"Ah, sial!"
Dua kata tersebut meluncur begitu bebas dari mulut kala mendengar suara rengek bayi di sela-sela aktivitasku mengarungi alam mimpi. Masih dalam keadaan terkantuk-kantuk, atensiku bergerak mencari keberadaan jam dinding yang letaknya tepat di atas pintu kamar. Melihat jarum jam menunjukkan tepat pukul enam pagi benar-benar membuatku frustasi hingga berbagai macam hewan penghuni kebun binatang lolos begitu saja lewat lisanku. Aku hanya butuh istirahat 6-8 jam untuk mengganti waktu istirahatku semalam karena bergadang, tetapi mengapa rasanya sulit sekali? Apa aku harus pergi saja mencari indekos murah di sekitar Kota Malang agar bisa beristirahat dengan tenang tanpa adanya gangguan?
Sejujurnya, keinginan untuk angkat kaki dari rumah saat ini bukanlah kali pertama terlintas dalam benakku. Sudah berkali-kali bahkan jumlahnya tidak terhitung lagi. Keinginan tersebut muncul begitu saja semenjak rumah yang harusnya menjadi tempat paling tenang untuk pulang, mulai terusik dengan kehadiran anggota baru dalam keluarga. Generasi terkecil yang hadirnya didamba-dambakan oleh kedua orang tuaku.
Javier Ghazali. Laki-laki paling mungil di keluarga—yang baru genap berusia dua tahun—berlari begitu saja dengan ingus dan air mata menghampiriku yang baru saja menuruni anak tangga terakhir. Dengan wajah memelas dan tangis yang tak terbendung, Javier mengais-ngais bajuku sambil melompat-lompat kecil agar aku mau menggendongnya. Namun, aku tidak mau. Aku malah membiarkan tangis Javier makin menjadi-jadi sampai tubuhnya menempel di kakiku layaknya cicak di dinding.
"Arek iki jan mesti¹! Mbok yo iku ponakanmu digendong sek cek ora nangis nganti berok-berok koyok ngono²!"
"Nggak mau!" ketusku kesal. "Gara-gara anaknya Mbak Imel, aku kebangun! Kepalaku pusing gara-gara tidur cuman dua jam!"
"Kepalamu pusing itu bukan gara-gara anakku, tetapi kamunya aja yang hobi bergadang!"
Bukannya merasa bersalah atau minta maaf karena mengganggu jam tidurku, Mbak Imel malah menyerangku balik. Bukan Djemima namanya jika hanya diam saja dan tidak melawan Imelda Larasati—si kakak pertama dalam keluarga ini—yang amat sangat menyebalkan.
"Aku bergadang karena emang lagi ada yang dikerjain, Mbak. Foto-foto klien wisuda dua minggu lalu belum selesai aku edit. Udah pada nagih!"
"Makanya jangan hobi molor! Perasaan kamu kerja juga cuman pas hari libur aja, tetapi kenapa capeknya kayak orang kantoran yang kerjanya eight to five selama enam hari?"
"Sekalipun kerjanya cuman hari Sabtu atau Minggu, tetapi klienku banyak. Terus hari-hari biasa buat ngedit foto klien."
"Hari-hari biasa buat ngedit foto klien, terus kenapa nggak selesai-selesai?"
"Kan, tadi aku udah bilang klienku banyak! Buat edit foto juga nggak bisa cepet-cepet karena aku nggak pakai preset dan butuh mood yang bagus biar hasil editan fotonya senada," sahutku kesal. Melihat adanya tanda-tanda Mbak Imel akan membalas ucapanku, buru-buru saja aku mendahuluinya. "Mending Mbak Imel diem aja, deh. Nggak usah sok-sokan ikut campur masalah kerjaanku kalau nggak tau apa-apa!"
Melihat Javier masih merengek di dalam pelukan ibunya sendiri hingga wajahnya memerah, benar-benar membuatku tidak tega. Berbagai upaya yang dilakukan Mbak Imel untuk menenangkan Javier sama sekali tidak membuahkan hasil. Saat tangis Javier kembali pecah, saat itu juga rasanya gendang telingaku mendengung. Bisa kurasakan tatapan memohon tersirat dari sorot mata Mbak Imel padaku.
"Djem, tolong bantu Mbak buat tenangin Javier, dong! Biasanya Javier langsung diem kalau kamu yang nenangin dia!"
"Coba kasih asi, kayaknya haus," jawabku.
"Udah, cuman kamu lihat dia masih rewel, 'kan?"
"Pampersnya penuh kali, Mbak!"
Mbak Imel menggeleng. "Orang baru ganti barusan."
"Terus masih nangis gitu kenapa?" tanyaku mulai kesal karena Mbak Imel, selaku ibu dari Javier, sama sekali tidak terlihat ada usaha untuk menenangkan anaknya sendiri.
Merasa tidak tega dengan ponakan kecilku ini, akhirnya aku mengambil alih tubuh Javier dan membawanya keluar rumah untuk melihat dedaunan hijau di halaman rumah sambil bermandikan matahari pagi. Tangis Javier berangsur-angsur mereda dan tergantikan oleh tawa hingga jajaran gigi susunya yang belum lengkap terlihat jelas di mataku. Setelah dirasa cukup tenang, aku berjalan kembali masuk ke rumah dan memberikan Javier kembali kepada ibunya.
"Oh, iya, Djem. Bisa minta tolong gantiin galon minumnya? Mbak haus, mau minum nggak bisa."
Aku berdecak kesal lalu melayangkan pertanyaan sarkas, "Harus aku banget ini yang ganti galon minumnya? Kenapa Mbak nggak coba ganti aja tadi pas aku pegang Javier?"
"Aku tadi masih chat sama mas, jadi nggak sempat."
"Bukan nggak sempat, tetapi emang kamunya aja yang nggak mau ada usaha dan lebih milih buat nyuruh orang lain yang bergerak!"
Tanpa basa-basi, aku langsung bergegas mengambil galon kosong dari laci dispenser. Namun, ujian kesabaranku tidak berhenti di situ saja. Rupanya tidak ada galon air minum cadangan karena semuanya kosong. Saat itu juga bisa kurasakan amarahku kembali membuncah.
"Ini mau diganti galon yang baru gimana wong semua galonnya kosong!" pekikku.
"Loh, iya," jawab Mbak Imel yang sama sekali tidak membantu. Solusinya adalah kembali menjadikanku pesuruh. "Coba kamu masakin air dulu, Djem. Nanti pas bapak balik dari jalan pagi sama ibu, aku minta tolong buat beliin."
Aku menghela napas panjang. "Kenapa harus aku lagi yang disuruh-suruh? Kenapa nggak Mbak aja yang jalan sendiri?"
Lucunya, Mbak Imel malah berdalih.
"Kalau aku, terus siapa yang jaga Javier?"
"Ya Tuhan, Mbak ... cuman masak air, nggak makan waktu lama. Emang dasarnya kamu aja yang males!"
"Javier ini lagi usia aktif-aktifnya, ditinggal bentar takut kenapa-kenapa. Udahlah, kamu aja yang masak. Hal sepele kayak gini kenapa harus diributin, sih, Djem? Kamu itu bukan anak kecil lagi, udah 25 tahun. Jadi dewasa dikit pemikirannya. Toh kamu teriak-teriak kayak gini emangnya nggak capek? Haus juga, 'kan?"
Aku ingin kembali mengamuk, tetapi apa yang dikatakan oleh Mbak Imel ada benarnya. Memiliki lawan bicara seperti Mbak Imel selain butuh kesabaran juga butuh air minum agar kerongkonganku tidak kering. Pada akhirnya, aku lagi yang harus bergerak untuk menjemput solusi. Dengan berat hati, aku berjalan ke arah dapur yang ada di ruang terbuka belakang rumah lalu mengisi satu panci penuh dengan air kran dan memasaknya hingga mendidih. Di sisi lain, aku kembali dibuat setres ketika melihat tumpukan piring dan gelas kotor yang belum dicuci hingga berkerak.
Pikirku hanya satu, Apa, sih, yang sebenarnya dilakukan oleh orang-orang rumah sampai hobi menumpuk piring dan gelas kotor? Apa susahnya, sih, langsung mencuci peralatan makan setelah digunakan? Toh mencucinya nggak memakan waktu sampai seumur hidup, 'kan?
Ketimbang mengomel dan tidak menyelesaikan masalah, aku lebih memilih untuk membereskannya. Akan tetapi, sosok anak tengah dan paling tangguh di keluarga tiba-tiba muncul untuk melakukan apa yang direncanakan oleh otakku lebih dulu. Melihatnya melakukan itu, benar-benar membuatku tidak nyaman.
"Udah nggak usah, Mbak Ndhis. Biar aku aja. Mbak Gendhis pasti capek habis cuci baju."
"Nggak, kok. Lagian juga aku udah biasa kayak gini, 'kan?" sahut Mbak Gendhis seraya menyunggingkan senyum sarkas. "Mending kamu siapin tempat minum, bentar lagi airnya masak."
"Ok."
Aku kembali ke posisiku dan menuruti apa yang dikatakan oleh Mbak Gendhis. Begitu kembali ke dalam, kulihat Mbak Imel duduk si ruang tengah sambil tertawa terbahak-bahak melihat ponselnya. Aku celingak-celinguk untuk mencari keberadaan Javier yang ternyata sudah berjalan keluar dari pintu rumah. Melihat lalainya Mbak Imel, aku bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya.
"Waaaa!!!"
Ya, Javier kembali menangis karena jatuh ketika berlari mengejar kupu-kupu kecil di halaman rumah.
"Ya Tuhan ... Javier!"
Telat, pikirku.
Bersamaan dengan itu, muncul sebuah motor matic yang tidak asing di depan pagar rumahku. Intensitas tangis Javier mereda seketika saat melihat kehadiran ayahnya, bisa dilihat dari pergerakan kedua tungkai Javier begitu antusias menghampiri ayahnya yang baru saja memarkirkan kendaraan di halaman rumah. Melihat kedatangan Mas Ardi, refleks membuatku menembak Mbak Imel dengan pernyataan.
"Mas Ardi udah pulang kerja, berarti Mbak Imel sama Javier juga balik ke rumah sendiri habis ini. Iya, 'kan?"
Alih-alih mengiyakan, Mbak Imel malah menggeleng singkat. "Nggak. Ardi cuman mampir sebentar buat beli bahan bangunan, terus balik lagi ke Batu buat kerja besok."
"Loh, kok, gitu? Waktu itu perjanjiannya, kan, Mbak Imel sama Javier bakal pulang ke rumah sendiri kalau Mas Ardi juga pulang?"
"Ardi cuman pulang bentar, ngapain juga aku pulang? Ribet harus gotong ini itu padahal cuman sehari," jelas Mbak Imel.
"Mbak, kamu itu udah terlalu lama di sini, hampir berminggu-minggu malahan. Mbak denger nggak, sih, sama omongan tetangga?"
Mbak Imel berdecak kesal. "Ngapain harus repot-repot mikirin omongan tetangga, sih? Biarin aja."
"Ya, nggak bisa gitu, dong, Mbak!" sahutku kesal laku menghela napas panjang setelahnya. "Mbak itu udah nikah, udah punya suami, tetapi malah betah tinggal di sini ketimbang di rumah sendiri. Gimana nggak jadi omongan orang? Inget, Mbak. Mbak di sini itu tinggal sama Ayah dan Ibu. Mungkin Mbak bisa aja bersikap nggak peduli, tetapi gimana sama perasaan Ayah dan Ibu yang otomatis juga jadi omongan?"
"Aku kalau di rumah berdua sama Javier itu nggak tenang, Djem. Aku juga jadi nggak bisa leluasa buat bergerak ke sana sini karena Javier aktif. Aku capek ngurus Javier sendirian. Kalau di sini, Javier ada yang jagain selain aku. Kalau—"
"Ya, bilang aja kamu nggak mau repot karena apa-apa udah disiapin di rumah ini, 'kan? Nyuci baju aku. Masak juga aku, kadang juga Ibu atau Djemima. Bahkan Javier nangis juga lebih sigap Djemima, Ibu, atau Bapak buat nenangin. Kontribusimu di sini apa? Kalau kamu ngeluh capek, aku atau orang-orang di rumah ini jauh lebih capek karena pas jam istirahat, kita semua harus dengerin tangisan Javier yang nggak kelar-kelar karena kamu nggak sigap. Kalau kamu nggak mau capek, ya ... kerja sama dengan suamimu, lah! Bagi waktu! Kalau kayak gini ceritanya, terus gunanya menikah dan punya rumah sendiri, tetapi nggak ditinggali itu untuk apa?"
Percayalah, kata-kata itu tidak keluar dari mulutku. Kata-kata pedas itu keluar dari mulut Mbak Gendhis.
*****
Catatan kaki:
¹Anak ini benar-benar kebiasaan
²Coba itu keponakanmu digendong dulu biar nggak nangis sampai teriak-teriak kayak gitu