Sepulang dari bazar buku, pikiran Anka seketika kosong. Suara petir di luar rumah, bahkan tak mengusik kekosongan itu. Seolah hanya gertakan tak kasat mata yang peringatannya tak sanggup mengisi pikiran.
Naskah Revisi Emosi mesti rampung dalam waktu kurang dari dua minggu. Anka dan Denting hanya memiliki detik-detik terhubung dalam rentang waktu yang singkat.
Layar ponsel berkedip. Satu pesan masuk pada kotak masuk e-mail.
Tebak! Siapa?
Siapa lagi?
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Kosong.
Belum sempat berpikir arti dari pesan itu. Satu panggilan video terhubung.
Anka yang tidak fokus, langsung menerimanya. Hanya layar gelap yang terlihat. Sementara Anka memberi fokus layar pada wajahnya sendiri. Berlama-lama menatap layar gelap itu. Seolah seseorang tengah memberikan instruksi, fokus saja padaku.
Tidak ada yang memulai suara.
Anka tidak tau siapa sosok di balik panggilan video yang hanya berlangsung selama enam puluh detik. Lalu mati begitu saja.
Seperti perasaan Anka yang juga telah lama mati. Layar itu tak lagi menampilkan layar gelap. Muncul ikon dari berbagai aplikasi dalam ponsel. Napas berat terdengar. Dia bahkan memejam sejenak. Entah perasaan apa ini. Segalanya terasa asing.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Alihkan saja ke bagian yang membuatmu tenang. Seseorang sempat berkata, menetaplah jika kamu ingin.
Kini bukan saat yang tepat untuk menanggapi pesan-pesan penulis sialan itu. Entah apa arti dari tiap barisnya.
Anka meraih botol minum berisi air putih yang siap sedia di mana pun dirinya berada. Meneguknya pelan. Menetralkan aliran perasaan yang tak tau di mana anehnya.
Mungkin, karena hari ini Anka jarang minum?
"Nomor asing."
Setelahnya, musik instrumental mengisi keheningan dalam kamar yang tertata rapi. Terima kasih pada kakak Ailova. Kakaknya yang rajin dan cinta kebersihan itu telah menata dan membersihkan seisi kamarnya.
Rak buku di sudut ruangan menjadi titik fokusnya kini. Buku-buku yang berjajar rapi sesuai warna.
Aroma khas buku-buku yang sangat menenangkan hati. Anka menggapai satu buku yang halamannya tak lebih dari 300 halaman. Mengusap sampul buku satu-satunya yang bergenre romantis. Yang nuansa sampulnya cantik. Sekilas mata memandang, siapa pun akan dibuat jatuh hati. Dibukanya halaman berisi tanggal didekapnya buku itu untuk pertama kali. Coretan dengan tanda tangan manis di pojok kanan atas. Siapa pun dia, akan menjadi catatan memori dalam buku itu.
Anka menggeleng pelan. Memorinya tak sampai pada pemilik tanda tangan itu.
"Nggak sepenting itu, kan? Makanya gue nggak ingat apa-apa tentang pelaku goresan kecil di sini."
Buku itu diletakkan kembali. Dikepung buku-buku lain dari genre misteri, thriller, dan horor. Satu-satunya yang nampak cantik dan tak ada kesan mengintimidasi.
***
"Turunin gue di sini," kata Ailova, gadis yang hampir memasuki usia tiga puluh tahun itu. Kemudian menyugar rambutnya ke belakang.
"Sama siapa lo di sini?" Suara ketus Anka menginterupsi langkah kakaknya itu. Tanpa menoleh, Ailova mengangkat satu tangannya. Memberi isyarat, tidak perlu bertanya.
Perpustakaan Umum.
Begitulah dua kata yang tampak dari depan bangunan bergaya modern. Anka ingin mengikuti jejak langkah kakaknya, tapi dia malas.
Lagipula, Ailova bisa menjaga raganya dengan baik, kan? Tanpa perlu Anka temani. Hening menguasai keduanya selama perjalanan tadi. Letak perpustakaan umum dari rumah menghabiskan waktu tempuh selama dua puluh menit. Dan selama itu pula Anka hanya mendengarkan musik dalam mobil. Sementara Ailova, sibuk merespons—entah dengan siapa dalam ponselnya.
Keduanya duduk bersebelahan. Sesekali Anka mendapati raut wajah Ailova yang sedikit berubah. Dari datar menjadi senyuman tipis. Seperti Anka, yang tersenyum seperti formalitas.
"Ngapain lo masih di sini?"
Anka memberi klakson pada kakaknya, setelah memastikan Ailova selangkah lagi masuk ke dalam perpustakaan.
Jalan pulang di hari sabtu menjelang siang hari tak begitu ramai. Cukup membuat Anka melempar pikiran pada hari kemarin. Hari yang kosong. Beruntungnya tak mengundang aura negatif lain.
Anka mendengus pelan. Botol air minumnya tertinggal. Kedai terdekat menjadi pilihan. Mobilnya menepi hanya untuk sebuah minuman.
"Anka?"
Pandangan Anka terpaku pada sosok itu. Gadis cantik yang menggulung asal rambutnya. Memberi senyum paling manis. Tanpa aba, menggapai rambut Anka, lalu mengusapnya gemas.
"Sebuah kebetulan?" ucap gadis itu, tanpa ragu menyatukan jemarinya dengan jemari Anka.
Sementara Anka? Masih terpaku. Bibirnya kelu. Hatinya seolah tak menolong detik ini. Kakinya membeku di tempat. Sebuah senyum tipis pun tak mampu terukir.
"Sekaget itu?" Gadis itu menarik Anka ke kursi kosong depan kedai. Duduk bersisian. Tanpa aba, melingkarkan lengannya pada lengan Anka. "Kangen."
Harusnya, Anka risih?
Namun, Anka hanya diam. Tanpa satu pun kalimat, dia melirik lingkaran lengan itu. Kemudian mengalihkan pandangannya pada kendaraan yang melintas dua arah.
"Buat kamu." Sebotol minuman yang masih terkemas rapi diletakkan di telapak tangan Anka satunya. "Aku masih ingat kebiasaan kamu."
Masih membeku. Anka perlahan meneguk minuman itu. Tanpa ingin menyinggung, dilepasnya lengan gadis itu. Sepasang mata ibu paruh baya telah menatap keduanya tajam sedari tadi. Seperti berkata, ini tempat umum.
"Kamu mau langsung pulang?" Gadis itu menyatukan lagi jemarinya pada jemari Anka. "Nggak mau nanya kabarku? Atau nggak mau nanya, apa di hatiku masih ada kamu?"
Baiklah. Diamnya Anka selesai. Dilepasnya cepat jemari gadis itu. "Kak Ailova ada di perpustakaan. Lo bisa pergi sendiri, kalo mau."
Gadis itu terperangah. Gemas dengan sikap dingin Anka.
"Kamu nggak langsung pulang, kan?" Berharap Anka menemaninya seharian ini. Anka yang dulu, bisakah digenggamnya lagi?
"Pulang."
Anka tak mengatakan apa pun lagi. Sebelum mobil itu pergi, ada notifikasi masuk.
Subjek: Revisi Emosi - Catatan Editor
Dari: Denting [denting.an@puitis.com]
Kepada: Anka [editoranka@kapaslangitmedia.id]
Jangan membuang detikmu, hanya untuk suatu hal di luar prioritas. Aku yang tengah menantimu, bagaimana dengan naskah yang kita miliki?
Gadis itu berusaha masuk ke dalam mobil. Anka cepat menguncinya. Benar, dia tak boleh membuang waktu hanya untuk sesuatu yang tidak penting.
Laju kendaraan dipercepat. Seolah sengaja ingin cepat-cepat menjauh dari gadis yang masih menatap kepergian Anka. Ekspresi tak mengenakan, rasa kecewa, dan kesal.
***
Langkah Anka lebih cepat dari biasanya. Dentuman jantungnya seolah mengetuk langkah-langkah lebar itu. Kepala yang mendadak nyeri, pikiran yang mendadak kosong kembali, tapi satu yang ingin dia lakukan kini—merebahkan tubuhnya.
Energinya seperti terkuras hari ini.
"Apa?" Sembari memejam, Anka menjawab panggilan itu. Ailova tiba-tiba menelponnya.
"Gue mau minjem buku, tapi kartu perpustakaan gue ketinggalan." Suara Ailova terdengar nyaris berbisik.
"Kartu perpustakaan?" Anka sudah nyaman dalam posisi ini, tapi kakaknya minta dicarikan kartu perpustakaan.
"Di mana?"
"Dua minggu lalu, gue titip sama lo."
Mulai berpikir. Titip, titip, titip. Titip di mana?
"Gue nggak ingat." Masih dalam posisi rebahan dan kembali memejamkan mata, Anka menjawab panggilan itu.
"Cari dulu. Di kamar gue. Di meja. Di rak. Di mana aja."
Masalahnya Anka sudah tidak memiliki daya untuk mencarinya detik ini.
"Kenapa nggak baca bukunya di sana aja?" Anka sudah lelah, tanpa harus membuka satu per satu barang di kamar Ailova hanya untuk sebuah kartu perpustakaan. "Masih lama tutupnya. Matahari belum tepat di atas kepala."
Diam. Suasana perpustakaan yang hening terasa meski jauh.
"Nggak akan beres kalo cuma baca di sini."
Ailova terdengar tengah berbicara dengan seseorang di sana, yang suaranya nyaris tak terdeteksi oleh Anka.
Sepasang telinga menerka-nerka suara siapa di sana yang tengah bersama kakaknya. "Kak?"
"Udah ketemu?"
"Belum dicari."
"Cari sekarang!" Nada keras Ailova mengejutkan Anka. "Gue nggak mau dengar lo bilang nggak ketemu."
Anka segera berdiri, menggapai sisi kasurnya. Sudah lama dirinya tidak mendengar gertakan Ailova. Tapi apa Ailova tengah kesal? Padahal pagi tadi suasana hatinya terlihat tenang.
Anka menginjak dompetnya yang tergeletak di lantai. Sebelum benar menaruh benda itu di atas nakas, dia membukanya. Memastikan isinya tidak berantakan. Dan saat itu pula, matanya terpaku pada satu kartu yang terselip di antara kartu lainnya.
"Kartu ini... " Kepala Anka mendadak nyeri. Dompetnya terlepas dari genggaman. Sementara kartu itu, dipegangnya tak percaya. "Kenapa bisa ada di dompet gue?"
***