Besok sorenya, aku pergi ke studio tempat kami biasa latihan band. Meskipun tubuhku masih terasa lelah, aku tahu ini momen yang harus kuhadapi. Aku terlambat 30 menit, tapi teman-temanku tidak ada yang mempermasalahkan. Mereka semua terlihat bersemangat, siap latihan seperti biasa.
Begitu Rafli, sang drummer, memukulkan intro yang memukau, seluruh member langsung menyusul dengan alat musik masing-masing. Suara gitar Tyas melengking, bass Agung menggelegar, dan drum Rafli menghentak. Mereka semua total. Tapi aku? Suaraku keluar tanpa tenaga. Bukan fals, bukan jelek, tapi... kosong. Aku merasa seperti penonton di bandku sendiri.
Studio ini sudah jadi tempat kami menghabiskan banyak waktu. Ada bekas gelas kopi di sudut ruangan, kabel berantakan, serta poster band rock yang mulai pudar. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, aku merasa asing di sini. Seperti orang luar.
Aku menatap Tyas, berharap dia nggak sadar kalau aku nyanyi setengah hati. Tapi ternyata, dia sadar. Matanya menyipit, jarinya mengetuk gitar cepat—kebiasaannya kalau lagi kesel tapi nahan omongan.
Rafli masih fokus di drum, stiknya terus diputar dan diketukkan ke lutut, tepi snare, bahkan ke udara. Semakin lama, semakin cepat. Tanda dia mulai gelisah.
Agung duduk bersandar di sofa pojok ruangan. Bass-nya masih dipangku, tapi nggak dimainin. Tatapannya kosong ke lantai. Aku tahu dia sedang mempersiapkan diri.
Aku menarik napas dalam-dalam. Tapi rasanya udara di ruangan ini berat.
"Ayo, ulang dari awal," kata Tyas tiba-tiba. Suaranya datar, tapi aku tahu dia nahan sesuatu.
Aku mengangguk, walau tahu hasilnya tetap sama. Rafli memberi hitungan, Tyas masuk dengan nada lebih agresif dari sebelumnya. Agung ikut, tapi tanpa ekspresi.
Aku angkat mic. Nyanyi lagi. Tapi kegelisahanku terlalu besar untuk disembunyikan.
Begitu aku mulai bernyanyi, Tyas langsung menoleh, wajahnya frustrasi. Dia berhenti main gitar di tengah lagu.
"Stop."
Rafli ikut berhenti. Agung masih diam.
Tyas bersedekap, menatapku. "Yud, kamu sakit?"
Aku melirik Agung. Dia mengangguk pelan, kode bahwa ini waktunya.
Aku menelan ludah. Mic terasa berat di tangan.
"Guys, aku mau ngomong sesuatu."
Suasana jadi sunyi. Terlalu sunyi.
"Aku... kayaknya nggak bisa lanjut di musik lagi. Aku mau kuliah."
Keheningan menggantung. Tyas terdiam. Ekspresinya berubah cepat—kaget, nggak percaya, marah. Tangannya mencengkeram gitar erat.
"Jadi, event kemarin kita tolak aja, ya?" tanya Rafli, datar.
Aku mengangguk. "Iya. Aku nggak bisa lanjut."
Tyas langsung meledak. "Apa? Kamu serius, Yud? Kita udah janji buat lanjutin band ini sampai sukses!"
"Iya, tapi aku nggak yakin lagi sama pilihanku. Aku nggak mau terus hidup dalam keraguan."
Rafli menggeleng. "Jadi kamu ninggalin kita begitu aja? Setelah semua ini?"
Aku terdiam. Ruangan makin sesak.
Tyas menatapku tajam. "Yud... aku udah banyak korbankan buat band ini. Dan sekarang kamu mau pergi?"
Aku mencoba menenangkan diri. “Kalian sadar nggak sih, band kita nggak sebagus yang kita kira?”
Tyas melotot. “Apa? Kita udah tampil di banyak event! Orang-orang bilang kita bagus!”
“Iya, tapi apa itu beneran? Atau kita cuma terbawa euforia? Kapan terakhir kali kita puas sama penampilan kita?”
Rafli terlihat bingung. “Tapi... kita udah berusaha, Yud. Kamu bilang kita nggak bagus?”
“Bukan gitu. Aku cuma nggak mau hidup dalam ilusi. Aku nggak mau bohongin diri sendiri.”
Tyas menggeleng cepat. "Jadi semua ini sia-sia?"
Aku menghela napas. “Bukan. Aku nggak yakin sama pilihanku. Dan mungkin kalian juga punya keraguan, cuma nggak pernah bilang.”
Sunyi.
Rafli berdiri. Wajahnya merah. “Kamu egois banget, Yud. Kita udah berjuang bareng. Kamu pikir ini cuma tentang kamu?”
Aku mau jawab, tapi nggak bisa.
Rafli ambil jaket dan keluar. “Silakan kuliah. Tapi jangan harap aku ngomong lagi sama kamu.”
Tyas menyusul. “Yud, kamu udah ngecewain kita semua.”
Aku menatap lantai. Mungkin ini akhir dari segalanya.
“Minum dulu. Kamu kayaknya perlu ini,” suara Agung. Dia menyodorkan kotak susu.
Aku menerimanya, gemetar. “Agung, aku nggak nyangka kamu masih di sini.”
Dia mengangguk. “Aku tahu ini berat. Dari awal aku udah lihat keraguanmu. Tapi kamu yakin ini jalan terbaik?”
“Aku nggak tau. Aku cuma nggak mau kalian terus berharap, sementara aku nggak bisa kasih yang terbaik.”
Agung menepuk bahuku. “Aku ngerti, Yud. Aku nggak marah. Tapi jangan nyesel nanti.”
Aku mengangguk, menahan tangis. “Makasih, Gung. Aku nggak nyangka masih ada yang ngerti.”
Dia tersenyum. “Udah, minum susunya. Jangan nangis. Ntar aku yang malu.”
Aku tertawa kecil, air mata tetap mengalir. “Siapa yang nangis.”
“Yaudah, pulang yuk. Besok masih ada hari baru. Jangan lupa, apapun yang terjadi, kita tetap teman.”
Aku mengangguk. Mungkin ini bukan akhir segalanya. Mungkin, di tengah semua kehilangan ini, masih ada yang bisa diselamatkan.
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus bertanya, apakah ini keputusan yang benar?
Jika mimpi itu benar, mungkin membubarkan band adalah langkah tepat. Kami lebih sering menikmati kebersamaan daripada serius berlatih. Tiga tahun berlalu, tapi perkembangan kami stagnan.
Band ini bertahan bukan karena skill, tapi karena persahabatan. Kami bukan band hebat, tapi tim solid. Bukan karena latihan, tapi karena canda, cerita, dan tawa.
Aku masih ingat penampilan pertama di acara sekolah. Rafli salah pukul, tapi kami tetap lanjut. Tyas yang serius, malah senyum. Rasanya kami bisa taklukkan dunia. Tapi sekarang? Semua sudah berakhir.
Apa aku egois? Apa aku benar-benar memikirkan perasaan mereka? Atau aku hanya lari?
Tatapan Tyas yang marah. Rafli yang kecewa. Agung yang diam.
Apakah aku baru saja menghancurkan semuanya?
Tapi aku harus yakin. Mungkin suatu hari nanti, kami akan bertemu lagi. Atau mungkin... ini memang akhir.
3 Tahun yang Lalu
DEG-DEGAN BANGET. Aku baru saja selesai bernyanyi di depan banyak orang. Ini pertama kalinya aku tampil, meski cuma pakai backsound YouTube. Tadi juga sempat salah lirik. Bodo amat, nanti juga orang-orang lupa.
Tepat setelah acara selesai, seorang cewek dari kelas lain mendatangiku.
"Yud, kamu suka nyanyi ya? Suaramu lumayan bagus. Bulan depan tampil lagi mau nggak? Aku yang main gitarnya."
OI OI, aku bahkan nggak kenal siapa nih anak. Minimal perkenalan dulu kek. Beberapa detik aku cuma bengong.
"Kamu siapa ya?"
"Oh iya, lupa. Kenalin aku Tyas dari kelas 10 IPA 2," katanya sambil mengulurkan tangan dan senyum cengengesan. Manis juga nih cewek.
Aku balas ulurannya, otakku langsung nyambung sesuatu. "Oooh Tyas yang itu..."
"Emang pernah dengar tentang aku?"
Aku pura-pura menghela napas. "Iya, aku sempat dengar beritanya. Heboh tuh di atas..."
Tyas menaikkan alis. "Heboh kenapa?"
"Katanya ada bidadari yang hilang."
...
Tyas memandangku tanpa ekspresi. "Hahaha, ternyata kamu orangnya garing ya."
SIALAN. Datar banget ekspresinya.
Aku cengengesan. "Hahaha, iya, kalo lucu nanti kamu suka."
Tyas mendesah. "Terserah deh. Jadi nggak nih bulan depan? Hmm?"
Omaygaatt. Nyebelin sih, tapi mukanya imut banget.
"Jadiii!" jawabku cepat. Tapi... LAH, aku tadi bilang "jadi"?! NGGAK, NGGAK! AKU SALAH LIRIK KEMARIN, AKU GAK MAU!
Tyas lihat ekspresi panikku, lalu ketawa kecil. "Udah, nggak bisa mundur lagi ya," katanya sambil nunjuk aku pakai telunjuk. Sial, ngeri juga sihir cewek ini.
Sebulan kemudian, kami tampil lagi di event yang sama. Nggak ada bagus-bagusnya. Tyas baru belajar gitar, aku masih trauma salah lirik. Tapi entah kenapa anak-anak lain tetap memuji kami. Tyas sih percaya pujian mereka, tapi aku yakin itu cuma sarkas.
Kulirik sekeliling. Beberapa anak tepuk tangan, tapi di pojok ada cowok-cowok yang nahan tawa. Fix, besok jadi bahan gibah di kantin. Tyas tetap senyum-senyum.
“Ternyata seru ya Yud, tampil di depan banyak orang. Apalagi kita penutup acara!” serunya senang.
Aku tarik napas. Mungkin penampilan tadi nggak seburuk itu kalau Tyas sesenang ini.
“Seru apanya. Mainmu tadi banyak salah, aku bingung masuknya.”
“Yeee, biarin, baru belajar ini!”
“Kamu juga sih. Setiap latihan, ada aja gangguan. Mau es krim dulu lah, beli jajanan dulu lah…”
“Latihan tuh harus dengan mood bagus, biar maksimal.”
“Siap, si paling mood.”
“AWWW!” Tyas tiba-tiba jambak rambutku.
“Kamu ngehina aku ya!”
“Hehehe, nggak kok. Segitu aja udah keren buat pemula. Cuma persiapan sebulan, loh!”
Tyas melepaskan jambakannya. Aku buru-buru ngelus kepala, memastikan rambutku masih utuh.
Tyas nyengir. "Makanya, jangan ngeledek gitaris cantikmu sendiri."
Setelah acara, Agung—teman kelasku—datang bersama seorang temannya.
“Yud, bulan depan aku sama Rafli ikut tampil ya. Dia drummer, aku bassist.”
APA LAGI INI. Firasatku nggak enak. Pasti cuma mau deketin Tyas.
“BOLEH BANGET!” Tyas dengan senang hati nyambut mereka.
“EH! Gak mau. Kalian harus buktikan niat kalian dulu.”
“Gimana?” tanya Agung. Rafli diem aja, jelas diseret doang.
“Cium kakiku, hahahaha.”
BUK.
"Aduh!" Aku reflek megang kepala. Tyas melotot. Agung dan Rafli nyengir.
"Gak usah dengerin anak dajjal ini," kata Tyas. "Nanti malam kita langsung latihan aja, gimana?"
LATIHAN?! Pas masih berdua aja sering nyemil dulu, jalan-jalan dulu!
***
Malam itu kami latihan di rumah Rafli. Di belakang rumahnya ada ruangan kosong, katanya biasa dipakai latihan drum. Tempatnya luas tapi berantakan. Kardus numpuk di sudut, rak buku berdebu, kipas bunyinya lebih keras dari drum.
Aku duduk di kursi plastik. Agung nyetel bass, Rafli di belakang drum dengan muka datar. Tyas? Lagi ngunyah keripik di pojok.
"Yas, kita ke sini buat latihan, bukan buka warung," tegurku.
"Tenang, mood bagus bikin mainnya bagus," jawabnya santai.
Agung mulai petik bass. Tyas buru-buru taruh keripik dan pegang gitar. Aku berdiri di depan mic, atur napas.
"Oke, kita coba dari intro dulu. Lagu pertama, biar gampang."
Tyas mulai. Petikan awal rapi. Aku mulai yakin latihan ini bisa lan—
JLEENGGG—
Nadanya melenceng jauh.
"Eh? Kok nadanya beda?" tanyaku.
"Aku juga bingung, tadi rasanya bener..."
Agung ketawa. "Kamu yakin ini salah gitarnya, bukan yang main?"
Tyas nyosor ke Agung. "Hei! Aku masih pemula!"
"Justru karena pemula harusnya serius!"
Sementara mereka debat, aku lirik Rafli. Masih diem. Aku kira dia bakal nyela, ternyata cuma muterin stik drum.
"Raf, kamu udah siap?"
Dia ngangguk. Lalu—
DU-DU-DUMM!
Dia mukul snare sekenceng-kencengnya. Semua kaget. Tyas hampir jatuhin gitarnya.
"GILA! MAU BIKIN AKU JANTUNGAN?!"
Rafli ngangkat bahu. "Kupikir langsung mulai."
Aku menghela napas panjang.
"Oke. Kita coba lagi. Kali ini: jangan ada yang makan, jangan asal main, dan jangan ledakin drum tanpa aba-aba."
Semua mengangguk. Tyas serius, Agung siap dengan bass, Rafli nunggu aba-aba.
Aku senyum kecil.
"Satu... dua... tiga... let's go."
Latihan pertama kami resmi dimulai.
***
Aku berdiri di belakang panggung. Tangan berkeringat. Festival sekolah ramai banget. Ada yang ngemil, foto-foto, dan... oke, itu anak cosplay jadi kucing?
Aku coba fokus. Masalahnya lebih besar: aku bakal tampil depan seluruh sekolah.
"Yud, keringetan banget. Takut ya?" Agung nyenggolku.
"Takut apanya! Ini cuma..." aku lihat ke panggung. Band sebelumnya tampil enerjik. Vokalisnya lompat-lompat.
AKU NGGAK BISA LOMPAT-LOMPAT!
"Ini cuma... ya gitu deh," aku menghela napas.
Tyas nyetel gitar serius. Rafli? Makan gorengan santai.
"Kalian nggak grogi?" tanyaku.
"Grogi sih, tapi ya udah," jawab Tyas. "Aku lebih takut senarnya putus."
"AKU TAKUT GORENGANKU JATUH!" seru Rafli.
"Fokus, WOY!" aku tepuk dahinya.
Panitia naik panggung. "Selanjutnya, band dari kelas kita semua, dengan vokalis Yudhis!"
Tepuk tangan terdengar. Aku yakin sebagian besar karena mereka bosan.
Aku tarik napas panjang.
Oke. Saatnya.
***
Di Atas Panggung
Aku naik ke atas panggung dengan langkah yang (semoga) terlihat percaya diri. Cahaya lampu panggung terasa menyilaukan, tapi aku bisa melihat banyak anak yang menonton di bawah.
Ada yang antusias.
Ada yang ngantuk.
Ada yang sibuk ngemil.
Dan ada juga yang... ANJING!!!, itu siapa yang bawa spanduk tulisannya "YUDHIS JANGAN FALS"?, mohon masukkan mereka kedalam neraka ya Allah.
Aku menelan ludah.
Rafli duduk di belakang set drumnya, mengetukkan stiknya dengan semangat. “Ayo, Yud, kasih tahu mereka kenapa kita dipilih buat tampil di festival ini!”
“Karena gak ada band lain yang daftar?” bisikku.
Tyas terkekeh di sampingku. “Udah, santai. Kita cuma perlu nikmatin aja.”
Aku mengangguk. Oke, waktunya. Aku menggenggam mic erat-erat.
“Satu... dua... tiga!” seru Agung.
Dan musik pun dimulai.
Masalah Pertama: Intro yang Terlalu Gahar
Begitu Tyas mulai memainkan intro dengan gitarnya, aku langsung tahu ada yang salah.
Dari briefing tadi, seharusnya kami mulai dengan tempo santai, tapi Tyas malah masuk dengan gebukan cepat dan petikan yang lebih mirip lagu metal.
Aku dan Agung menatapnya panik, sementara Rafli malah ikut-ikutan ngebut di drumnya.
“Tyas, pelan!” bisikku panik.
“Apa?” dia teriak balik.
“PELAN!”
“APAA?”
Aku nyaris melempar mic ke kepalanya.
Akhirnya, setelah tiga puluh detik pertama yang kacau, tempo mulai stabil. Aku menarik napas lega. Oke, gak ada yang sadar, kan?
Aku melirik penonton.
SIAL. SEMUA ORANG KETAWA.
Masalah Kedua: Lirik yang Tiba-Tiba Hilang dari Otakku
Aku mencoba fokus. Ini kesempatan kami buat bikin kesan pertama yang baik. Musik mulai terdengar lebih rapi, dan ini saatnya aku mulai nyanyi.
Aku membuka mulut, siap menyanyikan bait pertama...
...dan otakku mendadak KOSONG.
INI LAGUNYA APA YA.
Aku panik. Aku melirik Agung, berharap dia bisa kasih kode. Agung malah asyik main bass. Aku melirik Tyas, dia terlalu fokus ke gitarnya. Aku melirik Rafli, dia malah kedip-kedipin mata sok imut ke cewek di bangku depan.
“LIRIKNYA APA?!” aku mendesis.
Tyas melirikku sekilas. “NYANYI AJA, YUD!”
Aku nggak punya pilihan. Aku harus improvisasi.
Jadi, aku langsung nyanyi dengan lirik yang aku buat di tempat.
“Di sekolah ini, kita semua berdiri...”
“Meskipun aku lupa liriknya, aku tetap nyanyi~” Aku berharap orang-orang nggak sadar, tapi...
“DIA IMPROVISASI! NGAKAK!” salah satu penonton teriak.Sekarang hampir SEMUA ORANG KETAWA.
Masalah Ketiga: Ending yang Tidak Direncanakan
Meskipun ada sedikit kekacauan di awal, kami akhirnya berhasil menjalani setlist sampai ke bagian terakhir lagu.
Aku mulai merasa percaya diri. Ini nggak seburuk yang kukira!
Tapi, tiba-tiba, Tyas putus senar.
Aku mendengar suara "PLAK!" diikuti ekspresi horor dari Tyas.
Aku nggak sempat bereaksi, karena sedetik kemudian, Rafli salah mukul cymbal dan tongkat drumnya melayang ke udara.
Aku mengikuti gerakan tongkat itu... yang kemudian mendarat tepat di kepalaku.
Aku menahan erangan. Tyas langsung berhenti main gitar. Agung melongo. Rafli menatapku dengan ekspresi bersalah.
Suasana jadi hening.
Aku nggak bisa membiarkan ini jadi akhir yang canggung. Jadi, aku mendekat ke mic dan berkata:
“...KAMU BERHASIL, RAF!”
Semua orang langsung TERTAWA.
Kami akhirnya menyelesaikan lagu dengan tawa yang lebih keras daripada tepuk tangan.
Dan begitulah, penampilan pertama kami pada Festival yang besar : penuh kekacauan, penuh kekonyolan, tapi... tak terlupakan.
***
Kami duduk di kafe kecil dekat sekolah, mengelilingi meja dengan segelas es kopi dan piring-piring berisi camilan seadanya. Udara malam yang seharusnya dingin terasa hangat karena tawa kami yang nggak ada habisnya.
Hari ini, kami tampil di festival sekolah. Dan kami sukses.
Sukses bikin acara makin kacau, maksudnya.
Tapi, meskipun penampilan tadi penuh kekacauan—dari intro yang keteteran, lirik yang mendadak improvisasi, sampai senar Tyas yang putus di tengah lagu—kami tetap bahagia. Karena buat kami, ini bukan soal tampil sempurna. Ini soal tampil.
Agung mengangkat gelas plastiknya. “Guys, untuk keberhasilan kita hari ini... berhasil bikin satu sekolah ngakak!”
Rafli langsung ngakak. “Yudhis, improvisasi lirikmu tadi beneran penyelamat acara sih! Hahahaha.”
Aku melotot. “KAMU KETAWA?! ANJING KAMU RAF, MALU BANGET TAU, SIALAN?”
“Eh Tyas dodol,” aku menoleh ke arah gitaris kami yang masih cemberut. “Kalo udah tau tuh senar udah tua, jangan dipake! Kamu kan kalo main gitar agak brutal!”
Tyas mendengus, melipat tangan di dada. “Yee, salahin aku mulu. Lagian, kamu juga bego. ‘Meskipun aku lupa liriknya, aku tetap nyanyi~’ HAHAHAHAH, BEGO BANGET.”
Aku langsung cemberut. “kamu juga kenapa tadi gak nolongin aku pas aku ngeblank?!”
Tyas masih ketawa. “Lah, kupikir kamu sengaja improvisasi. Eh, baru sadar ternyata kamu panik pas kamu nyanyinya sambil lirik-lirik ke aku HAHAHA.”
Agung dan Rafli udah nggak bisa berhenti ketawa.
Aku menghela napas panjang. “Yaudah, nggak usah bahas itu lagi. Intinya, kita tetap band yang keren.”
Rafli mengangguk. “Iya, keren banget. Keren karena kita satu-satunya band yang tampil kayak band komedi.”
Tyas dan Agung langsung ngakak lagi. Aku pura-pura kesel, tapi dalam hati ikut ketawa juga.
Karena ya... meskipun hari ini kacau, aku tahu kami bisa lebih baik.
Dan aku nggak sabar buat latihan lagi.
***
Di kamar yang tidak terlalu luas, foto-foto band kami masih terpajang di dinding. Beberapa di antaranya sudah mulai pudar, tapi aku masih bisa melihat wajah-wajah penuh tawa di sana.
Aku berbaring di kasur, menatap langit-langit kamar yang polos. Suara kipas angin berputar pelan, menciptakan ritme monoton yang mengisi keheningan malam.
Aku tertawa pelan, mengingat semua momen-momen yang kupunya bersama bandku itu. Tyas yang selalu semangat tapi sialan, Rafli yang lebih peduli sama gorengan dibanding latihan, Agung yang paling waras di antara kami.
Kami memang bukan band yang bagus. Kami bukan band yang bisa bikin satu sekolah terpukau. Kami bukan band yang bisa membanggakan skill teknis yang luar biasa.
Tapi kami adalah tim yang solid. Kami adalah keluarga kecil yang nggak pernah takut salah, yang selalu ketawa meskipun gagal.
Sekarang... semuanya tinggal kenangan.
Aku menghela napas panjang, merasa ada sesuatu yang kosong di dadaku.
Aku tahu aku yang memilih ini. Aku yang ingin pergi. Aku yang membuat keputusan itu.
Tapi tetap saja, rasanya aneh.
Dulu, aku nggak pernah kepikiran seperti apa hidupku tanpa mereka. Sekarang, aku harus mulai terbiasa.
Kipas angin terus berputar, mengisi kesunyian kamar dengan suara monoton yang entah kenapa malam ini terdengar lebih sendu. Aku menatap langit-langit sekali lagi, lalu memejamkan mata.
Semoga saja... aku nggak salah mengambil keputusan.