Loading...
Logo TinLit
Read Story - Warisan Tak Ternilai
MENU
About Us  

Saat Pak Solihun, pemilik warung San Madura mulai mengangkat kakinya dari depan pagar rumah Akmal, tiba-tiba terdengar suara pintu kayu yang terbuka lebar. Dia pun secepat kilat untuk berbalik badan dan kembali menguluk salam dengan suara lantang hingga Abdul pun menyadarinya. Matanya bercahaya, senyumnya pun merekah. Abdul berjalan setengah berlari menghampiri lelaki yang sejak tadi berdiri di depan pintu gerbang dengan membawa harapan yang besar itu. Pintu gerbang terbuka, dan biang rindu-rindu pun mulai terasa dekat kehadirannya. Abdul mempersilakan Solihun masuk ke dalam rumah, akan tetapi pria itu lebih memilih duduk di teras rumah. 

 

“Wah, Pak Solihun ada hal baik apa ini tiba-tiba main ke rumah anak saya? Tetapi anak saya, Akmal baru saja pagi tadi pergi bersama keluarganya berlibur!” jelas Abdul membuat Solihun mengerutkan dahinya.

 

“Lah, Pak Abdul kok masih di sini? Bapak kan termasuk keluarganya juga!” 

 

Abdul tersenyum getir sesaat merunduk. Lalu mengangkat kepalanya sambil tersenyum lebar. “Saya lebih suka berada di rumah, Pak. Karena usia saya yang semakin tua ini jadi gampang merasa lelah bila haruss berlama-lama duduk!” Pak Solihun meringis sambil manggut-manggut. 

 

“Sebentar Pak. Saya kemari ingin menyampaikan panggilan dari seseorang yang katanya mengenal Bapak, dan sangat ingin berbicara dengan Pak Abdul!” ucap Solihun membuat hati Abdul bergetar. Telepon genggam di tangan Solihun berpindah tangan ke Abdul, sambil menaik-turunkan kerangka kacamatanya agar bisa memandang lebih jelas wajah seseorang penelepon. 

 

Ketika telepon panggilan video itu mulai terhubung, muncullah wajah seorang wanita yang rambutnya panjang tergerai indah dan berkilau itu, dengan senyum yang masih setia merapatkan bibirnya. Dadanya terasa hangat, air mata berenang-renang di matanya. Kata-kata kangen tak mampu terucap, terus menancap di pangkal lidah yang kelu. Gemi yang mengamati dari sisi sang nenek, rasanya tak kuasa membendung tangis haru biru karena sakitnya kerinduan yang akhirnya menemukan obat rindu. Mengapa orang-orang yang kakek dan neneknya sayangi tak memberikan hak kebebasan itu. Kini mulai terasa, bahwa keluarga tampak seperti orang asing. Dan orang-orang asing justru seperti keluarga yang sangat dekat. 

 

 

“Hai, Kek Dul! Gimana kabarnya di sana? 

Kapan Kakek main ke rumah? Gemi kangen banget sama Kakek! Termasuk juga Nenek!” ucap Gemi matanya bersinar, pipi Samirah memerah. 

 

Abdul tersenyum tipis. “Bagaimana dengan Ibu dan Bapak Kamu, apa mereka juga sangat merindukan ku, Nak?” Gemi menatap wajah Samirah, lalu menatap layar telepon genggam itu yang berandai-andai seseorang yang ada di dalam itu bisa keluar dan hadir di tengah-tengah Gemi dan Samirah saat itu juga. 

 

“Yah pasti kangen lah, Kakek Dul. Kita kan ketemu terakhir pas lebaran idul fitri, enam bulan yang lalu loh!” 

 

“Sabar ya, sebentar lagi kita akan bertemu. Jaga kesehatan kalian semua di sana. Sampai di sini dulu yah, ngobrolnya. Kasihan Pak Solihun yang harus menunggu lama di sini!” jelas Abdul membuat Samirah dan Gemi tertawa kecil sambil menganggukkan kepalanya seraya melambaikan tangan. Wajah kedua pertama hatinya itu pun lenyap dari pandangan matanya yang berusaha memotret agar momen-momen rindu itu terekam.

 

 

Seketika Gemi menepuk dahinya keras sampai neneknya tersentak. Dia lupa menanyakan kabar paman Akmal dan bibi nya Wulan. Samirah juga baru saja teringat akan hal itu. Pak Solihun pun pamit untuk pulang karena sudah membuat janji dengan seseorang. Dan lagi, rumah semegah itu kembali sunyi. Abdul masih mengikat rapat pinggangnya. Dia menuju ruang dapur, memang bahan-bahan makanan tersedia. Abdul memang begitu mahir mengolah makanan, bahkan ketika dia pernah pergi merantau jauh. Dari sekian banyaknya lelaki-lelaki gagah perkasa, hanya Abdul lah yang lihai meramu bumbu-bumbu dapur menjadi masakan yang lezat. Tak kuasa Abdul melihatnya, bila saban hari teman-teman kerjanya harus menyantap telor mata sapi itu dengan mie instan. 

 

Di kala sore itu hujan turun dengan lembut, dan turut membasahi hati yang kering kerontang. Hanya Abdul dan Samirah di rumah yang hanya berdinding bambu yang mulai usang, yang mana telah membersamai keduanya bersama-sama hidup untuk menghidupi lima kepala orang. Di ruang tengah, sambil memandangi bulir-bulir yang mengantongi virus berupa rindu.

Dua mug keramik creamy latte panas dan roti canai isi tiramisu yang mana varian rasa itu adalah favorit dari istrinya, Samirah. Meski Abdul lebih menyukai varian rasa coklat. 

 

“Sudah hampir 40 tahun loh, seusia pernikahan kita. Kamu terus saja mencicipi apa yang tidak kamu suka. Memangnya kamu enggak rindu rasa coklat itu yah?” tanya Samirah sambil pelan-pelan menyeruput coklat panas. 

 

Abdul menyeringai. “Apa yang kamu suka, aku pun juga suka. Karena rasa coklat favorit ku, sudah ada di dalam dirimu. Manis dan buat candu!” Samirah geleng-geleng kepala sambil terkekeh mendengar rayuan suaminya yang nyaris kepala enam itu. Abdul menggeser lebih dekat kursi duduknya ke arah Samirah, lalu membelai rambut panjangnya yang tergerai indah dan berkilau, mengelus-elus pipinya yang berubah menjadi apel merah, dan memeluknya di pundak. 

 

Rintik-rintik hujan membungkus jendela ruang tengah yang menyisakan jejak jumlah partikel-partikel bulir kecil petrikor menghiasi aroma manis cumbu sepasang kekasih tua yang cintanya kian bertumbuh. 

 

Hujan pun turun begitu deras mengguyur hingga berganti malam. Abdul matanya basah, senyumnya simpul. Dia pun hanya menyeruput secangkir teh hijau hangat, karena hanya itu yang ada. Ketika suara tangisan langit mulai terdengar reda, hanya denting jam dinding yang menemani keheningan malam itu di rumah yang megah. Apa yang harus aku katakan pada Samirah jika sudah bertemu nanti kalau aku tidak betah tinggal di sini, batinnya gelisah di atas dipan yang selembut sutera itu. Dia pun pelan-pelan mencoba untuk memejamkan mata, berharap isi dalam kepalanya yang penuh resah itu juga tertidur lelap. 

Beberapa kuas dan cat warna pun mulai tersusun rapi di kotak perkakas sebagai alat tempur Gustin besok pagi, Rusmini berjalan mendekati suaminya itu, dan turut duduk berbersimpuh di sampingnya. Samirah keluar dari kamar seraya menyanggul rambutnya, dan berhenti melangkah lalu berhenti sejenak karena melihat anak dan menantunya itu tengah  ada di ruang tamu. 

 

"Setelah menikah, aku jadi merasa jauh banget mengenal kamu loh!" ucap Rusmini membuat Gustin tersenyum simpul. 

"Ya jelas. Kamu aja udah enggak mau tidur sekasur sama aku! Sejujurnya aku kedinginan tau!" jawab Gustin menggoda istirnya yang membuat Rusmini bergidik.

"Kamu sendiri kan yang bilang, kalau udah terbiasa sekarang tidur di lantai yang katanya lebih bisa buat adem!" 

Abdul tersenyum sambil geleng-geleng kepalanya. "Apa pun akan aku lakukan demi perut kita semua yang ada di dalam rumah ini selalu merasa kenyang!" Rusmini matanya bercahaya, dia tak gengsi untuk meletakkan kepalanya di pundak Gustin. 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags