Sepulang sekolah, Sheyna dan Ardya sudah berencana menjenguk Nara di rumah sakit. Meski Nara sempat bilang bahwa malam ini ia akan pulang, dua sahabat itu tetap bersikeras datang. Ada sesuatu yang menggantung di hati mereka, semacam kekhawatiran yang tak bisa ditenangkan hanya dengan kata-kata melalui chat.
“Van, mau ikut nggak?” tanya Sheyna kepada Zevan di belakangnya.
“Kemana?” tanya Zevan.
“Ya ke rumah sakit lah, lihat Nara. Pake nanya lagi,” jawab Sheyna.
Zevan terdiam sejenak. Ia ingin sekali melihat Nara, tetapi ia sudah menerima permintaan konyol Melva agar menjauhi Nara. Lagi-lagi, ia merasa bahwa ia sudah mengambil keputusan yang salah. Namun, ini semua juga demi keselamatan Nara.
“Woy!” seru Ardya ketika mendapati Zevan malah melamun dan bukannya menjawab ajakan mereka.
Zevan tersentak, “Hah? Emm, nggak deh. Gue ada janji. Duluan ya,” kata Zevan lalu pergi begitu saja meninggalkan Sheyna dan Ardya yang masih kebingungan dengan perubahan sikap Zevan.
"Perasaan gue aja apa gimana sih? Kemaren aja dia bilang kalo dia suka sama Nara dan kelihatan peduli banget sama Nara. Sekarang, kenapa jadi kayak menghindari gini sih?" cibir Sheyna mengerutkan dahinya menatapi kepergian Zevan.
Sheyna dan Ardya lalu saling berpandangan ketika Zevan sudah tidak terlihat. Namun, akhirnya mereka memilih untuk segera pergi ke rumah sakit sebelum terlalu sore.
Langit sudah mulai menguning ketika mereka tiba di rumah sakit. Jam menunjukkan pukul lima lewat tujuh menit saat pintu kamar rawat Nara diketuk perlahan. Begitu dibuka, hanya ada Nara di dalam.
“Sendiri aja, Ra?” tanya Ardya sambil melongok ke dalam.
“Iya, barusan Ibu keluar buat nebus obat,” jawab Nara, matanya sempat melirik ke arah pintu, seolah masih berharap akan ada seseorang lagi yang menyusul di belakang mereka.
“Oh gitu …” gumam Ardya sambil masuk.
“Lo beneran pulang abis ini?” tanya Sheyna sambil melepas jaket dan duduk di sisi tempat tidur.
Nara mengangguk. “Iya. Gue udah enakan kok. Cuma tinggal nunggu kaki baikan aja. Bisa di rumah lah. Nggak tahan juga sama baunya rumah sakit, sumpah. Mending istirahat di rumah.”
Sheyna tertawa kecil. “Dasar, belum seminggu udah kabur aja.”
Ardya lalu bangkit. “Eh, gue mau beli minum ke bawah. Lo berdua mau nitip nggak?” tanyanya melihat ke arah Nara dan Sheyna bergantian.
“Boleh deh, gue juga mau. Lo mau beli minum apa emang?” tanya Sheyna.
“Gue mau beli es, cuma belum tahu apa. Ntar mau lihat dulu. Udah ... buruan lo mau apa??”
“Thai tea aja deh biasa,” jawab Sheyna, “Lo mau juga nggak, Ra?” tanyanya beralih menatap Nara.
Nara mengangguk, “Boleh deh, sama.”
“Oke.”
Sheyna menunggu beberapa detik, memastikan Ardya sudah cukup jauh sebelum akhirnya mendekat ke tempat tidur Nara. Tatapannya serius, penuh rasa ingin tahu yang tak tertahankan.
“Ra, jadi gimana?”
“Gimana apanya?” Nara balik bertanya, bingung.
“Yaa … lo sama Zevan.”
Nara menarik napas dalam, menatap langit-langit kamar, seolah berharap jawabannya ada di sana. Diamnya membuat Sheyna kembali memanggil, “Ra ...”
“Ya nggak gimana-gimana, Na. Kita emang nggak ada apa-apa.”
Sheyna menatap Nara dengan kecewa. Ia bisa merasakannya, bahwa ada sesuatu yang sedang ditahan oleh sahabatnya. Sesuatu yang seharusnya bisa ia bagi.
Melihat ekspresi Sheyna, Nara merasa bersalah. Ia tahu, ia pernah berjanji untuk belajar terbuka. “Na … sorry. Gue nggak bermaksud nutupin apa-apa. Gue cuma …”
“Ra, gue udah nggak suka sama Zevan. Serius. Setelah dia jelasin semuanya hari itu, perasaan gue kayak ... hilang aja. Mungkin dari awal gue nggak bener-bener suka. Jadi lo nggak perlu khawatir.”
Nara terdiam sejenak. “Gue sebenernya bingung caranya jelasin hubungan kita, Na. Gue juga ... bingung sama hubungan kita. Gue ... dulu suka sama ... dia,” ujar Nara pelan. Ia masih merasa aneh ketika menceritakan soal perasaannya kepada orang lain. “Waktu pertama kali gue lihat dia, gue nggak tahu kenapa gue merasa pengen deket sama dia saat itu juga. Ya ... mungkin karena dia ... itu ...”
“Dia apa, Ra?” tanya Sheyna dengan nada sedikit menggoda.
“Pokoknya itu deh, Na. Awalnya, gue kira ini cuma perasaan suka biasa aja karena ngelihat orang yang ... di atas rata-rata dari segi fisik dan penampilan.” Entah kenapa, rasanya sangat sulit bagi Nara untuk sekadar mengatakan bahwa Zevan itu tampan. “Tapi, seiring berjalannya waktu, gue ngerasa perasaan itu semakin menjadi, Na. Perasaan suka ini ... beda. Ternyata ... bukan karena tertarik sama fisiknya, mungkin iya awalnya, tapi semakin kesini ... lebih ke perasaan tertarik karena emang kayak ada tali yang nyeret gue untuk terus ngelihat dia.”
Sheyna mengangguk-anggukkan kepalanya setelah mendengar cerita Nara. “Paham-paham ...”
Tiba-tiba seseorang masuk, Mala. “Assalamualaikum. Ehh, ada Sheyna. Sendirian aja?” tanyanya.
“Waalaikumsalam. Eh, nggak, Tante. Sama Ardya,” jawab Sheyna setelah mencium tangan Mala.
“Lha mana Ardya-nya? Kok nggak ada?”
“Lagi beli minum, Tante.”
“Oh gitu ...”
Mala kemudian terlihat memasukkan sedikit barang-barang Nara ke dalam tas. Sepertinya, Nara memang akan pulang setelah ini.
“Eh iya, kata Nara, orang tua kamu juga kecelakaan kemaren, Na?” tanya Mala ketika teringat akan hal itu.
“Iya, Tante. Tapi sekarang udah nggak papa kok,” jawab Sheyna.
“Syukur deh kalo gitu. Kenapa ya banyak banget kecelakaan akhir-akhir ini? HP tante juga isinya video orang kecelakaan banyak banget,” keluh Mala.
Tok tok tok ...
“Assalamualaikum,” ujar Ardya setelah membuka pintu dan masuk.
“Waalaikumsalam. Eh iya ada Ardya juga.”
Melihat ada Mala, Ardya buru-buru mencium tangan Mala lalu berkata, “Iya, Tante. Habis beli minum nih. Tapi cuma tiga ... gimana ya? Tante mau Ardya beliin?” ujar Ardya karena merasa tidak enak hanya membawa tiga minuman. Ia lupa kalau akan ada Mala juga nantinya.
“Ehhh nggak usah, Tante nggak minum es. Lagian juga bawa minum sendiri kok,” jawab Mala. “Baru sadar ternyata kamu makin tinggi ya? Kemaren pas main kok nggak kelihatan ya? Apa karena malem? Maklum, mata orang tua,” sambung Mala lalu tertawa dan diikuti oleh Ardya.
“Iya dong. Makin ganteng juga kan?” ujar Ardya dengan penuh percaya diri.
Sheyna yang mendengarnya mendelik karena geli dengan tingkah saudaranya yang terlalu percaya diri.
“Kalo itu mah, nggak usah ditanyain lagi. Iya kan, Ra?” Mala beralih melempar pertanyaan itu kepada Nara tanpa mengharapkan jawaban.
Nara hanya tersenyum mendengarnya.
“Oh iya, Ra,” ujar Sheyna mengingat sesuatu, “Kemarin tuh, pas lo jatuh, dompet sama HP lo jatuh juga. Ada anak sekolah kita yang nemuin dan nganterin ke sini. Dia yang nelpon gue juga.”
Nara menaikkan alis. “Siapa, Na?”
“Namanya Raksha. Tadi gue sempet ketemu dia di sekolah,” jawab Sheyna.
“Raksha?” tanya Nara memastikan. Ia tidak merasa familiar dengan nama itu. Pasti bukan seseorang yang ia kenal.
Sheyna mengangguk.
Setelah itu mereka meninggalkan rumah sakit bersama-sama. Mereka berpisah di parkiran.
Sepanjang perjalanan, Nara menatap ke arah luar melalui jendela taksi online. Ada sedikit perasaan kecewa yang sejak tadi ia sembunyikan. Ia sungguh berharap bahwa Zevan ikut mengunjunginya bersama Sheyna dan Ardya tadi. Namun, mungkin saja Zevan memiliki urusan lain.
Sekarang, ia sedang menimbang-nimbang apa yang selanjutkan ia lakukan dengan Zevan. Sheyna sudah mengatakan bahwa ia tidak menyukai Zevan lagi. Zevan juga mengatakan ia sudah tidak memiliki hubungan apapun dnegan Melva. Jadi ... haruskah ia mencoba membuka hatinya untuk Zevan sekarang? Haruskah ia memberi kesempatan untuk Zevan ... dan dirinya sendiri? Bolehkah sekarang ia mengikuti kata hatinya dan tidak memedulikan orang lain? Itu yang dimaksud Zevan bukan?
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past