Setiap kali aku menaiki lift, seolah takdir mendukung untuk bertemu denganmu: pintu terbuka dan Pak Natapurna nampak berdiri di ujung sana. Dirinya tengah sibuk berbicara dengan dosen lain ataupun mahasiswa. Wajahnya itu gemar sekali berseri-seri bersama senyuman yang membuat banyak hati terpanah. Mungkin telah kuulangi hal yang sama, membeku sebelum berjalan keluar dari lift. Aku sudah berusaha agar tak terlalu menatap, tapi sulit menahan diri ketika sorot matanya sesekali tertuju ke arahku, membuat detak jantungku berdentang lebih cepat dari biasanya. Kalau diingat- ingat, sorotan matanya adalah hal biasa dari sebuah gerak refleks ketika pintu lift terbuka untuk mengantar orang-orang menuju tujuannya.
"yuhu, ehh" "hade" *dak duk dak* kurleb suara-suara orang yang berhamburan keluar lift.
Aku keluar terakhir dari lift karena tidak mau menyerobot, lelah saja. fikirku berkata, tidak suka rusuh, santai lebih asik. Makanya teman-teman sering meninggalkanku.
dari celah orang-orang yang menumpuk didepanku, Pak Nata tetap jelas kehadirannya dan semakin tertutupi karena ciwi-ciwi bergerak cepat untuk menunjukkan wajahnya kepada dosen hangat idola mahasiswa. Mereka berdiri di hadapan pak dosen dan aku memilih berbelok ke arah kanan, namun kulihat Pak nata menatapku juga.
Ada kalanya aku tak memilih menaiki lift karena sangat ramai sehingga menuju lantai atas kulalui dengan berjalan melewati banyak anak tangga. Dan berkali-kali aku dibuat salah paham, Pak Natapurna lebih sering kutemui , ia berjalan gagah dengan postur tegap, penuh kewibawaan yang tak perlu diucapkan namun terasa kuat. Terkadang ia di depanku, belakangku, pernah juga disampingku. Hanya berjalan tanpa menyapa, aku menatapnya, dia menatap kembali dan kuberi senyuman degan sedikit menunduk sehingga ia membalas dengan tatapan. Kemudian aku berjalan lebih cepat untuk membuang muka dibalik hati yang sedang berbunga-bunga.
Kalau ditanya, ya jelas aku senang setiap kali bertemu Pak Natapurna di tangga. Tak ada kata letih menuju lantai atas, rasanya seperti lebih punya waktu, lebih bisa meresapi keberadaannya. Tangga itu sepi, tidak banyak orang, dan aku bisa mendengar langkah kaki kami bersahutan. Aku tak perlu terburu-buru, tapi tetap saja langkahku sering lebih cepat darinya mungkin karena gugup, atau hanya ingin menyembunyikan rasa senangku yang terlalu jelas.
Berbeda dengan lift yang sering penuh dan bising, lebih tepatnya aku tertutupi orang-orang yang riang menyapa Pak Nata sementara tangga seperti tempat yang disiapkan khusus untukku… untuk menatapnya lebih lama, tanpa harus terlihat mencolok. Dunia seperti sedang melambat, memberi ruang untukku menikmati keberadaannya dari jarak yang cukup, namun cukup dekat untuk kurasakan. Aku tahu,tanpa bicara bukan hal istimewa di mata siapa pun. Tapi buatku,seperti hadiah kecil yang diam-diam dikantongi dan semua orang tidak perlu tau karena mereka tidak mendapatkannya.
Ada rasa yang tak bisa dijelaskan yaitu diam tapi hatiku sibuk. Kalau boleh jujur, aku selalu merasa seperti dunia sedang memberiku kesempatan untuk bersuara, walau tak keluar dari mulut. Mungkin hanya dari tatapan, dari senyuman kecil yang ragu sambil sedikit menunduk. Rasanya cukup. Cukup untuk membuatku kembali memikirkannya di malam hari. Cukup untuk membuatku jatuh hati…untuk yang pertama, sekali lagi. Dan lagi.
Tangga dan Lift adalah saksi, keberanianku, temapt dimana sedikit senyum kuberi meski ragu-ragu...Dalam buku ceritaku, 2022.