Gue kaget banget karena pas bangun, Lala udah duduk anteng samping ranjang gue sambil mainin HP-nya. Padahal, masih pagi banget, dan jam tujuh dia udah harus kerja. Susah payah gue berusaha buat bangun, tapi dia nahan pergerakan gue. Untungnya Lala pengertian banget. Gue emang agak pusing karena baru tidur kurang dari dua jam setelah kerja semalaman.
"Udah, diam. Tidura aja," katanya.
Dia nguap beberapa kali, terus keluarin satu keresek besar dari tas ranselnya. Di dalamnya ternyata ada tisu kering, tisu basah, minyak aroma terapi roll on, minyak kayu putih, bye-bye fever, pad terapi hangat yang setau gue biasa dipake sama orang yang nyeri haid, celana dalam baru yang masih segel, bedak tabur, parfum, air mineral, sama makanan ringan kayak biskuit dan lain sebagainya. Jelas gue bengong dong karena nggak berencana dirawat lebih lama. Ini udah hari ketiga, dan kalau masih nggak boleh pulang juga, mending kabur.
"Lo ngapain bawa ini semua, La?" tanya gue.
Dia mengacungkan pad penghangat itu sambil bilang, "Gue nggak tau ini dibolehin atau nggak, tapi biasanya kalau nyeri perut karena lagi dapet, lumayan bantu banget. Nanti lo Konsul aja dibolehin atau nggaknya. Soalnya, dari yang gue baca sakit perutnya, tuh, sakit banget."
Gue mau memotong, tapi dia udah ngambil dua minyak aroma terapi sekaligus.
"Gue nggak tau lo lebih suka aroma yang mana, tapi minyak kayu putih setau gue memang aroma aja, panasnya kalah. Kalau yang roll on ini panas. Ini CD buat lo karena gue tau lo nggak pulang, Selly nggak bilang sama ibu kalian, jadi gue bawain. Karena gue tau lo nggak mungkin mandi, nanti seka aja pake tisu basah, tabur bedak, kasih parfum, deh, biar nggak bau. Udah beres. Ini ada air mineral sama makanan kecil juga. Makanan rumah sakitnya lo makan, kan?"
Seketika gue ternganga. Kok bisa Lala mikirin semuanya sejauh itu? Maksud gue, kayak gue aja nggak kepikiran. Dirawat, ya, udah dirawat aja. "Dimakan," sahut gue. Bohong dikit nggak apa-apalah, ya. "Btw, La, gue bau emang?"
"Awas aja nggak lo makan. Nggak juga. Antisipasi aja."
"Kenapa lo udah ada di sini sepagi ini? Padahal, belum jam besuk juga. Kok bisa masuk, sih?"
Lala langsung menunjukkan sesuatu, serupa kartu identitas tapi bertulis nomor ruangan dan tanda bahwa dia penunggu pasien. "Setiap pasien maksimal bisa dijagain sama dua orang, dan dikasih kartu buat itu. Nah, punya lo nggak kepake karena sendiri, jadi gue bilang aja penunggu atau keluarga pasien. Makanya bisa masuk."
Sebut saja dia si pemberani. Baru kemarin gue bilang dia kalem, hari ini udah kesurupan lagi. Tapi, dilihat lebih dekat ... matanya agak bengkak gitu. Dia habis nangis? Kenapa?
"Thank you, ya, La. Nanti ...."
"Tulis aja rinciannya." Dia melanjutkan sambil melotot. "Gue jambak lo, ya, kalau ngomong gitu."
Kan! Galak banget dia, tuh.
"Ya, gimana. Gue nggak enak ngerepotin lo terus belakangan ini."
Dia membereskan barang-barang itu lagi, terus disimpan di nakas samping ranjang gue. Tisu, air mineral, sama minyak aroma terapi sengaja disimpan di atas biar gampang dijangkau katanya.
"Gue, tuh, udah kepikiran dari semalam, tapi nggak bisa langsung ke sini karena si Tuan Putri kampret itu bikin kita pulang telat. Dia salah ngasih obat lagi, Nu, dan adik lo yang ditumbalin. Karena komputer semalam mati, jadi resep manual dan lo tau sendiri tulisan Pak Taufik kayak apa. Cantika pikir itu Danasone ternyata Daneuron. Jadi, harusnya vitamin malah dikasih obat radang. Pasiennya fotoin dan di kirim ke WhatsApp klinik, dia nanya vitaminnya mana karena dokter jelasin bakal dikasih vitamin, nggak pake mikir si Cantika langsung nunjuk Selly. Kita dipanggil, diomelin semua, Selly juga. Cuma semalam gue sama Cantika disuruh turun, tapi Selly diminta tetap di atas."
Refleks gue melotot mendengar kalimat paling akhir. Selly diminta tetap di atas? Karena manusia itu banyak banget kasusnya, gue takut banget Selly diapa-apain. Perut gue yang lagi tenang banget sebelumnya mendadak melilit dan sesak. Gue langsung mengubah posisi, dari tidur jadi duduk karena sesak. Mungkin karena panik makanya gejala yang muncul rombongan datangnya, dan Lala melihat itu. Dia ikut panik dan bersiap manggil dokter, perawat, atau mungkin siapa pun yang bisa dimintai tolong, tapi gue menahan.
"Nggak, La, nggak perlu. Gue ... nggak apa-apa."
Cewek itu masih kelihatan panik, tapi gue berusaha menenangkan walaupun itu tugas yang lumayan berat karena gue juga sedang mencoba melakukan hal yang sama, menenangkan diri. Gue berusaha bernapas lebih tenang dan dalam.
"Terus Icel gimana setelah keluar dari ruangan Pak Taufik, La?"
"Nggak apa-apa kok, cuma diam aja. Mungkin karena habis dimarahin."
Gue nggak mungkin nyalahin Lala yang biarin Selly cuma berdua sama atasan gue di atas karena kondisinya dia nggak tau banyak seperti apa atasan gue. Jadi, buat memastikan gue harus bisa pulang hari ini juga. Lagian, gue udah jauh lebih baik dibanding awal. Soal gejala, gue udah nggak peduli karena kemungkinan itu yang bakal gue rasain terus menerus. Gue cuma perlu menerima dan menjalani.
Biarpun kondisi Selly masih jadi pertanyaan, gue nggak bisa membiarkan Lala berlarut-larut sama pikirannya. Dia beneran jadi diam setelah melihat perubahan gue yang mendadak. Setelah berhasil menguasai diri, gue baru bisa melanjutkan obrolan.
"La ... sorry. Panik tadi."
"Kenapa? Ada yang nggak beres sama Pak Taufik?" tanyanya to the point.
"Dia ada beberapa kasus, La. Belum terbukti emang karena kebanyakan berhenti pas nyoba nyari keadilan. Tau sendiri, kan, keluarga Pak Taufik punya power dan uang, mereka bisa melakukan apa aja. Tapi, kalau kejadian kayak gitu nggak cuma terjadi sama satu atau dua orang aja, emang patut dipertanyakan, kebenarannya. Korbannya anak kecil, remaja, dan terakhir yang sampai minta rujukan ke poli kesehatan jiwa itu perempuan dewasa."
Lala langsung melotot. Dia baru di sini, jadi nggak tau apa-apa.
"Contoh kecil yang nggak kita sadari, pasien yang cantik walaupun pake BPJS yang seharusnya diberlakukan juga aturan yang dia tetapkan bisa dikasih obat lebih banyak dan jam konsultasi yang lebih panjang. Misal per pasien kurang dari lima menit, mereka yang punya ‘daya tarik’ di matanya bisa lebih dari itu."
Lala seperti baru menyadari itu.
"Gue berusaha buat nggak percaya itu, tapi laporan mereka dan gelagat Pak Taufik sendiri bikin gue yakin dia emang nggak beres. Makanya, barusan dengar Icel cuma berdua sama dia, gue panik. Maaf banget kalau reaksi gue berlebihan."
"Nu, gue minta maaf banget. Kalau tau dia kayak gitu, semalam Selly gue temenin."
"Nggak apa-apa, nanti gue tanya anaknya. Kalau emang ada apa-apa gue juga nggak akan diam aja. Apalagi, kalau sampe bener dia ngelakuin hal yang kurang ajar sama adik gue."
"Gue ada di pihak lo. Kalau masalahnya cuma power, gue bisa ngelibatin Mama sama Papa."
Gue senyum, kemudian bilang makasih entah yang keberapa kali. "La? Udah sarapan. Lo bawa apa itu? Makan dulu aja sebelum berangkat."
"Nanti aja di sana. Gue pengin beli nasi kuning. Lo jangan lupa makan, ya, Nu. Mungkin nggak nyaman, tapi harus. Sama ingat satu hal, lakuin apa pun yang pengin lo lakuin mulai dari sekarang. Orang lain emang penting, tapi ada diri lo sendiri di atas itu semua. Lo dulu, baru mereka, oke?"
"Oke, La. Sekali lagi makasih."
Dia ngangguk, dan setelah merasa tugasnya selesai, Lala langsung pamit karena dia harus kerja. Dia sebaik itu anaknya.
***
Sore ini akhirnya gue diperbolehkan pulang, dan sebelum pulang tadi gue iseng timbang berat badan. Ternyata turun lagi dua kilogram. Agak sedih, tapi mau gimana lagi? Dengan tinggi badan seratus tujuh puluh lebih dikit, dan kehilangan berat sepuluh kilogram dari berat ideal gue sebelumnya, jelas bikin gue kayak tulang berjalan.
Gue sengaja beli makanan enak dulu sebelum pulang, siapa tau kalau ada Ibu sama Selly gue bisa makan. Bukan makanan yang gimana, sih. Cuma ayam goreng, tapi lumayan terkenal di sini karena potongan ayam serundengmya yang gede banget, sambalnya juga enak.
Pas sampe rumah, Ibu sama Selly lagi duduk di ruang tamu. Selly duduk di bawah, sementara Ibu di atas sambil nyisir rambutnya. Gue pengin nanya soal semalam, tapi dia kelihatan baik-baik aja. Jadi, gue menahan diri.
"Bu, aku bawa ayam goreng PSG. Makan bareng, yuk," ajak gue.
"Boros banget kamu, Mas. Bukannya ditabung buat biaya PKL-nya Icel malah foya-foya." Ibu langsung ngomel. Tapi, gue berusaha buat nggak peduli. Gue lapar dan pengin makan.
Selly nggak ngomong apa-apa, tapi setelah rambutnya selesai disisir Ibu, dia bangun, terus ngambil beberapa piring dan satu wadah besar buat ayam gorengnya. Mau nggak mau Ibu juga mengikuti, cukup bikin gue senyum. Kayaknya bakal nikmat banget makan kali ini setelah beberapa hari ini gue nggak menemukan kenikmatan itu. Entah karena makanan di rumah sakit dengan cita rasa dan gizi yang udah disesuaikan, atau karena nggak ada mereka.
Setelah semua duduk, gue ngambil centong nasi, dan nuangin secukupnya ke piring Ibu sama Selly, terakhir ngambil buat diri sendiri.
"Makan yang banyak, ya, Bu, Cel."
Baru aja gue mau masukin makanan ke mulut, tiba-tiba Ibu nyeletuk.
"Nanti lagi, kalo kamu punya uang jangan dihambur-hambur begini uangnya. Ibu setiap bulan belanja sayur, mi, sama telur, biar nggak ada pengeluaran lagi setelah itu. Eh, kamu malah beli makanan begini."
Gue masih sabar dan lanjut makan, walaupun makanan itu udah beda rasa dan rasanya sulit buat ditelan.
"Uangnya bisa dipake buat Ibu bayar utang atau biaya PKL-nya Icel nanti, kan, lumayan. Hidupmu berkah, utang Ibu berkurang, Icel juga aman pendidikannya. Mana, kan, kamu nyuruh dia buat nggak terima tawaran kuliah dari atasanmu, Mas. Otomatis kamu harus kerja lebih keras buat nyari biaya kuliahnya. Ibu pengin Icel kuliah soalnya, harus. Dia harus sukses, jangan sampe jadi sampah kayak kita semua."
Sampah?
"Bu, aku nggak boleh, ya, nikmatin hasil kerja kerasku?"
Ibu ketawa, terus jawab, "Yang ngelarang siapa? Nggak ada. Asal tau kewajiban. Prioritasmu sekarang adikmu. Jangan hidup enak aja pikirmu, tapi nggak mau membantu keluarga. Kalau Icel kuliah, lulus, dapat kerjaan yang layak, kan, kamu yang nggak bisa apa-apa juga bisa kecipratan, Mas."
Ucapan Ibu barusan dibayar kontan sama reaksi badan gue. Gue mulai ngerasa pusing, mual, keringat dingin, dan gemetar, bukan karena sakit, tapi marah. Kemarahan itu berhimpun di dada, tapi gue masih nggak bisa apa-apa.
"Kita, tuh, apa-apa harus serba terencana. Jangan sampe kayak bapakmu. Pergi gitu aja ninggalin utang, ninggalin anak yang masih sekolah, lepas tanggung jawab gitu aja."
Gue nggak tau dapat keberanian dari mana, tapi gue refleks gebrak meja. Selly yang tadinya anteng makan terlonjak kaget, begitupun Ibu.
"Bisa nggak, sih, Ibu biarin aku hidup buat diriku sendiri? Aku juga seorang anak. Anak Ibu. Tanggung jawab itu berat, dan aku berusaha keras melakukannya selama ini, tapi nggak harus dibahas terus. Aku muak. Aku capek! Dan bahas yang nggak-nggak tentang Bapak di saat orangnya udah nggak ada juga rasanya keterlaluan. Bapak nggak pernah tau kapan bakal pergi, dengan cara apa, dan kondisi bagaimana, tapi Ibu tega bilang gitu? Boleh nggak aku mempertanyakan satu hal? Waktu Bapak pergi, apa yang ibu tangisi? Ibu kehilangan apa? Kehilangan jiwanya atau kehilangan fungsinya?"
Ibu diam, kelihatan banget syok sama apa yang gue katakan barusan, tapi kesabaran gue benar-benar menyentuh batasnya. Gue cuma pengin makan enak sesekali sebagai bentuk rasa terima kasih karena selama ini gue udah kerja keras, bentuk menghargai diri sendiri juga, tapi Ibu keterlaluan banget dari makanan sampe bahasannya ke mana-mana, apalagi nama Bapak dibawa-bawa.
"Aku harap, kalau apa yang terjadi sama Bapak terjadi sama aku juga suatu hari nanti, Ibu nggak akan melakukan hal yang sama. Aku pengin ditangisi sebagai manusia, sebagai seorang anak, bukan hanya sebagai sesuatu yang hilang fungsinya."
aduh, siapapun gigit cantika tolong 😭 aku pernah bgt punya temen kerja begitu, pengen jambak:(
Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan