Aku tak pernah membanyangkan cinta, merasa terpanah pada seseorang saja belum pernah. Semasa sekolah, hanya menjadi anak remaja yang serius, menyaksikan mereka yang di mabuk cinta sesama teman sekelas ataupun kakak tingkat adalah kisah dramatis dan tidak menarik buatku. Yang kulihat di masa putih abu-abu sebetulnya banyak kisah asmara, duduk di samping kekasih, berangkat sekolah sama-sama, lalu saat pulang sekolah sepasang kekasih berjalan-jalan dengan seragam sekolahnya. Setauku bentuk cinta memanglah beragam, ada yang menampakkan secara terang-terangan, bergaduh dengan orang favoritenya, cinta dalam pertemanan sampai cinta diam-diam yang cukup disimpan dari kejauhan saja.
Sekarang aku mengerti, kekosongan perihal cinta ataupun cinta yang telah terisi ternyata bukan sebuah keinginan yang dibuat-buat. Rasa mengagumi berawal dari ketertarikan hati melalui indra penglihatan yang disaksikan oleh diri sendiri. Alasan pernyataan ini kubenarkan adalah karena aku telah merasakannya, jatuh cinta terasa di luar kendali dan betul-betul tak masuk akal. Aku tertarik begitu saja, kagum pada dirinya yang sekedar melintasi pandanganku namun, hati dan pikiran ini membaca terlalu jauh seolah telah mengenalnya. Lelaki dewasa, berumur jauh diatasku, pintar, ramah, lembut, berwibawa, tidak haus perhatian, berpakaian rapi, tidak banyak bicara, tidak asal dekat-dekat dengan perempuan, banyak sebetulnya dan kurang lebih begini percakapanku pada diri sendiri kala meliriknya. Baru kusadari bahwa jatuh cinta tidak selalu perihal kemesraan, sebab memandangi seseorang yang disukai hati ternyata memberi warna baru, hidup menjadi tidak jenuh dengan menunggu kedatangannya meskipun tak dihiraukan.
Jatuh cinta pertama teruntuk pak dosen yang tidak megenalku juga tidak mengajar mata kuliah jurusanku. Namanya Natapurna Pradiksa, seorang dosen muda di jurusan manajemen, pertama kali bertemu denganya itu ketika di toilet saat pengenalan lingkungan kampus. Aku adalah mahasiswi baru yang sedang terburu-turu sehingga hampir saja salah masuk toilet, Bapak Nata menegur dan memberitahu bahwa itu adalah toilet pria.
*jangan panik, lain kali perhatikan dulu tanda yang ada di depan sini" sambil menunjuk ke arah tulisan
"masih maba, wajar saja kalau panik dan kurang hati-hati"
suara dan cara bicaranya adalah candu karena ucapanya selalu disertai senyum yang samar.
gagah dan tampan, jantungku berguncang sehingga rasa cemas karena lupa memakai ikat pinggang ketika masa ospek seketika hilang dan berubah menjadi semangat. itulah kami saat pertama kali bertemu dengan diakhiri kata permisi dan aku lupa berucap terimakasih. Kurang teliti dan mematung kagum saat melihat wajahmu membuatku gerogi sehingga kuberi nama kecerobohan terindah ketika menjadi mahasiswa baru.
Aku menulismu disini karena...
Dari semasa kecil, ketika aku sudah mahir membaca dan menulis, aku bercerita di buku ini. Buku yang kuberi nama buku cerita karena waktu itu tak terfikirkan kata-kata lain untuk memberi judul pada bukuku sendiri. Buku cerita ini terinspirasi dari aku yang setia membaca dongeng sebelum tidur, semua orang tentu punya cerita dan yang tertulis disini adalah curahan hati, cerita yang aku rasa tidak akan di dengar oleh orang rumah. Buku cerita ini temanku, aku menyimpannya di bawah meja, paling ujung dan ditutupi kain berwarna merah muda. Sampai sekarang buku ini tak pernah ditemui dan tak akan terbaca oleh orang rumah karena mereka terlalu sibuk jadi aman saja.Tak ada yang perlu mengerti aku, ketika di rumah itulah yang selalu kurasakan. Tak ada pujian, jika perlu sesuatu, katakan dan lagipula tak ada waktu untuk saling mendengarkan keluh kesah masing-masing. Di rumah suasana terasa serius, Ibaratnya jika kita sudah melakukan hal yang paling disenangi tanpa menggangu, yasudah yang kita senang tidak selalu disukai yang lain. Berat jika harus mengikuti keindahan di mata orang-orang.
Papah dan Mamah tidak terbiasa bertanya tentang pendapatku makanya aku tumbuh dengan sifat acuh, gengsi, cuek, dan serba salah karena di rumah saja tidak ada yang peduli tentang perasaan senang, sedih, dan kesepian. Ingatan masa kecilku melekat, jika bercerita ataupun meluapkan tentang perasaan, kata-kata yang selalu ada dari setiap respon mereka hanya tentang tentukan menurut maumu sendiri. Kau tahu jika tak disambut hangat, terasa menegangkan, dan dipotong pembicaraannya, aku merasa tak butuh bersuara. Hal itu yang membuatku malas bercerita tentang apapun meskipun demikian papah dan mamah adalah orang baik, dimata orang-orang pun begitu, mereka selalu memenuhi kebutuhanku, apapun mereka beli untuk anak perempuan satu-satunya ini.
Dariku, yang merasa aman menulis daripada bercerita, aku sudah menyambut semester 3 di perkuliahan pilihan Papah dan Mamah, dan aku semakin jatuh hati padamu. Interaksi kita di pertemuan pertama kala itu cukup membuatku tertarik sehingga sering sekali menatapimu. Namun, aku rapuh karena ceroboh untuk kedua kalinya, aku lupa bahwa senyumanmu selalu sama yang artinya menandakan keramahan bukan hal lain sehingga saat di hari kau mengambil buku yang tertinggal, secara dekat aku mengetahui sesuatu, di jari manis sudah ada cincin rupanya. Pak Natapurna Pradiksa, aku adalah seorang mahasiswi yang biasa-biasa saja di jurusan akuntansi dan tak pantas juga menyukaimu begitu saja, ini memang sebuah kesalahan namun jatuh cinta padamu bukan kemauan yang di sengaja. Aku berseri-seri meskipun harus melihatmu dari jauh.
Catatan, Gelisa Sundana Cloura Naurza Purmadzaki 2022.