Bagaimana bisa bertahan anak-anak yang tumbuh di masa seperti yang dirasakan Ibunya, Rusmini dengan pola asuh yang dijuluki 'VOC' dengan pendekatan keras dan otoriter, gaya pengasuhan yang menekankan kedisiplinan ketat, aturan yang tegas, dan kontrol yang tinggi dari orang tua terhadap anak. Bahkan, pola asuh anak yang demikian tak hanya berakhir pada generasi Y atau disebut millennials, untuk mereka yang lahir pada tahun 1980-1996. Akan tetapi masih berjalan pada generasi setelahnya, Z, bahkan Alpha.
Dan Rahma, sahabatnya. Dia terlahir di dalam lingkungan pola asuh authoritative. Setiap keinginan dan kegelisahannya yang didengar oleh kedua orang tuanya. Selain itu juga kedua orang tua Rahma adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi. Ayahnya seorang Rektor di universitas swasta sedang Ibunya yang menjadi wanita karir, sebagai Auditor di perusahaan furniture.
Di rumah minimalis namun modern itu Rahma hanya seorang diri yang hari demi hari mendikte waktu. Rahma bukan wanita pengangguran, hanya saja pekerjaannya begitu senyap dan tersembunyi. Dia bekerja dalam 5 hari, Sabtu dan Minggu adalah menjadi hari miliknya yaitu untuk mencintai dirinya sendiri. Duduk sambil menghadap layar laptopnya sebagai host sales shopping mall yang juga berperan sebagai mahasiswi kuliahan semester 4. Di usianya yang telah menginjak 32 tahun itu belum tampak tanda-tanda muncul keinginan untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Jangankan untuk menikah, dapat cogil saja begitu susah. Hidupnya begitu tenang, tak seperti hidup Gemi yang saban hari terus berperang melawan dirinya sendiri, juga berharap setiap berganti hari bisa berganti strategi perang batin dan pikirannya.
Sebab itu, Rahma dan Gemi dapat terhitung jari saling bertemu. Zaman memang sudah canggih. Jika lama tak bersua, biarlah video call yang menjadi jembatannya, kapan, dan di mana pun. Pasalnya, apa yang bisa diandalkan Gemi. Selagi dirinya pengangguran, streaming nonton video premium saja tak mampu karena hanya mengandalkan kekuatan sinyal wifi di rumah tetangga nya, yang hanya berjarak 5 meter dari rumahnya akan tetapi jatah data yang magic itu nyatanya sulit diajak kompromi. Jadi, meski bisa berkomunikasi pun suasana nya tak akan pernah berubah, karena hanya bisa menikmatinya di dalam rumah saja. Meski terkadang, Ibunya kerap menyuruhnya untuk beli kuota karena lagi-lagi merasa sangat gemas melihat putrinya itu memusingkan telepon genggamnya juga berlalu lalang di sekitaran teras rumah demi meraih jatah data yang banyak. Tetangga-tetangga sebelah pun sudah memaklumi hal itu, tak ingin ikut campur dengan kehidupannya.
Akan tetapi, justru tetangga nya yang ada di ujung Merauke lah paling besar rasa keingintahuannya pada kehidupan Gemi dan keluarganya.
Dan sore itu, Rahma rampung lebih cepat dari sore-sore sebelumnya. Gemi juga memiliki waktu luang usai beres-beres rumahnya.
Urusan anak muda Nenek Mirah tak ingin banyak tanya dan bicara, asal tetap pada jalan yang lurus. Dua dara itu akhirnya memutuskan untuk saling bertemu lalu menikmati waktu bersama di luar lingkungan rumahnya. Sebelum Rahma datang menjemputnya, 30 menit sebelum jarum jam itu berangsur angsur tergerus Gemi berkelebat pergi ke konter pulsa dan kuota yang juga menjualbelikan berbagai aseksoris telepon genggam, sengaja Gemi ke sana untuk membeli pulsa kuota agar lebih leluasa hangout bareng Rahma tanpa perlu merasa enggak enakan mau bilang hotspot.
Di kafe Ndelik, bangunan pelipur lapar dan lara yang masih bertembok batu bata merah merekah. Dengan dua lantai. Dan kebetulan, Gemi dan Rahma sama-sama menyukai suasana yang teduh.
Di rooftop, yang beratap langit langsung.
Sebagain tertutup oleh paranet.
Duduk di sana, bisa memandangi lebih dekat senja mencumbui kaki langit. Melihat dan mendengar laju cepat dan pelan mobil-mobil yang melintang di sisi rooftop kafe itu. Dipeluk angin yang semilir. Kafe Ndelik juga dengan suka rela memberikan password wifi nya, dengan sebuah papan tulis kecil yang menggantung di langit-langit di antara lampu-lampu kecil kafe, secara gamblang tanpa penuh teka-teki, juga sebuah kalimat yang tak begitu kuat untuk dijadikan standarisasi password wifi, 'Terima Kasih' .
"Lihat deh, password wifi kafe ini. Unik banget, yah!" ucap Gemi dengan mata yang bersinar sambil jari telunjuknya di hadapkan ke arah papan password wifi. Rahma mengangguk sambil tersenyum tipis, "Minta enggak pun password wifi di sini, mereka tetap memberikan ucapan apresiasi. Sederhana sih, tetapi sebagian dari kita enggak pernah menyadari kata itu!"
"Kamu bener Gem. Tanpa sadar, kita juga diingatkan kalau kita perlu mensyukuri hal-hal kecil yang baik maupun buruk di sekitar kita. Diberi kesempatan untuk bisa bangun esok pagi aja, kita lupa berterima kasih. Hari-hari mood juga enggak tentu, kita terlalu memikirkan pada hasil. Padahal seharusnya, kita tuh harus percaya di setiap prosesnya yang pasti akan menuntun jalan baik menuju hasil!" jelas Rahma lalu terdiam.
"Alhamdulillah, Wifi-nya enggak lemot loh! Makin betah jadinya!" timpal Gemi sumringah.
"Kamu serius mau pakai wifi kafe ini?" cetus Rahma alisnya menyentak bersama-sama, Gemi mengangguk-anggukkan kepalanya cepat, "Hotspot ke aku aja, kebetulan lagi dapat gratisan kuota. Sayang banget kalau enggak kepake!"
Gemi tersenyum lega, hmm tau gitu tadi enggak beli pulsaa kuota yah. Tapi semua ini terjadi, kalau enggak ada sebab akibatnya juga sih, batinnya manggut-manggut pelan.
Di kala situasi sekitar kerap kali membuat diri kita merasa jenuh, jera. Selalu ada hal baik berdatangan dari hal yang tak pernah terduga meski kita menemukannya di kehidupan sehari-hari, akan tetapi yang pasti jarang sekali ada.
Sesampainya Rahma di rumahnya, sang ayah berdiri di ambang pintu kamarnya sambil menggenggam secarik kertas yang dicengkeramnya erat. Dengan wajah merah padam, senyum getir, mata yang menyorot tajam membuat Rahma memucat. Sementara Sang ibu hanya berdiam diri dengan bibir gemetar di balik pintu kamarnya yang setengah terbuka.
"Selamat malam, Ayah!" ucap Rahma sudut bibirnya terangkat, "Ayah udah selesai acara meet zoom nya?"
Sabil, sang ayah Rahma mengangkat secarik kertas yang tergulung ke muka anak perempuannya itu, sambil memejamkan matanya. Rahma mengerutkan keningnya.
"Tadinya, Ayah mau tunjukkan ini sama kamu. Setelah Ayah tahu kamu begini, ya enggak jadi. Kamu pasti enggak akan mampu, karena hal ini butuh tanggung jawab yang penuh!" jelasnya dengan penuh penekakan, "Berulang kali Ayah ngomong gini ke Kamu, cepatlah sadar. Jangan terus menerus kamu terlena dengan duniamu itu, Rahma!"
Sang Ayah melangkah pergi dari hadapan Rahma. Bunda nya, bergegas menutup rapat pintu kamarnya. Rahma membalik badan ke arah pintu rumah, menatap nanar punggung sang ayah yang semakin jauh.
Rahma baru teringat, pesan Sang Ayah usai pulang mengajar di Kampus. Bahwa dia akan datang menemui Rahma dengan membawa impian yang selama ini Rahma dambakan. Lalu, impian itu akan musnah dalam sekejapan matanya saja.