Nara merebahkan dirinya di kasur, menatap langit-langit kamar dengan napas pelan. Hari pertama ini terasa begitu panjang. Pikirannya melayang, memutar ulang kejadian yang baru saja ia lalui. Terutama satu hal yang terus mengganggu pikirannya.
Zevan.
Nara pikir, setelah dua tahun tanpa komunikasi, tanpa kabar, bahkan tanpa pernah sekalipun mengintip akun sosial media Zevan, maka perasaannya sudah benar-benar bisa hilang. Ia bahkan sudah merasa baik-baik saja dan menganggap bahwa semua itu hanya bagian dari masa lalu yang tidak akan lagi mempengaruhinya.
Namun, begitu melihat Zevan berdiri di hadapannya secara nyata hari ini, semua yang telah ia tata rapi dalam hatinya seakan berantakan lagi dalam sekejap.
Sambil menghela napas panjang, Nara bangkit dari kasurnya dan meraih sebuah buku bersampul cokelat yang tersusun rapi di meja belajar. Buku itu adalah tempatnya mencurahkan segala perasaan-rahasia kecilnya yang hanya diketahui oleh dirinya sendiri.
Dibukanya halaman kosong yang masih tersisa cukup banyak karena memang sudah jarang ia gunakan. Jemari Nara menari-nari di atas kertas putih yang semula kosong dan mengisinya dengan apa yang terjadui hari ini.
Tentang pertemuannya dengan Zevan lagi, tentang betapa ia tidak menyangka akan merasa begini saat bertemu Zevan lagi, tentang ingatan lama yang sudah ia kubur dalam-dalam lalu muncul lagi, juga tentang perasaan Sheyna kepada Zevan. Kenapa harus serumit ini?
Setelah menuangkan pikirannya ke dalam tulisan, ia menutup bukunya dan beranjak ke kamar mandi, berharap air hangat bisa sedikit meredakan kekacauan di kepalanya, melunturkan kegelisahan yang mengelilinginya seharian ini.
Seusai mandi, Nara keluar dengan rambut yang masih setengah basah untuk mengambil makan. Beruntung sekali masakan ibunya hari ini adalah salah satu dari sekian banyak makanan favoritnya, sayur asem dengan lauk ikan asin, tempe, dan sambal terasi. Itu adalah salah satu makanan ternikmat di dunia menurutnya.
Alih-alih makan di meja makan, Nara justru duduk di ruang tengah, di sebelah ibunya yang sedang melipat baju sambil menonton televisi.
"Kenapa, Ra? Kok kelihatan kusut gitu mukanya?" tanya Mala tanpa mengalihkan pandangan dari televisi, sementara tangannya yang cekatan sedang melipat pakaian yang baru dicuci.
Keluarga Nara memang jarang sekali menyetrika baju karena menurut mereka menyetrika baju tidak terlalu penting kecuali seragam sekolah, baju kerja ayahnya, atau baju ketika menghadiri acara-acara formal, maka biasanya baru disetrika.
Namun, jika hanya baju yang dipakai sehari-hari, maka cukup dilipat rapi saja, yang penting wangi.
"Nggak papa kok. Cuma capek aja," jawab Nara singkat.
Mala mengangguk pelan. "Ohh yaudah. Eh, buat es teh sana. Tadi ibu nyeduh teh kebanyakan."
"Iya deh, nanti."
Nara melanjutkan makannya dalam diam. Setelah selesai, ia membawa piring-piring kotor ke wastafel dan mencuci semuanya, hanya beberapa, tapi tetap saja cukup membuatnya sibuk sebentar. Setelahnya, ia baru membuat es teh seperti yang diminta ibunya, lalu kembali duduk di ruang tengah sambil menonton televisi.
"Oh iya, nanti malem Sheyna sama Ardya mau main," ucap Nara setelah meneguk es tehnya.
Mala menoleh sekilas, lalu tersenyum. "Yaudah, buatin es teh aja. Nanti ibu gorengin bakwan jagung."
Nara tersenyum kecil. "Okayy," sahutnya ringan. Ia sontak membayangnya betapa nikmatnya bakwan jagung buatan ibunya, apalagi ketika masih panas-panasnya.
Meskipun sebenarnya Nara ingin istirahat malam ini, tapi ia merasa sungkan melarang Sheyna dan Ardya. Mungkin malam ini akan sedikit ramai, dan mungkin, hanya mungkin, ia bisa melupakan pikirannya tentang Zevan.
πππ
Sekitar pukul setengah tujuh malam, suara motor Ardya terdengar mendekat di depan rumah Nara. Dari teras, Nara melihat mereka turun—Sheyna dengan senyum lebarnya, sementara Ardya melepas helm dengan santai. Di tangan kiri Sheyna, ada sebuah plastik putih yang tampaknya berisi sesuatu familiar yang bisa Nara tebak isinya.
"Kenapa bawa makanan? Ibu udah gorengin bakwan jagung loh," ujar Nara begitu mereka mendekat.
Sheyna mengangkat plastik itu sedikit. "Eh, nggak papa, Ra. Ini martabak langganan kita. Udah lama nggak makan ini," katanya riang.
"Muat-muat kok," timpal Ardya sambil menjatuhkan diri ke alas yang sudah Nara sediakan di teras. "Lagipula, kangen juga sama bakwan jagung ibu lo yang ngalahin gorengan abang-abang pinggir jalan."
Nara mendengus kecil, sementara Sheyna menatap Ardya dengan tatapan menyindir. "Lo mah semuanya diembat," katanya, membuat Ardya terkekeh santai.
Nara menggeleng. "Mau di luar atau di dalem aja nih duduknya?" tanyanya.
"Sini aja lah, biar adem kena angin," jawab Ardya tanpa ragu.
Nara pun masuk ke dalam dan kembali beberapa saat kemudian dengan sebuah nampan berisi tiga es teh manis dan sepiring penuh bakwan jagung yang masih hangat. Aroma wangi gorengan itu langsung menguar, membuat Ardya dan Sheyna menelan ludah.
Namun, sebelum mereka sempat mencomot satu, Mala tiba-tiba muncul dari dalam rumah, membawa sebotol saus sambal. "Nih, buat pedes-pedes. Tante lagi nggak ada cabe rawit," katanya, meletakkan botol itu di tengah-tengah mereka.
"Yah, sayang banget," keluh Ardya bercanda. "Padahal enaknya pake rawit, Tante."
Sheyna melotot ke arahnya sebelum buru-buru berkata, "Nggak papa kok, Tante, nggak enak jadinya malah ngerepotin gini."
Ardya tertawa, sementara Mala hanya tersenyum hangat. "Nggak lah. Tante malah seneng kalau ada temen Nara yang main," jawabnya tulus. "Yaudah, tante tinggal ya!"
"Iya, Tante!" sahut Ardya dan Sheyna bersamaan.
Setelah Mala kembali ke dalam, mereka mulai menikmati makanan yang tersedia. Angin malam berhembus pelan, membawa suasana yang nyaman dan santai. Aroma martabak manis bercampur dengan wangi gorengan hangat, menciptakan kombinasi sempurna untuk menemani obrolan mereka.
Sheyna, yang sejak tadi mengunyah bakwan jagung dengan nikmat, tiba-tiba bersuara, "Ra, Zevan tuh emang agak dingin gitu ya orangnya?"
Nara yang sedang menyeruput es tehnya hampir tersedak mendengar pertanyaan itu. Sementara Ardya langsung menoleh dengan smirk di wajahnya.
"Ohh, jadi ini alasan lo mau main ke rumah Nara? Mau nanya-nanya soal Zevan?" ujarnya penuh godaan.
"Diem deh, lo!" Sheyna menatapnya tajam, sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke Nara, menunggu jawaban dengan penuh antusias.
Nara merasa sedikit canggung. Ia menaruh gelasnya di atas meja kecil di depan mereka dan mengangkat bahu. "I-iya kayaknya."
"Kok kayaknya sih, Ra?" desak Sheyna tak puas.
"Woi! Emangnya Nara siapa bisa tahu karakter orang? Cenayang?" Ardya menimpali dengan ekspresi menggoda, membuat Sheyna berdecak kesal.
"Ih bisa diem nggak sih?! Nyesel gue jadinya ngebolehin lo ikut," gerutu Sheyna.
Ardya terkekeh, sama sekali tidak terintimidasi. "Eh, kalau gue nggak ikut, lo juga tetep minta anterin gue kan?" ujarnya santai.
Sheyna hanya melotot kesal, sementara Nara menahan tawa melihat interaksi mereka. Namun, beberapa detik kemudian, ekspresi Sheyna berubah drastis. Dari kesal menjadi berbinar-binar penuh kegirangan.
"Eh, tapi, Ra," katanya dengan suara lebih lembut, "Lo tahu sosmed sama nomornya Zevan kan? Minta dong!"
Ardya yang baru saja menggigit martabak langsung memutar matanya. "Astaga ..." gumamnya, seperti sudah menduga arah pembicaraan ini.
Nara terdiam. Ia menggigit bibirnya ragu. Ia tidak tahu apakah seharusnya ia memberikan informasi itu atau tidak. Lagipula, apakah Zevan tidak akan keberatan jika Sheyna tiba-tiba menghubunginya?
Namun, Sheyna tidak menyerah. Ia terus merengek, bahkan sedikit menggoyang lengan Nara dengan penuh semangat. "Ayolah, Ra! Gue nggak bakalan macem-macem kok! Masa lo nggak mau bantuin temen sih," katanya setengah merengek.
Pada akhirnya, Nara menyerah. Ia menghela napas dan mengambil ponselnya. "Oke. Cuma nomornya nggak tahu ya masih sama atau nggak," katanya, sebelum akhirnya menyerahkan informasi akun media sosial dan nomor Zevan kepada Sheyna.
Sheyna langsung tersenyum puas, sementara Ardya hanya menggeleng pelan.
"Eh, lupa, tadi gue juga ngundang Zevan ke sini. Tapi nggak tahu deh dia dateng beneran apa nggak. Nggak papa kan, Ra?" celetuk Ardya santai sambil menyeruput minumannya.
Nara yang sedang menikmati sepotong martabak langsung tersedak mendengar itu. Ia buru-buru meraih tisu dan batuk pelan, sementara Ardya dengan sigap menyodorkan es teh Nara.
"Nih, minum dulu, Ra," ujar Ardya.
"Serius lo?" Sheyna yang sedari tadi asyik menggulir layar ponselnya mendadak ikut panik. "Kenapa nggak bilang dari tadi sih? Kan gue malu kalau tiba-tiba Zevan dateng lihat gue begini. Tau gitu gue pakai baju lebih bagus. Ishh!" keluhnya sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.
"Beneran lo ngundang dia?" Nara akhirnya bersuara, mencoba menutupi kegelisahannya dengan nada setenang mungkin.
"Iya, kenapa? Dia kan temen SMP lo," jawab Ardya tanpa menyadari perubahan ekspresi Nara.
"Iya sih ..." gumam Nara lirih.
Sepanjang waktu setelah itu, Nara gelisah memikirkan jika Zevan benar-benar datang. Namun, sampai sekitar pukul sembilan malam, Ardya dan Sheyna pamit pulang, dan masih tidak ada tanda-tanda kedatangan Zevan. Hal itu membuat Nara lega.
Nara kemudian membereskan semuanya dan pergi tidur. Rasa lelah merayapi tubuhnya, tapi pikirannya masih terus berputar. Ia meraih ponsel dan membuka playlist musiknya, berharap melodi bisa sedikit menenangkan pikirannya.
Tanpa sadar, jemarinya menekan sebuah lagu. Begitu intro mulai mengalun, Nara tersentak. Seharusnya ia segera mengganti lagu lain, tapi entah kenapa, ia justru tetap membiarkannya.
Now Playing:
The 1975 ~ About You
Suara Matty Healy terasa samar di telinganya, menyatu dengan ingatan-ingatan lama yang mulai berputar seperti film usang di kepalanya. Malam itu, ia tertidur dalam balutan nostalgia yang pelan-pelan menyeretnya kembali ke masa lalu.
Kalau ditulis 'ada keturunan Cina' bisa menyinggung SARA.
Comment on chapter 10 || A Threat from The Past