“Not all who wander are lost. Some are just starting over.”
Aku bangun pagi ini dan merasa asing.
Bukan karena tempat tidur yang baru atau suara-suara jalanan di luar jendela. Tapi karena aku tidak tahu siapa yang sedang membuka mata ini. Ada tubuh. Ada napas. Tapi aku tidak mengenali isinya. Aku duduk di pinggir ranjang, menatap lantai seperti menunggu sesuatu jatuh dari langit-langit. Ide, semangat, jawaban? Entah.
Hari ini hari Selasa. Aku tahu karena notifikasi kalender digitalku bilang begitu, bukan karena aku merasa hari apa pun punya arti belakangan ini. Semua hari rasanya sama: bangun, buka layar, coba jadi manusia.
Kopi seduhanku sudah dingin sebelum sempat disentuh. Di laptop, ada 47 tab terbuka. Sebagian besar lamaran kerja yang belum kukirim, sebagian artikel self-help dengan judul bombastis, sebagian video YouTube yang katanya “bisa menyembuhkan overthinking.” Aku tidak tahu kenapa tab-tab itu kubuka. Mungkin aku berharap kalau membuka cukup banyak jendela, akhirnya akan ada cahaya yang masuk.
Di luar, dunia terus bergerak. Teman-temanku menikah, punya anak, pindah negara, atau membuka bisnis kecil yang laku keras di TikTok. Sementara aku masih di sini. Duduk. Mengulang percakapan yang sama di kepalaku setiap malam:
"Apa yang kamu lakukan dengan hidupmu, Arin?" Kadang aku jawab, “Berusaha.” Kadang, “Entahlah.” Seringnya, aku cuma diam.
***
Aku tak selalu begini. Dulu aku ambisius. Punya rencana lima tahun, sepuluh tahun. Skripsiku selesai lebih cepat dari jadwal. Aku magang di perusahaan besar, lalu kerja full time, lalu... lalu burnout, lalu resign, lalu hilang arah. Orang bilang aku berani mengambil keputusan. Padahal, aku hanya takut mati perlahan di tempat yang salah.
Kupikir, setelah resign aku akan menemukan sesuatu. Diri sendiri, mungkin. Tapi yang kutemukan malah kekosongan yang tak bisa diisi bahkan oleh waktu luang. Aku jadi terlalu banyak berpikir dan terlalu sedikit bergerak.
Aku mencoba ikut kelas online, terapi, menulis jurnal pagi, meditasi 5 menit. Tapi semua terasa seperti menambal bocor di dinding dengan plester luka. Tidak cukup. Tidak menyentuh akar.
Sampai akhirnya aku berhenti mencoba.
Dan di situlah aku sekarang. Tidak sedang berjalan mundur, tapi juga tidak ke mana-mana. Diam. Macet. Di tengah.
Di titik nol.
***
Kemarin malam, ibuku menelepon.
“Apa kabar, Rin?” suaranya lembut, tapi penuh tanda tanya.
“Baik,” jawabku otomatis.
“Kapan pulang?” katanya setelah jeda.
Aku terdiam. Aku tahu dia tidak bertanya soal tanggal. Ia bertanya kapan aku akan kembali menjadi “aku” yang dulu. Yang semangat. Yang tahu mau jadi apa. Yang penuh rencana. Tapi aku tidak tahu jawabannya. Karena mungkin, aku sendiri tidak mau kembali menjadi yang dulu.
Mungkin yang dulu pun hanya peran.
***
Malam ini, aku duduk sendiri di balkon, ditemani suara motor, sisa hujan, dan segelas teh manis. Di bawah sana, lampu-lampu apartemen menyala dalam ritmenya masing-masing. Aku menatapnya seperti bintang-bintang yang lebih bisa kugapai.
Pikiranku melayang ke obrolan lama bersama sahabatku, Alin.
“Menurut lo, kita bisa benar-benar kenal sama diri sendiri?” tanyaku waktu itu.
Alin tertawa kecil. “Mungkin nggak. Tapi lo bisa mulai dengerin dia.”
“Siapa?”
“Diri lo.”
Aku tertawa saat itu, tapi sekarang aku mengerti maksudnya. Selama ini, aku hidup dengan suara dari luar. Tentang, apa kata orang tua, dosen, HRD, media sosial. Aku lupa cara mendengarkan suara yang paling penting, suara dari dalam.
***
Jam menunjukkan pukul 00.47. Aku membuka dokumen kosong di laptop. Jemariku gemetar sedikit saat mulai mengetik.
Kalimat pertamaku: "Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku ingin mulai."
Sederhana. Jujur. Dan itu cukup.
Aku menulis tanpa target. Tanpa ekspektasi. Hanya ingin melihat apakah dari kekacauan ini bisa lahir sesuatu yang hidup. Menulis bukan solusi, tapi mungkin itu lampu kecil di tengah padam. Mungkin titik nol bukan kegagalan. Mungkin ini hanya garis awal yang selama ini kutolak lihat karena kupikir aku harus sudah sampai jauh. Tapi tidak semua orang berlari pada waktu yang sama. Tidak semua orang ingin hal yang sama. Dan yang terpenting: tidak apa-apa jika aku belum sampai mana-mana. Tidak apa-apa kalau aku baru mulai sekarang.
Aku tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Aku belum punya plot. Tapi untuk malam ini, cukup dengan menulis dan tidak merasa malu akan kebingungan.
Besok pagi, aku akan bangun. Bukan sebagai versi terbaik dari diriku, tapi sebagai orang yang sedikit lebih jujur. Sedikit lebih berani.
Aku tidak punya semua jawabannya. Tapi untuk pertama kalinya, aku tidak pura-pura tahu.
Dan mungkin, itu pun sebuah kemenangan kecil.
Keesokan paginya, aku bangun dengan kepala sedikit lebih ringan. Bukan karena semuanya membaik, tapi karena untuk pertama kalinya aku tidak bangun sambil memaki diriku sendiri.
Aku membuka tirai kamar. Sinar matahari menyusup malu-malu ke dalam ruang yang biasanya gelap sampai sore. Aku tidak membuat kopi, tidak membuka tab-tab lama. Aku keluar.
Langkahku ringan tapi ragu. Aku tidak tahu mau ke mana, jadi aku jalan saja, membiarkan kaki memilih arah. Di halte, aku naik bus tujuan acak. Duduk di bangku dekat jendela, aku membiarkan kota bergerak melewatiku.
Di bangku seberang, ada ibu-ibu dengan belanjaan penuh dan napas yang berat. Di belakangku, dua anak remaja tertawa kecil sambil membicarakan drama Korea terbaru. Semua orang tampaknya punya tujuan. Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku tidak iri.
Bus membawaku ke taman kota yang pernah sering kukunjungi dulu, saat kuliah. Di sana, ada bangku kayu tempat aku dan Alin dulu sering duduk, makan roti isi telur, dan berbicara tentang masa depan dengan cahaya mata penuh harapan.
Aku duduk di bangku itu sekarang. Sendiri. Tapi aku tidak merasa kesepian.
Di tas, aku membawa buku catatan kosong. Kubuka halaman pertamanya dan menulis ulang satu kalimat yang kutulis tadi malam:
"Aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku ingin mulai."
Lalu kulanjutkan. Kata demi kata. Tanpa sensor. Tanpa pencitraan. Tentang rasa takut. Tentang rasa gagal. Tentang iri. Tentang mimpi-mimpi yang diam-diam berubah bentuk tanpa permisi.
Dan semakin kutulis, aku menyadari sesuatu. Selama ini aku menunggu sesuatu dari luar untuk memvalidasi eksistensiku. Gelar, pekerjaan, status hubungan, saldo rekening. Tapi mungkin, yang kubutuhkan cuma ini. Ruang kecil untuk jujur. Untuk mendengarkan diri sendiri tanpa harus menjelaskan siapa-siapa.
***
Sore itu, aku akhirnya membalas pesan ibu.
"Aku belum sepenuhnya baik. Tapi aku sedang mencoba. Mungkin aku akan pulang sebentar minggu depan."
Beberapa menit kemudian, balasannya masuk.
"Terima kasih udah jujur, Nak. Ibu kangen kamu. Kita nggak harus ngobrol soal kerjaan. Cukup duduk di meja makan bareng juga nggak apa-apa."
Dan aku menangis. Bukan karena sedih. Tapi karena lega. Karena ternyata, pulang bukan berarti harus membawa kabar besar. Kadang, pulang cuma berarti hadir, apa adanya.
Hari-hari selanjutnya tidak berubah drastis. Aku masih bingung. Masih sering ragu. Tapi aku mulai membuat rutinitas kecil. Menulis satu halaman tiap pagi. Membuat daftar hal-hal kecil yang kusyukuri. Menghubungi satu teman lama per minggu. Jalan sore tanpa ponsel.
Aku juga menghapus tab-tab lamaran kerja yang tak pernah kukirim. Bukan karena menyerah, tapi karena aku ingin memulai dari sesuatu yang lebih mendasar. Mengenal ulang diriku sendiri, sebelum mengisi formulir-formulir itu lagi.
Dan di tengah proses ini, aku mulai melihat secercah keinginan. Bukan ambisi besar yang menggebu, tapi dorongan pelan yang berkata, "Coba bikin zine dari tulisan-tulisan kamu, Rin."
Zine. Hal kecil. Tapi nyata.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa punya tujuan. Walau mungil, walau sederhana.
***
Malam ini, tepat seminggu sejak aku menulis kalimat pertama itu, aku menyalakan lilin kecil di sudut kamar dan membaca ulang semua halaman catatanku. Aku tersenyum. Ada rasa malu, tentu. Betapa banyaknya keluhan, ketakutan, dan inkonsistensi. Tapi ada juga rasa sayang. Ini versi diriku yang paling jujur. Bukan yang paling pintar, bukan yang paling Tangguh, tapi yang benar-benar hadir.
Dan aku sadar, titik nol bukan tempat untuk merasa hancur.
Titik nol adalah tempat untuk berhenti berpura-pura.
Tempat untuk berhenti lari.
Tempat untuk mulai, tanpa harus tahu ujungnya.
Besok aku akan pulang.
Bukan karena sudah sembuh, tapi karena aku ingin berbagi ruang bersama orang-orang yang mencintaiku dalam bentukku yang sekarang.
Aku akan duduk di meja makan, menatap wajah ibu, dan tidak merasa gagal karena belum mencapai apa-apa. Aku akan memeluk ayah, dan kalau dia diam saja seperti biasa, aku tak akan menganggap itu penolakan.
Aku tak akan membawa keberhasilan, tapi aku akan membawa keberanian untuk mulai lagi.
Dari nol. Dan untuk pertama kalinya, aku rasa itu cukup.
Malam sebelum aku pulang, aku berjalan kaki ke warung kecil dekat apartemen. Tempat itu dulu sering aku datangi saat masih kuliah. Penjualnya, Pak Rahmat, masih duduk di bangku yang sama, membaca koran dengan lampu redup yang menggantung di atas kepalanya.
“Lama nggak kelihatan, Mbak,” katanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk pelan. “Iya, Pak. Lagi sibuk... atau pura-pura sibuk, mungkin.”
Pak Rahmat tertawa kecil, lalu menyerahkan teh botol dan sebungkus roti tawar ke tanganku. Tak banyak kata, tapi ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku merasa... dilihat.
Dunia tak banyak berubah. Hanya aku yang terlalu lama tenggelam dalam kepala sendiri.
Di perjalanan pulang, aku melihat bayanganku sendiri di etalase toko yang tertutup tirai. Rambutku kusut, mata sedikit sembab, tapi untuk pertama kalinya aku tak merasa ingin menghindari cermin. Aku tak sedang terlihat baik, tapi aku sedang jadi nyata.
Aku rasa, itu yang paling penting sekarang.
Di stasiun, keesokan paginya, aku berdiri sendiri menunggu kereta. Tanpa headphone, tanpa scroll layar, hanya diam dan mendengarkan suara roda besi yang makin dekat.
Ada merasa deg-degan, tentu. Bukan karena jarak, tapi karena aku takut pulang membawa versi diriku yang belum selesai. Tapi kemudian aku teringat sesuatu yang pernah Alin bilang sebelum kami jarang bicara.
“Kita nggak harus jadi ‘jadi’ dulu buat pulang, Rin. Kadang, pulang itu justru cara buat nyembuhin yang belum jadi.”
Dan akhirnya, aku naik. Membawa tas kecil, buku catatan, dan satu hal yang kurasa paling penting:
Keberanian untuk mulai berjalan lagi, meski pelan.
Karena, pada akhirnya, titik nol bukan akhir.
Titik nol adalah tempat pertama kita berkata dengan jujur, “Aku di sini.”
Dan dari sanalah segalanya mulai.