Malam hitam gulita berkilau, yang turunnya deras hanya tangisan Gemi yang membanjiri pangkuan Neneknya.
Dalam keheningan, hanya terdengar satu tarikan napas yang lalu diembuskannya dengan rasa berat.
Nenek Mirah masih mengelus-elus lembut kepala cucunya itu.
Perlahan Gemi mengangkat kepala, menatap wanita di sampingnya sambil menampakkan mulutnya yang melengkung membentuk senyuman manis.
“Kalau Nenek jadi aku, apa yang akan Nenek pilih? Menikah atau cari kerjaan?”
Nenek Mirah tersenyum getir. “Bila tahu akan menjalani hidup seperti sekarang ini, ya aku akan memilih untuk tetap bekerja meski sebagai seorang buruh tani, pikiran masih tertuju pada jajan makanan, terus jalan-jalan ke pasar beli baju baru setiap bulan nya. Tapi karena Buyut mu bilang menikah itu harus, agar aku bisa merasakan bagaimana menjadi seorang anak, lalu di masa remaja aku menjadi seorang wanita mandiri, dan ketika dewasa aku dipinang seorang laki-laki kemudian merasakan menjadi seorang ibu. Jadi, menikah atau kerja dua hal yang berbeda, tetapi keduanya adalah sebuah keharusan yang bisa dijalankan bersamaan. Bukan begitu, Em?” Gemi merunduk, sambil menganggukkan kepalanya.
Menikah dan bekerja adalah takdir setiap manusia. Meski sebagian tidak mendapatkan kesempatan dari salah satunya. Ada yang baru lulus sekolah menengah pertama lalu menikah, ada yang masih berusia 13 tahun sudah bekerja sebagai buruh cuci piring di warung lesehan pinggir jalanan. Dan Gemi tinggal menentukannya. Akan tetapi, di satu sisi Gemi juga cemas dengan pilihannya.
Nenek Mirah menepuk-nepuk pundaknya, melihat rembulan menggigil di balik selimut awan gimbal, Gemi sampai tersentak lalu beranjak dari atas bangku pondokan Pos Kamling. Keduanya pun akhirnya kembali ke rumah.
Matanya terbuka, dan menatap nanar ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul 4 pagi. Suara dengkuran halus yang membuat Gemi tergugah untuk beranjak dari tempat tidur, meski sang nenek masih tertidur pulas.
Sejenak Gemi terdiam, menjagal hatinya untuk bangkit dari kasur.
“Tumben nenek masih tidur? Biasanya jam segini udah wangi!” ucapnya lirih kembali melirik ke arah Nenek Mirah, “Nek, udah siang ini. Hari ini mau masak apa Nek?”
Nenek Mirah tiba-tiba membuka mata, lalu berkata, “Hari ini Nenek tiba-tiba jadi malas masak. Kamu mandi yah, karena habis ini Nenek mau ajak kamu jogging pagi!”
Apa itu jogging, bagi seorang wanita seumuran Nenek Mirah yang mayoritasnya sebagai petani, dan buruh tani di kampung tempatnya tinggal dulu. Bangun untuk ibadah, bertemu Tuhan-Nya lalu menjadi pelayan Tuhan-Nya dengan menanak nasi di depan tungku api belakang rumah yang masih berdinding bambu lapuk. Lalu berangkat ke sawah pagi buta, kembali menjelang lembayung senja mulai berarak ke ufuk barat. Melihat wajah Nenek Mirah di dalam rumah itu, hanya bisa dihitung jari saja. Tak ada waktu untuk bercerita, apalagi mengulang kasmaran dengan suaminya. Akan tetapi di masa kini, kehidupan Nenek Mirah yang membuatnya jauh dari sang suami berhasil telah merubah pola pikirnya. Gemi benar-benar dibuatnya menganga, dan geleng-geleng kepala.
Saat Gemi melewati ruang makan, tudung saji yang tertata rapi di atas meja makan yang kehilangan separuh selimutnya karena tersapu angin yang membuat Gemi melongo juga murung karena melihat makanan yang dibuatnya kemarin sore itu masih utuh.
Nenek Mirah keluar dari kamar, dia menggigit jari melihat Gemi yang mematung di sana.
“Kamu lapar, enggak?” tanya Nenek Mirah mengejutkan lamunan Gemi, “Nenek lapar nih, temani makan yah!”
“Tapi, Nek. Makanan itu udah kemarin sore, apalagi enggak dimasukin ke laci lagi! Kita beli aja nanti habis jogging!” jawab Gemi dengan napas memburu.
Nenek Mirah tersenyum tipis. “Emang kamu enggak sayang sama masakan seenak ini, mana dianggurin lagi! Kalau di luar sana, makanan seperti ini sudah pasti mahal harganya!”
Meski makanan yang telah dimasak Gemi hanya rendang, dan sayur lodeh kluwek. Setidaknya perjuangan dan nyali Gemi untuk mau memasak sudah begitu besar.
“Jangan sedih terus, Em! Rezeki itu sudah tertakar. Tinggal diri kita saja yang perlu diraba. Kalau kita suka sedih, murung, atau bahkan marah pun maka apa yang akan kita lakukan pun hasilnya akan berakhir sama seperti perasaan yang kita alami saat itu juga. Kamu sudah bikin makanan senikmat ini dengan susah payah, lalu karena kejadian semalam. Lihatlah, makanan yang kamu buat pun jadi enggak tersentuh, kan?”
Gemi merenungi, dia mengerti sekarang. Bagaimana dia harus bisa lebih menghargai setiap rasa dalam perasaan yang timbul dari bilik hatinya itu.
“Kalau gitu, aku panasin dulu yah Nek makanannya. Ini juga termasuk dari bagian cara menghargai kan, Nek?” ucap Gemi bersemangat membuat Nenek Mirah tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala. Gemi beranjak pergi ke dapur untuk angetkan makanan yang dibuatnya.
Seusai menyantap makanan, Nenek Mirah langsung mengajak cucunya itu untuk segera jogging pagi, agar lemak rendang dang sayur lodeh kluwek tak mengendap lama di perut, juga sebelum matahari muncul dan sebelum Rusmini juga Gustin terbangun dari tidurnya.
"Em, kamu yang se-tua ini masa enggak ada teman sih? Atau mungkin sahabat?" ucap Nenek Mirah di jalanan ketika melakukan lari-lari kecil.
"Ada sih, Nek. Namanya Rahma, tapi kita berdua jarak usianya jauh!"
Alis Nenek Mirah menyentak bersama-sama, dengan mulutnya yang sedikit mengaga.
"Habis ini kita mau ke mana Nek?"
"Ajak Nenek ke rumah sahabatmu itu, siapa tadi namanya?"
"Rahma?" Nenek Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gerbang Perum Chandra Na Wilis itu sudah mulai terbuka, seorang penjaga pos menyapa dengan senyum lebar dan teduh. Bulir-bulir embun hanya basah setitik di sini, sebab sebagian hunian tak menanam pohon di depan rumah. Saat Gemi dan Nenek Mirah berdiri di depan pagar rumah Rahma, hanya tampak sebotol air mineral di teras. Baru saja seseorang keluar dari rumah itu menggenggam tali skipping di tangannya lalu tangan yang satunya sambil menyeka keringat dengan handuk kecil. Rupanya Rahma, sedang melakukan aktivitas olahraga di teras rumahnya. Rahma seketika melotot, dia yang tidak menggunakan jilbab di kepalanya itu lalu hendak buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Akan tetapi Gemi menghentikan langkahnya.
"Ma! Udah tenang aja, enggak ada kamera sama sekali kok!" ucap Gemi penuh penekanan.
Rahma pun membuka pintu gerbang untuk Gemi dan Neneknya.
"Rahma, ini Nenek aku. Namanya Nenek Mirah! Katanya pengen banget nih ketemu sama kamu!" ucap Gemi sambil menunjuk ke arah Neneknya. Rahma langsung menciumi punggung tangan Nenek Mirah dan mempersilakannya masuk.
"Terima kasih, Rahma. Tapi Nenek dan Em enggak bisa terlalu lama di sini. Cuma mau bilang, kalau Em sangat merindukan kamu loh!" jelas Nenek Mirah membuat Gemi menoleh ke arahnya dengan mata melotot.
"Ya elah, Gem. Bilang kangen aja harus minta bantuan sama nenek kamu, gimana sih!" sindir Rahma membuat Gemi bergidik, "Si Gemi ini emang gini Nek. Terlalu selektif dalam menyampaikan pikirannya sebelum diungkapkan. Akhirnya jadi banyak tuh yang terpendam di sana, untung aja Gemi enggak sampai gila, Nek!"
Gemi menoleh ke arah Rahma sambil mengerlip-ngerlip kan matanya, berkata lirih tetapi penuh penekakan, "Ma, bisa tahan dulu enggak sih? Jangan semua dikeluarin!"
"Tai, Loh!" ucap lantang Rahma, Nenek Mirah mengaga lebar. Gemi memejamkan matanya, "Persis kayak kotoran, yang seharusnya butuh dibuang cepet-cepet jangan ditahan lagi. Nanti bisa nyakitin yang lainnya!"
Nenek Mirah manggut-manggut sambil meringis.
Gemi mengembuskan napas berat.