Loading...
Logo TinLit
Read Story - Catatan Takdirku
MENU
About Us  

15 Tahun yang Lalu

Rizal adalah mahasiswa dari keluarga sederhana. Ayahnya meninggal saat ia masih berumur 3 tahun, sehingga sang ibu harus membesarkannya seorang diri. Namun, perjuangan yang didasari cinta tak pernah sia-sia. Sejak SD hingga SMA, Rizal selalu menjadi juara kelas. Ia dikenal pintar dan baik. Tapi dunia perkuliahan tidak sesederhana masa sekolah.

Sebagai anak kampung yang dikelilingi lingkungan suportif, Rizal belum siap menghadapi kerasnya dunia luar. Terlebih lagi, ia merantau dan tak tahu apa-apa soal realita yang keras. Di sinilah awal kehancurannya—ia salah memilih teman.

"Eh, namamu Rizal kan? Nanti malam nongkrong yuk. Kulihat kamu sendirian terus. Sekali-kali cari relasi lah, kuliah nggak melulu soal belajar, Jal," ajak seorang teman kelas setelah dosen menutup kelas pagi itu.

Rizal senang. Setelah 4 bulan kuliah, akhirnya ada yang mengajaknya berteman.

"Oh iya, boleh, Mas. Jam berapa?"

"Jam 8, di Kafe Teh Nuri ya."

Sesuai janji, Rizal datang dan mendapati empat teman kelasnya sedang asyik mengobrol sambil merokok. Rizal belum pernah sekalipun mencoba rokok. Tapi malam itu, segalanya berubah.

"Eh, Jal, kamu nggak merokok, ya?"

Rizal mengangguk pelan.

"Kamu Rijal, ya. Jadi gini Jal, pernah denger pepatah: 'Merokok mati, nggak merokok juga mati, ya mending merokok,'" celetuk salah satu temannya disambut tawa yang lain. Rizal ikut tertawa, bukan karena lucu, tapi agar bisa membaur.

"Nih, cobain," salah satu dari mereka menyodorkan rokok.

Awalnya Rizal menolak. Tapi rayuan dan ejekan terus datang.

"Bencong amat kamu, Jal. Jadi cowok masa nggak ngerokok."

Akhirnya Rizal menyerah. Ia mencobanya, yakin bahwa itu hanya untuk malam itu saja. Tapi isapan pertama memberi sensasi nikmat yang tak bisa dijelaskan. Begitulah awal kecanduannya.

Dalam hitungan hari, Rizal jadi akrab dengan mereka. Ia merasa menemukan sahabat, padahal palsu. Malam kedua, ketiga, minggu pertama, kedua... Semuanya berjalan seperti itu.

Sebulan kemudian, Rizal sudah berani minum minuman keras. Ia tak sadar, sejak awal teman-temannya memang mengincarnya. Mereka tahu Rizal rajin dan pintar. Maka setiap tugas kelompok, mereka pastikan satu kelompok dengan Rizal—tanpa kontribusi, semua diselesaikan olehnya.

Kenakalan mereka semakin menjadi. Tiga bulan setelah pertemanan itu dimulai, tibalah puncaknya: mereka ingin mencoba narkoba.

Salah satu dari mereka sudah membeli barang haram itu dan menitipkannya di kos pacarnya. Rencana mereka: merayakan ulang tahun Rizal ke-19, 14 Februari.

"Jal, hari ini ulang tahunmu, ya? HBD bro! Pas banget, malam ini kita pesta, sekalian rayain ulang tahunmu. Ikut ya!"

Rizal tak pernah merayakan ulang tahun. Maka, ajakan itu ia sambut dengan senang hati.

"Thanks, ya. Party di mana?"

"Tenang, nanti aku jemput ke kosmu."

Malamnya, Rizal dijemput. Ia sempat curiga, tapi memilih percaya. Mereka menuju sebuah kos elit yang sering ia dengar. Kos campur—penghuninya laki-laki dan perempuan.

Di salah satu kamar lantai atas, sudah ada tiga teman Rizal dan dua perempuan yang dikenalnya sebagai pacar teman-temannya. Mereka mulai pesta dengan obrolan santai, makanan ringan, lalu minuman keras. Tanpa sepengetahuan Rizal, makanan itu sudah dicampur serbuk ekstasi oleh Rivan.

"Guys, kok kepalaku jadi enteng ya? Haha..." ucap Rizal, mulai merasakan efek zat itu. Ia kira karena alkohol.

"Hahaha, seru kan, Jal?" sahut salah satu temannya.

Tiba-tiba Rivan bertanya, "Yang, itunya mana? Masih kurang nih."

Pacarnya gugup. "Yang, aku mau jujur, tapi jangan marah..."

"Haduuh, apalagi sih?!"

"Waktu kamu kasih itu ke aku, aku takut banget. Lama-lama aku makin takut. Kamu bisa mati kalau kebanyakan. Jadi... barangnya aku bakar. Maaf ya."

Rizal tersentak. Ia baru sadar, situasi ini jauh lebih berbahaya dari yang ia duga.

"CEWE NGGAK GUNA! KAMU TAU HARGANYA BERAPA?!" Rivan berteriak.

PLAK! Tamparan keras mendarat di pipi pacarnya. Tiga orang lainnya segera pamit, takut terlibat lebih jauh.

"KAMU SELALU MAIN KASAR KALO ADA MASALAH!"

PLAK! Tamparan kedua.

Rizal tak tahan. Ia masuk kamar mandi, berharap pertengkaran berhenti. Tapi itu kesalahan.

Dari dalam, ia mendengar:

"KAMU BILANG AKU PELACUR?! ITU BARANG JUGA DIBELI PAKAI UANGKU, KAN?!"

"DIAM ATAU KUCEKEK KAMU!"

"CEKEK SINI KALO BERANI, DASAR COWOK NGGAK GUNA!"

Rizal panik. Ia keluar dan melihat Rivan sedang mencekik pacarnya.

BUK! Rizal menendang Rivan hingga terhuyung.

"Sadar, Van! Dia bisa mati kalau kayak gini!"

"NGGAK USAH IKUT CAMPUR, ANJING!"

BUK! Pukulan keras mendarat di wajah Rizal. Ia jatuh, meringis kesakitan.

BUK! Tendangan ke perut membuatnya tersungkur. Ia hanya bisa menggenggam kaki Rivan.

"WOI! NGAPAIN KALIAN?!"

Satpam kos menerobos masuk. Ia memisahkan mereka. Tapi semuanya sudah terlambat. Vania tak sadarkan diri. Satpam mengecek nadinya.

"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun..."

"NGGAK MUNGKIN! BUKAN SALAHKU!" Rivan histeris. Lalu menunjuk Rizal. "AKU DISURUH DIA, PAK!"

Polisi datang dan membawa mereka ke kantor. Rizal masih tak paham apa yang terjadi.

Dua hari kemudian, hasil tes urine keluar.

"Rizal, kamu positif narkoba."

"APA?! Itu nggak mungkin, Pak! Saya nggak pernah pakai!"

"Tapi hasil tes bilang lain."

Barulah Rizal sadar: narkoba itu pasti masuk dari makanan ringan. Efeknya tak terasa karena ia panik dan adrenalinnya tinggi. Tapi zat itu tetap masuk ke sistem tubuhnya.

Dengan bukti itu, Rizal harus menjalani proses hukum. Teman-temannya juga ikut terseret. Hidup Rizal yang penuh harapan kini berubah jadi mimpi buruk.

Di malam pertama di sel, Rizal hanya bisa menangis, mengingat ibunya.

"Maafin Rizal, Mak... Bukannya kuliah sungguh-sungguh, malah begini. Padahal Mamak capek kerja buat Rizal. Rizal nggak kuat nerima telepon Mamak, nggak kuat jelasin semuanya. Mamak pasti kecewa, ya? Biaya hidupku mahal, dan sekarang beasiswaku dicabut. Aku juga udah dikeluarkan dari kampus. Rizal nggak punya masa depan. Maafin Rizal, Mak..."

Ia menangis sejadi-jadinya.

Di sisi lain, di sebuah rumah sederhana di Kalimantan, ibu Rizal duduk di atas kasur yang berderit setiap kali ia bergerak. Matanya sembab, pipinya basah oleh air mata yang terus mengalir sejak malam sebelumnya. Pikirannya dipenuhi rasa tidak percaya dan luka yang dalam. Anak yang selama ini ia banggakan, yang selalu ia sebut dalam doa, kini menjadi sumber kesedihan terbesar dalam hidupnya.

Ia tidak ingin mempercayai kabar itu. Tidak ingin mengakui bahwa anak yang dibesarkannya dengan penuh kasih sayang, yang dulu selalu pulang membawa prestasi, kini berada dalam situasi yang tak pernah ia bayangkan. Tapi kenyataan menamparnya tanpa ampun. Hatinya remuk, tubuhnya lemas, dan sejak kabar itu datang, ia nyaris tak bisa makan atau tidur dengan tenang.

Hari demi hari berlalu, tapi kesedihan itu tak juga mereda. Justru makin dalam, hingga tubuhnya mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Nafasnya berat, dadanya sesak, dan kepalanya sering pusing. Tetangganya pun mulai khawatir.

Suatu siang, seorang tetangga lama datang menjenguk. Ia duduk di samping ranjang, menggenggam tangan ibu Rizal.

"Bu, Ibu sudah begini berhari-hari. Saya mohon, ayo kita ke rumah sakit. Jangan tunggu sampai tambah parah."

Ibu Rizal tersenyum tipis, wajahnya pucat. Ia menggeleng. "Nggak usah. Aku baik-baik aja. Cuma sedikit kelelahan."

"Tapi, Bu…" Tetangganya ragu. "Setidaknya kabari Rizal. Dia pasti ingin tahu keadaan Ibu."

Mata ibu Rizal berkaca-kaca. Ia meremas ujung selimut, berusaha menahan emosi. Sudah beberapa kali ia mencoba menelepon Rizal, tapi tak pernah dijawab. Mungkin Rizal sibuk. Atau mungkin... tak ingin mendengarnya lagi.

Namun, meski rindu, ia tetap menggeleng. "Nggak perlu. Rizal sudah cukup punya beban. Aku nggak mau menambah bebannya."

Tetangganya hanya terdiam. Ia tahu betapa sakitnya menjadi ibu yang harus berpura-pura kuat.

Hari berlalu, dan kondisi ibu Rizal memburuk. Ia kehilangan nafsu makan, tubuhnya melemah, dan suatu malam, ia tak bisa bangun dari tempat tidur.

Saat fajar menyingsing, tetangganya menemukannya terbaring lemah. Mereka mencoba membawanya ke rumah sakit, tapi sudah terlambat. Beberapa jam kemudian, ibu Rizal menghembuskan napas terakhir dalam keheningan, tanpa sempat mendengar suara anaknya untuk terakhir kali.

Seminggu kemudian.

Rizal duduk di pojok sel dengan tatapan kosong. Di tangannya, ada surat dari petugas kepolisian yang baru saja menghancurkan dunianya.

Ibunya telah meninggal.

Ia membaca surat itu berulang kali, berharap ini hanya mimpi. Tapi kenyataan lebih kejam dari mimpi mana pun. Nafasnya tercekat, tangannya gemetar, dan air mata jatuh.

"Nggak... ini nggak mungkin..." suaranya bergetar.

Kenapa kemarin ia tidak mengangkat telepon dari ibunya? Kenapa ia membiarkan hari-hari berlalu tanpa kabar? Ia tahu ibunya pasti sangat khawatir.

Ia menekuk wajah ke lutut, menahan tangis. Tapi semakin ditahan, semakin sesak. Akhirnya, ia menangis keras. Suara tangisannya menggema di sel.

"Diamlah! Berisik!" teriak salah satu tahanan sambil menendangnya.

Tapi Rizal tidak peduli. Rasa sakit fisik tak sebanding dengan luka di hatinya.

Ibunya, satu-satunya orang yang mencintainya tanpa syarat, telah pergi. Dan ia bahkan tak bisa menghadiri pemakamannya. Ia ingin minta maaf... meskipun terlambat.

Tapi tak ada lagi kesempatan.

Ia adalah anak yang gagal. Tak peduli seberapa besar ia menangis, waktu tak bisa kembali. Malam-malamnya menjadi neraka. Penyesalan itu kini jadi teman satu-satunya.

Empat Tahun Kemudian

Langit di atas penjara terlihat lebih cerah. Udara pagi terasa segar, burung-burung berkicau menyambut kebebasan seseorang.

Rizal melangkah keluar dari gerbang penjara. Ia berdiri sejenak, membiarkan sinar matahari menyentuh kulitnya. Tapi meski tubuhnya bebas, pikirannya masih terpenjara oleh masa lalu.

Seorang sipir tua mendekatinya.

"Jal."

Rizal menoleh.

"Ini ada sesuatu buatmu."

Sipir itu menyerahkan ponsel tua. "Ini dari ibumu. Sebelum meninggal, beliau titip ini. Katanya, kasih ke kamu saat kamu bebas."

Jantung Rizal berdegup cepat. Tangannya gemetar saat menerima ponsel itu.

"Apa... ini?"

"Pesan suara. Beliau ingin kamu mendengarnya setelah bebas."

Dengan napas berat, Rizal menekan tombol putar.

"Rizal... ini Mamak..."

Suara itu lemah tapi hangat. Rizal langsung sesak. Air mata mengalir.

"Nak, kalau kamu dengar ini... berarti kamu sudah bebas. Mamak nggak tahu kamu sekarang gimana, tapi Mamak ingin kamu tahu satu hal..."

Napas berat terdengar di rekaman.

"Mamak nggak pernah berhenti nyayangin kamu. Nggak peduli apa pun yang kamu lakukan, kamu tetap anak Mamak. Dan Mamak ingin kamu hidup, Rizal. Jangan menyerah. Jangan biarkan masa lalu ngurung masa depanmu."

Rizal menutup mulut, menahan tangis.

"Kamu bukan orang jahat, Nak. Semua orang bisa salah. Tapi itu bukan akhir. Mamak ingin kamu bahagia. Mamak ingin kamu melangkah maju. Jangan biarkan penyesalan ngurung kamu seumur hidup."

Suara itu makin lemah.

"Mamak mungkin nggak ada lagi... Tapi Mamak selalu ada di doa kamu. Di hatimu. Mamak sayang banget sama kamu."

Rekaman selesai.

Rizal berdiri terpaku. Ponsel tua masih dalam genggamannya. Ia menangis, terisak, di bawah langit luas—langit yang kini terasa hampa tanpa ibunya.

Namun, di balik kesedihan itu, perlahan muncul sesuatu dalam hatinya: kehangatan. Harapan.

Mamak ingin ia hidup. Mamak ingin ia melangkah lagi.

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Rizal menghapus air mata dan menatap langit. Ia tidak akan menyerah.

Tapi ia juga tak punya rencana. Semangat yang sempat muncul kembali padam.

Dunia di luar tidak sehangat harapan. Setiap pagi ia bangun dalam kehampaan, tak tahu arah.

Ia tak ingin mati. Tapi ia juga tak tahu cara hidup.

Dengan ijazah SMA, ia coba melamar kerja. Ke toko, restoran, kantor. Tapi selalu tatapan yang sama: ragu dan curiga.

"Maaf, kami sudah dapat kandidat lain." "Cobalah di tempat lain."

Jawaban sopan, tapi maknanya penolakan. Setelah puluhan lamaran dan wawancara gagal, ia sadar: orang tak melihatnya sebagai sosok yang bisa berubah.

Hari itu, ia duduk di trotoar, membawa amplop kosong. Angin malam menusuk, menyadarkannya bahwa ia bukan siapa-siapa.

Akhirnya, dengan karung bekas, ia mulai memungut botol plastik di pinggir jalan.

Menjadi pemulung tak pernah ia bayangkan. Tapi lebih baik daripada kelaparan.

Sampai akhirnya, dalam kondisi seperti itu, ia bertemu Yudhis.

Dan Yudhis—dengan ide gilanya—memintanya jadi "anak buah" dalam misinya mengumpulkan uang dari para pendengarnya.

 

***

"Hiks, ternyata sesedih itu, Jal." Suaraku sedikit bergetar. Aku nggak nyangka, ternyata anak buahku ini punya masa lalu yang sangat kelam.

Rizal mengangkat bahu santai. "Lebay kamu, Bang. Aku aja udah berdamai sama masa lalu."

Aku menghela napas, lalu menepuk bahunya pelan. "Cup cup cup, nggak usah gengsi gitu, Jal. Kalau mau nangis, nangis aja."

"Yee, emangnya aku masih anak kec—"

Beberapa detik kemudian...

"HIKS."

Dia akhirnya ikut menangis. Jadilah kami menangis berjamaah, aku dan Rizal saling memeluk di bawah langit malam yang makin dingin.

Aku nggak tahu harus ngomong apa. Rasanya aneh kalau aku bilang "turut berduka." Rizal terlihat biasa saja, tapi aku tahu pasti dia sudah lama menelan rasa sakit itu sendirian. Setelah beberapa saat dalam keheningan yang tragis, aku menepuk punggungnya.

"Kalau ceritamu dijadikan film, pasti laku tuh, Jal."

Rizal refleks melepas pelukan dan melotot. "Bangke kamu, Bang! Sempat-sempatnya ngomong begitu."

Kami akhirnya tertawa kecil di sela tangisan. Gila. Ini adegan paling absurd yang pernah kualami.

Setelah itu, kami masuk ke kamar masing-masing. Sudah waktunya untuk berkelana di dunia mimpi, tapi aku masih terjaga. Kebiasaanku sebelum tidur selalu sama: melamunkan semua hal yang terjadi hari ini.

Tentu saja, masih banyak sekali pertanyaan yang belum terjawab. Apa yang terjadi pada orang tuaku sekarang? Aku bahkan tidak menemukan kontak dengan nama 'Mamak' ataupun 'Bapak' di HP-ku.

Kenapa aku bisa hilang ingatan?

Aku bahkan masih mempertanyakan apakah ini semua hanya mimpi yang terasa nyata? Entahlah.

Aku menghela napas panjang. Aku sudah memutuskan untuk mengabaikan semua pertanyaan itu.

Kurasa aku adalah orang yang selalu bisa menerima keadaan, bahkan jika hal itu mustahil untuk terjadi.

Aku tidak pernah mempunyai tujuan hidup.

Menjadi penyanyi terkenal pun... kurasa aku tidak terlalu menginginkannya. Itu hanya alasan agar tidak kuliah, karena kudengar kuliah itu merepotkan.

Jadi, kurasa belasan tahun terakhir aku tidak benar-benar melatih skill bernyanyi dan bermusikku. Dan inilah yang terjadi.

Aku menatap langit-langit kamar. Plafonnya masih retak di beberapa bagian, suara kipas angin berdecit, menciptakan irama monoton yang menemani pikiranku yang semakin tenggelam.

Perlahan, kelopak mataku mulai berat.

Yaudah lah. Besok masih ada hari lain untuk dipikirkan.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sebelah Hati
1094      667     0     
Romance
Sudah bertahun-tahun Kanaya memendam perasaan pada Praja. Sejak masih berseragam biru-putih, hingga kini, yah sudah terlalu lama berkubang dengan penantian yang tak tentu. Kini saat Praja tiba-tiba muncul, membutuhkan bantuan Kanaya, akankah Kanaya kembali membuka hatinya yang sudah babak belur oleh perasaan bertepuk sebelah tangannya pada Praja?
Gloomy
608      400     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Perverter FRIGID [Girls Knight #3]
1514      657     1     
Romance
Perverter FIRGID Seri ke tiga Girls Knight Series #3 Keira Sashenka || Logan Hywell "Everything can changed. Everything can be change. I, you, us, even the impossible destiny." Keira Sashenka; Cantik, pintar dan multitalenta. Besar dengan keluarga yang memegang kontrol akan dirinya, Keira sulit melakukan hal yang dia suka sampai di titik dia mulai jenuh. Hidupnya baik-baik saj...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1379      790     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Thantophobia
1434      801     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
Selepas patah
209      171     1     
True Story
Tentang Gya si gadis introver yang dunianya tiba-tiba berubah menjadi seperti warna pelangi saat sosok cowok tiba-tiba mejadi lebih perhatian padanya. Cowok itu adalah teman sebangkunya yang selalu tidur pada jam pelajaran berlangsung. "Ketika orang lain menggapmu tidak mampu tetapi, kamu harus tetap yakin bahwa dirimu mampu. Jika tidak apa bedanya kamu dengan orang-orang yang mengatakan kamu...
Rekal Rara
13263      3790     0     
Romance
"Kita dipertemukan lewat kejadian saat kau jatuh dari motor, dan di pisahkan lewat kejadian itu juga?" -Rara Gleriska. "Kita di pertemukan oleh semesta, Tapi apakah pertemuan itu hanya untuk sementara?" -Rekal Dirmagja. â–Şâ–Şâ–Ş Awalnya jatuh dari motor, ehh sekarang malah jatuh cinta. Itulah yang di alami oleh Rekal Dirmagja, seorang lelaki yang jatuh cinta kepada wanita bernama Rar...
ANSWER
708      435     6     
Short Story
Ketika rasa itu tak lagi ada....
HADIAH PALING BERHARGA
586      396     4     
Short Story
Seorang wanita yang tidak bisa menerima kenyataan, keharmonisannya berubah menjadi kebencian, sebuah hadiah yang mengubah semua hal tentangnya .
ATHALEA
1407      632     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.