Julie memotong sendiri rambut poninya yang mulai panjang menghalangi pandangan. Rambut belakangnya yang masih setengah punggung dia biarkan saja, tidak diotak-atik.
Dari kecil gaya rambutnya tidak berubah, lurus berponi, serasi dengan mata biji almond-nya. Warna rambut yang hitam pekat terlihat kontras dengan wajahnya yang putih pucat akibat jarang tersinari matahari. Untung perawakannya sedang-sedang, kalau tinggi besar bisa terlihat seperti hantu.
Setelah merapikan rambutnya, Julie bersiap-siap berangkat sekolah.
Memasuki penghujung Januari, cuaca masih diwarnai hujan. Tak lupa Julie masukan payung birunya ke dalam tasnya sebelum ke luar rumah.
Seperti biasa Julie berjalan santai dengan tatapan kosong yang seolah menunjukkan isi kepalanya juga. Tapi justru sebaliknya, kepalanya sesak dengan penampakan-penampakan mimpinya tadi malam. Seiring berjalannya waktu, ia bisa membedakan mana yang mimpi biasa, mana yang bukan. Dia tahu mimpinya semalam bukan mimpi biasa.
Dalam mimpinya dia melihat seekor burung gagak hitam raksasa bertengger di atas genting rumah dua lantai bercat ungu. Kicauan burung gagak itu begitu menggemparkan.
Dari dalam pintu rumah yang terbuka muncullah seekor merpati putih yang terbang dengan indahnya. Merpati itu kemudian hinggap di punggung gagak raksasa. Julie memasuki rumah itu, di dalamnya kosong tak ada apa pun hanya ada kalender harian menunjukkan angka 30 Januari 2024.
Dari belakang tiba-tiba ada yang menepuk pundaknya, begitu Julie menoleh dia melihat perempuan paruh baya menatapnya horror dengan dua bola matanya yang merah. Dia terhenyak dan kemudian bangun.
Siapa pun pemilik rumah bercat ungu itu akan meninggal dunia pada tanggal 30 Januari. Itulah yang bisa Julie simpulkan dari mimpinya semalam. Tapi apa hubungannya dengan dirinya?
Rumahnya sendiri bercat putih. Lagi-lagi dia harus menerima pesan kematian seseorang yang akan terjadi di waktu yang akan datang. Hingga detik ini, dia belum paham kenapa dia memiliki kemampuan aneh seperti ini.
Apa gunanya coba mengetahui kematian seseorang? Kenapa pula dia harus terus menerus menyaksikan kematian? Sebenarnya ada urusan apa kematian dengan dirinya?
Julie hanya bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di benaknya itu dengan tarikan napas panjang.
Sambil jalan, Julie melirik ke kiri dan ke kanan. Kebanyakan cat rumah yang dilewatinya berwarna cream, putih, dan abu-abu.
Julie mempercepat langkahnya. Dia tidak mau memikirkan lebih jauh tentang mimpi anehnya itu. Toh, seperti biasa tidak ada yang bisa dia lakukan. Meski bisa melihat kematian di masa depan, dia tidak yakin bisa mencegahnya. Lagi pula, haruskah ia mencegah kematian orang lain ketika kematian ibunya sendiri gagal dia cegah?
Saat di persimpangan jalan, Julie melirik jam tangannya. Lima menit lagi bel masuk. Sangat di luar kebiasaan dia datang siang ke sekolah. Dia pun menyebrang jalan, namun tiba-tiba dari arah kirinya, ada bocah melaju dengan sepeda hampir menabraknya. Untungnya Julie cepat menghindar, dan si bocah membanting sepedanya ke tiang listrik hingga dia terpental sedikit.
Bocah itu tidak kenapa-napa, hanya koin-koin yang berada dalam kantung serutnya berhamburan ke tanah.
Julie membantu bocah itu bangun dan ikut memunguti koin-koin yang berserakan di jalan.
"Makasih Kak," kata bocah itu, sambil meluruskan topi huruf K yang dikenakannya.
"Lain kali hati-hati," balas Julie tanpa ekspresi.
Bocah itu pun kembali mengendarai sepedanya. Dilihat dari perawakannya, dia kemungkinan masih duduk di kelas empat atau lima SD.
Julie meneruskan langkahnya dengan cepat-cepat. Namun, dari belakang dia kembali mendengar suara kayuhan sepeda. Julie menoleh dan melihat bocah itu lagi.
"Bentar Kak, aku mau tanya toko kado di mana ya? Dari tadi aku muter-muter sampe nabrak tiang nggak ketemu."
"Toko kado?”
Bocah itu mengangguk. "Aku mau beli kado buat Nenek."
"Dengan uang koin itu? Sendirian?" Julie melirik jam di tangannya kemudian menatap lama wajah polos bocah itu. Dia memutuskan untuk mengantarnya.
"Yang bener Kak? Asyik!” seru bocah itu.
“Eh tapi Kakak nggak bakalan telat sekolah?"
"Gak masalah," balas Julie. "Kamu sendiri nggak sekolah?"
Bocah itu diam sejenak. "Enggak Kak. Bolos."
Dia kemudian mengendarai sepedanya dengan pelan. Mengikuti ritme langkah Julie.
"O ya namaku Kenzo, umurku baru 10 tahun. Nama Kakak siapa?"
"Julie."
"Pasti ulang tahunnya bulan Juli ya? Temanku April ulang tahunnya bulan April."
"Hmm..."
"Kado apa ya yang cocok buat Nenek?" guman si bocah.
Julie merasa ada yang ganjil. Baru terpikir kenapa bocah ini beli kado sendirian untuk neneknya.
"Orang tuamu," kalimat Julie terhenti, berusaha mencari kata yang tepat, "masih ada?"
"Mama ada tapi aku nggak tahu di mana. Kalau Papa, aku nggak pernah tahu dia ada atau nggak," balas Kenzo santai.
"Oh."
Hening sejenak.
Julie melihat lekat-lekat bocah itu. Dari caranya berpakaian sama sekali tidak ada tanda-tanda penelantaran. Ia memakai kaos oblong warna oranye, celana kargo jeans selutut, sepatu kets dengan kaos kaki belang-belang.
Badannya memang kurus namun kulitnya bersih mulus tanda terurus.
"Aku tinggal sama Nenek dan Bi Inah. Hari ini Nenek pergi ke dokter. Jadi aku pake kesempatan ini buat beli kado."
"Bi Inah tahu kamu mau beli kado?"
"Nggak. Dia nggak bisa jaga rahasia. Aku cuma bilang mau main-main sebentar."
Setelah beberapa menit berjalan di trotoar, mereka tiba di depan toko dengan plang bertuliskan, 'Tressure, Wrappily Ever After’.
Di dalam toko mereka melihat rupa-rupa barang dengan berbagai ukuran. Segala pernak-pernik dan aksesoris lengkap tersedia di situ. Tas, sandal bulu, boneka, dan benda-benda ajaib lainnya juga ada di situ. Namun, setelah hampir 30 menit ke sana kemari, memeriksa setiap sudut-sudut etalase, mereka berdua tak kunjung menemukan barang yang pas buat Nenek.
"Kita ke toko lain aja Kak," ajak Kenzo sambil mendorong pintu keluar.
Julie melihat area sekitar. Seketika matanya terpaku pada sebuah toko di sebrang jalan.
"Kita coba ke situ!" kata Julie sambil menunjuk bangunan angker di seberang jalan.
Kenzo melirik toko yang ditunjuk Julie. Plang toko itu bertuliskan Toko Antik, Tak Lekang Waktu.
Begitu masuk, hawa dingin dan senyap terasa meraksuki mereka. Bagian dalamnya lebih mirip gudang dari pada toko. Barang-barangnya dipajang berdesak-desakan dengan sembarang. Pencahayaannya juga remang-remang karena menggunakan lampu kuning.
"Seram ya Kak," kata Kenzo sambil melihat lihat sekeliling ruangan. "Kayak sarang nenek sihir."
"Kamu takut?"
Kenzo mengangkat bahu. "Enggak kok! Aku suka tempat ini. Barang-barangnya aneh."
Karena masih pagi, tidak ada pengunjung lain di toko itu. Mereka bisa bergerak dengan leluasa.
Keduanya begitu terpesona dengan barang-barang kuno yang ada di toko. Cermin tua dari zaman Belanda, boneka-boneka lucu namun mistik, buku kuno entah dari abad mana, karena berisi simbol-simbol.
"Akulah Leomord!" seru Kenzo, sambil mengayunkan sebuah keris tua di tangannya. Setelah bosan, dia letakkan keris itu kembali ke tempatnya dan beralih ke benda antik lainnya. Begitu terus hingga dia menemukan benda seperti kalung dengan liontin berbentuk bulat. Dia ayunkan ke kiri dan ke kanan kemudian dia tekan tombol kecil bulat di bagian atasnya dan liontin itu pun terbuka.
Ternyata dalamnya sebuah jam analog dengan angka romawi. Jarum-jarumnya menunjuk ke angka 6 dan 2.
Kenzo menghampiri Julie yang sedang fokus melihat lembaran-lembaran partitur musik kuno. Ia memperlihatkan benda yang ia temukan ke hadapannya.
"Bagus nggak Kak?"
"Jam?"
"Iyah, bisa dibuka tutup dan dikalungkan. Cocok buat si Nenek."
Julie mengamati jam liontin itu. Kokoh, cantik dan elegan, itulah kesan yang ia dapatkan. Lapisan warna emasnya juga menambah kesan mewah. Anehnya, desainnya memang antik, tapi jamnya sendiri terlihat masih baru dan masih berfungsi dengan baik. Jarum detiknya masih berputar. Hanya saja jarum jam dan menitnya menunjuk angka yang salah. Penutup jamnya juga indah dan artistik dengan ukiran bunga di sekelilingnya. Dan yang paling memukau adalah ukiran pada bagian tengahnya. Ukiran seekor burung.
"Bagus yah ukiran burungnya,” Kenzo ikut mengamati. “Burung apa itu Kak?"
Julie terdiam sejenak. "Merpati."
Kembali Julie teringat mimpinya semalam. Seekor burung merpati yang terbang hinggap di punggung burung gagak hitam.
"Kira-kira uangku cukup nggak yah buat jam itu? Kelihatannya mahal."
"Kita tanya pemilik toko." Julie melempar pandangan ke meja kasir. Namun di sana tidak ada siapa-siapa.
"Dari tadi cuma kita berdua di sini Kak," kata Kenzo, mengusap-ngusap tengkuk lehernya.
"Ada yang bisa dibantu?"
Seorang perempuan dewasa dengan baju gombrang tiba-tiba muncul dari arah pintu belakang. Rambutnya yang panjang mengenakan bandana merah ala bajak laut. Mata besarnya terlihat menyeramkan dengan cela hitam yang mempertegasnya. Kalung dan anting-anting bulunya juga turut serta meramaikan penampilannya.
Sementara Julie tampak tenang seperti biasa. Kenzo sedikit terhenyak. Belum pernah ia melihat orang dengan penampilan seheboh itu. Ternyata benar toko ini dihuni nenek sihir, pikirnya.
Melihat wajah Kenzo yang tampak tegang, perempuan itu pun tersenyum ramah.
"Mari," katanya, mengajak Julie dan Kenzo ke meja kasir.
"Kalian sudah nemu barang yang dicari?" tanya perempuan itu saat duduk menghadap Julie dan Kenzo di meja kasirnya.
"Sudah Tante eh Kak…" sahut Kenzo, gelagapan menakar usia perempuan itu.
Perempuan itu tersenyum. "Orang-orang sih biasa manggil saya madam. Madam Alina."
Julie menaruh liontin jam itu di meja. "Yang ini berapa harganya, Madam?"
Madam Alina memeriksa benda di hadapannya dan seketika mata besarnya membelalak. "Kamu nemu jam ini di mana?"
"Aku yang nemuin Madam, di situ?" Kenzo menunjuk ke arah rak dia menemukan jam itu. "Buat kado ulang tahun nenekku, bagus nggak Madam?"
"Kamu yang nemuin?" perempuan itu memandang Kenzo dengan tatapan tak percaya. Kemudian menarik napas dalam.
"Ada masalah?" tanya Julie sambil mengernyitkan keningnya.
Madam Alina tersenyum samar. "Nggak ada."
Perempuan itu kemudian mengambil kamera instan di laci mejanya dan memotret jam itu.
Hasil cetakannya ia tempelkan di sebuah buku catatan berjilid hitam.
Dia pun mulai menuliskan sesuatu di dalamnya.
"Namanya siapa De?"
"Aku Kenzo. Ini Kak Julie."
Madam Alina mengangguk sambil menuliskan nama mereka di buku catatan.
"Adik kakak?"
Kenzo melirik Julie.
"Bukan," jawab Julie singkat.
"Jam ini dilapisi emas asli lho! Nenek kamu beruntung banget," kata Madam Alina kepada Kenzo.
"Emas asli? Wow!"
"Sebentar saya setting dulu waktunya biar tepat."
"Eh bentar Madam, harganya berapa dulu? Takut uangnya nggak cukup.”
"Berapa uang yang kamu punya?"
Kenzo melepas tas serut berisi koin seribuan yang menyilang di badannya, menaruhnya di meja dan mendorongnya dengan sopan ke hadapan Madam Alina.
"Segini Madam, cukup gak? Jumlahnya ada dua ratus ribuan.”
Perempuan itu mengambil kantung serut itu dan memasukkannya ke laci. Tanpa menghitung koin di dalamnya tanpa pula membuka talinya.
"Oke, cukup."
"Syukurlah," Kenzo menghela napas lega.
Perempuan itu kemudian membungkus jam itu dengan kotak hitam dan memasukkannya ke dalam kantong kertas cokelat.
Julie menatap perempuan itu dengan penuh curiga. Dia heran jam seantik dan sebagus itu bisa dijual dengan harga semurah itu. Apa jam itu cuma barang tiruan yang sengaja diselipkan diantara barang-barang antik?
Namun dia tidak bisa melihat potongan penipu dalam sosok Madam Alina.
"Ada lagi yang bisa dibantu?" tanya Madam Alina seraya membalas tatapan Julie.
Julie langsung mengalihkan pandangannya. "Nggak ada. Terima kasih."
Diam-diam Madam Alina memperhatikan Julie seperti menganalisa sesuatu. Matanya sedikit membelalak saat melihat jam antik di tangan kiri Julie.
"Makasih Madam," ucap Kenzo dengan nada riang. Dia senang akhirnya dia mendapatkan kado yang pas buat neneknya.
"Sama-sama. Hati-hati di jalan."
Julie dan Kenzo pun beranjak meninggalkan toko itu.
"Yess. Misi terselesaikan!" seru Kenzo, sambil menaiki sepedanya. "Kita bisa pulang sekarang."
Berbeda dengan Kenzo, Julie merasa ada yang mengganjal, seperti ada yang disembunyikan. Langkahnya pun terhenti saat melewati toko emas.
"Kenzo, boleh aku pinjam jamnya sebentar?"
Kenzo menyerahkan kantung cokelatnya kepada Julie. "Ini Kak."
"Kamu tunggu di sini!"
Julie masuk ke toko emas itu sendirian dan lima menit kemudian dia keluar dengan sorot wajah orang tersesat. Ternyata jam itu benar-benar dilapisi emas asli. Pemilik toko itu bahkan berani menghargai jam itu sekitar 3-4 juta meski tanpa sertifikat.
"Kakak beli perhiasan?"
Julie menggelengkan kepalanya kemudian menyerahkan kembali jam tangan antik itu ke tangan Kenzo.
"Lah terus ngapain ke toko emas?"
Julie tak menjawab dan mengajaknya meneruskan perjalanan pulang.
"Kakak punya saudara nggak?"
"Nggak."
"Sama aku juga. Seru kali yah kalau punya saudara?"
"Hemh..."
"Itu rumahku Kak, udah deket makasih udah mau nganter segala."
Julie tersenyum kecil namun matanya membelalak seketika saat tiba di depan gerbang rumah Kenzo.
Rumah dua lantai itu bercat ungu persis seperti dalam mimpinya.
Penghuni rumah itu akan meninggal, firasat itu kembali berbisik di telinganya.
"Kenzo, kapan nenek ulang tahun?"
"Selasa depan."
Julie mengecek ponselnya untuk melihat kalender. “2 Februari?” katanya dalam hati.
Ia kembali berusaha menafsirkan mimpinya semalam dengan menyusun kepingan-kepingan puzzle yang terkumpul.
Burung gagak hitam, merpati putih, kalender menunjukkan tanggal 30 Januari dan seorang nenek dengan mata merah.
Yang dia tahu burung gagak pertanda kematian, Merpati putih? Bukannya identik dengan kedamaian? Dan nenek? Kemungkinan Nenek Kenzo.
Dan tadi Kenzo bilang neneknya pergi ke dokter. Sakitkah? dia mungkin sudah sangat tua?
Kalau kesimpulannya tepat. Nenek Kenzo akan meninggal pada tanggal 30 Januari. Berarti Kenzo tidak akan sempat memberikan kadonya.
Hari ini tanggal 25 Januari masih ada waktu lima hari lagi.
"Beneran nggak akan mampir dulu Kak?"
Julie menggeleng. Ia kemudian jongkok dan menatap lurus Kenzo. “Denger aku baik-baik," ia menghela napas dalam, "jangan nunggu tanggal 2 Februari buat ngasih kado itu. Lebih cepat lebih baik."
"Hah?"
"Percayalah..."
Kenzo menatap lekat mata Julie beberapa saat. Dia pun mengangguk seolah paham dengan apa yang akan terjadi.
"Baik Kak. Makasih banyak buat hari ini."
*****
Sekitar pukul 10.00, Julie tiba di rumahnya. Seperti biasa, ayahnya sedang duduk di ruang tengah bersama laptop dan secangkir kopi.
"Jam segini kok udah pulang?" tanya Rafael, mengalihkan pandangan dari laptopnya.
"Tadi pas di persimpangan..." Julie tiba-tiba terdiam, ia bingung menjelaskan kronologis kejadian yang dialaminya tadi.
"Hah? Di persimpangan ngapain?"
Julie menarik napas panjang. "Tadi pas di persimpangan, tiba-tiba aku mau pulang," balasnya.
Dia pun langsung naik ke kamarnya. Berharap ayahnya cukup puas dengan jawaban alakadarnya.
"Di persimpangan aku ingin pulang?" Rafael bergumam sendiri. "Saat di persimpangan aku tidak mau lagi berjalan, aku ingin pulang," tersenyum, "bagus juga kalimatnya!" Dia pun menuliskan kalimat itu di laptopnya.
*****
Bel istirahat sudah berbunyi. Beberapa anak mulai meninggalkan bangkunya namun Julie masih diam di tempat seolah tak mendengar apa-apa. Tadi malam ia bermimpi lagi. Ia melihat burung merpati hinggap di punggung burung gagak dan mereka terbang ke atas langit. Tinggi sekali hingga lenyap dari pandangan mata.
Melihat Julie yang duduk diam menatap lurus jauh ke tembok depan, beberapa temannya mulai menggunjingkannya.
"Guys liat deh, dia bengong gitu kaya patung."
"Lah dia kan tiap hari juga gitu!"
"Nggak beda, hari ini bengongnya plus plus."
"Kayak kerasukan yah? "
"Apaan kerasukan?"
"Iyah kerasukan mahluk tak kasat mata. Musti di-exorcised kalau mau bebas.”
"Kayak di film horror?"
Mereka asyik berbisik-bisik tanpa sadar kalau suara mereka bisa terdengar samar-samar oleh Julie.
Julie pun melihat ke arah mereka, dan menyipitkan matanya tajam. Sontak mereka kaget, gelagapan tidak karuan dan lari ke luar kelas seperti maling yang tertangkap basah mencoba menyelamatkan diri.
Padahal Julie sama sekali tidak mendengar apa yang mereka gunjingkan. Dia menatap mereka tajam karena bingung kenapa hanya mereka yang ada di kelas. Yang lainnya ke mana? Begitu melihat jam barulah dia sadar bahwa bel istirahat sudah berbunyi.
*****
Pulang sekolah, Julie mengambil rute jalan yang berbeda dari biasanya. Hari ini tanggal 30 Januari, hari kematian neneknya Kenzo. Jadi dia sengaja mengambil rute lebih jauh supaya melewati rumah ungu itu.
Dia sempat berpikir untuk menemui Kenzo, sekedar mengucapkan dukacita. Dia pun kehilangan ibunya di usia yang sama dengan Kenzo. Jadi kurang lebih dia paham perasaan bocah itu. Namun begitu sampai di depan gerbang rumah ungu, dia sadar sesuatu. Dia kan tidak tahu jam atau menit keberapa kematian akan menjemput neneknya Kenzo hari ini. Sekarang masih pukul 14. 50. Dia masih bisa berharap bahwa pertanda yang muncul di mimpinya tidak memiliki makna apa-apa dan firasatnya salah. Namun, pengalaman mengajarinya bahwa firasatnya selalu benar—penghuni rumah ungu itu akan mati.
Lama tenggelam dalam lamunannya, Julie dikagetkan dengan sebuah tepukan di belakang pundaknya. Dia pun menoleh ke belakang dan melihat sosok wanita paruh baya seperti di mimpinya, matanya pun sama merahnya, tidak di mimpi lebih parah.
Perempuan paruh baya itu mengenakan pakaian hitam dengan kalung liontin menggantung di lehernya. Wajahnya yang pucat serta matanya yang merah membuat Julie berpikir apa yang dilihatnya hantu? Seumur hidup dia belum pernah melihat hantu.
"Maaf bikin kaget, Julie ya? temennya cucu saya Kenzo?"
Seketika Julie pun tersadar, yang dia lihat bukan hantu. Melainkan neneknya Kenzo yang masih hidup. Julie perhatikan, ternyata nenek kenzo belum terlalu tua. Mungkin usianya belum mencapai 60 tahun.
"Iya, saya Julie," jawab Julie dengan wajah penuh tanda tanya.
Nenek Kenzo menarik napas panjang. Raut wajahnya tiba-tiba terlihat lega.
"Tadi saya habis dari rumah Pak RW, coba-coba nyari tahu alamat kamu. Syukurlah kamu mampir ke sini."
Julie mengernyitkan keningnya. "Ibu ada perlu sama saya?"
Nenek Kenzo sedikit menahan napas kemudian berkata, "Saya ingin menyampaikan amanat terakhir cucu saya."
"Amanat terakhir?" Julie terdiam sejenak berusaha mencerna kata-katanya. Tiba-tiba matanya membesar. "Oh....maksud Ibu… Kenzo...?"
Nenek Kenzo mengangguk dengan tatapan lesu. "Tadi pagi pukul enam lebih sepuluh menit."
******
Di dalam rumah itu, pandangan Julie terpaku pada kalender harian yang menempel di dinding. Bulir-bulir keringat dingin mulai berkumpul di pelipisnya, masih sedikit syok dengan apa yang dia dengar. Dia tak menyangka Kenzo yang dari luar terlihat sehat ternyata memiliki penyakit serius yang berujung pada kematian.
Menurut cerita neneknya, Kenzo terlahir dengan jantung lemah dan karena ada infeksi, dia diharuskan segera mendapatkan transplantasi jantung. Namun, untuk mendapatkannya sangat tidak mudah, antriannya cukup panjang. Yang membutuhkan transplantasi bukan Kenzo seorang. Dia terus menanti dan menanti hingga akhirnya maut menghampiri.
Sekarang Julie sadar bahwa meski firasatnya benar namun dia menarik kesimpulan yang salah. Tak pernah terpikir olehnya Kenzol-ah yang akan pergi.
Mungkin karena hanya sosok neneknya yang muncul di mimpinya. Sosok Kenzo tidak pernah muncul.
"Silakan duduk Nak Julie," kata Nenek Kenzo.
Beberapa saat kemudian, dari arah pintu dapur munculah seorang perempuan dewasa bertubuh berisi membawakan segelas air minum.
"Silakan diminum," katanya ramah. Setelah meletakkan minuman perempuan itu kembali ke dapur. Seperti neneknya Kenzo, mata perempuan itu pun terlihat merah.
"Minumannya kok dianggurin," kata Nenek Kenzo yang duduk berhadap-hadapan dengan Julie.
Julie membalas dengan senyuman. "Terima kasih."
"Sebelum meninggal Kenzo titip salam buat Nak Julie. Katanya dia sangat berterima kasih sudah diantar beli kado."
Kembali perempuan paruh baya itu menahan napas. Matanya mulai berkaca-kaca. "Ulang tahun saya sebenarnya nanti besok lusa. Tapi dia ngasih kado ini," Nenek Kenzo menggenggam jam liontin yang menggantung di lehernya erat-erat, "empat hari yang lalu seolah dia tahu dia nggak akan punya waktu."
"Mungkin dia sudah punya firasat," kata Julie berusaha memberikan respons. Dia sebenarnya tidak tahu harus berkata apa.
"Mungkin," balas Nenek Kenzo ragu. "Tapi dia bilang ada malaikat yang ngasih tahu dia."
"Malaikat?"
"Sulit dipercaya memang." Perempuan itu tersenyum kecil. "Dia bilang malaikat itu berambut lurus, ada poninya dan matanya seperti..." tiba-tiba kalimatnya tercekat, seperti kendaraan yang melaju kencang kemudian mengerem mendadak. Matanya terpaku menatap Julie.
Julie pun langsung mengalihkan pandangan. Suasana tiba-tiba terasa canggung.
"Maaf jadi kemana-mana," kata nenek Kenzo. Dia pun bangkit dari kursinya.
"Sebentar saya ke atas dulu."
Beberapa saat kemudian dia muncul kembali dengan membawa kertas origami berbentuk seekor burung.
"Kenzo minta saya ngasihin hadiah kecil ini buat nak Julie sebagai kenang-kenangan. Mohon diterima."
Julie menerima origami berwarna putih itu. "Terima kasih."
Dia amati baik-baik bentuknya. Seekor merpati putih.
*****
Keluar dari rumah Kenzo, Julie langsung berjalan pulang menuju rumahnya. Namun di tengah-tengah perjalanan dia menghentikan langkah, tertegun sebentar kemudian berbalik arah. Dia terus berjalan hingga sampai ke depan pintu sebuah toko berplang Toko Antik, Tak Lekang Waktu.
Seperti hari itu, di dalam sepi tidak ada pengunjung. Namun kali ini, Madam Alina dengan gaya nyentriknya sudah nangkring di meja kasir.
Julie pun langsung menghampirinya.
"Selamat datang," sapa Madam Alina, tersenyum. "Julie ya?"
"Madam masih ingat?"
"Tentu saja. Kamu sendirian? gak bareng ehm," tiba-tiba mengalihkan pandangan,"Kenzo?"
"Dia sudah meninggal.
Madam Alina menghela napas. "Sakit?"
Julie mengangguk. "Dari awal Madam sudah tahu Kenzo akan meninggal?"
"Kamu pikir saya paranormal?" balasnya santai.
Julie tidak yakin Madam Alina seorang cenayang atau paranormal, tapi kalau lihat penampilannya yang nyentrik, bisa saja. Entahlah, yang jelas Julie merasa Madam Alina sudah bisa membaca tanda-tanda kematian pada diri Kenzo sewaktu ia membeli jam liontin itu. Karena itulah gelagatnya sangat aneh?
Apakah Madam Alina seperti dirinya? Apakah dia sering menerima firasat atau pertanda kematian seseorang?
"Waktu itu, Madam keliatannya kaget begitu melihat jam liontin yang dibawa Kenzo. Kenapa?"
Madam menatap Julie lekat-lekat, sepertinya dia tidak punya pilihan selain menceritakan yang sebenarnya. Dia yakin Julie bukan orang biasa sehingga sudah terbiasa jika harus mendengar yang hal-hal tidak biasa. Dengan gestur, Madam Alina mempersilakan Julie duduk.
"Jam itu bukan berasal dari sini," Madam Alina memulai ceritanya. "Tepatnya mungkin bukan berasal dari dunia ini."
Raut wajah Julie yang tadinya tenang terlihat sedikit menegang. "Maksudnya?"
"Kamu masih ingat di mana Kenzo menemukan jam itu?"
Julie melihat ke deretan rak etalase. "Rak 7?" jawabnya ragu.
Madam Alina mengangguk. "Itu bukan rak biasa tapi-," berhenti sejenak mencari kosakata yang pas, "tapi rak keramat."
Dia ingin menamainya 'rak ajaib' namun terdengar kekanak-kanakan.
Julie memperhatikan rak empat susun yang terbuat dari kayu jati itu. Bentuknya persegi panjang dan setiap tingkatnya dipajang barang-barang secara sembarang seperti di dalam rak-rak lainnya. Tidak ada yang istimewa hanya terlihat antik.
"Kami sengaja menomori rak-rak di sini. Untuk menandai rak itu. Waktu kecil ibu saya melarang saya untuk dekat-dekat rak itu apalagi melihat-lihat barang yang dipajang di dalamnya.”
"Keramat di sini maksudnya apa?"
Madam Alina menatap lurus ke dua mata Julie. Terdiam sejenak menambah kesan misterius. "Rak itu mampu memunculkan barang-barang asing yang nggak dijual di sini. Gak berasal dari sini."
"Seperti jam itu? Mungkin ada orang lain yang naruh di sana. Atau ada pengunjung yang nggak sengaja menjatuhkannya."
Madam Alina menggelengkan kepalanya. "Barang-barang asing yang muncul selalu sama. Sebuah jam. Dan orang yang menemukannya selalu sama. Orang yang hidupnya nggak akan lama lagi."
Julie terkesiap. "Jadi dari sana Madam tahu?"
"Orang yang hidupnya masih lama, nggak akan menemukan jam-jam itu di rak sana. Hanya orang-orang yang sedang diintai oleh kematian."
Julie tiba-tiba teringat bahwa sebelum Kenzo, dia yang lebih dulu memeriksa Rak 7 dan dia tidak melihat jam itu di sana. Jam sebagus itu tak mungkin luput dari pandangan siapa pun. Waktu itu dia pikir mungkin karena terselap-selip. Namun sekarang dia tahu ada kemungkinan lain.
Madam Alina membuka catatan buku hitamnya, memakai kacamatanya dan membaca kembali halaman yang ia tulis tentang jam yang ditemukan Kenzo.
"Kenzo berpulang pukul 6. 10?"
"Iyah pagi-pagi,” mata Julie memicing. “Sejauh itu Madam bisa tahu?"
"Saya catat di sini." Madam Alina menyodorkan buku catatan hitamnya yang terbuka ke hadapan Julie. "Waktu Kenzo menemukan jam itu, jarum-jarumnya menunjukkan pukul 6.10. Itu merupakan waktu kematiannya."
Julie menatap lama catatan Madam Alina. Perhatiannya langsung terfokus pada foto jam yang menempel di halaman. Ukiran burung merpati yang terukir di bagian tengah penutup jam liontin itu kembali menarik perhatiannya.
"Selain menunjukkan waktu kematian, jam-jam itu selalu datang dengan simbol-simbol kematian."
"Seperti merpati di jam itu?"
Madam Alina mengangguk. "Merpati putih melambangkan kedamaian dan kebebasan abadi."
"Dengan kata lain kematian," Julie menambahkan.
"Kamu bisa lihat di buku catatan itu rupa-rupa simbol yang menghiasi jam-jam penanda kematian itu."
Julie membuka lembar demi lembar. Terdapat foto jam dengan berbagai wujud. Jam dinding hitam berbentuk peti mati, ada juga miniatur jam menara dengan pendulum kepala tengkorak, dan…tubuhnya mendadak beku. Bunga Krisan? reflek dia melirik jam yang berada di tangan kirinya. Di foto itu jarum jamnya menunjukan angka 4 sementara jarum pendeknya menunjukkan angka 3. Sungguh akurat!
"Kenapa?" tanya Madam, heran. Ia kemudian melirik halaman yang sedang terbuka dan mengangguk pelan. "Waktu itu juga saya kaget lihat jam itu ada di tangan kamu. "
Julie menutup buku catatan hitam itu dan kembali melirik jam tangan yang melingkar di tangannya. "Jadi ibu saya beli jam ini di sini." Ia menghela napas. "Di rak itu."
"Ibu kamu lumayan sering ke sini. Jadi saya cukup terpukul saat dia menemukan jam tangan itu."
Julie tersenyum getir. Segalanya begitu absurd. Dia tidak menyangka akan menemukan jejak ibunya di toko ini.
"Tapi kamu harus ingat, rak itu beserta jam-jamnya bukan penyebab kematian seseorang. Rak itu hanya menyampaikan pesan."
"Pesan kematian."
"Betul. Kematian punya cara sendiri untuk berkomunikasi, lewat benda-benda atau mungkin lewat seseorang."
Kedua mata mereka beradu untuk beberapa saat.
"Untuk apa?"
Madam Alina menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil melihat ke langit-langit, seolah mencari sebuah jawaban di sana. Namun dia tidak menemukannya.
****
Malam itu, Julie membuka jendela kamarnya, menatap langit gelap yang tampak tentram tanpa bintang-bintang. Dengan biolanya dia bawakan Lacrimosa-Mozart. Dia persembahkan untuk merpati putih yang berada jauh di atas langit.
Ini nggak ada tombol reply ya?
Comment on chapter Bab 6@Juliartidewi, makasih kak atas masukannya, nanti direvisi pas masa lombanya selesai. Thank youu...