Loading...
Logo TinLit
Read Story - Loveless
MENU
About Us  

Pas gue bilang udah dua kali muntah darah, Dokter Renata—dokter jaga di tempat gue kerja—langsung menyarankan untuk pemeriksaan lanjutan. Gue dirujuk ke dokter spesialis penyakit dalam dengan kode diagnosis K25.4. Tadi gue langsung pergi kerja setelah berantem sama Ibu dan memutuskan langsung memeriksakan diri karena ngerasa ada yang nggak beres. Untungnya dari awal masuk seluruh karyawan di sini langsung didaftarkan jadi peserta BPJS, jadi nggak harus keluar biaya kalau cuma buat Konsul doang. Padahal, belum waktunya gue masuk, tapi gue nggak punya tempat pelarian lagi selain ini. 

Sayangnya, surat rujukan itu cuma bisa gue pegang untuk sekarang karena jadwal praktik dokternya di rumah sakit tujuan cuma hari Selasa, Rabu, sama Sabtu, jadi gue harus nunggu lebih lama. Buat sementara, gue cuma dikasih beberapa obat. Obat-obatan lambung dan buat perdarahan. Sebenarnya, gue juga dilarang buat masuk kerja dulu, tapi udah kebayang mulut Cantika sama Bu Ola kayak petasan banting. Katanya, kalau nggak kuat banget gue bisa langsung ke IGD karena itu bisa dikatakan darurat medis?

Masih jam 13.20, masih ada waktu setengah jam lebih buat istirahat sebelum kerja. Pas masuk, ada Lala lagi beresin meja racik. Gue cuma senyum, nggak minat basa-basi.

"Gimana kata dokter?" tanya Lala. Kayaknya dia dengar pas gue lagi registrasi di admin, terus dipanggil.

"Cuma dikasih rujukan. Suruh ke penyakit dalam."

Lala yang sebelumnya sibuk sama kerjaannya langsung balik badan. "Kok bisa, sih? Emang lo kenapa? Selama ini kayaknya sehat-sehat aja. Nggak pernah, tuh, gue dengar lo ngeluh sakit ini atau itu."

Gue cuma ketawa. Hampir nggak pernah ngeluh bukan berarti baik-baik aja, kan? Gue cuma berusaha melindungi diri, karena respons orang besar pengaruhnya buat gue. Tiba-tiba gue sadar sesuatu. "Eh, La, kenapa lo masih di sini?"

Lala harusnya pulang jam 12.00 dan balik lagi jam 17.00, tapi anak itu justru masih berkeliaran di tempat kerja.

"Tuan Putri izin keluar."

"Ke mana?"

"Nggak tau. Tadi, dibawa sama Bu Ola pake mobil."

Lama-lama pergerakan mereka emang mencurigakan. Gue nggak peduli sama obrolan mereka kemarin, tapi masih tetap ingat sampai hari ini. Salah satunya tentang pembagian hasil antara Cantika sama seorang psikiater. Cuma ada satu hal yang melintas di kepala gue. Obat-obatan. Psikotropika sama narkotika, tapi yang jadi pertanyaan ... barangnya dari mana? Kalau yang dibeli legal melalui distributor farmasi, nggak mungkin bisa dikeluarkan jor-joran karena udah pasti ngundang dinas kesehatan, soalnya ada pelaporannya.

"Terus, hari ini, tuh, banyak bapak-bapak berseragam yang ke sini, tapi cuma pengin dilayanin sama Cantika. Gue nggak tau itu apa, tapi ... tau-tau Cantika udah nyebutin nominal aja tanpa lihat komputer kasir. Nominal pembelanjaan mereka gede, tapi anehnya di laporan cuma sedikit."

Kecurigaan gue mulai masuk akal, kan? Sebetulnya terserah dia mau ngapain, tapi karena gue ada di sini, takutnya kita semua keseret kalau ternyata apa yang dilakukan Cantika itu kejahatan.

"Eh, ini gosip nggak, sih, masuknya? Tapi, kan gue lihat sendiri."

Gue nggak menanggapi, cuma ketawa. Lala juga nggak jelas ada di pihak mana. Dia bisa sangat nyebelin kalau sama Cantika, tapi di depan gue begini. Mulai hari ini gue cuma harus hati-hati. Gue jadi agak menyesal bawa Selly ke sini. Semoga dia manusia itu nggak bikin adik gue terlibat dalam urusan apa pun.

Jam 14.00 Lala pamit pulang dulu karena jam 17.00 dia mulai kerja lagi. Di saat bersamaan, masuk satu chat dari adik gue.

Icel ❤️ 

Mas, aku di depan.

Saya

Masuk aja.

Mas di apoteknya

Buru-buru gue masukin surat rujukan tadi ke tas. Meskipun kecil kemungkinan dia buat peduli, tapi gue nggak mau dia atau Ibu tau apa pun soal gue.

Nggak lama dia masuk. "Kok udah datang jam segini, Mas pikir kamu datang jam lima sore, barengan sama jam buka poli."

"Aku mau belajar dulu. Jadi—"

"Nanti pas buka nggak kosong-kosong banget." Gue melanjutkan. Dia langsung manyun dan mukul lengan gue, kencang sampai gue refleks mengaduh, dan Selly ketawa.

Pas Selly ketawa, gue terpana. Adik gue emang secantik itu. Dia sesempurna yang selalu orang ceritakan. Cantik dan pintar. Gue sampai lupa kalau dia adalah alasan gue berantem sama Ibu tadi. Gue pengin nanya soal dompet Ibu, tapi takut ngerusak suasana. Jadi, gue memilih buat langsung orientasi dia.

"Cel, mau lihat-lihat dulu, nggak?"

Anak itu mengangguk antusias terus ngikutin gue dari belakang. Apotek sama klinik tempat gue kerja sebetulnya satu bangunan, cuma beda pintu masuk aja. Apotek ini nggak terlalu luas. Ada beberapa etalase di bagian depan dan ruang konsul apoteker, di area belakang ada ruang racik dan deretan etalase obat keras juga lemari psikotropika dan narkotika. Gue kenalin satu-satu.

"Di sini, tuh, kebanyakan penyimpanannya sesuai abjad, tapi per golongan sama bentuk sediaan juga ada. Yang bentuk sediaan, sirup, tablet, sama suppositoria jelas beda penyimpanannya. Kamu udah belajar, kan?"

"Mas ngajarin aku?"

Gue lupa kalau dia lebih pintar. Agak nyelekit, sih, tapi nggak masalah. "Mas cuma bantu kamu mengulang, biar nggak bingung."

"Oke."

Tanpa gue repot ngejelasin, dia mulai sibuk jalan-jalan sendiri. Buka etalase ini, itu, kulkas, sampe naik-naik cuma buat lihat obat yang ada di bagian atas. Dia bikin garis-garis asal sesuai tata letak di sini, kemudian dikasih nama seperti etalase depan dekat komputer (vitamin), etalase pojok kanan (herbal), etalase depan (obat demam dan pencernaan), begitu seterusnya. Wajar, sih, kalau Ibu sangat membanggakan Selly.

"Cel, kamu udah makan?"

"Belum, tapi dibekelin Ibu."

"Makan dulu aja. Di jam sibuk, kamu nggak akan bisa makan."

"Mas udah makan emang?"

"Udah," sahut gue sekenanya. Padahal, terakhir ada makanan masuk kayaknya kemarin bubur dari Ibu. Tadi gue nggak sarapan karena keburu berantem. Malu juga karena nggak punya kontribusi apa-apa buat persediaan bahan makanan di rumah.

Selly menyimpan buku catatannya, terus duduk di meja racik sambil ngeluarin kotak bekal. Kayaknya Ibu nggak bilang tentang dompet itu, soalnya Selly kelihatan tenang banget. Dia juga masih bisa makan enak walaupun cuma nasi sama nugget.

"Mas mau?"

Refleks gue menggeleng.

"Jangan lihatin terus dong, kan, nggak enak ke akunya."

Gue putar badan dan langsung pura-pura sibuk, sedangkan Selly makan sambil nonton kayak biasa. Pas gue lagi masukin obat ke keranjang obat, HP Selly bunyi kencang banget.

Shopee!

Notifikasi itu bikin gue kaget sebenarnya, tapi gue berusaha bersikap normal. Tanpa sengaja gue melihat Selly membuka notifikasi itu, tulisannya, "Barang sedang dikirim."

Dia yang kelihatan duduk anteng sebelumnya, langsung kelihatan panik. Selly langsung berdiri dari posisinya, kemudian meninggalkan makanannya yang masih tersisa banyak. "Mas, aku pulang dulu sebentar. Nanti ke sini lagi!"

Gue nggak sempat jawab sama sekali karena kaget. Lagian, dia juga udah keburu pergi.

Sepeninggal Selly, gue duduk di kursi dekat meja racik. Aroma makanannya enak banget. Nggak tau karena gue lapar atau karena makanan orang jadi kelihatan menggiurkan. Gue curi-curi pandang ke arah makanan itu, tapi terlalu malu. 

Dosa nggak, sih, nyuri makanan adik sendiri? Cuma sedikit kok. Nanti pas gajian gue ganti aja kali, ya? Akhirnya gue potong tipis banget nugget bekas gigitan Selly biar nggak ketahuan, ambil satu sendok nasi, berdoa, kemudian menyuapkannya ke mulut.

Nggak tau kenapa, gue ngerasa pengin nangis saking nikmatnya. Apa karena gue kelaparan? Atau karena udah lama banget nggak makan nugget makanya hati gue jadi berantakan? Untungnya perut gue lagi sakit, jadi baru makan sesuap pun rasanya udah kenyang banget. Jadi, hasrat buat ngabisin makanan Selly, tuh, nggak ada sama sekali.

Sendok itu gue simpan ke tempat semula, berusaha semirip mungkin sama pas terakhir kali ditinggal Selly. Gue harap dia nggak sadar kalau gue ambil sedikit nugget sama nasinya.

***

Hari ini berjalan baik. Selain cantik dan pintar, Selly ternyata bisa beradaptasi dengan baik. Buktinya, cuma dalam hitungan menit dia bisa akrab sama Lala. Dia juga sangat gesit buat ukuran orang baru. Lala juga baru, sih, dia masuk sejak Raina sering sakit, tapi adaptasinya Lala lumayan lama dibanding Selly sekarang.

Lima belas menit menuju jam pulang, pasien udah sepi. Kita siap-siap bikin laporan, berhitung, terus pulang. Tapi, tiba-tiba aja telepon bunyi. Karena gue yang paling dekat, jadi gue yang angkat.

"Halo."

"Adikmu suruh ke sini."

"Ada apa, Pak?"

"Mau membicarakan soal gaji."

"Baik, Pak."

Sebenarnya gue agak takut biarin Selly ketemu atasan gue sendiri, mengingat rekam jejaknya sebagai manusia yang menurut gue mengerikan. Jadi, gue memilih ikut biarpun nggak diminta ikut.

"Cel, ikut Mas."

"Ke mana?"

"Atasan Mas mau ketemu."

Anak itu cuma mengangguk, terus ngikutin gue dari belakang ke ruangan atasan gue. Waktu gue mau ikut masuk, atasan gue tiba-tiba bilang, "Kamu turun aja. Takut masih ada pasien."

"Udah nggak ada, Pak. Saya di sini aja."

"Ini bukan urusan kamu, dan saya nggak suka masalah gaji yang sensitif ini didengar orang lain. Dari awal kamu tau itu, kan?"

Selly langsung berbalik sambil melotot, minta gue pergi. Akhirnya gue pergi. Percuma juga di sini, toh orang yang pengin gue lindungi nggak mau gue melakukan itu.

Begitu sampai di lantai bawah, gue beres-beres atau melakukan apa pun itu. Berusaha mengalihkan pikiran negatif tentang Selly sama atasan gue. Cantika salah satu bukti nyata kalau manusia itu nggak merasa cukup dengan anak istrinya. 

Jam sembilan lewat sepuluh menit, Selly baru turun yang artinya hampir setengah jam mereka ngobrol. Gue penasaran mereka ngobrol tentang apa, tapi Selly udah pasang muka kesal duluan.

"Mas jangan begitu lagi. Aku malu tau. Aku bukan anak kecil yang apa-apa harus diikutin!"

"Mas punya alasan."

"Apa pun itu, aku yakin alasan Mas nggak masuk akal. Buat apa aku harus ditungguin kalau atasan Mas sebaik itu? Tolong hargai aku sebagai pekerja di sini juga. Jangan seenaknya cuma karena aku adik Mas."

Oke. Dua tanda tanya besar di kepala. Pertama, dia bilang atasan gue sangat baik. Atas dasar apa dia menarik kesimpulan secepat itu? Apa yang ditawarkan? Kedua, pekerja? Maksudnya?

Gue udah cukup pusing hari ini cuma perkara K25.4, sekarang kedatangan Selly malah memperparahnya.

How do you feel about this chapter?

3 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (36)
  • serelan

    Bahagia selalu ya kalian... Mas Nu udh nemuin kebahagiaan.. tetap bahagia selamanya, skrng ada orang² yg sayang banget sama Mas Nu. Ibu, Icel sama calon istrinya🥰

    Comment on chapter Chapter 24 - Penuh cinta
  • serelan

    Kejahatan pasti terbongkar. Mau sepintar apapun nyembunyiin bangkai pasti lama² kecium jg baunya.. para korban akhirnya pada speak up. Gak akan ada celah lagi buat si Topik ngelak. Kalo selama ini dia bisa bungkam para korban dengan powernya. Klo kasusnya udh nyebar gini udh gak bisa d tutupin lagi.. buat Wisnu harus sembuh ya biar bisa lebih lama lagi ngerasain kehangatan keluarganya..

    Comment on chapter Chapter 23 - Titik hancur
  • serelan

    Harus bahagia ya kalian.. jadi keluarga yg saling jaga.. dan si Topik² itu pokoknya harus dapet karma dari perbuatannya gimanapun caranya, dimudahkan jalannya..

    Comment on chapter Chapter 22 - Hangat
  • serelan

    Ya allah... siapa yang naro bawang di chapter ini? 😭 nangis banget baca ini...

    Comment on chapter Chapter 21 - Keputusan besar
  • serelan

    Nah ketauan kan sifat si Topik Topik itu.. ke orang² aja dia selalu bilang etika sopan santun pengen banget d pandang tinggi sama org. Tapi etika sopan santun dia aja minus. Dia lebih rendah drpd org yg dia kata²in.. sakit otaknya, cuma org² yg jual diri kyanya yg dia anggap punya etika sama sopan santun.. udh kebalik otaknya.

    Comment on chapter Chapter 20 - Pengakuan mengejutkan
  • serelan

    Nah gitu bu... baek baek sama Wisnu. Lagi sakit loh itu anaknya... Kira² Mas Wisnu bakal jujur gak ya ke keluarganya soal penyakitnya?

    Comment on chapter Chapter 19 - Memberi ruang
  • serelan

    Itu uang yang dihasilin sama Wisnu dari hasil kerja kerasnya selama ini yang selalu diambil semuanya sama si ibu ibu itu anda anggap apa bu? Kok masih aja bilangnya gak mau membantu keluarga padahal hasil kerjanya anda ambil semua. Selalu seneng klo ambil lembur karena nambah duit yg akhirnya diambil anda juga.. Masa gak boleh sesekali bahagiain diri sendiri buat apresiasi dari hasil kerja kerasnya, walau capek bisa tetap bertahan. Gak tiap hari loh bu... si ibu pengennya idup enak tapi Wisnu anaknya jadi sapi perah terus

    Comment on chapter Chapter 18 - Hilang fungsi
  • serelan

    Nu, kuat ya kamu... harus kuat... Icel jangan berubah pikiran lagi ya.. terus turutin apa kata Mas mu, karena apa yg dia bilang pasti yang terbaik buat kamu...

    Comment on chapter Chapter 17 - Tempat untuk pulang
  • serelan

    La, kamu ada rasa kah sama Nunu? Peduli banget soalnya sama Wisnu... Sell, mulai ya buat berubah jadi lebih baik, lebih perhatian sama Masmu ya...

    Comment on chapter Chapter 16 - Es pisang ijo segerobak
  • serelan

    Gimana perasaanmu Sell lihat Mas mu kya gitu? Nyesel? Peduli? Atau masih sama aja...

    Comment on chapter Chapter 15 - Tempat untuk jatuh
Similar Tags
You Are The Reason
2278      933     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
Seharusnya Aku Yang Menyerah
134      114     0     
Inspirational
"Aku ingin menyerah. Tapi dunia tak membiarkanku pergi dan keluarga tak pernah benar-benar menginginkanku tinggal." Menjadi anak bungsu katanya menyenangkan dimanja, dicintai, dan selalu dimaafkan. Tapi bagi Mutia, dongeng itu tak pernah berlaku. Sejak kecil, bayang-bayang sang kakak, Asmara, terus menghantuinya: cantik, pintar, hafidzah, dan kebanggaan keluarga. Sementara Mutia? Ia hanya mer...
Surat yang Tak Kunjung Usai
791      517     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
Behind the Camera
1886      723     3     
Romance
Aritha Ravenza, siswi baru yang tertarik dunia fotografi. Di sekolah barunya, ia ingin sekali bergabung dengan FORSA, namun ternyata ekskul tersebut menyimpan sejumlah fakta yang tak terduga. Ia ingin menghindar, namun ternyata orang yang ia kagumi secara diam-diam menjadi bagian dari mereka.
Tic Tac Toe
468      372     2     
Mystery
"Wo do you want to die today?" Kikan hanya seorang gadis biasa yang tidak punya selera humor, tetapi bagi teman-temannya, dia menyenangkan. Menyenangkan untuk dimainkan. Berulang kali Kikan mencoba bunuh diri karena tidak tahan dengan perundungannya. Akan tetapi, pikirannya berubah ketika menemukan sebuah aplikasi game Tic Tac Toe (SOS) di smartphone-nya. Tak disangka, ternyata aplikasi itu b...
Isi Hati
500      355     4     
Short Story
Berawal dari sebuah mimpi, hingga proses berubahnya dua orang yang ingin menjadi lebih baik. Akankah mereka bertemu?
Let Me be a Star for You During the Day
1077      583     16     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...
Alicia
1414      679     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Ruang Suara
205      144     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Solita Residen
1871      948     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...