Sebenarnya takdir indah apa yang ditunjukkan oleh Tuhan untuk merayuku agar mau lahir ke bumi?
Pertanyaan itu senantiasa bergaung di kepalaku. Setapak demi setapak yang aku lalui tiap harinya, tidak semenyenangkan dulu ketika kedua orang tua menatihku saat kecil agar bisa memulai langkah berani untuk berjalan. Setapak demi setapak yang aku lalui saat ini seperti tertatih-tatih tanpa arah, rasanya juga penuh dengan debar layaknya menanti-nanti undian lotre.
Apakah hari esok akan jauh lebih baik daripada hari ini?
Tidak ada yang tau pasti. Tidak ada jaminan hari baru akan menjemput hal baik. Tidak ada jaminan pula hari baru juga akan menjemput luka baru yang makin mengakar kuat di hati bukan?
Dulu, entah mengapa segalanya terasa begitu mudah dan penuh kehangatan. Bisa aku ingat dengan jelas bagaimana suasana rumah yang selalu riuh kala petang tiba dan semua anggota berkumpul di ruang tengah hanya untuk mendengar cerita tentang hari mereka masing-masing penuh dengan tawa dan juga canda hingga terdengar ke telinga tetangga.
Sayangnya, tidak ada kata abadi di dunia yang fana ini. Seiring berjalannya waktu, sebuah potret keluarga cemara yang membuat iri tetangga itu perlahan mulai kehilangan perannya. Badai kehidupan datang tanpa permisi, merenggut kedamaian keluarga. Perlahan, tetapi pasti, keadaan berubah. Rumahku tak sehangat dulu. Runguku sudah jarang mendengar tawa ataupun canda, tergantikan dengan helaan napas berat yang membuat dada sesak dan tatapan mata dingin yang menyimpan beban.
Aku, Djemima, si anak bungsu yang digadang-gadang adalah anak kesayangan, harus mengecap rasa pahit dari jurang tak terlihat yang diciptakan oleh anggota keluargaku sendiri.
Aku kembali dibuat meragu, Apakah aku bisa melewati semua ini?
Tidak ada yang tahu pasti. Namun, aku berharap bisa menemukan 'akhir bahagia' dalam selipan takdir Tuhan yang serba rahasia.