Hal pertama yang Kirana lakukan saat sampai ke kos barunya adalah meminjam sapu dan pengepel lantai pada pemilik kos. Beruntung, rumah pemilik kos yang Kirana sewa tepat berada di samping bangunan kos, hanya dipisahkan oleh pagar besi kecil dan sedikit taman depan yang ditumbuhi tanaman hias. Tak lupa pula Kirana juga meminjam alas untuk tidur, khusus malam ini saja. Selembar tikar plastik kecil sudah di tangan, di tangan satu lagi Kirana menenteng sapu dan pengepel.
Kamar kos Kirana ada di lantai tiga bangunan ini, melewati lorong setelah tangga berbelok ke kiri, di paling ujung. Bangunan kos itu cukup tua, dengan ubin yang sedikit kusam dan bau cat lama yang samar-samar masih tertinggal di dinding. Tangga dari besi yang mulai berkarat di beberapa sudut tidak menyurutkan semangat Kirana untuk segera naik. Mengangkat barang berat menaiki atau menuruni tangga bukan masalah besar bagi Kirana. Selama empat tahun kuliah di jurusan Farmasi, naik turun tangga dengan beban berat di ransel dan tentengan berisi buku tebal atau alat dan bahan praktikum sudah jadi makanan sehari-hari. Tubuhnya memang tidak besar, tapi terbiasa kuat.
“Baru pindah, Mbak?” Penghuni kos di sebelah kamar Kirana menyapa ramah. Pintu kamarnya terbuka dan terlihat dia sedang memasak mi instan. Walau hanya masak mi, asap dari kompor satu tungku yang terhubung dengan gas LPG 3 kg itu cukup menyebar ke mana-mana.
Ah… Kirana paham, di kos ini berarti diperbolehkan masak di dalam kamar. Sebuah informasi yang cukup penting, walau tak langsung akan ia manfaatkan. Di kos Kirana sebelumnya terdapat dapur umum, walau praktis Kirana tidak pernah memasak. Tidak sempat dan tidak bisa juga. Kirana pernah mencoba, tapi satu aktivitas rumah tangga itu tampaknya tidak cocok untuk Kirana. Apa pun yang Kirana coba buat, sesederhana mi instan pun berujung menjadi produk aneh kurang layak konsumsi.
“Iya, Mbak,” jawab Kirana sambil meletakkan barang-barang bawaannya di depan pintu terlebih dahulu. Sapu dan pengepel ia sandarkan ke dinding, lalu ia berdiri tegak dan menyodorkan tangan dengan senyum kecil. “Nama saya Kirana, Mbak.”
“Jannah, Mbak.” Perempuan itu menyambut dengan ramah, menjabat tangan Kirana yang masih setengah berkeringat karena perjalanan dan bawaan.
“Mau mi, Mbak?” tanyanya lagi. Tangannya cekatan mengaduk mi kuah yang tampak sangat menggugah selera itu. Aroma bumbunya memenuhi lorong sempit di lantai tiga itu, menampar hidung dengan cara yang sangat bersahabat.
“Enggak, Mbak, makasih banyak. Tadi saya udah beli nasi padang di jalan. Mau beberes kamar juga,” ujar Kirana sopan, merasa wajib menolak karena mi di panci itu jelas hanya cukup untuk satu orang. Tidak etis juga rasanya menerima makanan di pertemuan pertama, apalagi dari orang yang baru saja dikenalnya.
“Saya masuk dulu, ya, Mbak.” Kirana memutar kunci, membuka pintu kamarnya yang masih berdebu. Ia tahu akan makan waktu setidaknya satu jam, bahkan bisa lebih, untuk membuat kamar ini bersih dan layak huni.
***
Usai makan, bebersih, dan menunaikan salat Isya, Kirana baru sadar bahwa ponselnya sudah mati entah sejak kapan.
“Astaghfirullah.” Kirana membatin, sedikit panik.
Tanpa membuang waktu, ia segera menyambungkan daya dan menyalakan ponselnya secepat mungkin. Ia tahu benar siapa yang akan paling cemas kalau ponselnya tidak bisa dihubungi begini. Dan benar saja, begitu layar menyala, Kirana menelan ludah. Puluhan pesan dan panggilan tak terjawab muncul bertubi-tubi di layar. Didominasi oleh ibunya dan Om Deni, serta beberapa dari Ikhsan, adik laki-lakinya.
[Kirana, kamu sudah sampai Medan, kan?]
Pesan dari ibunya.
[Kak, telepon ibuk kok nggak diangkat? Udah heboh ini di rumah.]
Pesan dari Ikhsan.
[Kirana, tadi Mbak Narti hubungi Om katanya kamu ke kampus. Tadi Om cariin kok nggak ketemu? Kamu di mana? Nggak mampir ke rumah Om?]
Pesan dari Om Deni.
Kirana menepuk jidat, cukup merasa bersalah. Ia tahu betul, jejak masa lalunya yang pernah mengasingkan diri dan memilih bekerja jauh dari kota selama beberapa minggu untuk menenangkan diri tanpa kabar apa pun, masih membekas di ingatan keluarganya. Tak heran jika kini mereka menjadi lebih waspada, bahkan cenderung paranoid setiap kali Kirana tiba-tiba tak bisa dihubungi.
Ia benar-benar lupa menyentuh ponsel sejak perjalanan dari kampung ke kota. Bahkan pesan terakhir yang sempat ia kirim hanya berisi permohonan doa restu kepada ibunya sebelum naik bus. Setelah itu, blas, ponsel Kirana seolah menghilang dari hidupnya. Masuk ke ransel, terkubur di antara baju, alat tulis, dan tumpukan dokumen. Sampai akhirnya kehabisan daya sendiri.
Kirana menghela napas. Ia terlalu sibuk memproyeksikan di kepalanya apa saja yang harus dilakukan sesampainya di kota dan di kampus. Kirana, si manusia perencana, memang terbiasa menyusun skenario di kepala, berlapis-lapis, berkemungkinan-kemungkinan.
Bagaimana jika pihak kampus menolak pengajuan kelanjutan skripsinya? Bagaimana kalau Bu Ratna, dosen pembimbingnya, menyambut dengan dingin, atau lebih buruk, tidak bersedia membimbing lagi? Bagaimana jika ia bertemu teman-teman lama dan mereka bertanya, “Kamu belum lulus juga?” Atau bahkan menyindir langsung. Di tahun kelima masa studinya, Kirana tidak menutup kemungkinan akan dicibir, dikasihani, atau bahkan dianggap gagal.
Macam-macam, terlalu banyak hal berseliweran di kepalanya sampai rasanya tadi kepala Kirana mau pecah. Ia bahkan lupa kalau satu-satunya penghubung dirinya dengan dunia luar bernama ponselsudah kehabisan tenaga sejak entah kapan.
Namun kenyataannya… tidak seseram itu.
Bu Ratna menyambutnya dengan ramah, tak ada nada kecewa atau penolakan. Teman-teman lama yang sempat ditemuinya—minus Vania—juga bersikap biasa saja. Tidak ada yang menghakimi, setidaknya di hadapan Kirana. Tidak ada sindiran. Tidak ada pertanyaan menjebak. Semua berjalan lebih baik dari yang ia kira.
Sometimes we see a problem beyond its original state.
Terkadang kita melihat sebuah masalah lebih besar dari bentuk aslinya.
Pikiran kita memperbesarnya, menakut-nakutinya, memelintirnya jadi monster. Ketakutan Kirana akan banyak hal selama ini membuatnya enggan memulai lagi. Takut melangkah, takut menghadapi, takut kecewa. Ketakutan yang sebenarnya layak ada, mengingat rentetan hal pahit yang menimpanya bertubi-tubi dalam waktu bersamaan.
Namun, hari ini membuktikan satu hal penting: ia masih bisa mulai dari awal.
“Fokus skripsi, fokus skripsi!!!”
Kirana menyemangati dirinya lagi. Katanya, afirmasi positif harus diperbesar dosisnya di saat-saat mendesak seperti ini.
Ponsel Kirana berdering, nama Om Deni tertera jelas di layar. Mengangkat panggilan saat ponsel sedang di-charger sebenarnya tidak disarankan. Arus listrik yang tidak stabil bisa memengaruhi komponen logam dalam baterai lithium-ion, meningkatkan risiko panas berlebih atau overheating. Tapi, dalam kondisi seperti ini, Kirana tidak punya pilihan.
“Assalamu’alaikum, Om.”
“Wa’alaikum salam. Kirana kamu ke mana aja? Hapemu nggak aktif dari tadi, Mbak Narti udah hubungi Om berulang kali. Om cariin kamu tadi di kampus juga nggak ada ….”
Kirana menjauhkan ponsel dari telinga. Suara Om Deni cukup keras, seperti biasa, dibarengi rentetan pertanyaan yang belum usai. Kirana memilih membiarkan pamannya menuntaskan kekhawatirannya lebih dulu.
“Maaf Om, Kirana nggak ada megang hape dari tadi dan nggak sadar hapenya mati. Ini baru selesai beres-beres kosan dan baruuu aja nyalain hapenya.” Kirana memberi penjelasan setenang mungkin.
Terdengar suara embusan napas berat dari seberang sana. “Kamu beneran nggak mau tinggal di rumah Om aja, Kirana?”
Kirana hanya tertawa pelan. Tidak tahu harus menjawab apa. Kalau semata soal berhemat, tinggal di rumah pamannya memang pilihan paling masuk akal. Rasional dan efisien.
Om Deni baik, istrinya pun sangat ramah dan menerima. Tapi Kirana merasa tidak ingin menambah beban. Selama 1,5 tahun terakhir, keluarga pamannya sudah banyak membantu, melebihi apa pun yang pernah Kirana bayangkan. Om Deni adalah adik kandung almarhum ayah Kirana. Bantuan moral dan finansial yang mereka berikan ketika keluarga Kirana berada di titik terendah setelah kepergian mendadak sang ayah sudah lebih dari cukup.
Ia tahu benar penghasilan pamannya sebagai penjaga keamanan di Fakultas Farmasi, serta istri pamannya yang berprofesi sebagai guru sekolah dasar negeri tidak besar, khususnya untuk kehidupan keras di kota besar. Apalagi anak-anak mereka juga butuh biaya sekolah tinggi. Kirana sadar diri.
“Kiral—anak Om Deni yang paling besar—kan udah SMP, Om. Udah mau balig. Kirana nggak enak, Om, harus invasi kamarnya dan bikin Kiral harus berbagi kamar sama Handi. Nggak enak juga harus kerudungan terus di rumah, he-he.” Kirana memberi alasan ringan, meski ada benarnya.
“Tabungan Kirana selama kerja juga insyaallah cukup kok buat kos satu semester ini. Lebih praktis juga karena ‘dekat’ kampus.” Ia melanjutkan.
Di seberang, Om Deni hanya mengangguk meski tak bisa dilihat. Ia tahu betul sifat keponakannya yang satu ini. Sekali memutuskan, jarang bisa diubah. Sama keras kepalanya seperti saat Kirana tiba-tiba menghilang dari kampus dan nyaris menyerah dengan kuliah.
“Baik. Tapi jangan lupa kabarin Om kalau ada apa-apa. Angkat telepon dan balas pesan!” Suaranya tegas, namun nada tulusnya tak bisa disembunyikan.
Kebiasaan Kirana yang introver memang terkadang kelewat batas. Saat sedang larut dalam pikiran atau tekanan batin, ia bisa benar-benar memutus komunikasi. Keluarganya sudah paham sifat Kirana yang satu ini, dan sayangnya sikap itu justru makin sering muncul sejak kepergian ayahnya.
“Kata Mbak Narti kamu langsung ketemu dosen pembimbing hari ini? Tadi Om cariin di kampus nggak kelihatan.”
“Iya, jadi Om. Alhamdulillah ketemu sama Bu Ratna dan ada lampu hijau buat bisa mulai lagi penelitian.”
“Alhamdulillah.” Suara Om Deni terdengar sedikit lebih ringan.
Ia turut lega melihat semangat Kirana yang perlahan pulih dan kembali ingin mengejar gelar sarjananya. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi teringat pesan dari kakak iparnya—ibu Kirana—untuk memberi Kirana ruang. Biarkan ia menyusun langkahnya. Doakan yang terbaik. Itu cara paling tepat membantu Kirana saat ini.
“Walau Om di kampus cuma satpam, kalau kamu butuh bantuan buat bicara sama staf kampus lainnya, Om pasti bantu sebisa Om.”
Ucapan itu tulus dan dalam. Om Deni sangat menyesal karena dulu tak bisa membantu saat penelitian Kirana disabotase oleh rekan sendiri. Data hilang, hewan penelitiannya mati, dan pihak kampus tidak menindak tegas karena pelakunya adalah anak salah satu dosen senior. Tanpa bukti cukup, kasus ini tidak ramai diperbincangkan, hanya diketahui segenap orang dan lenyap begitu saja, bersamaan dengan hilangnya Kirana dari kampus.
“Makasih, Om. Kalau nggak ada Om, mana aman itu kendaraan dosen sama mahasiswa. Kan Om pernah tuh, nangkap pencuri motor di parkiran,” Kirana mencoba bercanda, memecah suasana.
“Ha-ha. Oke, deh. Ini barang-barang Kirana di rumah Om, mau diantar atau bagaimana?”
“Besok Kirana ke rumah Om, soalnya di kamar kos ini nggak ada apa-apa juga, ha-ha.”
Om Deni tampak akan menanggapi lagi, mungkin hendak menasihati, tapi Kirana buru-buru memotong.
“Om, udahan dulu, ya. Kirana mau telepon Ibu dulu. Pasti Ibu cemas sekali. Assalamu’alaikum, sampai jumpa besok. Salam buat Bibi sama sepupu ganteng.”
Kirana menutup telepon lebih cepat. Obrolan panjang dengan pamannya selalu menyisakan satu sisi emosional yang sulit diredam. Dan inilah alasan terdalam Kirana enggan tinggal di rumah Om Deni: karena sosok itu terlalu mirip dengan ayahnya. Secara fisik, suara, bahkan ekspresi.
Kerinduan Kirana pada ayahnya seharusnya bisa terobati dengan kedekatan bersama sang paman. Tapi, bagi Kirana, rasa rindu itu justru memicu reaksi penolakan yang menyakitkan. Setiap kali bertemu Om Deni, bayangan peristiwa nahas hari itu kembali menyergap—hari ketika ayahnya pergi secara mendadak dan tak kembali.
Kirana ingat setiap detail. Bahkan sampai sekarang, ia masih mencoba menganalisis kronologi kepergian ayahnya, seperti sedang mempelajari interaksi antar-senyawa dalam reaksi farmasi, berharap bisa menemukan satu pemicu tunggal, satu penyebab utama, satu alasan logis. Tapi tak pernah berhasil. Rasa bersalah itu seperti racun lambat (slow acting poison) yang meresap pelan-pelan, tapi terus mendekam di ruang terdalam hatinya. Mungkin, selamanya. Karena ia tahu pasti, selain karena takdir, penyebab utama kejadian itu adalah dirinya sendiri.
Kirana meneguk air cepat, menjaga agar napasnya tetap teratur terjaga. Tenggorokannya terasa perih, seolah meneguk larutan buffer yang keasamannya belum sepenuhnya netral.
Baru saja hendak menghubungi ibunya, jari Kirana terhenti, matanya bergetar membaca pesan dari ibunya di akhir rentetan panggilan tidak terjawab.
[Na … kamu udah di kosan, kah?]
[Hape Na mati, ya?]
[Telepon balik ibu, ya.]
[Na... ini ibu transferin 200 ribu, ya. Maaf nggak bisa banyak. Tapi semoga bisa bantu-bantu buat penelitan kamu.]
Kirana membeku. Ia diam di tempat, matanya membulat pelan. Tangannya yang memegang ponsel mulai gemetar, seperti tangan yang mencoba menuang reagen dari buret namun gagal menjaga kestabilan tetesannya.
Ia tahu sang ibu masih kesulitan finansial sejak ditinggal suaminya. Warung kecil yang mereka rintis setahun belakangan ini masih sering sepi. Adik-adiknya pun butuh banyak biaya. Ikhsan akan masuk SMA tahun ini, sementara Nindi bersiap menuju jenjang SMP. Tapi ibunya tetap memaksakan mengirim uang demi biaya lab anaknya yang bahkan belum tentu bisa lulus tepat waktu. Saat Kirana pun bersikeras melarang.
Air matanya mengalir. Air mata yang dari tadi Kirana tahan saat mengobrol dengan Om Deni. Kirana bukan tipe perempuan cengeng, tapi malam itu ia menangis dalam diam. Dunia Farmasi mengajarkannya tentang pelarut, suspensi, dan stabilitas zat. Namun, tak pernah mengajarkan bagaimana menjaga kestabilan hati saat semua gagal.
[Iya, Bu. Na udah di kosan. Tadi hape memang mati. Urusan di kampus tadi alhamdulillah lancar, Na udah ketemu dosbing. Insyaallah uang Na masih aman Bu untuk penelitian. Besok Na telepon ya, Bu. Capek banget mau tidur.]
Ia membalas pesan itu perlahan, memilih kata-kata agar tidak terdengar cemas, agar ibunya bisa tidur tenang malam ini. Tapi ia tak sanggup menelepon, karena ia tahu jika mendengar suara ibunya, tangisnya akan pecah.
***
Setelah cukup menenangkan diri, Kirana membuka kembali catatan lamanya. Lembar-lembar kertas yang menguning, catatan margin yang hampir pudar tinta pulpen, dan daftar referensi yang dulu ia cari satu per satu dari jurnal-jurnal asing. Ada bekas tetesan air mata di salah satu halaman.
Ia menyalakan laptop. Butuh waktu lama sebelum layar menyala sempurna. File bernama “SKRIPSI_FINAL_FIX2_MOHON_LULUS” masih ada di folder yang sama walau dengan data yang tidak lengkap. Ia membuka file itu. Tampilan dokumen itu membawanya kembali pada malam-malam panjang yang ia habiskan di depan layar, menyusun kalimat demi kalimat dengan penuh harap.
Kirana juga membuka draft terbaru yang tadi sempat disentuh sebelum berangkat ke kampus. Ia mengambil kertas kosong, mulai menyusun ulang desain percobaan berdasarkan catatan lama, ditambah masukan dari Bu Ratna. Ia menghitung ulang kebutuhan bahan, termasuk jumlah simplisia daun kembang bulan yang akan diekstraksi, rasio pelarut yang akan digunakan, dan parameter uji yang relevan.
Hampir tengah malam, Kirana masih terjaga. Bukan karena cemas, tapi karena semangat yang perlahan hidup kembali.
Ia menyusun target mingguan, mencatat semua kontak dosen dan laboran yang mungkin bisa membantunya. Kirana menatap kalender. Hanya tinggal lima bulan sebelum batas akhir yudisium semester ini. Ia menggenggam pulpen erat-erat.
“Aku akan lulus. Aku harus lulus,” ucapnya perlahan. Ia hanya ingin menyelesaikan. Karena ada yang lebih besar dari nilai skripsi: perjuangan seorang ibu yang tak pernah menyerah.
Suara pesan masuk dari ponsel sesaat membuyarkan pikirannya. Sebuah pesan dari Raya.
[Rumahku masih sama. Kalau kamu butuh bantuan, datang aja. Aku punya buku-buku yang mungkin bisa jadi tambahan referensi.]
Di atasnya sebenarnya ada pesan yang lain.
Duh! Kirana merasa bersalah. Padahal tadi dia sudah berjanji untuk membalas pesan Rayya. Mengenal watak Rayya, pasti ia tidak bisa tidur menunggu balasan Kirana, tetapi terlalu segan untuk menelepon.
Kirana tersenyum kecil. Ia mengetik balasan singkat: Terima kasih, Ray. Aku mungkin datang suatu hari nanti. Tapi kali ini aku ingin coba dulu sendiri.
Namun, ia menghapusnya kembali. Sudah terlalu sering Kirana “bersembunyi” di balik tembok kepribadian introvernya. Padahal di sekelilingnya, begitu banyak tangan yang sebenarnya siap membantunya. Termasuk Rayya, sahabat yang selama ini ia abaikan tanpa sengaja. Rasa bersalahnya “mengabaikan” perhatian Rayya selama ini harus mulai Kirana tebus. Pelan-pelan menjelaskan permasalahan sebenarnya. Rayya punya hak untuk tahu.
Kirana akhirnya mengetik ulang pesan. Kali ini lebih jujur.
[Besok rencananya aku mau ambil daun kembang bulan buat simplisia ke Sibolangit, bisa bantu?]
Menerima bantuan adalah bentuk penghormatan pada persahabatan mereka.
Tempo beberapa detik, Rayya membalas.
[Bisa banget! Jadwalku kosong. Aku bakal bawa karung gede buat tempat daun.]
Kirana menutup laptop. Malam itu ia lanjut berkirim pesan dengan Rayya, menyusun rencana esok hari. Di catatan Kirana, ada dua hal yang harus tuntas esok hari.
Ambil daun kembang bulan untuk buat bahan utama ekstrak di pagi hari dan ke rumah Om Deni untuk ambil barang di sore hari.
Jalan ini masih panjang. Tapi kini, Kirana siap melaluinya. Langkah demi langkah. Dengan tangan yang sedikit gemetar, tapi hati yang lebih mantap.