Loading...
Logo TinLit
Read Story - Warisan Tak Ternilai
MENU
About Us  

Gemi mengembuskan napas berat lalu mengambil posisi tegak. Rusmini berjalan ke arah putrinya itu sambil bertolak pinggang dengan mata yang dibakar menyala-nyala. 

 

"Kenapa kamu melihat Ibu seperti itu?" seru Rusmini lalu melipat kedua tangannya di depan dada, terlihat jelas detak jantungnya itu memompa cepat, "Mau nyinyir Ibu juga, yah?" Kedua alisnya pun menyatu, bibirnya mengatup rapat. 

 

Mencoba untuk tetap diam, selalu mengira bahwa perasaan kita tengah kesal, marah, membenci keadaan itu padahal kita hanya butuh jeda sejenak dan salah satu cara untuk bisa meredam hawa nafsu yang bila ditumpahkan malah justru akan menambah masalah. Aku harus gimana lagi yah, diam salah. Ngomong apa lagi, bisa makin menjadi-jadi, batin Gemi sambil mengembuskan napas pelan. 

Dia memasang senyum manis lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Sang ibu justru mengernyitkan dahinya.

 

"Mau marah, yah marah aja! Enggak usah sok manis gitu! Nanti asam lambung, gula darah kamu jadi naik!" ucap Rusmini dengan lantang membuat Gemi melongo.

Gustin yang baru saja menyembul dari pintu kamarnya itu menatap dengan aneh, karena merasa kebingungan. 

 

"Ada apa sih, Rum? Gemi buat masalah lagi?" cetus Gustin yang berdiri di dekat anak perempuannya itu, dan membuat Gemi melotot sambil menelan ludah. 

 

"Gem, sudahi ngepel mu itu. Karena Ibu sama Bapak perlu bicara empat mata!" sahut Rusmini dengan penuh penekakan. Gemi pun berjalan mundur sambil menarik timba berisi air dan tongkat pel. Dia pun menuju ke ruang dapur. 

 

Gemi berkelebat pergi menghampiri sang nenek yang duduk di dingklik kayu kecil yang menghadap ke wajah tungku api. 

Samirah yang mulai merasakan suara yang seperti hisapan itu yang berderit-derit, mirip gesekan keras antara sandal dan kaki,

yang memekakkan daun telinganya itu pun langsung menoleh ke depan. Dan ternyata suara itu berasal dari kedua sandal jepit dari cucunya, Gemi kemudian turun dari tangga plester secepat kilat ke arah neneknya. 

Samirah pun mangkat berdiri, sementara Gemi masih mengatur napasnya yang memburu, dan perlahan-lahan menarik napas panjang dan mengembuskannya pelan. 

 

 

"Kayaknya habis ini bakal ada perang dunia kedua deh, Nek!" ucap Gemi membuat alis Samirah menyatu sambil menghuyungkan tubuhnya dan menempel lekat-lekat daun telinga di dekat cucunya itu.

 

"Ibu barusan bilang kalau mau bicara empat mata saja sama Bapak, Nek!" imbuhnya lirih dengan raut wajah yang berubah jadi muram. 

Samirah mulai gelisah, dan dia pun meminta Gemi untuk tetap berada di dapur. Sedangkan dia bergegas pergi masuk ke dalam rumah untuk memastikan keadaan baik-baik saja. 

 

Di ruang makan, di antara meja yang kosong. Kata demi kata lara yang mengendap lama itu ditumpahkan saja saat itu juga, meski tidak bersama air mata yang menggenanginya. Rasa itu tetap payau yang mengandung racun. Lelaki yang dibanggakan, dipuja-puja itu kini hanya bisa mematung dan membisu. 

Rusmini memang mengangumi seorang laki-laki yang mampu mendengar keluh kesah dan mampu meredam api amarah dari perempuannya, akan tetapi dia juga berharap lelaki itu juga ingin mengetahui jalan keluar dari mulutnya. 

 

"Kenapa, Mas?" ucap Rusmini berlinang air mata, suaranya parau, terisak. Gustin hanya tertunduk diam, "Aku enggak pernah loh tuntut kamu buat kerja saat kamu lagi enggak ada pekerjaan!" 

 

Rusmini mengembuskan napas pelan. "Kamu tau enggak, selama aku hidup di tempat ini. Aku enggak pernah loh, ngomongin orang, apalagi sampai nyinyirin anak-anak orang sini. Tapi kenapa mereka malah ngelakuin itu semua ke aku, dan keluargaku? Mereka bilang kamu sengaja lah lama-lamain kerjaan kamu agar bisa terus bekerja dan bisa tetap dapat upah, terus juga bilang kalau Gemi yang harusnya membalas jasa orang tuanya, malah jadi pemalas lah!" Samirah yang secara diam-diam mencuri dengar ucapan dari anak dan menantunya itu seketika mengelus-elus dadanya. Sementara Gemi yang berdiri di balik tirai bilik pemisah antara ruang tengah dan ruang dapur mendesah putus asa, tubuh merosot. 

Rusmini mengambil posisi berdiri, Gusti mengangkat kepalanya dan menatap lekat wajah istrinya yang lebam karena sekantong air mata, "Kalau kamu enggak sanggup, aku enggak masalah Mas. Aku bisa gantikan kamu cari uang. Dan aku masih mampu, daripada aku harus denger mereka mengolok-olok suami dan anakku!" 

Suasana hening, hanya terdengar hembusan napas yang lembut. Rusmini memutar bahu dengan dingin. Gustin hanya meremas-remas tangannya. Dalam ketenangan, seharusnya dapat membuat berpikir jernih. Tetapi Gemi, dalam tenang membuatnya semakin karut-marut. Kepalanya penuh kebisingan, hatinya pun memilih untuk menyerah. 

Dia merasa lelah, lagi dan lagi kenyataan hidup membuat dirinya kalah ingin menyerah. 

Tetapi bagi Rusmini, keheningan dan pelataran kebun terlantar yang disambut angin bertiup lembut dari pohon-pohon yang berjajar melingkarinya, seakan-akan memeluk dirinya yang rapuh. Selalu menjadi teman baiknya ketika sorak-sorai dalam isi kepalanya dimuntahkan, tetapi tetap dibiarkan begitu saja. Keheningan dan pelataran kebun terlantar menjadi pelipur lara sementara, tubuhnya meringkuk ke posisi janin dan tubuhnya bergetar dengan isak tangis, tiba-tiba saja merasakan kelembutan sehangat selembut sutera yang membaluti tubuhnya dinginnya memuncak. 

Saat dia mengangkat kepala, lalu buru-buru mengusap air mata yang mengeras di pipinya karena melihat sang ibu yang tiba-tiba berdiri di dekatnya itu sambil mengelus-elus lembut kepalanya. Samirah pun ikut duduk dengan kedua kaki yang bersiku. 

 

"Ibu mendengar semuanya!" ucap Samirah membuat Rusmini merunduk cemas, "Bertengkar itu sesuatu yang lumrah bukan dalam berumah tangga. Yang enggak baik itu, saat pertengkaran itu terjadi dan anak-anak mu mengetahuinya, Min!" 

 

"Kasihan anakmu, pikirannya terus bingung karena enggak tahu harus berbuat apa. Yah, dia memang tidak seperti diriku, tetapi dia seperti dirimu dan juga Gustin. Yang kemuannya keras, juga tipikal yang gampang perasaan! Kamu juga jangan terus-terusan beraninya cuma ngomel ke muka anak dan suamimu, tunjukkan kalau apa yang menjadi keresahanmu itu sebagai senjata bagi mereka yang merendahkan mu juga suami dan anakmu!" Rusmini menoleh ke arah sang ibu, dan mulutnya pun melengkung membentuk senyuman. 

Esoknya, ketika Samirah duduk bersanding dengan Rusmini duduk di ruang tamu. Sementara Rusmini sambil mengamati daun pintu kamarnya yang menantikan sang suami menyembul dari balik pintu, meski sudah beberapa jam yang lalu. Terdengar suara gagang pintu kamar yang berderit, Rusmini mengambil posisi tegak, sambil berdeham. Namun ternyata, justru yang keluar adalah Gemi. 

 

Gemi mengikat rambutnya untuk disanggul, lalu berjalan ke ruang tamu seraya menyeringai. 

"Ibu cari siapa? tanya Gemi menaikkan alisnya, "Cari Bapak, yah?" Sang ibu hanya mengangguk pelan sambil merunduk.

"Bapak udah pergi dari subuh tadi, Buk!" timpalnya membuat Samirah dan Rusmini tersentak. Mengapa Gustin pergi sepagi buta, sementara Rusmini belum sempat bicara pada suaminya setelah sempat bersitegang. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags