Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

“Soya, naskahnya udah kubantu rapiin. Kamu print pakai printer-nya Pak Sastra, gih.”

Baru saja beres mendiskusikan soal pemilihan jenis properti, Soya sudah mendapat tugas baru. Ia tak bisa mengeluh. Memang ini pilihannya: menjadi koordinator tata artistik dan sekretaris. Sehingga, saat ia disodori Juni fail dokumen, cewek itu mengangguk walau ekspresinya sudah kelelahan. 

“Pak, saya pinjam printer, dong.”

“Sini.” Sastra mengisyaratkan untuk mengikutinya, meninggalkan keempat murid lain yang sedang mengukur gabus dan triplek. Tersisa dua puluhan menit sebelum waktunya bubar, mengikuti jam usainya bimbel. 

Tatkala Soya melewati daun pintu ganda bercat hijau pucat, ia merasa telah menginjak ruang masa lampau. Kursi-kursi jati, taplak rajut beraroma debu, dan pigura-pigura bermotif rumit menyambut. Radio tua kotak tergolek di ruang tamu, tepat di bawah jendela yang menghadap ke arah teras. Kasetnya memutar kembali lagu urutan pertama Vina Panduwinata. 

“Soya, saya ada saran. Kalau kamu nggak tahu mau latihan akting apa, bisa mulai dari memperagakan lagu, loh.” Sastra menyeringai kepadanya. “Dulu saya juga praktek begitu!”

Soya mengernyit. “Kayak gimana, Pak?”

“Gini.” 

Bertepatan dengan lirik tentang bocah centil, Sastra menaruh kedua tangan di pinggang. Pinggulnya bergoyang mengikuti lirik, kedua kakinya melangkah maju bergantian dalam garis lurus. 

Soya memelotot, lantas tawanya pecah. 

“Loh, ketawa!” Sastra tersenyum lebar. “Ayo!” Ketika lirik berganti menceritakan bocah-bocah yang siap menari jaipongan, pria itu melakukan gerak gitek dengan lincah. Tawa Soya semakin tak terbendung sampai-sampai harus berjongkok. Ia tak pernah tertawa sekeras ini. 

“Ayo, Soya! Timplak timplung ... timplak timplung! Bletak!”

Perut Soya sampai mulas. Bahkan kipas tua yang menggantung pada dinding ikut menggeleng dalam bunyi patah-patah. “Pak! Apa nggak malu?”

“Pertanyaan macam apa itu?” Sastra mengembuskan napas berlebihan. “Kalau saya malu, saya nggak bakal membina Layar Surya, dong.”

Tidak salah, sih. 

Melihat Soya menyeka air mata karena tertawa terlalu keras, senyum Sastra melunak. Ia menyuruh cewek itu untuk memasuki ruang tempat meja kerja dan lemari-lemari bukunya berada. Sebenarnya, lemari buku Sastra banyak. Tersebar di berbagai sudut yang memungkinkan. Bahkan ada buku berceceran di segala permukaan datar meja dan atas dispenser. Namun, tak ada ruang yang lebih sesak dan bertabur kilau emas piagam selain ruang kerja Sastra. 

“Ingat, Soya. Untuk bisa percaya diri, berarti harus bisa mengalahkan rasa malu. Atau, mengabaikannya. Bodoh amat! Toh, bersenang-senang nggak bikin kamu dipenjara. Paling cuma ... apa, sih? Diketawain orang, dan bukankah bikin orang ketawa itu baik? Ngasih pahala?”

Soya tersenyum masam dengan ucapan Sastra. Ada-ada saja. 

“Maaf, ya, saya memang nggak mau beresin,” kata Sastra saat Soya melompati buku-buku yang bertumpuk di lantai. “Saya malah bingung kalau rapi, jadinya nggak bisa nemu judul yang saya cari.”

Cewek itu akhirnya melesak di kursi bercorak merah bata. “Nggak apa-apa, Pak.”

“Bisa nyalain komputernya, kan? Nggak jadul-jadul amat itu! Printer-nya di sana, ya. Kabelnya di bawah. Colokannya di belakang kursimu ... nah, iya, itu! Kertas-kertasnya di lemari arsip belakangmu. Cari aja.”

Soya agak kelabakan, tapi ini bukan masalah besar. “Oke, Pak!”

“Saya ke depan dulu, ya, untuk ngawasi teman-temanmu. Kalau butuh apa-apa bilang.”

Usai Sastra pergi, Soya menunggu proses booting komputer yang cukup lama. Ini pasti salah satu komputer hasil hibah dari lab komputer di sekolah. Tipenya mirip dengan yang pernah Soya pakai saat kelas sepuluh dulu, sebelum diganti seluruhnya. 

Agak resah, ia memutuskan untuk mencari kertas-kertas HVS dulu. Saat ia berputar menghadap jajaran lemari arsip, senyumnya berubah kecut. Ia membuka satu per satu laci dengan cepat, mencari setumpuk kertas HVS putih di antara tumpukan surat, amplop, dan map folio—mulai dari yang lecek, menguning, hingga masih baru. Sebagian polos tak berjudul, sebagian memuat kop dari Yayasan Surya Cendekia, dari Dinas Pendidikan, dari sebuah rumah sakit jiwa, dan dari—

Soya berhenti. Jarinya menarik amplop dengan kop dari rumah sakit jiwa. Matanya membeliak. Itu bukan sekadar surat biasa. Sepetak kotak berlapis plastik di badan amplop menunjukkan bahwa itu adalah surat hasil pemeriksaan untuk seorang Sastra Aryaseta.

Apa yang ....

“Soya! Ayo, pulang!”

Cewek itu terperanjat. Untunglah yang menyapa adalah suara Nova, bukan pemilik surat ini. Cepat-cepat ia memasukkan amplop itu kembali ke laci, lantas menarik laci lain. 

“A-aku masih nyari kertas HVS-nya!”

“Ada di lemari sebelah kananmu, laci nomor dua.” Nova menghampiri dengan nada penasaran. “Kamu gampang banget kaget, santai aja, dong.”

Soya mengembuskan napas, berusaha meredam degup jantung yang tak karuan. “Panik. Waktunya mepet.”

Cewek berwajah pemarah di seberangnya mengangkat alis. “Nggak ada yang ngejar-ngejar kamu, loh.”

Benar juga. Soya merenungi itu sambil menata sebendel kertas di printer. “Nggak ada, sih ... tapi papaku strict banget soal jam pulang. Papa biasanya memperkirakan berapa lama waktu yang aku perlukan untuk jalan kaki dari sekolah—atau tempat les—ke rumah. Lebih dari tiga puluh menit, bakal ditelepon.”

Nova menatapnya dengan pandangan “Kamu serius?” lengkap dibumbui matanya yang memelotot. 

Soya mengangkat bahu. “Papa se-strict itu. Semua hal harus berjalan sesuai kemauan Papa. Kalau ada yang keliru, berarti itu kesalahan orang lain, bukan Papa, karena Papa udah ngatur dengan baik di awal.”

“Pantesan kamu gitu.”

Soya hanya terkekeh canggung. Segera, suara mesin printer bergulir memenuhi ruangan. 

“Trus ... gimana, dong?” tanya Nova lagi. “Setelah ini kita bakal lebih sering pulang lebih telat daripada jam bubar bimbel kamu. Waktu lomba kurang dari dua bulan, properti yang digarap masih banyak banget.”

Soya menghela napas. “Iya, tahu,” katanya. “Aku udah mikir caranya, tapi ....”

“Tapi?”

“Aku ... butuh bantuan kamu dan Daru.”

“Oke.”

Soya terbengong-bengong. “Langsung ‘oke’? Aku belum bilang bakal minta bantuan apa, Nov.”

“Apa pun itu, kalau bisa bikin kamu sedikit lebih bebas dan bisa ngurus teater bareng kita, aku mau aja!” Nova menyeringai. “Bilang aja. Aku harus apa? Bentar—DARU! DARU KE SINI, DARU!”

**

Tiga puluhan menit kemudian, Soya sudah tiba di rumah dengan Nova dan Daru di sisinya. Entah apes atau beruntung, hanya ada Soni di rumah. 

“Kerja kelompok?” sang ayah mengulang ucapan putrinya yang baru saja terlontar.

“Iya, Pa.” Soya baru saja akan menunduk, tetapi sebuah cubitan ringan mampir di punggungnya. Ia tersentak. Dari gerakan samar Nova, tampaknya cewek itu yang mencubitnya, seolah ingin bilang:

“Angkat dagu!”

“Gimana, Om, boleh?” Nova meringis lebar. “Jadi begini, Om ... karena semester genap jadi ada banyak tugas praktek dan berkelompok.”

“Oh.” Pandangan Soni bergulir kepada Daru yang duduk diam dengan kedua tangan memegang lutut. “Lalu kamu?” 

“Saya teman sebangku Soya, Om,” kata Daru datar. “Nama saya Daru. Darusena.”

“Darusena ....” Soni mengulang nama Daru seolah mengecap rasa es krim yang tidak asing, tetapi belum tahu bahan dasarnya. “Kamu yang peringkat dua kemarin itu, ya?”

Soya mengangguk cepat. “Iya, Pa! Ini Daru, peringkat dua. Nova peringkat tiga.”

Alis Soni berkedut mendengar kata peringkat tiga. Peringkat yang semestinya diduduki Soya, bukannya cewek berambut bergelombang dengan ekspresi pemarah. Meski begitu, Soni tampaknya menilai Nova pantas menduduki peringkat itu hanya dengan melihat garang raut mukanya. 

Pria paruh baya itu mengangguk-angguk. Ia mendorong kacamatanya yang melorot sambil berkata, “Boleh, kalau begitu. Kerja kelompoknya di mana? Di sini aja, ya? Kan, nggak jauh dari rumah.”

Ini dia. Soya yakin sekali pertanyaan itu bakal terlontar, maka ia pun menyenggol lutut Daru dengan teramat samar, berharap ayahnya tak melihat. 

“Ah, kerja kelompoknya tetap di sekolah, Om.” Daru berdeham. “Soalnya rumah saya jauh bangeeeet di kabupaten sana.” Ia mengangkat tangan, mengarahkan telunjuk ke sisi nun jauh di sana di sebelah kanan. “Jadi, biar saya masih bisa ngejar angkot malam, boleh ya, Om, kalau kerja kelompoknya tetap di sekolah?” 

Nova buru-buru menambahkan. “Kami nggak sendirian, kok. Biasanya masih ada satu atau dua kelompok juga.”

Soni sempat mengernyit, menambah kerutan yang terlalu banyak di usia awal lima puluh tahun. “Itu berarti, Soya juga harus jalan kaki malam-malam. Nggak ada yang bisa jemput dia pulang.”

“Tenang, Om, ada saya.” Nova menepuk dada. “Rumah saya ada di perumahan sebelah. Saya juga biasa jalan kaki. Anak preman aja takut sama saya!”

Namun Soni menggeleng. “Nggak baik anak cewek pulang jalan kaki, berdua atau bertiga sekalipun!” pria itu lantas beranjak, menggagalkan begitu saja rencana yang sudah Soya rancang bersama kedua kawannya. 

Tatapannya terarah kepada Soya. “Kerja kelompok di rumah aja. Sampai rumah maksimal pukul enam tiga puluh seperti biasa! Paham?”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • nazladinaditya

    aduh, siapapun gigit cantika tolong 😭 aku pernah bgt punya temen kerja begitu, pengen jambak:(

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Sumpah udh gedeg banget sama atasannya. Sikapnya kya org yg gak berpendidikan mentang² punya power. Maen tuduh, rendahin org, nginjek² org mulu tanpa nyari tau dulu kenyataannya. Klo tau ternyata si Jelek -males banget manggil Cantika- yg lagi² bikin kesalahan yakin sikapnya gak sama dgn sikap dia k Wisnu mentang² dia cewek cantik😡 lagian tu cewek gak becus knp masih d pertahanin mulu sih d situ, gak guna cuma bikin masalah bisanya. Tapi malah jadi kesayangan heran😑

    Comment on chapter Chapter 8 - Lebih dari hancur
  • serelan

    Nu Wisnuuu semoga jalan untuk menemukan kebahagian dalam hidupmu dimudahkan ya jalannya

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Buat atasannya Wisnu jangan mentang² berpendidikan tinggi, berprofesi sebagai seorang dokter anda bisa merendahkan orang lain ya.. yang gak punya etika itu anda hey coba ngaca... ada kaca kan d rumah??
    Buat si Cantika yang sifatnya gak mencerminkan namanya anda d kantor polisi ya? Gara² apa kah? Jangan balik lg ya klo bisaaaa

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • serelan

    Khawatirnya si ibu cuma karena mikirin masa depan si Selly mulu, takut banget klo mas Wisnu d pecat. Padahal jelas² tau mas Wisnu lg sakit tapi nyuruh buru² kerja jgn sampe d pecat. Semangat pula nyiapin bekal dan jadi tiba² perhatian cuma karena mas Wisnu bilang mau nyari kerja part time. Biar dapet tambahan duit buat si Selly ya bu ya😑.

    Comment on chapter Chapter 7 - Sisi baik dan kebahagiaan yang Tuhan janjikan
  • nazladinaditya

    baru baca bab 3, speechless si.. cantika kata gue lo asu 😭🙏🏻 maaf kasar tp kamu kayak babi, kamu tau gak? semoga panjang umur cantika, sampe kiamat

    Comment on chapter Chapter 3 - Dorongan atau peringatan?
  • serelan

    Curiga Selly yg ngambil dompet ibunya terus uangnya d pake CO Shopee, karena takut ketauan belanja sesuatu makanya pulang dulu buat ambil paketnya... Atasannya mas Wisnu cunihin ya sepertinya😂 ke cewe² aja baik, ke cowo² galak bener... gak adakah org yg bener² baik di sekitaran Wisnu? Ngenes banget idupnya..

    Comment on chapter Chapter 6 - K25.4
  • nazladinaditya

    siapa yang menyakitimuu wahai authoorrr 😭😭 tolong musnahkan ibu itu, singkirkan dia dari wisnu jebal

    Comment on chapter Chapter 5 - Pergi sulit, bertahan sakit
  • serelan

    Kesel banget sama ibunya. Selalu banding²in. Negative thinking terus lagi sama Wisnu. Awas aja klo ternyata anak yg d bangga²kan selama ini justru malah anak yg durhaka yg gak tau diri, rusak gara² cara didik yg gak bener.

    Comment on chapter Chapter 5 - Pergi sulit, bertahan sakit
  • serelan

    Nu, udh parah itu Nu🥺
    Nu, coba bilang aja dulu sama atasan klo si Selly mau coba bantu² biar liat gimana kakaknya diperlakukan di tempat kerjanya. Biar bisa mikir tu anak kakaknya nyari duit susah payah.

    Comment on chapter Chapter 4 - Namanya juga hidup
Similar Tags
Kaca yang Berdebu
180      145     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Metanoia
3392      1274     2     
True Story
❝You, the one who always have a special place in my heart.❞
Memoria
355      295     0     
Romance
Memoria Memoria. Memori yang cepat berlalu. Memeluk dan menjadi kuat. Aku cinta kamu aku cinta padamu
May I be Happy?
1300      648     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
Stuck On You
349      282     0     
Romance
Romance-Teen Fiction Kisah seorang Gadis remaja bernama Adhara atau Yang biasa di panggil Dhara yang harus menerima sakitnya patah hati saat sang kekasih Alvian Memutuskan hubungannya yang sudah berjalan hampir 2 tahun dengan alasan yang sangat Konyol. Namun seiring berjalannya waktu,Adhara perlahan-lahan mulai menghapus nama Alvian dari hatinya walaupun itu susah karena Alvian sudah memb...
Love in the Past
587      434     4     
Short Story
Ketika perasaan itu muncul kembali, ketika aku bertemu dengannya lagi, ketika aku harus kembali menyesali kisah itu kesekian kali.
Senja di Balik Jendela Berembun
50      44     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Surat yang Tak Kunjung Usai
1222      754     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
Isi Hati
508      361     4     
Short Story
Berawal dari sebuah mimpi, hingga proses berubahnya dua orang yang ingin menjadi lebih baik. Akankah mereka bertemu?
Unexpectedly Survived
212      179     0     
Inspirational
Namaku Echa, kependekan dari Namira Eccanthya. Kurang lebih 14 tahun lalu, aku divonis mengidap mental illness, tapi masih samar, karena dulu usiaku masih terlalu kecil untuk menerima itu semua, baru saja dinyatakan lulus SD dan sedang semangat-semangatnya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP. Karenanya, psikiater pun ngga menyarankan ortu untuk ngasih tau semuanya ke aku secara gamblang. ...