Ada yang hatinya damai menikmati hidup dengan hal-hal seru yang memang jadi hobinya
Juga ada yang hatinya diciptakan dengan tanpa ada rasa gelisah sehingga tampak seperti biasa-biasa saja bila bahagia di atas penderitaan orang yang ingin juga merasakan yang sama.
Ada yang menikmati momen-momen suka itu meski bukan keinginan dari hatinya. Terkadang, kita memang tidak bisa menghindari problema yang diam-diam kerap mengintai dan menyusup di antara rasa bahagia. Tetapi kita selalu bisa menutupinya dengan sadar atau lupa kita manusia yang juga butuh kapan waktu untuk merasa lemah.
Akmal bahkan tak memberi kabar pada sang ayah yang dirundung kehampaan. Menikmati masa-masa liburan yang hanya cuma-cuma baginya paling berharga dari apa pun itu.
Di rumah megah, serba tercukupi di dalamnya. Abdul tetap merasa kosong, sebab tidak ada cinta dan ketulusan di sana.
Teknologi yang canggih, itu cepat basi.
Bukan karena tak terisi pulsa, mereka bilang aku harus berpuasa.
Katakan padaku, puasa apa yang harus menahan rindu selama satu caturwulan tak menggapai waktu berbuka
Berbuka yang seharusnya pelepas rasa dahaga tiap kelu ucap rindu, pelipur rasa lapar akan temu.
Ini tak adil, Aku menggugat Mu, Tuhan.
Aku disekat masa juga teknologi yang dipaksa berpuasa.
Merpati saja merasa takut, meski bukan pada badai yang menjegalnya.
Tetapi pada manusia yang bakhil lagi anarki.
Tulisan tinta-tinta dari darah yang mencuat dari nadi jemarinya.
Lembaran kertas yang hanya berisi kerusuhan-kerusuhan di dalam otaknya itu bisa sedikit membuat hatinya lega dan iseng-iseng Abdul kirim melalui tukang pos SAK yang biasa wira-wiri di sekitar rumah anak bungsunya itu. Secuil uneg-uneg untuk event dari sebuah majalah perempuan dan mahkotanya yang menyelenggarakan dan mengusung tema menulis 'Bebas, Lepaskan' dengan berbagai penghargaan yang akan diterima oleh pemenang.
Aku hanya bisa mengandalkan tangan, melawannya dengan tulisan, jika lidah ini sudah mati rasa, syukurlah doa-doa cela tak terjamah, batinnya sambil tersenyum tulus. Di tekan-tekannya perekat amplop warna coklat, dia pun beranjak dan menanti tukang pos SAK di belakang pagar rumah.
Setelah 15 menit berlalu kakinya kokoh menyangga beban kwintalan rindu, dengan secepat kilat Bapak Tukang Pos itu membawanya dengan kecepatan tinggi, agar rindu itu cepat sampai dengan harapan selamat sampai ke tangan si biang-biang rindu.
Langit membiru, selaput awan turut menyelimutinya. Pastilah surat-surat pos akan cepat tiba.
Begitu juga di Kedung Layur, pemuda-pemudi nya bergotong-royong mengelokkan kampung halamannya dengan memmberi warna-warni di dinding, papan informasi, hingga gapura.
Sampai lembayung senja berjalan mendekati cakrawala yang sesaat menyembunyikan purnama sebelum menyajikan kecantikan pada sang gulita malam.
Akan tetapi, Gustin belum juga rampung. Meski kegiatan kerja bakti juga sampai habis. Bahkan tampak jelas, kuas di tangannya itu hanya menggoreskan warna merah marun pada pola bunga mawar, dan warna hijau pupus tuk baluri tangkai dan daunnya.
Pemuda-pemudi Keluyur saling berpandangan dan gelisah. Lalu Ade, salah seorang pemuda Keluyur yang memangku jabatan sebagai Ketua itu pelan-pelan menghampiri Gustin yang masih duduk termangu di atas kursi tinggi counter berbentuk muka segi itu sambil memandangi dinding dengan goresan bunga itu.
Dengan satu tarikan napas panjang, Ade menepuk pelan pundak lelaki paruh baya itu yang membuatnya goyang sampai kaki kursi karena terkejut.
"Pak Gustin istirahat dulu, yuk! Kebetulan kita semua mau mampir ke warung Bu Tutik makan pecel lele sama sambel ijonya!"
Gustin hanya memapang senyum simpul. "Perjanjiannya kan harus selesai juga malam ini, De. Jadi saya lebih memilih untuk istirahat di tempat ini juga!"
"Ayolah, Pak. Kapan lagi kita bisa nongkrong bareng di warteg. Ya enggak Guys?" jelas Ade sambil menoleh setitik ke belakang yang langsung diteriaki setuju sama pemuda-pemudi Keluyur, Gustin tersenyum, "Karena ada sesuatu hal yang ingin saya sampaikan juga ke Bapak. Bisa kan, Pak ikut kami?"
Akhirnya, selang beberapa saat Gustin menganggukkan kepalanya tanda setuju. Mereka pun bergegas menuju ke Warung Tegal Bu Tutik Legendaris. Warung itu benar-benar berada di dekat perkebunan yang mana kebun itu adalah milik dari keluarga Bu Tutik yang lalu dibelinya dan didirikan bangunan lapak rezeki.
Olahan makanannya pun digoreng dadakan, meski hanya telor ceplok, telor dadar, tahu tempe goreng, dadar jagung juga kuah sayur lodeh yang selalu diangetkan, tak lupa juga sambal ijo yang selalu menjadi best menu di warungnya, dimakan bersama nasi hangat membuat hati jadi ikutan terasa hangat. Belum lagi akan mendapatkan free kerupuk yang gurih dan renyah untuk makan di tempat.
Telapak tangannya terus berkeringat, dia gosok-gosokkan pada lututnya, dengan matanya yang celingak-celinguk dan melirik ke arah Gustin yang masih menikmati santapan makanan di piringnya.
Ade pun dengan cepat menyudahi makanan di hadapannya itu, lalu langsung meneguk air teh suam-suam kuku itu, sambil sesekali melirik lagi Gustin yang akhirnya rampung juga menyantap makanannya.
"Dulu, ketika saya masih seumuran kamu nih. Kalau makan juga cepet gitu ritmenya. Kalau udah tua gini, udah enggak sanggup saya yang cepat-cepat gitu!"
"Apa itu berlaku juga untuk semua kegiatan yang Bapak lakukan?" tanya Ade lirih, sedikit mengiris ulu hati Gustin, "Maaf nih, Pak. Pembicaraan saya alihkan ke masalah kegiatan kita hari ini. Apa Bapak menyepakati bahwa kontrak kerja kami jadi dua hari, bagaimana Pak Gustin? Anda setuju?"
Gustin manggut-manggut. "Saya mengerti, bh proses dari pekerjaan yang saya ambil ini tidaklah mudah dari pekerjaan saya biasanya. Tetapi jika kesempatan itu datang lagi, saya tidak akan menyia-nyiakannya!"
Ade meringis. "Saya percaya dengan Pak Gustin. Jadi, malam ini cukup untuk muralnya. Sisanya biar kita kerjakan sama-sama besok sampai tuntas. Setuju, Pak?" Gustin tersenyum manis sambil menjabat erat tangan Ade.
Matahari yang sinarnya terlambat membelai karena terhambat awan kelabu. Perlahan mulai naik di ufuk.
Ibu-ibu kampung Kedung Layur terbiasa berkerumun di sekitar pedagang sayur dan lauk keliling memilah-milah sambil gibah. Rusmini yang biasanya paling on time, kini dia memilih untuk absen sebab stok sayur dan olahan ikan di dalam lemari esnya masih banyak usai berbelanja di Pasar bersama sang ibu tempo hari lalu. Meski begitu, saat Rusmini hendak keluar mencari angin segar di depan pagar rumahnya. Dari arah selatan, dengan langkah kaki yang seperti tengah terbang itu semakin dekat ke arahnya berdiri.
Ternyata, orang itu adalah Anggi, Ketua admin di grup WhatsApp Kompi yang masih berusia baru 30 tahun itu. Meski usianya terbilang muda dari para anggota grup Kompi lainnya, Anggi dianggap mampu memimpin karen cekatan dan cermat dalam mencari informasi terkini yang tengah hangat di dunia Kedung Layur dan sekitarnya. Akan tetapi Anggi juga tak lepas dari bahan omongan anggotanya karena sikapnya yang terlalu friendly padaa kaum lelaki, meski dia sudah mengikat cincin tunangan.
"Pagi, Bu Rusmini!" ucapnya sambil menundukkan kepala.
"Pagi juga, Mbak Anggi. Tumben Mbak Anggi mau jauh-jauh main ke rumah saya?"
"Iya sekalian sama jogging sih Bu. Eh, tapi Ibu tau enggak ya masalah ini? Itu loh soal kegiatan pemuda-pemudi Keluyur di kampung ini!"
Rusmini mengernyitkan dahi sambil geleng-geleng kepala.
"Jadi, ibu-ibu kampung sini tuh pada ngomongin Pak Gustin suami Ibu. Soal kerjaannya buat mural yang belum beres itu loh. Gregetan banget enggak sih, Bu?" jelas Anggi sambil bibirnya mecucu.
"Siapa yang bikin Mbak Anggi gregetan, suami saya yah?"
Anggi menggeleng-gelengkan kepalanya cepat. "Ya orang-orang yang lagi ngomongin Pak Gustin lah Bu. Namanya juga sulit yah bikin mural gitu, mereka bisanya asal ngomong aja! Terus juga pada banding-bandingin Pak Gustin sama anaknya, Gemi. Bapaknya kerja rajin banget, giliran anaknya malah males-malesan! Kesel kan, Bu!"
Rusmini hanya bisa mengepal kuat tangannya, namun tetap memapang senyum tipis di wajahnya.