Langit malam menggelayut kelam di atas kepala Zevan. Seperti kanvas kusam yang lupa diberi warna—tak ada bulan, tak ada bintang—hanya hitam yang membentang. Di balik helmnya, suara mesin motor jadi pengiring setia, berpadu dengan simfoni kota: klakson bersahut-sahutan, tawa bocah-bocah yang baru keluar dari minimarket, suara pedagang sate yang terus meneriakkan dagangannya sambil mengipas bara. Riuh. Penuh. Hidup.
Zevan melaju pelan di antara kemacetan kecil. Lampu-lampu kendaraan di depannya seperti percikan warna merah-putih yang memantul di aspal basah bekas gerimis. Udara malam terasa lengket, membawa aroma yang kacau tapi khas: gorengan panas, mie rebus, kopi sachet. Semua bercampur, menyelinap masuk lewat celah helmnya yang sedikit terbuka.
Di kiri-kanan, toko-toko masih buka. Musik dangdut dari speaker bluetooth bergema, diselingi suara penyiar radio yang tertawa sendiri. Zevan sempat melirik sebuah warkop. Anak-anak muda duduk melingkar di sana, tertawa sambil sibuk dengan ponsel masing-masing.
Zevan menarik napas panjang. Merasakan kehangatan malam yang sibuk. Tidak sepi, tidak sunyi. Malam masih punya denyut. Kota belum menyerah pada tidur. Dan di tengah keramaian itu, Zevan merasa ... untuk sesaat ... ia bukan satu-satunya yang sedang mencari arah.
Sedari tadi ... sebenarnya pikirannya masih tertuju kepada Nara. Ia sangat lega mengetahui bahwa Nara tidak mengalami luka yang serius. Ia juga sangat lega karena berhasil memperbaiki hubungan gadis itu dan Sheyna. Sheyna terlihat sudah benar-benar memahami bagaimana hubungan mereka berdua. Ia hanya berharap ... Sheyna bisa meyakinkan Nara untuk membuka hatinya, karena ia masih yakin dengan perasaan Nara. Ia masih merasakannya.
Tiba-tiba—
SREEEET!
Sebuah mobil hitam menyelip dari kiri dan berhenti mendadak di depan Zevan. Ia terkejut, mengerem keras. Motornya sempat oleng sedikit.
“Gila!” gumamnya geram, membuka kaca helm.
Belum sempat memaki, pintu belakang mobil terbuka. Seseorang melangkah keluar dengan santai, seolah-olah baru turun dari mobil pribadi di depan rumah sendiri.
Melva.
Benar. Zevan melupakan satu hal. Melva. Matanya menyipit lalu melepaskan helmnya dengan kasar dan turun dari motor.
“Pasti ulah lo kan?!”
Melva mengangkat alis. “Apaan sih?” jawabnya dengan suara setengah bingung, setengah mengejek.
“Lo yang kirim foto-foto itu ke Sheyna, kan?! Ngapain, Mel?!” Zevan maju selangkah.
“Punya buktinya?” Melva menyilangkan tangan, dagunya sedikit terangkat. Senyumnya nyaris menyebalkan. “Denger ya, Van. Semua yang kejadian sama Nara—yang udah terjadi, atau yang bakal kejadian—itu karena lo. Bukan gue.”
Zevan terdiam sesaat. Napasnya memburu.
“Jangan-jangan ... kecelakaan Nara juga karena lo?!” suaranya nyaris bergetar. Ngeri. Marah.
Melva hanya tersenyum pelan. “Sekali lagi,” katanya lembut tapi mengancam, “lo punya bukti?”
“Lo bener-bener keterlaluan, Mel. Gue nggak nyangka lo bisa segila ini.”
“Gue gini gara-gara lo ya!”
“Oke, fine. Gue minta maaf, Mel! Tapi gue nggak da maksud sama sekali buat nyakitin lo waktu itu. Jadi, please stop ganggu hidup gue dan Nara.”
“Maaf? Nggak segampang itu, Van. Lo pikir dengan maaf doang bisa ngilangin rasa sakit gue? Nggak!” Tubuh Melva bergetar hebat karena menahan amarahnya. Ia menatap Zevan dengan penuh kebencian.
Zevan menatapnya tajam. Ia bisa lihat—bukan hanya luka di sana, tapi juga dendam. Gelap. Dalam.
“Gue udah capek berkali-kali ngingetin lo ya, Van. Sekarang kesempatan terakhir lo untuk mutusin. Lo mau balikan sama gue, atau lo mau lihat seberapa jauh gue bisa buat orang menderita. Gue nggak main-main. Gue juga nggak peduli kalo harus ngotorin tangan gue.”
Zevan kehabisan kata-kata.
Dunia seperti berhenti berputar. Lampu-lampu mobil menjadi bayangan yang tak berarti. Ia memikirkan Nara. Wajahnya. Senyumnya. Caranya tertawa canggung. Dan betapa ia tak sanggup kalau gadis itu benar-benar terluka lagi.
Sudah sangat jelas bahwa ia sangat tidak sudi untuk mengikuti permintaan Melva. Apalagi, ia baru, baru saja merasa bahwa hubungannya dengan Nara bisa berhasil karena ia sudah berhasil menjelaskan semuanya kepada Sheyna. Ia merasa bahwa sedikit lagi, ia bisa meluluhkan hati Nara. Jika ia menuruti permintaan Sheyna, entah apa yang akan Nara pikirkan tentangnya. Yang jelas, Nara pasti akan sangat membencinya. Sangat.
Namun, ia juga tidak bisa membiarkan Melva melakukan sesuatu yang lebih berbahaya untuk keselamatan Nara. Sebenarnya, ia sempat berpikir untuk melaporkan hal ini kepada polisi, tetapi mengingat bahwa dirinya tidak punya cukup bukti, ditambah juga dengan status orang tua Melva yang cukup dihormati, ia merasa semua itu tidak akan berhasil.
“Apa gue ikutin mau dia aja dulu? Keselamatan Nara jauh lebih penting untuk saat ini. Iya ...” batin Zevan.
“Oke ... tapi gue minta lo jangan ganggu Nara lagi. Kalo sampe dia kenapa-kenapa karena lo, hubungan yang gak jelas ini selesai saat itu juga,” ujar Zevan dengan nada tegas dan dingin.
Melva tersenyum puas saat mendapatkan apa yang ia inginkan. “Oke, dan lo harus jauhin dia juga mulai detik ini. Bye,” jawabnya lalu melenggang pergi.
Zevan hanya bisa mengepal tangannya mendengar itu. Ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini.
“Zevan ... Zevan ... gampang banget dibodohin,” gumamnya ketika sudah berada di dalam mobil.
Mobil melaju. Menghilang. Dan Zevan berdiri di pinggir jalan, tak tahu harus merasa apa. Marah? Menyesal? Atau takut?
Zevan mengacak rambutnya kasar. Setelah ini, ia tahu bahwa hubungannya dengan Nara akan kacau. Nara pasti akan sangat membencinya. Ia mungkin akan menganggapnya seseorang yang brengsek karena selalu memberinya harapan palsu. Padahal ...
”Arrgghhh! Apa gue salah ya? Tapi ...” Seketika Zevan sangat menyesali keputusannya beberapa menit yang lalu. Ia sungguh tidak ingin Nara membencinya.
🍁🍁🍁
Di sebuah apartemen yang nyaman dan wangi parfum mahal, Melva menuang air putih ke dalam gelas, lalu duduk di sofa sambil tertawa kecil. Matanya bersinar penuh kemenangan.
“Liat mukanya tadi, kayak orang kejebak di lorong buntu,” katanya sambil duduk di sofa—di samping seorang laki-laki—dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Tubuhnya miring sedikit, bersandar nyaman sambil memeluk bantal kecil di pangkuannya dengan tangan kiri dan meneguk segelas air putih di tangan kanannya.
Laki-laki dengan hoodie hitam dan rambut acak-acakan itu sedang menatap layar ponselnya tanpa ekspresi. “Lo bilang apa ke dia?” tanyanya malas, tanpa menoleh.
“Gue ancam dia. Bilang kalo gue nggak peduli harus ngotorin tangan buat nyakitin si Nara. Dan si bodoh itu langsung nurut.”
Tawa Melva menggema lagi.
Laki-laki itu mengangkat sebelah alisnya. “Lo yakin lo nggak terlalu lebay? Cewek itu nggak salah apa-apa.”
“Nggak lah!” jawab Melva cepat. “Gue mau dia juga disakitin. Biar adil.”
"Tapi dia bahkan nggak berniat buat nyakitin lo kan?"
Melva mendendang pinggul kiri laki-laki itu dengan kaki kanannya. “Lo ngapain belain dia juga sih?! Heran deh. Ya karena dia juga lah Zevan manfaatin gue dulu. Lagian rencana gue adalah ngebuat si Nara itu cemburu sama gue dan Zevan. Terus dia bakalan benci banget tuh sama Zevan ... nah, yaudah, sampe kapan pun mereka nggak bisa jadian. Enak aja.”
Orang itu hanya mengangguk pelan dengan ekspresi meremehkan.
“Lo juga,” Melva kembali menendang pinggul kiri orang itu. “Lo harus mulai deketin si Nara itu. Gimana pun caranya lo harus bikin dia suka sama lo. Setelah itu, lo putusin deh. Dan lengkap sudah bales dendam gue,” kata Melva sembari menatap langit-langit dengan ekspresi puas dengan rencananya yang ia rasa sangat hebat.
“Harus sampe segitunya? Bukannya dengan lihat lo balikan sama Zevan udah lebih dari cukup buat nyakitin dia?” tanya orang itu
“Nggak lah. Gue mau dia juga ngerasain hal yang sama kayak gue. Dan lo ...” Melva menatap tajam ke arah orang itu, “Awas kalo lo sampe baper dan beneran suka sama dia, dan ngerusak rencana gue. Lo masih hutang budi sama gue ya Raksha Dylan Sadewa,” sambungnya dengan penuh penekanan.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past