Loading...
Logo TinLit
Read Story - Warisan Tak Ternilai
MENU
About Us  

Menjadi Asisten Dosen adalah impian bagi Rahma Anindita, keinginannya itu membuncah sejak dia duduk di bangku sekolah menengah pertama. Kala melihat dari kejauhan Ayahnya ketika belajar di ruang tamu dengan jari-jemarinya yang menari-nari di lantai keyboard komputer. Setiap orang-orang yang bertamu ke rumah lama masa kecilnya, mereka selalu mendecak kagum pada komputer dan CPU juga aseksoris lainnya yang tertata rapi di pojok ruang tamu. Bahkan, sejak Rahma masih berusia 10 tahun telah begitu memahami ilmu dasar mengoperasikan komputer. Sang ayah adalah sarjana IT yang kemudian menjelma sebagai seorang Rektor Ilmu Science. Tak heran bila sampai detik ini rambut Ayahnya itu tak sudi tumbuh dengan lebat, bahkan meskipun sang ayah tidak lagi membongkar-pasang komputer. 

Lalu ketika Rahma masuk ke jenjang sekolah menengah atas, komputer kesayangan Ayahnya itu harus diangkut salah seorang teman satu angkatan di kampus sang ayah karena anaknya sangat membutuhkan komputer sebagai media belajar. Sabil begitu sayang pada komputer yang membersamai nya selama 14 tahun itu. Akan tetapi, Sabil tetap mengesampingkan itu demi biaya sekolah sang putri. 

Pada saat Rahma yang duduk di bangku kelas 11 menengah atas, diajak berkunjung ke toko laptop. Sabil, ayahnya berlinang air mata. 

Dan berkata, Ayah dulu menjual komputer kesayangan untuk menutupi kekurangan dalam hidup, sebuah hal yang wajar. Sekarang, harganya yang lebih terjangkau, model baru, tetapi lucunya banyak orang yang ingin memilikinya kalau bukan untuk sebuah ajang pujian semata. Kalau kamu ingin memiliki sesuatu yang mungkin sulit digapainya, lalu ketika kamu mendapatkan peluang itu. Jaga dengan baik, jangan biarkan dia hilang dari genggaman bersama alasan apa pun. Kamu ingin memiliki satu buah laptop yang terpajang di sana, sama seperti kamu mencari cinta sejati. Yang datangnya cepat belum tentu menetap. Begitu juga yang datangnya lambat, belum tentu tak terikat. Harapan itu bukan hanya ada dalam riuhnya dari rintihan bibir, tetapi juga bisa dalam diam yang dipenuhi doa. Di atas kasur, tubuh Rahma pun meringkuk ke posisi janin. 

Dalam diam pun takdir dan tragedi masih mampu bercanda dengan dirinya. 

Rahma tak ingin, hidup yang masih seperti ini. Dia ingin semua berjalan sesuai dengan apa yang menjadi harapan, setelah lulus sekolah, lalu melanjutkan pendidikan ke jenjang perguruan tinggi, dan apa yang didoakan dalam hati kerap kali tergapai. Setelah kejadian ini, Rahma pun menyadari bahwa seseorang yang mengharapkan sebuah keinginan itu juga harus bersiap untuk mengalami ketidakmungkinan dari harapan itu. 

 

"Hai, Gem. Maaf yah kalau banyak salah selama ini. Tapi aku janji, bakal balik lagi. Aku cuma mau bilang, kalau mungkin kemarin sore adalah pertemuan kita berdua yang sementara jeda. Aku enggak tahu bakal sampai kapan, tetapi kamu harus tahu. Kalau aku seperti ini bukan karena sudah berubah, aku masih dengan Rahma yang sama. Aku cuma ingin kejar mimpiku menjadi Dosen! Cepet nyusul yah, aku tahu ini bakal jadi yang enggak mudah. Aku percaya kamu bisa meraih mimpi itu juga. Udahlah, main-mainnya. Enggak capek apa berlalu-lalang terus cari sinyal wifi gratisan? Hahaha, bercanda. Eh, tapi kenyataan yah! Sampai ketemu lagi, Gem. Jangan kangen-kangen yah! Tulis pesan chat Rahma di hari esoknya. 

 

Hari terus berganti, Gemi masih merenungi di teras rumahnya. Hari Sabtu dan Minggu pun rasanya seperti hari-hari luar biasa yang harus dijalani dengan suka hati meski terkadang kita belum benar-benar menikmatinya dengan hati. 

Melihat Gemi berjalan kian kemari sambil kepalanya celingak-celinguk di luar pagar rumah, Nenek Mirah berjalan mendekati cucunya itu, dan menepuk pundaknya pelan hingga membuat Gemi tersentak. 

 

"Apa yang membuat kamu jadi gelisah?" tanya Nenek Mirah, "Kamu janji loh, untuk bersedia cerita apa pun sama Nenek. Jadi sekarang Nenek tagih janji kamu itu!"

 

Gemi manggut-manggut. "Tiba-tiba Rahma menghilang gitu aja, Nek. Padahal, dia enggak pernah absen di hari Sabtu dan Minggu buat ajak Aku jalan bareng!" 

 

"Makanya, kamu buruan cari kesibukan dong! Supaya kamu enggak jadi orang yang terlalu berharap gini!" sahut Rusmini tiba-tiba muncul di antara Gemi dan Nenek Mirah. 

 

"Sudahlah Rum, jangan bahas persoalan itu lagi. Aku enggak masalah kok bila harus kerja sampai mati pun! Karena ini sudah jadi tanggung jawab aku sebagai seorang Ayah untuk anak perempuan Ku!" timpal Gustin membuat Gemi tersenyum getir. Rusmini mengembuskan napas pelan, lalu kembali masuk ke dalam rumahnya, "Gemi, nanti kalau kamu mau keluar, sekalian Bapak minta tolong kamu belikan kuas yah. Ini uangnya!" 

 

Gustin mengulurkan selembar uang kertas limah puluh ribu rupiah pada Gemi yang masih merenung. Nenek Mirah menatap menantunya kebingungan. 

 

"Kamu keberatan yah, Gem?" tanya Gustin sampai memiringkan kepalanya, menatap penuh wajah putrinya yang kosong, "Gem?"

 

Gemi lalu tersadar, lalu mengangguk cepat, dan kembali tersadar kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan maksud menyetujui perintah Bapaknya. 

Saat kakinya menapak tanah basah karena meteor embun yang jatuh. Seorang wanita bertubuh mungil, wajah oriental, rambut hitam berkilau sepundak itu, dan mengenakan pakaian kemeja dan celana jeans biru tengah memapang senyum lebar pada Gemi. 

"Permisi, Kak. Perkenalkan, nama saya Adinda Maharani dari Perusahaan KAS (Kami Ada Selalu) yang ingin menawarkan jasa pada Kakak nya. Bisa Kakak baca terlebih dahulu, kok!" ucap wanita itu sambil mengulurkan selembar map plastik berwarna merah marun pada Gemi. 

 

Gemi mulai membaca isi dari apa yang terselip di dalam map marun plastik itu, sambil sesekali garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Gemi pun mengangkat kepala dan tersenyum tipis.

"Jadi ini maksudnya gimana yah, Mbak? Jujur saja saya kurang memahami isi dari surat itu!" 

"Oh, gini Kak saya bisa jelaskan secara detil. Akan tetapi, bisakah saya numpang duduk dulu di teras rumah Kakak?" jelasnya lirih membuat Gemi mengangguk-anggukkan kepalanya lalu mempersilakan wanita mungil itu untuk duduk di bangku kayu teras rumahnya. 

Adinda Maharani, adalah pekerja wanita yang berada di bawah naungan orang paling kaya di kampung sebelah. Perusahaan penawaran jasa kredit uang, juga meneima jasa menggadaikan barang, dan surat-surat berharga. Adinda Maharani tinggal di desa sebelah, kecamatan yang beda dengan tempat tinggal Gemi dan Rahma. 

"Oalah, hampir sama gitu yah Mbak nya sama si Mata Elang!" 

"Maaf, mataa elang itu apa yah Kak?"

Gemi meringis. "Itu loh, Abang-abang tampan, modis, pakiannya jaket kulit dan sepatu pantofel yang berkilauan. Kalau datang musti rombongan!" 

"Oh, bang titil yah Kak! Cuma beda di angka gaji sih Kak. Sebenarnya juga sama-sama menawarkan jasa kredit uang!" jawab Adinda tersenyum lebar. Gemi tersenyum getir sambil manggut-manggut. 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags