Loading...
Logo TinLit
Read Story - Premonition
MENU
About Us  

Julie berjalan melewati koridor sekolahnya yang masih sepi. Satu-satunya langkah kaki yang ia dengar berasal dari sepatunya sendiri.
Dia datang pagi-pagi bukan karena rajin, tapi karena rumahnya dekat sekolah. Lebih dari itu, baginya sekolahnya jauh lebih nyaman saat minim penghuni.

Saat ia masuk ke ruang kelas dengan plang 9-A, di dalamnya sudah ada dua siswa. Satu duduk di barisan ke lima dari pintu, dan satu lagi di barisan ke empat.

"Pagi Julie," sapa Irgie, ketua kelas. Dia hanya melihat sekilas ke arah Julie kemudian pandangannya fokus kembali ke ponselnya.

Julie menjawab dengan senyum samar dan singkat kemudian duduk di bangku paling belakang di kolom pertama. Di sekolahnya, setiap siswa duduk sendiri-sendiri, tidak berpasangan.

Beberapa menit kemudian teman-teman sekelasnya mulai berdatangan. Kelas yang tadinya hening berubah menjadi bising. Hari ini hari pertama semester dua. Teman-teman sekelasnya terlihat asyik saling melepas rindu paska liburan. Dengan wajah ceria mereka saling bertukar cerita.
Namun Julie tidak berpartisipasi, bukan karena dia tidak punya pengalaman liburan untuk dibagi, tapi karena dia tidak punya teman, satu pun.

Sejak pertama masuk sekolah menengah dia memang selalu sendiri bukan karena di-bully tapi karena ulahnya sendiri. Dia membangun benteng di sekelilingnya, tak kasat mata namun super kokoh bahkan serangan rudal sekalipun tak akan mampu membobrokannya. Benteng itu hanya bisa dihancurkan olehnya sendiri dari dalam.

Karena sikap anti-sosial yang akut serta pembawaannya yang dingin, beberapa teman sekelasnya mulai berspekulasi macam-macam. Ada yang menganggapnya anak autis ada pula yang memvonisnya punya kecenderungan psikopat.

Untuk autisme, Julie bisa jamin dia tidak berada di spektrumnya. Untuk kecenderungan psikopat? Tuduhan yang sangat serius, harus ada pemeriksaan medis untuk membuktikan maupun menyanggahnya.

Dan akhirnya, Julie jadi mahluk invisible di kelasnya. Lebih mudah bagi teman-temannya menganggapnya tidak ada daripada ada. Satu-satunya yang masih menganggapnya ada ialah Irgie si ketua kelas. Bukan karena dia punya perasaan khusus atau kasihan. Dia memang selalu berusaha ramah dan baik pada semua makhluk di bumi ini, Julie kebetulan salah satu di antaranya.

Tapi dari awal, Julie pernah membenci orang-orang. Dia menghindari orang bukan karena alasan itu, bukan pula karena mengidap social anxiety atau low self-esteem. Ia hanya merasa tidak terkoneksi dengan orang-orang  sekitarnya dan dia tidak mau memaksakan diri untuk berinteraksi.

Uniknya, Julie bukanlah satu-satunya makhluk invisible di kelasnya. Di seberang sana, terhalangi tiga baris bangku, ada juga teman sekelasnya dengan kasus serupa. Namanya Ezra. Sejak kelas 8 mereka sudah satu kelas. Seperti halnya Julie, dia sering menghabiskan waktunya sendiri. Selain dengan ketua kelas, dia tidak pernah terlihat berinteraksi dengan anak lain.

Julie duduk di sayap kiri sedangkan Ezra berada di sayap kanan. Mereka kerap dijuluki penjaga Kutub Utara dan Kutub Selatan. Kedinginan mereka merupakan anomali di tengah teman-temannya yang penuh energi. Penyeimbang suhu kelas yang selalu berapi-api tipikal anak-anak Gen-Z.

"Selamat pagi anak-anak," sapa seorang wanita muda berambut pendek dan berkacamata.

"Pagi Bu," jawab seisi kelas.

Tanpa basa-basi, Bu Cordelia langsung memulai pelajaran matematikanya. Rumus demi rumus melesat cepat bagaikan peluru, menghantam kepala anak-anak yang isinya masih dipenuhi kepingan kepingan indahnya liburan.

Mata Julie tiba-tiba memicing tajam. Bukan karena rumus-rumus itu. Namun, karena angka-angka yang dilingkari Bu Cordelia di papan tulis yaitu 130, 120, dan 20. Kalau disatukan menjadi 13012020. Tanggal kematian Eris, ibunya. Hari ini tepat ke-empat tahunnya Eris meninggal.

Masih segar dalam ingatan Julie kejadian empat tahun lalu itu, saat dirinya masih berumur 10 tahunan.

Hari itu ia dan orangtuanya berencana pergi ke rumah neneknya yang berada di Jakarta. Neneknya akan merayakan ulang tahun yang ke 78. Eris berasal dari keluarga besar. Ia merupakan anak ke-6 dari tujuh bersaudara. 

Hari ulang tahun nenek selalu dijadikan hari perkumpulan akbar seluruh keluarga dan sanak saudara Julie dari pihak ibunya. Julie sendiri sudah tidak sabar menanti hari keberangkatannya ke rumah nenek. Bukan karena dia kangen berat dengan nenek atau pun saudaranya. Tapi yang ia nantikan adalah perjalanannya. Dari jauh hari mereka sudah berencana untuk ke sana dengan kereta api.

Sudah lama Julie menantikan momen pertamanya naik kereta api ini. Sebelumnya dia sering merengek minta diajak jalan-jalan naik kereta api tapi tidak pernah kesampaian. Dia tergiur mendengar cerita Malia—salah satu teman sekelasnya yang sering jalan-jalan naik kereta api betulan bukan kereta-keretaan di taman bermain.

Setelah sekian lama, akhirnya orangtuanya menemukan waktu yang pas untuk mengajaknya naik kereta api.

                                    ****

2020
Pukul 15.30 Julie dan ibunya tiba di Stasiun Bandung. Karena ada urusan penting di tempat kerjanya, ayahnya tidak bisa meminta izin pulang lebih awal, malahan harus lembur. Dia akan menyusul dengan mobil keesokan harinya.

Setelah membeli tiket, Julie dan Eris duduk di ruang tunggu calon penumpang. Kereta yang akan membawanya ke Jakarta belum datang.
Julie melihat sekitar ruangan dengan wajah penasaran. Namun, sekonyong-konyong dia merasakan ada angin yang berhembus ke tubuhnya. Singkat dan cepat. Dia yakin hanya dirinya yang merasakannya. Dan mendadak pandanganya terpaku pada seorang balita yang sedang bermain kereta-keretaan di lantai.

"Naik kereta api tut tut tut..," balita itu menyanyi sambil mendorong kereta mainannya. Kemudian, dengan menggebu-gebu dia tabrakan kereta mainan itu dengan sebuah truk merah putih yang besar.

"Hantam! hantam!" Keretanya pun terguling dan truknya terlempar jauh.

"Yaah kereta kalah! Penumpang mati semua!"

Julie tertegun seketika. Resah gelisah pelan-pelan merayap ke dalam tubuhnya.

"Bentar lagi keretanya datang," kata Eris. Dia pun menuntun Julie menuju Jalur 1. Di sana sudah banyak penumpang berdiri menanti kereta.

"Perhatian...perhatian… Kereta api tujuan Stasiun Gambir akan segera tiba di Jalur 1."

Kepala kereta mulai tampak, semakin lama semakin nyata. Suara gemuruh lokomotif pun mulai terdengar.

Seketika wajah Julie berubah pucat pasi saat melihat kereta berhenti di hadapannya. Kereta yang akan ia tumpangi tampak serupa dengan kereta mainan anak balita itu. Bentuknya mirip dengan warna yang percis, abu-abu dengan polet oranye.

"Kepada seluruh penumpang tujuan Stasiun Gambir dipersilahkan untuk memasuki kereta di Jalur 1..."

"Tangan kamu kok dingin banget?" kata Eris sambil menoleh ke arah wajah Julie yang tampak kosong.

"Aku mau pulang!" jawabnya pelan, masih dengan tatapan kosong.

"Lho kok?"

Eris kaget melihat perubahan sikap Julie yang drastis. Rona antusias yang Julie tunjukkan saat tiba di stasiun benar-benar sirna tanpa bekas.

Ia pun jongkok di hadapan Julie, menatap kedua bola matanya seraya memegang kedua tangannya.

"Kamu pasti gugup ya pertama kali naik kereta?" Eris tersenyum. "Tenang aja, semua pasti baik-baik aja," tambahnya mantap. "Percaya sama mama, okey?"

Julie mengangguk. Sikap ibunya yang sungguh di luar karakter membuatnya merasa semakin tidak nyaman. Namun entah mengapa kata-kata ibunya berhasil menghipnotisnya untuk naik ke dalam kereta.

Sesuai dengan tiket yang dipesan, mereka duduk di kursi paling depan di gerbong pertama.

Dengan wajah tegang, Julie mengamati setiap sudut ruangan. Kiri-kanan, atas-bawah. Kurang lebih sama seperti yang diceritakan temannya Malia. Harusnya dia merasa antusias keinginannya naik kereta akhirnya kesampaian. Namun, dia tidak merasakannya sama sekali.

Peluit berbunyi dan kereta pun mulai berjalan. Julie bersandar ke jendela besar di sampingnya dan melihat pemandangan. Di luar terlihat mendung. Firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. Namun, kata-kata ibunya tadi terngiang-ngiang kembali di kepalanya bagaikan mantra yang meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.

Dia menarik napas panjang. Dia memutuskan untuk tidak fokus kepada firasat buruknya itu. Dia yakin firasat buruknya bisa dia usir dengan mengalirkan energi positif.

"Yoss semangat!" serunya sambil mengepalkan kedua tangannya.

"Nah gitu dong, dari tadi tegang mulu kayak habis lihat hantu," Eris mendadak muncul setelah lama pergi ke toilet.

Julie berusaha tersenyum lebar. "Kayak gimana sih toilet kereta api?" Julie penasaran kemana kotoran toilet itu bermuara. Apa turun ke bawah?

"Luar biasa!" balas ibunya.

"O ya?"

"Luar biasa goncangannya." Eris tertawa sendiri mengingat pengalaman konyolnya di toilet barusan. "Berasa 7.6 Skala Richter!"

Dengan cepat kereta melesat melewati stasiun Ciroyom dan Cimindi. Kereta api jarak jauh memang tidak berhenti di stasiun-stasiun lokal kecuali ada persilangan.

"Waduh!" seru Eris sambil menepuk dahinya dengan telapak tangan. "Jam tangan Mama ketinggalan di toilet.”

"Oh jam tangan jelek itu? Yang belinya di tukang loak?"

"Itu jam antik,” Eris terkekeh, “pembawa keberuntungan!" Ia kemudian menarik napas panjang. "Musti balik lagi, mana jauh lagi, tadi transaksi di toilet gerbong dua. Toilet yang di gerbong ini rusak!"

"Ya udah aku aja yang ke sana. Bosen duduk mulu, pengen jalan-jalan."

Mata Eris langsung berbinar-binar. "Ya ampun baik sekali anakku,” kata Eris dengan nada yang didramatisir. "Masih penasaran ya sama toilet kereta api?" godanya sambil mengedip-ngedipkan mata.

"Iya, sekalian mau nyemplungin jam tangan itu ke lubang WC."

"Jangan, nanti meledak lho haha…"

Julie pun bangkit dari tempat duduknya. Kata ‘meledak’ membuatnya kembali resah.

Dengan hati-hati, Julie berjalan di lorong kereta. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang saat melewati deretan kursi penumpang di kiri dan kanannya.

Tubuhnya mendadak sedikit menggigil dan anehnya dia tidak berani melihat wajah-wajah mereka. Dia berusaha agar pandangannya tetap lurus ke depan.

Tiga langkah menuju ujung pintu gerbong satu, tiba-tiba suara ibunya memanggil.

"Julie!"

Julie menoleh ke arah sumber suara. Dilihatnya ibunya duduk menyamping ke arahnya sambil melambai-lambaikan tangan. Senyum indah mengembang di wajah manisnya.

Julie tertawa kecil melihat sikap konyol ibunya. Dia pun ikutan melambai-lambaikan tangan kemudian berbalik lagi dan meneruskan langkah. Siapa yang menyangka momen itu merupakan momen terakhir ia melihat wajah ibunya.

Toilet itu berada di paling ujung gerbong dua. Sekali lagi Julie berjalan sambil menjaga keseimbangan melewati lorong kereta. Anehnya, suasana di gerbong ini terasa lebih terang dan santai. Dia tidak merasa ketegangan dan hawa dingin yang aneh seperti di gerbong depan.

Setelah sampai, Julie menarik pintu toilet. Ruangannya cukup sempit. Hanya ada toilet duduk menghadap ke pintu dan wastafel kecil dengan cermin di salah satu sisinya.

"Rupanya di situ," guman Julie sambil mengambil jam tangan usang dari dekat meja wastafel.

Dia masukan jam tangan itu ke dalam saku jaketnya dan langsung bergegas kembali menuju gerbongnya.

Baru juga beberapa langkah, dia mendengar suara ledakan besar. Gerbong langsung berguncang hebat dan seketika tubuhnya terpental ke belakang menabrak dinding gerbong. Ledakan tidak hanya sekali namun berkali-kali.

Dari luar, api mulai berkobar melahap lokomotif kereta dan gerbong pertama.
Asap hitam mengepul bak gunung api meletus. Jeritan dan tangisan membuncah seketika. Para penumpang panik dan dengan berdesak-desakan berusaha membuka pintu dan memecahkan jendela.

Detik itu Julie sadar bahwa firasatnya menjadi kenyataan.

Lewat balita itu, alam semesta mengirimkannya sebuah pertanda namun dia mengabaikannya. Dia menyesal! Sangat menyesal!

Dengan susah payah dia berusaha berjalan ke gerbong satu, tempat ibunya berada. Dari posisinya dia bisa melihat api sudah mendominasi gerbong depan. Dia ingin segera sampai, namun kereta terus bergoncang dan perlahan mulai terguling. Dia pun terjatuh dengan posisi telungkup dan terinjak-injak oleh penumpang lain yang panik berlarian. Badannya terasa remuk dan napasnya sesak.

Detik-detik sebelum kehilangan kesadaran, Julie berdoa agar keajaiban bisa menyelamatkan ibunya.

Rupanya, kereta yang ditumpangi Julie menabrak sebuah truk tangki bahan bakar minyak yang terjebak di perlintasan pintu. Semua korban jiwa berasal dari gerbong pertama, termasuk ibunya.

                                   *****

"Gimana hari pertama masuk sekolah? Langsung belajar ya?" tanya seorang pria yang sedang duduk di ruang tengah, sambil mengetik di laptop.

"Iya," jawab Julie singkat sambil menaruh sepatu di rak dekat pintu masuk.

"Laper nggak? tuh ada mie goreng di meja makan."

"Nanti."

Sejak ibunya meninggal, ayahnya—Rafael memutuskan bekerja di rumah sebagai penulis novel full time. Dulu waktu masih kerja kantoran, dia sering curi-curi waktu, menulis novel di platform digital sebagai hobi semata. Tak disangka novelnya yang berjudul Camino sangat disukai dan sudah dibaca jutaan kali.

Sebuah penerbit besar pun menawari novel itu untuk diterbitkan dan di luar dugaan versi cetaknya juga laku keras.

Suksesnya novel Camino juga membuat editor memintanya untuk menulis novel baru. Namun permintaan itu belum bisa dia penuhi karena kesibukannya di kantor. Lagi pula, dia masih ragu untuk menjadikan menulis sebagai profesinya.

Banyak hal yang perlu dipertimbangkam terutama dari segi finansial. Namun, sejak kematian Eris, dia pun mantap untuk menjadi penulis novel full time. Dengan begitu dia bisa bekerja di rumah sehingga tidak perlu menelantarkan Julie yang masih kecil.

Berbeda dengan Eris yang berasal dari keluarga besar, Rafaek merupakan anak tunggal dan sudah hidup sebatang kara sejak umur 23 tahun. Julie merupakan satu-satunya keluarganya, satu-satunya yang dia punya. Sekarang, hidupnya hanyalah untuknya.

Karena kelihaian ayahnya dalam meramu kisah dan merangkai kata, novel-novelnya yang bergenre romansa itu laku keras di pasaran, tiga diantaranya sudah diangkat ke layar lebar satu lagi menyusul.
Sekarang dia sedang fokus menggarap novel ke lima.

"Hari ini hari kematian ibumu. Lihat! Langit pun ikut menangis," kata Rafael sambil memandang ke luar jendela.

"Bulan Januari memang puncak musim hujan," balas Julie, datar. "Hujan turun hampir setiap hari."

"Ah kamu, nggak bisa diajak melankolis dikit."

Julie bergegas ke kamarnya, meninggalkan ayahnya yang masih menatap ke luar jendela.
Di kamarnya, Julie pun diam-diam menatap hujan lewat jendela, sambil memegang erat jam tangan antik yang melingkar di tangan kirinya.

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (5)
  • galilea

    Ini nggak ada tombol reply ya?

    @Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...

    Comment on chapter Bab 6
  • juliartidewi

    Waktu SD, aku pernah diceritain sama guruku, ada anak yang ditarik bangkunya sama anak lain pas mau duduk. Anak itu jatuh, terus jadi buta semenjak saat itu. Mungkin kena syarafnya.

    Comment on chapter Bab 6
  • juliartidewi

    Kalau kata 'perkirakan' di sini sudah benar karena kalau 'perkiraan' merupakan kata benda.

    Comment on chapter Bab 4
  • juliartidewi

    Ada kata 'penampakkan' di naskah. Setahu saya, yang benar adalah 'penampakan'. Imbuhan 'pe' + 'tampak' + 'an'. Kalau akhiran 'kan' dipakai untuk kata perintah seperti 'Tunjukkan!'.

    Comment on chapter Bab 3
  • juliartidewi

    Pas pelajaran mengedit di penerbit, katanya kata 'dan' tidak boleh diletakkan di awal kalimat.

    Comment on chapter Bab 1
Similar Tags
Nemeea Finch dan Misteri Hutan Annora
313      199     0     
Fantasy
Nemeea Finch seorang huma penyembuh, hidup sederhana mengelola toko ramuan penyembuh bersama adik kandungnya Pafeta Finch di dalam lingkungan negeri Stredelon pasca invasi negeri Obedient. Peraturan pajak yang mencekik, membuat huma penyembuh harus menyerahkan anggota keluarga sebagai jaminan! Nemeea Finch bersedia menjadi jaminan desanya. Akan tetapi, Pafeta dengan keinginannya sendiri mencari I...
May I be Happy?
810      458     0     
Inspirational
Mencari arti kebahagian dalam kehidupan yang serba tidak pasti, itulah kehidupan yang dijalani oleh Maya. Maya merupakan seseorang yang pemalu, selalu berada didalam zona nyamannya, takut untuk mengambil keputusan, karena dia merasa keluarganya sendiri tidak menaruh kepercayaan kepada dirinya sejak kecil. Hal itu membuat Maya tumbuh menjadi seperti itu, dia tersiksa memiliki sifat itu sedangka...
DocDetec
590      362     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...
A Missing Piece of Harmony
349      265     3     
Inspirational
Namaku Takasaki Ruriko, seorang gadis yang sangat menyukai musik. Seorang piano yang mempunyai mimpi besar ingin menjadi pianis dari grup orkestera Jepang. Namun mimpiku pupus ketika duniaku berubah tiba-tiba kehilangan suara dan tak lagi memiliki warna. Aku... kehilangan hampir semua indraku... Satu sore yang cerah selepas pulang sekolah, aku tak sengaja bertemu seorang gadis yang hampir terbunu...
Our Perfect Times
1372      879     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
God, why me?
229      183     5     
True Story
Andine seorang gadis polos yang selalu hidup dalam kerajaan kasih sayang yang berlimpah ruah. Sosoknya yang selalu penuh tawa ceria akan kebahagiaan adalah idaman banyak anak. Dimana semua andai akan mereka sematkan untuk diri mereka. Kebahagiaan yang tak bias semua anak miliki ada di andine. Sosoknya yang tak pernah kenal kesulitan dan penderitaan terlambat untuk menyadari badai itu datang. And...
Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
1506      711     2     
Inspirational
Raina, si Gadis Lesung Pipi, bertahan dengan pacarnya yang manipulatif karena sang mama. Mama bilang, bersama Bagas, masa depannya akan terjamin. Belum bisa lepas dari 'belenggu' Mama, gadis itu menelan sakit hatinya bulat-bulat. Sofi, si Gadis Rambut Ombak, berparas sangat menawan. Terjerat lingkaran sandwich generation mengharuskannya menerima lamaran Ifan, pemuda kaya yang sejak awal sudah me...
Langkah yang Tak Diizinkan
214      175     0     
Inspirational
Katanya dunia itu luas. Tapi kenapa aku tak pernah diberi izin untuk melangkah? Sena hidup di rumah yang katanya penuh cinta, tapi nyatanya dipenuhi batas. Ia perempuan, kata ibunya, itu alasan cukup untuk dilarang bermimpi terlalu tinggi. Tapi bagaimana kalau mimpinya justru satu-satunya cara agar ia bisa bernapas? Ia tak punya uang. Tak punya restu. Tapi diam-diam, ia melangkah. Dari k...
Cinderella And The Bad Prince
1807      1180     11     
Romance
Prince merasa hidupnya tidak sebebas dulu sejak kedatangan Sindy ke rumah. Pasalnya, cewek pintar di sekolahnya itu mengemban tugas dari sang mami untuk mengawasi dan memberinya les privat. Dia yang tidak suka belajar pun cari cara agar bisa mengusir Sindy dari rumahnya. Sindy pun sama saja. Dia merasa sial luar biasa karena harus ngemong bocah bertubuh besar yang bangornya nggak ketul...
Time and Tears
351      270     1     
Romance
Rintik, siswi SMA yang terkenal ceria dan berani itu putus dengan pacarnya. Hal berat namun sudah menjadi pilihan terbaik baginya. Ada banyak perpisahan dalam hidup Rintik. Bahkan temannya, Cea harus putus sekolah. Kisah masa remaja di SMA penuh dengan hal-hal yang tidak terduga. Tak disangka pula, pertemuan dengan seorang laki-laki humoris juga menambah bumbu kehidupan masa remajanya. Akankah Ri...