Bau antiseptik yang menyengat menusuk hidung Sheyna ketika sampai di rumah sakit. Langkahnya tergesa-gesa menuju ruangan dimana Nara berada. Di belakangnya, ada Zevan yang juga sama paniknya dengannya.
Beberapa menit lalu, ketika Zevan hendak pulang dari rumahnya, Nara menelponnya. Tanpa pikir panjang, Sheyna langsung mengangkat telepon tersebut dan berniat meminta maaf atas kejadian siang tadi. Namun, ternyata bukan suara Nara yang menyapa di ujung sana. Melainkan suara seorang pria asing terdengar di seberang sana. Tenang, tapi cukup membuat jantung Sheyna berhenti berdetak.
"Halo, maaf, apa ini dengan keluarga atau kerabat pemilik HP ini?"
"I-iya, saya temannya Nara, pemilik ponsel ini. Kenapa HP ini bisa sama Anda ya?"
"Oh gitu ... ini gue mau ngabarin kalau yang punya HP ini kecelakaan tunggal, tapi udah dibawa ke RS Harapan."
"APA?! O-oke saya ke sana sekarang," ucap Sheyna yang langsung mematikan sambungan telepon itu dan berteriak memanggil Zevan, "Zevan!" teriak Sheyna sambil mendekati motor yang baru saja dinyalakan oleh pemuda itu.
Zevan menoleh cepat, keningnya berkerut melihat wajah Sheyna yang pucat dan panik.
"Nara kecelakaan! Buruan ke RS Harapan, Van!"
Mata Zevan langsung membulat. Tanpa bertanya lebih jauh, segera setelah Sheyna melompat naik ke boncengan dengan tangan gemetar, ia melesat dengan kecepatan tinggi membelah jalanan dengan perasaan tak karuan.
"Jangan gini, Ra, please," batin Zevan. Dadanya terasa sesak seperti dipukul dari dalam, membayangkan yang tidak-tidak tentang kondisi Nara.
Sesampainya di rumah sakit, Zevan dan Sheyna menanyakan informasi pasien kecelakaan tunggal ke resepsionis rumah sakit. Setelah mengetahui dimana ruangan Nara, mereka bergegas ke sana tanpa pikir panjang. Di bangku tunggu yang berada di depan ruang UGD tempat Nara dirawat, ada seorang pemuda dengan seragam sekolah yang duduk di sana.
Pemuda itu menengok kala menyadari bahwa ada seseorang yang datang. Ia kemudian berdiri dan berkata, "Temennya Nara?" tanya pemuda itu.
"Iya. Gimana kondisinya? Nggak parah kan? Nggak ada luka serius kan?" tanya Sheyna bertubi-tubi.
Bukannya menjawab, pemuda itu justru mengulurkan ponsel dan juga dompet yang tentu saja milik Nara kepada Sheyna. "Gue kurang tahu, dokternya belum bilang apa-apa karena emang belum keluar. Kelihatannya sih cuma luka ringan aja, tapi nggak tahu kalau ada luka dalam atau nggak," jawab pemuda itu dengan tenang.
Sheyna sedikit lega mendengar hal itu. Ia kemudian melangkah menuju pintu dan mengintip ruangan Nara dari sana.
Sementara Zevan yang entah mengapa tidak menyukai pemuda itu. Namun, ia merasa familiar dengan orang ini.
"Lo anak Nusa Bakti?" tanya Zevan.
"Lo bisa lihat sendiri," katanya sambil menyuruh Zevan melihat seragamnya.
Zevan membaca nama di badge pemuda ini.
Raksha Dylan Sadewa.
Tatapan mereka berdua lantas bertemu setelah Zevan membaca badge pemuda bernama Raksha ini dan Raksha pun menyadari bahwa Zevan sudah mengetahui namanya.
"Eh, ini emang belum boleh masuk ya?" tanya Sheyna kembali menghampiri mereka berdua setelah beberapa saat mengintip ruangan Nara.
Raksha menggeleng tipis setelah mengalihkan pandangannya ke arah Sheyna.
"Ya udah, biar kita yang nungguin Nara sekarang," ujar Zevan lalu memberi jeda sejenak sebelum berkata, "Makasih bantuannya."
Mendengar itu, Raksha menatap datar ke arah Zevan lalu ke arah pintu ruangan Nara. Ia menghela napas sebelum akhirnya mengangguk dan langsung pergi dari sana.
"Makasih banyak!" seru Sheyna karena Raksha sudah melenggang pergi. "Btw, namanya siapa deh? Lupa kan nggak nanyain. Tapi kok seragamnya kayak seragam sekolah kita ya?" lanjut Sheyna meminta pendapat Zevan.
Zevan mengiyakan dan langsung duduk di bangku itu sembari menunggu dokter keluar.
"Demi apa? Oh, berarti gampang lah nyarinya."
"Hah?"
Sheyna menoleh, menyadari ekspresi Zevan yang memberinya tatapan penuh dengan kecurigaan dan ketidakpercayaan dengan Sheyna yang masih bisa memikirkan hal 'itu' di saat kondisi Nara saja mereka belum tahu pasti.
"Nggak, Van. Ihh, lo mah curigaan. Maksud gue tuh gampang kalo misalnya nanti Nara nanyain siapa orang yang ngembaliin dompet sama HP dia ke RS dan kalo dia mau ngucapin makasih gitu ..."
Zevan tak menanggapi perkataan Sheyna lagi. Ia juga tidak berniat memberi tahu nama Raksha kepada Sheyna.
Alih-alih, ia justru berharap bahwa tidak ada luka serius yang dialami oleh Nara. Ia juga penasaran mengapa Nara bisa mengalami kecelakaan itu. Apa yang terjadi padanya saat itu? Seharusnya, tadi ia mengantar Nara pulang setelah mengetahui sendiri apa yang baru saja dialami oleh gadis itu. Tiba-tiba, Zeva merasa bahwa ini adalah salahnya.
"Van, kita perlu ngabarin ibunya Nara nggak sih?" tanya Sheyna membuyarkan kegelisahannya.
"Oh iya, gue sampe lupa. Gimana kalo kita kabarin beliau setelah tahu kondisi Nara aja? Supaya kita bisa lebih prepare ngomongnya gimana. Soalnya beliau pasti shock banget kalo tiba-tiba denger kabar Nara kecelakaan."
"Iya bener juga sih. Yaudah, kita tunggu aja dulu."
Beberapa menit kemudian, akhirnya seorang perawat dan dokter keluar dari ruangan Nara. Zevan dan Sheyna yang duduk sontak berdiri dan menunggu apa yang akan dikatakan oleh dokter itu.
"Dengan kerabat pasien bernama Nara?" tanya seorang dokter yang baru saja keluar dari ruangan Nara, wajahnya tampak lelah tapi tenang.
"Iya, Dok! Saya temannya. Gimana keadaan Nara? Dia baik-baik aja kan? Nggak ada yang parah, kan?" Sheyna langsung menyerbu dengan nada penuh cemas, suaranya nyaris bergetar.
Dokter itu mengangguk pelan sambil mengangkat tangan, memberi isyarat agar Sheyna menenangkan diri. "Baik, tenang dulu ya. Alhamdulillah, pasien tidak mengalami luka serius. Hanya ada benturan ringan di kepala dan beberapa lecet. Kami sudah melakukan observasi awal dan semuanya dalam kondisi stabil."
Sheyna langsung mengatupkan mulutnya, menunduk dengan bahu yang gemetar lega. Zevan yang berdiri di sebelahnya menatap langit-langit sebentar, sebelum akhirnya mengembuskan napas panjang yang sedari tadi ia tahan.
"Syukurlah ..." gumam Sheyna pelan. Matanya mulai berkaca-kaca, bukan karena sedih—tapi karena rasa lega yang menyeruak begitu kuat setelah ketakutan yang luar biasa.
Dokter itu sempat memeriksa berkas di tangannya sebelum kembali menatap mereka.
"Dari hasil pemeriksaan, tidak ada tanda-tanda kerusakan organ atau patah tulang. Tapi kami menemukan gejala pusing hebat yang kemungkinan besar menjadi penyebab kecelakaan," jelasnya hati-hati.
Sheyna dan Zevan saling pandang.
"Pusing hebat?" ulang Zevan.
Dokter mengangguk. "Iya. Pasien sempat sadar sesaat di ambulans dan mengeluh kepalanya sangat berat sebelum kecelakaan terjadi. Itu menunjukkan ada kemungkinan ia kehilangan fokus karena kelelahan mental. Mungkin stres atau terlalu banyak pikiran. Tapi kami masih harus observasi lebih lanjut untuk memastikannya."
Sheyna terdiam. Rasanya seperti baru saja ditampar kenyataan.
Jangan bilang kalo ...
Seketika, suara-suara pertengkaran mereka siang tadi terngiang lagi di telinganya. Nada tinggi, kata-kata tajam, dan tatapan marah yang belum sempat dihapus oleh permintaan maaf. Dan sekarang, semua itu mungkin menjadi beban yang menumpuk di kepala Nara ... hingga membuatnya nyaris kehilangan nyawa.
"Apa terjadi sesuatu sebelum kejadian?" tanya dokter lagi.
Sheyna menunduk sejenak. "Kami ... sempat bertengkar tadi siang."
Zevan juga menunduk, menahan napas. Bahkan dokter tampak sedikit terdiam mendengar pengakuan itu.
"Kalau begitu, nanti setelah pasien sadar dan kondisinya membaik, mungkin akan lebih baik jika kalian berbaikan. Kadang, luka yang tidak terlihat jauh lebih berbahaya dari yang terlihat. Dan tolong jika bisa dihubungi orang tuanya ya."
Sheyna menunduk dalam-dalam. Kata-kata dokter itu membekas, lebih dalam dari yang ia harapkan.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past