di antara semak tanaman kembang bulan yang tumbuh tinggi. Memetik daun satu per satu, dan memasukkannya ke dalam karung. Mereka bekerja dengan cekatan, mengenali mana yang layak dan mana yang harus dilewatkan.

Fathur malah sibuk menjadikan pengalaman itu seperti lomba. "Yang ngumpulin paling banyak dapat traktiran mi kuah dari Rayya!”

“Dih, kok aku? Traktir Kirana nggak masalah, kalau kalian berdua? No no no.” Belum sempat ia melanjutkan protesnya, langkahnya goyah karena tanah yang licin dan tidak rata, disamarkan oleh semak dan rerumputan liar.  Hampir saja Rayya jatuh, tapi untunglah Dirga yang sedari tadi berjalan tak jauh di sampingnya, sigap menangkap lengan Rayya sebelum tubuhnya benar-benar mencium tanah.

“Hati-hati,” katanya kalem. “Kalau kamu luka, Ay, aku juga yang bakal kena bahaya.” Dirga bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya kalau Rayya pulang dalam keadaan lecet sedikit saja.

Rayya mencibir. Namun, belum sempat ia menyahut, Dirga menambahkan dengan nada datar seperti biasa, “Perlu pakai sarung tangan, nggak? Aku ada bawa di mobil. Jangan sampai tangan ‘tuan putri’ lecet karena daunnya agak berbulu.”

Kalimat itu memicu reaksi spontan dari Rayya. Ia memukul bahu Dirga dengan cukup keras, membuat Dirga pura-pura mengaduh. “Maaf. Tangan ‘tuan putri’ yang rapuh ini sepertinya terpeleset,” kata Rayya sok polos, padahal matanya menyala penuh kekesalan bercampur geli.

Dirga hanya mengelus-ngelus bagian yang dipukul Rayya, nyeri walau tidak sampai inflamasi. Dirga tak membalas. Ia malah menepuk kepala Rayya pelan. Mau Rayya sekeras apa pun menggoda atau memukul karena gemas, Dirga tak pernah benar-benar marah. Ia bahkan seperti sudah terbiasa.

Kirana yang sedari tadi fokus memisahkan daun dari batangnya, secara refleks menoleh. Sekilas adegan itu ... begitu akrab. Kirana agak terkejut. Yang ia tahu selama kegiatan di organisasi Dirga adalah sosok yang tidak tersentuh. Tidak tersentuh secara harfiah dalam artian ia bahkan menangkupkan tanggannya saat diajak bersalaman dengan lawan jenis. Rayya sahabatnya dan Dirga kenalannya ternyata sedekat ini. Obrolan mereka juga sangat alami seperti sudah kenal bertahun-tahun.

Mendadak, Kirana merasa tidak enak. Secuek itu kah dia sebagai sahabat Rayya sampai baru menyadari hal ini? Atau … apakah ini baru terjadi selama masa ia menghilang dua semester dari kampus?

Ia tak tahu, tapi mendadak udara di sekitarnya terasa agak canggung untuk dihirup. Ia menarik napas, kembali ke daun kembang bulan di hadapannya. Karung harus penuh. Fokus.

“Butuh daunnya berapa banyak, Kir?” Fathur yang paling cekatan memetik daun mengalihkan perhatian Kirana yang sempat terdistraksi.

“Hm… dulu sih aku ngumpulin sekitar 6 kiloan, setelah dikeringkan jadi sekitar 750 gram simplisia.”

“Wow, metik 6 kilo sendiri?”

“Perginya sih berdua, walau secara teknis kukerjakan sendiri.” Kirana diam, bayangan Vania muncul lagi.

Fathur melirik sekilas ke arah Kirana yang tiba-tiba terdiam. Tatapan gadis itu seperti menembus kabut waktu, terhenti pada sesuatu yang tak kasatmata. Ia tahu persis raut semacam itu. Bukan karena daun, ada cerita yang lebih berat dari sekadar simplisia.

Dengan refleks khas Fathur, ia tak langsung bertanya atau menyentuh luka yang belum tentu ingin dibuka. Ia memilih jalan memutar, lewat kelakar.

“Enam kilo?! Aku sih yakin, kalau aku yang disuruh metik segitu, baru dua kilo udah rebahan sambil ngeluh: ‘Tumbuhan ini kayaknya punya dendam pribadi deh sama aku.’ Tapi kamu… tetap lanjutin. Salut, deh.”

“Tapi janji ya, kali ini kalau butuh sesuatu jangan sungkan-sungkan untuk minta bantuan. Aku serius. Kalau kamu panggil kapan aja aku pasti akan datang.”

Kali ini Fathur tersenyum tipis. Matanya tampak sayu. Ia ingin sekali Kirana menganggapnya sebagai sosok yang bisa diandalkan, bukan sekadar junior jahil yang suka mengganggu dengan lelucon-lelucon yang bahkan terkadang nggak lucu.

Suasana menjadi hening. Kirana tidak terbiasa dengan sisi Fathur yang seperti ini. Ia hanya mengangguk. Bagaimanapun dalam dunia per-skripsi-an Fathur beberapa langkah di depan Kirana. Fathur tinggal menunggu jadwal seminar akhir sedang Kirana baru memulai penelitian dari awal lagi.

Dirga memandangi Fathur dan Kirana yang baginya tampak akrab. Ia tidak bisa jadi sosok humoris yang bisa mengundang keceriaan seperti itu. Bagaimana bisa, sedang dirinya sendiri pun terbiasa dalam mode serius sepanjang waktu. Mode siaga, mode berjaga.

Rayya melihat Dirga, Fathur, kemudian Kirana. Ah … setidak peka apa pun dirinya sepertinya ia tahu situasi macam apa ini. Namun, ia hanya bisa mengasihani dua pria di hadapannya dalam hati. Perempuan yang mereka dekati adalah tipe wanita mandiri yang terbiasa mengerjakan apa-apa sendiri, tertutup, dikombinasikan tidak peduli dengan sesuatu berbau romantisme.

Mau deketin Kirana? Berat … perjuangan mereka pasti berat.

Mereka berempat larut dalam pikiran dan prasangka masing-masing. Udara pegunungan masih segar, sinar matahari mulai mengintip dari sela pohon. Satu per satu, karung mulai terisi penuh dengan daun kembang bulan yang memantulkan cahaya hijau saat tersentuh mentari pagi.

***

“Ray, karungku paling berat, jangan lupa traktiran mi kuahnya. Makan mi instan di gunung nikmatnya berkali lipat, lo. Sensasinya beda sama yang buat sendiri di kosan.” Fathur langsung membuka mulut begitu mereka naik ke mobil.

Bagasi mobil sudah penuh dengan karung-karung berisi daun kembang bulan. Bahkan sebagian harus diselipkan di bawah bangku baris kedua karena kapasitas mobil yang terbatas.

“Perasaan tadi nggak ada yang sepakat, deh. Tapi makan mi boleh juga, sih.” Rayya tampaknya setuju dengan Fathur karena sebenarnya ia juga penggemar mi instan yang dihalangi oleh keadaan.

“Ay…!” tegur Dirga cukup keras.

Rayya yang ditegur langsung mengerti tanpa perlu diberi penjelasan. Mama papanya bisa heboh kalau Rayya ketahuan makan yang berbau micin, dan Rayya juga tahu betul penyebab kecemasan berlebihan itu. Walau sesekali Rayya masih curi-curi kesempatan. Siapa, sih yang bisa sepenuhnya melewatkan sensasi gurih dari MSG?

Kirana juga tahu Rayya sangat dijaga makanannya, Hampir selalu bawa bekal. Kalaupun makan di luar pasti memesan makanan pokok saja dengan air putih. Ah tunggu … Kirana baru menyadari kalau Dirga memanggil Rayya dengan panggilan berbeda, Ay? Ayang, kah?

“Iya, aku tahu nggak boleh makan mi.” Rayya bersungut.

“Lagian, anak Farmasi kok ngomongin makanan kaya micin begitu?” Dirga kelihatan agak mengomel.

Fathur, Rayya, dan Kirana dengan kode mata seolah bersamaan berkata, “Banyak mahasiswa Farmasi makan mi instan di kantin dan kosannya Paduka Dirga.”

“Seorang Dirga, enggak percaya micin buat orang jadi bodoh atau penyebab tunggal berbagai penyakit, kan?” Fathur menatap dengan tatapan tidak percaya. Karena penelitian yang menunjukkan efek negatif MSG selama dikonsumsi dalam batas wajar memang belum ada.

“Iya, tapi kalau ada opsi makanan yang lebih sehat, untuk apa makan makanan instan yang kandungan natriumnya tinggi dan gizinya rendah. Kalian ambil mata Kuliah Ilmu Nutrisi dan Nutrasetikal Farmasi nggak, sih?” balas Dirga, masih dalam mode dosen marah. Ia bergidik ngeri, membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya jika membiarkan Rayya makan makanan instan.

“Lagi pula tadi kita udah makan bekal satu ransel. Masih ada muatan buat mi lagi?”

Tidak ada lagi yang berani membantah. Mungkin seperti inilah aura dari mahasiswa lulusan terbaik di angkatannya yang langsung ambil double degree apoteker dan S-2 sekaligus.

Kirana merasa menemui sosok lain dari Dirga yang ternyata lebih banyak bicara dan bisa cerewet jika bersama orang terdekat—Rayya. Sepintas Kirana melirik ke spion depan dan tanpa sengaja pandangannya dan Dirga bertemu di kaca spion itu. Hanya sepersekian detik dan Kirana langsung mengalihkan pandangannya.

Suasana menjadi sedikit lebih tenang. Kirana menyenderkan kepala di jendela, menikmati semilir angin dari AC mobil yang disetel pelan. Fathur tiba-tiba mengoceh tentang bagaimana daun bisa punya "aura mistis" kalau dipetik saat bulan purnama.

"Kir, kamu percaya daun kembang bulan itu cuma bisa mujarab kalau dipetik hari Sabtu Kliwon?" tanya Fathur sambil menyeringai.

"Nggak lah. Aku percaya sama kandungan senyawa aktif, bukan kalender Jawa," jawab Kirana sambil tersenyum.

Namun, sekitar dua kilometer dari lokasi, suara mesin terdengar aneh. Tiba-tiba mobil melambat dan akhirnya mogok di tepi jalan.

"Eh, itu suara apaan?" Fathur menoleh panik.

Dirga menghela napas dan menepi. "Sepertinya mesinnya kepanasan."

“Mogok?” Rayya menatap dengan panik.

Kirana memandang ke luar, ke arah langit yang tiba-tiba mendung. "Kayak pertanda buruk aja...." Ia berbisik pelan. Mau tidak mau teringat kecelakaan yang merenggut nyawa ayahnya yang juga terjadi di hari mendung.

Mereka semua turun dari mobil. Dirga membuka kap mesin, berbicara dengan suara pelan seolah membalas bisikan Kirana tadi yang ternyata ia dengar.

"Nggak ada yang namanya pertanda buruk.” Kirana menengadah ke sumber suara. “Cuaca di gunung memang mudah berganti, kerusakan mobil hanya masalah teknis, bukan ramalan nasib. Aku yakin kamu paling tahu hal semacam ini."

Kirana menunduk. Ada air mata yang coba ia tahan. Ada rasa malu karena goyahnya keimanan. “Astaghfirullah.”

Fathur ikut menengok ke arah mesin. "Wah, ini sih butuh doa dan cinta. Atau minimal air radiator."

Dirga menggeleng pelan sambil menyeka peluh. "Mobil tua. Harusnya tadi dicek dulu."

"Ternyata skill pengemudi aja nggak cukup, ya." Fathur menyindir halus, Dirga yang disindir menatapnya tajam.

Rayya membawa botol minum. "Ini cukup nggak?"

"Cukup buat pendinginan awal," jawab Dirga. Ia menyiram sedikit air ke radiator, menunggu suhu mesin turun.

“Kenapa tadi nggak bawa mobil SUV aja, sih, Dir?” Rayya berkacak pinggang.

“Mobil SUV itu pemberian orang tua, kalau yang ini hasil kerja kerasku sendiri.”

Rayya mengangguk-angguk. Ceritanya mau flexing pencapaian udah bisa kendaraan sendiri di usia muda, nih? Mau pamer ke siapa? Rayya melirik Kirana, pertanyaan di kepalanya terjawab sendiri.

Kirana duduk bersila di rerumputan, Rayya kemudian mengikuti. Fathur ikut duduk di dekatnya, menyodorkan sepotong cokelat dari saku jaketnya.

"Tenang aja, Kir. Anggap aja ini jeda syuting film petualangan. Judulnya 'Daun, Mesin, dan Cinta yang Mogok di Tengah Jalan'."

Kirana tertawa garing. "Cinta yang mogok? Ha-ha.”

"Yah, siapa tahu mogoknya mesin bisa nyambungin hati yang tadinya ngadat juga," goda Fathur sambil melirik ke arah Dirga.

Rayya ikut tertawa, menertawakan metode pendekatan Fathur yang ia rasa kurang tepat. Dirga yang masih sibuk di depan kap mobil hanya menoleh sebentar, mengangkat alis tanpa ekspresi jelas.

Sekitar 25 menit kemudian, mesin mobil kembali bisa dinyalakan. Mereka melanjutkan perjalanan dalam kelegaan diiringi mendung yang juga sudah menghilang.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Paragraf Patah Hati
5825      1894     2     
Romance
Paragraf Patah Hati adalah kisah klasik tentang cinta remaja di masa Sekolah Menengah Atas. Kamu tahu, fase terbaik dari masa SMA? Ya, mencintai seseorang tanpa banyak pertanyaan apa dan mengapa.
Nona Tak Terlihat
1740      1106     5     
Short Story
Ada seorang gadis yang selalu sendiri, tak ada teman disampingnya. Keberadaannya tak pernah dihiraukan oleh sekitar. Ia terus menyembunyikan diri dalam keramaian. Usahanya berkali-kali mendekati temannya namun sebanyak itu pula ia gagal. Kesepian dan ksedihan selalu menyelimuti hari-harinya. Nona tak terlihat, itulah sebutan yang melekat untuknya. Dan tak ada satupun yang memahami keinginan dan k...
Hamufield
30316      3363     13     
Fantasy
Kim Junsu: seorang pecundang, tidak memiliki teman, dan membenci hidupnya di dunia 'nyata', diam-diam memiliki kehidupan di dalam mimpinya setiap malam; di mana Junsu berubah menjadi seorang yang populer dan memiliki kehidupan yang sempurna. Shim Changmin adalah satu-satunya yang membuat kehidupan Junsu di dunia nyata berangsur membaik, tetapi Changmin juga yang membuat kehidupannya di dunia ...
My Daily Activities
916      469     1     
Short Story
Aku yakin bahwa setiap orang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan asal ia berdo\'a dan berusaha.
Dark Fantasia
5119      1530     2     
Fantasy
Suatu hari Robert, seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai pengusaha besar di bidang jasa dan dagang tiba-tiba jatuh sakit, dan dalam waktu yang singkat segala apa yang telah ia kumpulkan lenyap seketika untuk biaya pengobatannya. Robert yang jatuh miskin ditinggalkan istrinya, anaknya, kolega, dan semua orang terdekatnya karena dianggap sudah tidak berguna lagi. Harta dan koneksi yang...
Memeluk Bul(a)n
22496      3887     28     
Fantasy
Bintangku meredup lalu terjatuh, aku ingin mengejarnya, tapi apa daya? Tubuhku terlanjur menyatu dengan gelapnya langit malam. Aku mencintai bintangku, dan aku juga mencintai makhluk bumi yang lahir bertepatan dengan hari dimana bintangku terjatuh. Karna aku yakin, di dalam tubuhnya terdapat jiwa sang bintang yang setia menemaniku selama ribuan tahun-sampai akhirnya ia meredup dan terjatuh.
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
2339      1076     25     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
She Is Falling in Love
534      333     1     
Romance
Irene membenci lelaki yang mengelus kepalanya, memanggil nama depannya, ataupun menatapnya tapat di mata. Namun Irene lebih membenci lelaki yang mencium kelopak matanya ketika ia menangis. Namun, ketika Senan yang melakukannya, Irene tak tahu harus melarang Senan atau menyuruhnya melakukan hal itu lagi. Karena sialnya, Irene justru senang Senan melakukan hal itu padanya.
BUNGA DESEMBER
537      371     0     
Short Story
Sebuah cerita tentang bunga.
REMEMBER
4597      1374     3     
Inspirational
Perjuangan seorang gadis SMA bernama Gita, demi mempertahankan sebuah organisasi kepemudaan bentukan kakaknya yang menghilang. Tempat tersebut dulunya sangat berjasa dalam membangun potensi-potensi para pemuda dan pernah membanggakan nama desa. Singkat cerita, seorang remaja lelaki bernama Ferdy, yang dulunya pernah menjadi anak didik tempat tersebut tengah pulang ke kampung halaman untuk cuti...