Loading...
Logo TinLit
Read Story - Intertwined Hearts
MENU
About Us  

Cahaya putih yang samar menusuk pelan lewat kelopak mata Nara yang mulai terbuka. Pandangannya masih buram, seolah dunia di sekitarnya terendam kabut. Kelopak mata Nara berkedip pelan.

Ada suara samar ... seperti seseorang memanggil namanya. Namun, telinganya terasa penuh, seperti habis menyelam terlalu lama. Suara itu terdengar seperti datang dari jauh—pelan, tapi dipenuhi rasa cemas.

"Ra ..."

Suara itu lagi. Lebih jelas. Lembut, tapi terdengar gemetar. Mata Nara perlahan fokus. Lampu di langit-langit, lalu siluet seseorang duduk di sisi ranjangnya. Hidungnya mencium bau antiseptik yang menyengat. Lehernya kaku saat mencoba menoleh, tapi ia tetap mencoba. Kelopak matanya masih berat.

"Shey ... na?" gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.

Seseorang langsung menggenggam tangannya. Hangat. Erat.

"Iya, ini gue ... gue di sini, Ra," jawab Sheyna, suaranya tercekat.

Tubuh Nara terasa berat. Setiap bagian tubuhnya seperti dilapisi timah. Tapi genggaman tangan itu membuatnya sadar—ia masih hidup.

Butuh beberapa detik bagi Nara untuk bisa membuka mata sepenuhnya. Dunia masih terasa lambat, tapi kini suaranya sudah lebih jelas. Detak mesin infus dan suara Sheyna yang sejak tadi tak henti bicara pelan di sampingnya sudah lebih jelas terdengar di telinganya.

"Ra ... gimana, Ra? Masih ada yang sakit? Mau minum nggak?" tanya Sheyna masih dengan nada bicara yang cemas

Nara menoleh pelan. Tatapannya mulai jernih, meski wajahnya masih pucat. Ia sontak teringat pertengkarannya dengan Sheyna. Bibirnya bergerak, kali ini lebih mantap dari sebelumnya.

"Na ... maafin gue, Na. Gue—"

"Ssssttt ... nggak, Ra. Justru gue yang minta maaf karena gue nggak percaya sama lo," potong Sheyna menggenggam erat tangan kiri Nara dengan kedua tangannya.

Nara menatap Sheyna dengan ekspresi tak mengerti.

"Zevan udah cerita semuanya, Ra." Sheyna memberi jeda sejenak, "Maafin gue ya, Ra, kalau gue nggak bisa jadi temen yang bisa dengerin semua keluh kesah lo."

Nara menggeleng.

"Gue baru sadar selama ini cuma lo yang jadi pendengar buat gue, tapi gue sendiri nggak pernah jadi pendengar dan nggak pernah nanyain perasaan lo. Maafin gue, Ra."

"Nggak gitu, Na ... Gue cuma ..."

"Udah-udah. Gue ngerti. Tapi ... setelah ini, gue berharap lo mau ceritain keluh kesah lo ke gue, Ra. Gue bukannya maksa, tapi di sisi lain gue juga pengen banget jadi temen yang ... ya lo tahu lah. Intinya, lo bisa ceritain apapun ke gue tanpa perlu ragu ya, Ra. Apapun itu," kata Sheyna dengan tatapan tulus.

Setetes air mata yang sedari tadi Nara tahan akhirnya keluar juga. Ia sangat bahagia karena sudah berbaikan dengan Sheyna, tapi di sisi lain ia juga merasa bersalah karena tanpa ia sadari ia juga menyakiti perasaan Sheyna selama ini dengan tidak terbuka kepadanya. Ia merasa dirinya membuat Sheyna terlihat seperti teman yang tidak bisa dipercaya untuk menampung semua keluh kesahnya.

Namun, sungguh, Nara tidak pernah bermaksud demikian. Ia tidak pernah menceritakan masalahnya karena ia selalu berpikir bahwa ia akan terlihat berlebihan jika menceritakan apa masalahnya. Ia selalu merasa bahwa apa yang di alaminya adalah hal memalukan yang tidak perlu ia ceritakan kepada orang lain.

"Na. Selama ini gue pikir dengan nggak banyak ngeluh ke lo adalah cara supaya lo tetep mau jadi temen gue. Gue takut kalo dengan ceritain semua masalah gue dan ikut ngebebanin pikiran lo, bakalan ngebuat lo capek temenan sama gue, dan akhirnya ... mungkin lo nggak akan mau temenan sama gue lagi. Tapi ... sekarang gue sadar. Pertemanan nggak cuma tentang memposisikan diri gue untuk terlihat baik supaya lo selalu nyaman sama gue. Tapi pertemanan juga soal memposisikan gue untuk senyaman mungkin sama lo. Juga soal kepercayaan yang ngebuat kita merasa berharga dan penting di kehidupan satu sama lain. Dan gue sepertinya ... nggak, gue memang gagal di bagian itu, tapi setidaknya gue belajar dari kegagalan itu. Dan gue berharap lo ngasih kesempatan kedua buat gue nebus kesalahan itu, Na," ujar Nara yang membuat Sheyna berkaca-kaca.

Sheyna menarik napas panjang, menunduk sebentar sebelum akhirnya menatap Nara lagi. Matanya masih berkaca-kaca, tapi senyumnya kecil mulai muncul.

"Gue nggak pernah minta lo jadi orang yang selalu baik-baik aja di depan gue, Ra. Gue temenan sama lo, bukan semata-mata cuma karena lo selalu mau dengerin curhatan gue. Gue temenan sama lo ya ... karena gue nyaman aja. Sejak pertama kali gue ngobrol sama lo, gue ngerasa ... bisa cerita apapun ke lo." 

Sheyna terdiam sejenak sambil tertunduk menyadari sesuatu. "Tapi ... gue kayaknya jadi terlalu fokus sama cerita gue sendiri ya, Ra," ujarnya kembali menatap Nara. "Gue sampe lupa kalo lo pasti juga punya masalah sendiri. Dan mungkin ... ketika lo coba buat cerita, gue selalu cerita lebih dulu soal masalah gue. Gue juga minta maaf soal itu."

Nara menggeleng pelan sembari menatap Sheyna.

Setelah itu, mereka berdua berpelukan. Menyadari bahwa selama ini, yang mereka butuhkan bukanlah menjadi teman yang sempurna, tapi menjadi teman yang saling mengerti. Tidak selalu kuat, tidak selalu ada dalam bentuk yang ideal—tapi nyata, jujur, dan cukup.

Dalam pelukan itu, seolah semua kata yang belum sempat diucap akhirnya menemukan tempatnya. Sunyi yang nyaman menyelimuti mereka, bukan karena tak ada yang perlu dibicarakan, tapi karena mereka tahu ... sekarang mereka benar-benar saling mendengar.

Keduanya menarik napas hampir bersamaan, saling melepaskan pelukan itu, lalu tersenyum kecil. 

Tak lama setelah itu, pintu kamar terbuka pelan. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa, diikuti oleh seorang pemuda di belakangnya. Itu adalah Mala—wajahnya panik—dan disusul Zevan yang berjalan tenang di belakang.

"Oh iya, gue lupa bilang. Zevan tadi jemput ibu lo," bisik Sheyna pelan ke arah Nara.

Nara baru hendak merespons, tapi suara ibunya langsung menggelegar.

"Astaghfirullah, Ra! Kok bisa jatuh sih? Kamu ngantuk ya? Atau jangan-jangan kepeleset? Nggak parah kan? Mau di-rontgen dulu aja nggak, takutnya ada yang luka dalem," ujar Mala cemas sambil memeriksa lengan dan bahu Nara dengan teliti.

Nara tersenyum menenangkan. "Aduh, Bu, tenang. Aku beneran nggak apa-apa, cuma lecet dikit kok," jawabnya sambil menepuk tangan Mala pelan.

"Tetep aja, Ra. Yang kelihatan sih lecetnya doang, tapi siapa tahu dalemnya kenapa-kenapa. Ibu bilangin bapak kamu deh nanti," sahut Mala, nada khawatir belum surut.

"Beneran nggak usah, Bu. Aku udah pusing dari tadi nyium bau rumah sakit. Nggak tahan kalau harus tambah lama di sini," elak Nara, mencoba menolak dengan halus.

"Ibu tanya dokternya dulu deh. Kamu diem aja," balas Mala tegas, lalu menoleh ke Sheyna yang masih berdiri di sisi ranjang. "Na, Tante titip Nara sebentar ya. Kamu nggak buru-buru pulang kan?"

Baru saja Sheyna hendak mengangguk dan bilang tak masalah, pandangannya bertemu dengan Zevan yang berdiri di belakang. Cowok itu melotot halus, ekspresinya seperti memberi isyarat agar Sheyna berbohong. Aneh, tapi Sheyna langsung mengerti: Zevan ingin menggantikan posisinya menemani Nara.

"E-eh, sebenernya saya harus pulang, Tante. Soalnya ... ada saudara dari luar kota yang mau dateng, hehe," jawab Sheyna agak gugup, tapi cukup meyakinkan.

"Oh, gitu ya?" Mal mengangguk. "Kamu pulangnya sama siapa? Sama ..." Ia melirik Zevan, tampak berusaha mengingat namanya.

"Zevan, Tante," ujar Zevan sambil tersenyum kecil.

"Nah iya, Zevan. Sama Zevan?"

"Oh, nggak Tante, saya dijemput sama ... Ardya," jawab Sheyna cepat. Padahal sebenarnya dia belum tahu akan pulang naik apa—tapi urusan itu bisa dipikir nanti.

"Tante, Nara biar saya aja yang jagain. Nggak lama kan?" sela Zevan santai.

Nara sedikit terbelalak. Selama ini, satu-satunya teman cowok yang dikenal ibunya ya cuma Ardya. Ia khawatir ibunya mulai berpikiran aneh soal hubungannya dengan Zevan.

"Oh, yaudah deh. Na, hati-hati ya. Udah malam juga," ucap Mala.

"Iya, makasih, Tante. Kalau gitu saya pamit dulu ya. Ra, gue pulang duluan, ya," ucap Sheyna sambil melirik Nara sekilas.

Nara hanya mengangguk pelan, masih bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi.

"Yaudah. Zevan, Tante tinggal sebentar dulu ya," kata Mala santai lalu menatap Nara sejenak dengan tatapan yang tidak dapat Nara mengerti.

"Ra, lo beneran nggak papa?" tanya Zevan setelah Mala keluar. Ia duduk di kursi yang ada di sebelah ranjang Nara.

"Nggak papa kok," jawab Nara singkat.

Zevan terdiam sejenak memikirkan apa yang ingin ia katakan. 

"Makasih, Van," ujar Nara memecah pikiran Zevan.

"Makasih buat apa?"

"Karena lo, gue sama Sheyna baikan."

Zevan mengangguk, "Gue cuma ceritain apa yang sebenernya terjadi aja," ujarnya.

Nara tersenyum tipis, sangat tipis.

Keheningan menyelimuti mereka berdua setelahnya. Baik Nara maupun Zevan sama-sama sedang bergelut dengan pikirannya masing-masing.

"Lo kalo mau pulang, nggak papa kok," cetus Nara akhirnya karena merasa tidak nyaman dengan situasi tersebut. Situasi dimana hanya ada dirinya dan Zevan di satu ruangan kecil ini. Situasi yang membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Situasi yang membuatnya harus berpikir keras tentang apa yang harus ia lakukan atau ia katakan. Situasi yang membuatnya semakin menyadari hal yang sangat ingin ia abaikan. Fakta bahwa ... perasaan itu ... masih bertengger di sana. Jauh di ujung rantingnya, tapi melekat seperti ada sesuatu yang mengikatnya erat-erat.

"Gue nunggu ibu lo dulu ya. Nggak enak soalnya kalo tiba-tiba gue pulang. Kalo lo nggak nyaman, gue tunggu di luar aja." Zevan bangkit dari duduknya dan berniat untuk keluar dari sana. Ia tidak ingin semakin membuat Nara merasa tidak nyaman. Meskipun, dalam hati ia ingin sekali memeluk gadis itu dan meminta maaf untuk semua yang terjadi, karenanya.

"Van," panggil Nara, "Bukan gitu ..." Suaranya bergetar, diseret rasa bersalah yang tiba-tiba menggerogoti dadanya.

Zevan menghentikan langkahnya, lalu berbalik pelan. Matanya menatap Nara—lembut tapi tegas. "Ra ... gue harap ... mulai sekarang, lo bisa sedikit, sedikit aja, lebih mikirin kebahagiaan lo sendiri sebelum lo mikirin kebahagiaan orang lain." Ia menarik napas, lalu mengembuskannya pelan. "Kadang ... nggak papa kok buat jadi egois sesekali. Itu hal yang wajar banget, buat ukuran manusia."

Zevan tersenyum kecil, tapi tatapannya dalam, seolah ingin memastikan setiap katanya benar-benar Nara pahami. "Gue juga berharap ... lo jangan pernah insecure sama diri lo sendiri ya, Ra. Lo punya banyak hal keren yang ... dengan atau tanpa lo sadari, lo punya itu. Intinya, gue pengen lo cinta sama diri lo sendiri, Ra." Zevan terdiam sejenak, memikirkan sesuatu. "Satu hal lagi, gue masih dan akan terus nunggu lo, Ra."

Air mata Nara yang sejak tadi menggantung akhirnya jatuh begitu saja, membasahi pipinya tanpa suara. Ia menggigit bibir, mencoba bicara, tapi tak satu pun kata berhasil keluar. Dadanya sesak—bukan karena sedih, tapi karena tersentuh oleh setiap kata-kata yang keluar dari mulut Zevan.

"Yaudah, gue di luar ya. Kalo butuh apa-apa panggil aja. Oh iya nanti gue langsung pulang kalo ibu lo dateng." Zevan tersenyum dan benar-benar keluar dari sana.

Zevan menyandarkan punggungnya ke daun pintu yang baru saja ia tutup. Matanya terpejam rapat, seolah mencoba membendung seluruh gejolak yang tak henti menyerbu dadanya. Ia menarik napas dalam-dalam—berusaha menenangkan diri, tapi dadanya justru terasa semakin sesak.

Tangannya mengepal di sisi tubuh. Dalam kepalanya, bayangan wajah Nara terus berputar. Tatapan matanya yang berkaca-kaca, bibirnya yang bergetar, dan suara lirihnya yang hampir tak terdengar. Zevan menahan napas sejenak. Ada bagian dalam dirinya yang begitu ingin kembali masuk, memeluk gadis itu, dan berkata, "Kasih gue kesempatan buat jadi seseorang yang benar-benar berarti buat lo, Ra. Kasih gue kesempatan supaya lo dan semua orang nggak perlu lagi mempertanyakan ketika gue peduli sama lo, Ra. Kasih gue kesempatan buat jadi alasan kebahagiaan lo, Ra."

Tapi ia tahu ... belum saatnya.

Zevan membuka matanya perlahan. Sorot matanya redup, menatap lantai koridor rumah sakit yang dingin dan sunyi. Hatinya berteriak, tapi bibirnya diam. Dan ... itu lebih menyakitkan dari apa pun.

Sementara itu, di balik pintu yang sama, Nara duduk di ranjangnya dengan tubuh sedikit membungkuk, wajah tertutup kedua telapak tangan. Air matanya mengalir tanpa suara. Tangisnya senyap, tapi beratnya menembus sampai ke tulang. Ia menatap kosong ke arah pintu yang kini tertutup rapat.

Zevan sudah pergi. Tapi kata-katanya masih menggema jelas di telinga Nara.

"Kadang ... nggak papa kok buat jadi egois sesekali."

"Gue pengen lo cinta sama diri lo sendiri, Ra."

"Gue masih dan akan terus nunggu lo, Ra."

Untuk pertama kalinya sejak lama, seseorang mengatakannya padanya dengan begitu tulus. Dan itu membuat Nara merasa ... hidup dan berarti.

Namun, justru karena itu ia menangis lebih kencang dalam diam. Di saat ia selalu meragukan dirinya sendiri, ternyata ada seseorang yang percaya padanya lebih dari dirinya sendiri. Dan itu ... menyentuh bagian terdalam yang selama ini ia jaga rapat-rapat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • juliartidewi

    Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.

    Comment on chapter 10 || A Threat from The Past
Similar Tags
Main Character
1091      677     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
Dalam Waktu Yang Lebih Panjang
351      262     22     
True Story
Bagi Maya hidup sebagai wanita normal sudah bukan lagi bagian dari dirinya Didiagnosa PostTraumatic Stress Disorder akibat pelecehan seksual yang ia alami membuatnya kehilangan jati diri sebagai wanita pada umumnya Namun pertemuannya dengan pasangan suami istri pemilik majalah kesenian membuatnya ingin kembali beraktivitas seperti sedia kala Kehidupannya sebagai penulis pun menjadi taruhan hidupn...
Maju Terus Pantang Kurus
918      584     2     
Romance
Kalau bukan untuk menyelamatkan nilai mata pelajaran olahraganya yang jeblok, Griss tidak akan mau menjadi Teman Makan Juna, anak guru olahraganya yang kurus dan tidak bisa makan sendirian. Dasar bayi! Padahal Juna satu tahun lebih tua dari Griss. Sejak saat itu, kehidupan sekolah Griss berubah. Cewek pemalu, tidak punya banyak teman, dan minderan itu tiba-tiba jadi incaran penggemar-penggemar...
HABLUR
673      344     6     
Romance
Keinginan Ruby sederhana. Sesederhana bisa belajar dengan tenang tanpa pikiran yang mendadak berbisik atau sekitar yang berisik agar tidak ada pelajaran yang remedial. Papanya tidak pernah menuntut itu, tetapi Ruby ingin menunjukkan kalau dirinya bisa fokus belajar walaupun masih bersedih karena kehilangan mama. Namun, di tengah usaha itu, Ruby malah harus berurusan dengan Rimba dan menjadi bu...
Penantian Panjang Gadis Gila
272      215     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Epic Battle
484      377     23     
Inspirational
Navya tak terima Garin mengkambing hitamkan sepupunya--Sean hingga dikeluarkan dari sekolah. Sebagai balasannya, dia sengaja memviralkan aksi bullying yang dilakukan pacar Garin--Nanda hingga gadis itu pun dikeluarkan. Permusuhan pun dimulai! Dan parahnya saat naik ke kelas 11, mereka satu kelas. Masing-masing bertekad untuk mengeliminasi satu sama lain. Kelas bukan lagi tempat belajar tapi be...
Imperfect Rotation
155      136     0     
Inspirational
Entah berapa kali Sheina merasa bahwa pilihannya menggeluti bidang fisika itu salah, dia selalu mencapai titik lelahnya. Padahal kata orang, saat kamu melakukan sesuatu yang kamu sukai, kamu enggak akan pernah merasa lelah akan hal itu. Tapi Sheina tidak, dia bilang 'aku suka fisika' hanya berkali-kali dia sering merasa lelah saat mengerjakan apapun yang berhubungan dengan hal itu. Berkali-ka...
Segitiga Sama Kaki
588      415     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Monokrom
93      79     1     
Science Fiction
Tergerogoti wabah yang mendekonstruksi tubuh menjadi serpihan tak terpulihkan, Ra hanya ingin menjalani kehidupan rapuh bersama keluarganya tanpa memikirkan masa depan. Namun, saat sosok misterius bertopeng burung muncul dan mengaku mampu menyembuhkan penyakitnya, dunia yang Ra kenal mendadak memudar. Tidak banyak yang Ra tahu tentang sosok di balik kedok berparuh panjang itu, tidak banyak ju...
FINDING THE SUN
472      206     15     
Action
Orang-orang memanggilku Affa. Aku cewek normal biasa. Seperti kebanyakan orang aku juga punya mimpi. Mimpiku pun juga biasa. Ingin menjadi seorang mahasiswi di universitas nomor satu di negeri ini. Biasa kan? Tapi kok banyak banget rintangannya. Tidak cukupkah dengan berhenti dua tahun hanya demi lolos seleksi ketat hingga menghabiskan banyak uang dan waktu? Justru saat akhirnya aku diterima di k...