"Gue ke kelas duluan," ujar Raksha yang kembali menutup pintu itu pelan.
Raksha berjalan menyusuri lorong sekolah dengan langkah pelan, seolah-olah setiap jejak kakinya mengantar pada beban yang tak bisa ia tolak, tapi juga tak bisa ia terima sepenuh hati. Suara murid-murid lain yang mulai kembali ke kelas usai jam istirahat terdengar samar di telinganya. Tapi pikirannya terlalu sibuk untuk memproses apa pun selain suara Melva yang terus terngiang.
“Lo harus mulai deketin si Nara itu. Gimana pun caranya lo harus bikin dia suka sama lo. Setelah itu, lo putusin deh. Dan lengkap sudah bales dendam gue.”
“Awas kalo lo sampe baper dan beneran suka sama dia, dan ngerusak rencana gue. Lo masih hutang budi sama gue ya Raksha Dylan Sadewa.”
Raksha menghela napas panjang. Ia memang bukan tipe yang suka ikut campur urusan orang, tapi entah kenapa, ia terjebak di antara rencana Melva dan Nara yang setelah melihat kejadian tadi—jujur saja—serapuh itu.
Raksha menunduk, menatap lantai ubin yang sama sekali tidak bisa memberi jawaban. “Ini bukan cuma soal ‘hutang budi' gue," gumamnya pelan, “tapi juga soal perasaan orang lain yang … nggak punya masalah sama gue.”
Nara mungkin terlihat pendiam dan canggung, tapi ada sesuatu dalam cara dia menunduk waktu mereka bicara tadi. Ada ketulusan yang tidak semua orang miliki. Dan Raksha mulai merasa—kalau pun ia ingin mengenal Nara—itu bukan karena perintah Melva, tapi karena ia benar-benar ingin tahu dunia Nara yang seolah dijaga sebegitu rapatnya.
Raksha masuk ke kelas dengan kepala penuh keraguan. Suara ribut teman-temannya terasa seperti gema jauh yang tidak menyentuh pikirannya sama sekali. Raksha duduk di bangkunya, menatap papan tulis kosong.
“Apa gue tega?” bisiknya pada diri sendiri. “Apa gue tega kalau ini semua beneran nyakitin orang lain?” lanjutnya dalam hati.
Dan untuk pertama kalinya, Raksha sadar bahwa ini bukan cuma tentang Nara, tapi juga tentang dirinya sendiri.
Bahkan, belum tentu juga Nara akan benar-benar jatuh cinta kepada Raksha, tapi ia sudah mengkhawatirkan Nara, seperti memang berharap bahwa Nara akan benar-benar menyukainya.
Pintu kelas terbuka pelan, disusul langkah ringan yang sudah sangat Raksha kenal. Ia tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang. Aroma parfum Melva yang khas langsung menguar, menandai kehadirannya yang tak pernah bisa dianggap biasa-biasa saja.
Melva duduk di bangkunya—di sebelah Raksha—tanpa banyak bicara. Beberapa siswa melirik, masih belum terbiasa dengan kehadiran murid baru itu.
"Lo kenapa sih, kayak orang abis makan serat kawat?" bisik Melva sambil menyilangkan tangan di meja, matanya lurus ke depan.
Raksha menoleh, menatap wajah Melva yang masih saudara sepupunya itu sekilas. Sekadar informasi bahwa tidak ada yang tahu soal hubungan mereka berdua. Tentu saja supaya Nara tidak mencurigai Raksha.
Melva menoleh. Wajah cantik dengan tatapan tajam, penuh perhitungan. Sangat berbeda dengan Nara yang selalu tampak seperti sedang mencoba menyembunyikan dirinya dari dunia.
Melva lalu mendekat sedikit, suaranya lebih pelan, tapi jelas. "Lo inget ya, hari ini harus mulai, Raksha. Ajak ngobrol, ajak duduk bareng waktu istirahat, sok asik kek, sok perhatian. Pokoknya, bikin dia ngerasa lo beda dari yang lain."
Raksha menelan ludah. "Mel, ini serius? Lo yakin harus sampai segitunya?"
Melva memutar mata, lalu menunduk mendekat. "Gue udah yakin dari awal. Ini cara satu-satunya biar dia ngerti rasanya ditinggalin. Dia harus ngerasain gimana rasanya ngebuka hati ke orang, terus ... ya ditinggalin gitu aja." Ujung kalimatnya meluncur dingin, hampir tanpa emosi. Ia tidak tahu bahwa jika itu tujuannya, maka selesailah sudah balas dendamnya karena nyatanya, Nara sudah merasakan itu—hari ini.
Raksha mengalihkan pandangan ke luar jendela.
"Apa lo pernah mikir," ujar Raksha pelan, "kalau mungkin ... lo bukan benci sama Nara karena Zevan mutusin lo karena dia, tapi ... lo benci sama Nara karena dia punya seseorang yang sebesar itu suka sama dia. Dan dengan lo ngebuat Zevan ngelakuin hal ini, bukannya semakin membuktikan itu, Mel?"
Melva terdiam sejenak. Matanya membelalak sedikit, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya dari mulut Raksha sendiri. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Pandangannya tajam menusuk Raksha, tapi matanya berkaca-kaca, seolah tersinggung, terluka, atau mungkin ... tersadar?
Beberapa detik kemudian, Melva meremas ujung lengan seragamnya sendiri, lalu membuang muka dengan kasar. Ia menjawab dengan nada cepat dan meninggi, suaranya sedikit bergetar, seolah tak ingin memberi celah untuk ragu.
"Lo jangan sok tahu ya, Sha! Tau apa lo sama perasaan gue?!"
Raksha menatapnya lekat-lekat. Ia bisa melihat jelas cara Melva menggigit bibir bawahnya, menahan emosi. Matanya tidak lagi setajam tadi, tapi justru bergetar seperti ada sesuatu yang ingin disembunyikan—entah luka, entah rasa malu.
"Mel ... lo nggak bisa ngehalangin perasaan seseorang, kalo mereka emang .... saling suka," lanjutnya, menelan ludah perlahan. Ada rasa yang mencubit di hatinya saat mengatakan itu, sesuatu yang menyesakkan tapi belum bisa ia beri nama. "Suatu saat mereka bakalan ketemu di titik yang sama, dan lo nggak bisa terus jadi pembatas di antara mereka."
Raksha berhasil menyelesaikan kalimat itu dengan suara yang sedikit berat. Tapi begitu kata-katanya selesai, ia menyadari ... kenapa ada perasaan tidak rela?
Melva menoleh cepat, wajahnya kini benar-benar marah. Alisnya berkerut, rahangnya mengeras. "Udahlah! Apaan sih lo?!" serunya sambil menghentakkan tangan ke meja pelan, menarik perhatian beberapa murid di sekitarnya. Ia tidak peduli. "Yang penting sekarang lo harus bantuin gue seperti janji lo! Titik!"
Raksha menghela napas. Janji. Iya, dia pernah berjanji akan membalas apa yang sudah Melva lakukan di masa lalu, apapun. Dan sialnya, Melva menagih janji itu sekarang, untuk hal ini. Tapi, Raksha mulai bertanya-tanya ... apa semua janji memang harus ditepati sekalipun itu tentang menyakiti orang lain?
πππ
Sore itu, entah mengapa ... Raksha merasa bahwa Nara akan pergi ke tempat itu—taman di pinggir sungai. Kenapa ia bisa tahu tentang tempat itu? Ya, ada satu hal yang belum ia ceritakan. Semua foto-foto Nara dan Zevan yang Melva dapat, itu semua Raksha yang mengambilnya. Ia tahu. Ia juga menyesali hal itu.
Langit sore mulai mewarnai kota dengan semburat oranye keemasan. Angin sore membawa aroma rumput basah yang samar, dan dedaunan di sepanjang trotoar berdesir pelan. Sesampainya di taman, Raksha mendesah pelan dan memilih duduk di salah satu bangku besi yang sudah sedikit berkarat dimakan usia.
Senja di sana begitu indah. Langit perlahan berubah warna—dari jingga terang menjadi merah lembut, lalu ungu yang sendu. Pantulan cahaya itu mengenai permukaan air sungai, menciptakan bias yang hampir seperti mimpi.
Raksha terdiam sejenak. Ia mengerti sekarang, kenapa Nara suka ke tempat ini. Di sini, semuanya terasa lebih jujur. Tidak ada suara gaduh, tidak ada keramaian yang menuntutmu untuk terus tampil baik-baik saja. Hanya ada angin, cahaya, dan ruang yang cukup untuk ... merenung.
Raksha menoleh ke kanan dan kiri. Ia menajamkan pandangannya, berharap sosok yang ia kenal muncul dari balik pepohonan atau jalan setapak yang mengarah ke taman. Tapi tidak ada. Hanya sepasang anak kecil yang bermain layangan dan seorang ibu tua yang duduk di bangku seberang, memberi makan burung.
Tidak ada Nara. Atau belum, mungkin.
Raksha menghela napas. Di satu sisi, ia merasa lega. Lega karena itu berarti ia tidak perlu menjalankan rencana konyol Melva untuk berpura-pura mendekati Nara—sebuah ide busuk yang sejak awal terasa salah. Tapi di sisi lain … ada perasaan kecewa yang tak bisa ia jelaskan. Ia menunduk, menatap ujung sepatunya yang berdebu.
Kenapa gue malah berharap dia datang?
Raksha tidak tahu. Mungkin karena bagian dari dirinya ingin menebus kesalahan. Atau mungkin … entahlah.
Angin sore berembus pelan, seakan tahu bahwa Raksha mulai bosan hanya duduk dan berpikir. Ia menurunkan tasnya, mengeluarkan gitar, lalu mulai memainkannya. Jemarinya menyentuh senar pelan, mengalun dalam melodi sederhana yang ... entah mengapa tertuju ke satu nama, Nara.
Nadanya sempat ragu, tapi lama-lama mengalir lebih jujur. Ia menutup mata sejenak, membiarkan suara gitar dan angin membawa pikirannya pergi—mungkin ke masa lalu, mungkin ke tempat di mana semuanya belum seberantakan ini.
Beberapa saat kemudian, di kejauhan, langkah kaki pelan menapaki kerikil taman.
Raksha menoleh, dan benar saja, itu Nara. Ia cepat-cepat memalingkan wajahnya lagi. Gadis itu duduk cukup jauh dari tempatnya.
Raksha menarik napas panjang. Lalu mengatur posisi duduknya, berusaha setenang mungkin. Ia kembali memetik gitarnya, kali ini lebih halus, seolah-olah ia sedang memainkan lagu untuk dirinya sendiri—bukan untuk siapa pun yang kebetulan datang sore ini. Tapi nyatanya, seluruh fokusnya tertuju pada sosok di ujung sana.
Beberapa menit berlalu dalam diam. Hanya suara aliran sungai, dedaunan yang digesek angin, dan sesekali petikan gitar yang masih terngiang di kepala Raksha. Ia duduk tenang di ujung bangku, menatap kosong ke arah senja di ujung sana, meski pikirannya sama sekali tidak tenang.
Pelan-pelan, tanpa sadar, Raksha kembali menoleh ke arah Nara.
Dan saat itu juga … Nara menengok.
Tatapan mereka bertemu.
Raksha nyaris menahan napas. Matanya melebar sepersekian detik, tapi ia cepat-cepat menahan ekspresinya agar tak terlihat terlalu terkejut. Ia berusaha bersikap santai, meski jantungnya berdetak begitu keras hingga terasa sampai ke tenggorokan.
Dengan gerakan pelan, ia mengangguk kecil ke arah Nara. Sebuah sapaan sederhana yang nyatanya tidak sesederhana itu.
Nara menatapnya beberapa detik—lama, tapi tidak dingin melainkan terkejut. Lalu, setelah sadar, ia membalas anggukan kecil itu. Sekilas. Ringan.
Tapi cukup untuk membuat Raksha menghela napas lega diam-diam.
Mereka kembali diam. Tapi kini keheningan itu tak lagi terasa asing. Ada sesuatu yang lebih hangat, meski belum bisa didefinisikan.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past