Seorang nenek terus mengulang-ulang dan memastikan apa yang telah kamu dapat dari ibumu di rumah itu cukup atau masih utuh.
Setelah melewati masa remaja, pecalah nalar mu. Pikiran yang terbuka, ketika dirimu telah mampu untuk berpikir kritis, memecahkan masalah dengan baik.
Jangan kesal, karena nenek sering mengulang-ulang ucapannya.
Sebab saat masih dirimu kecil, Nenek mu selalu dimintai membacakan dongeng si kancil dan raja hutan.
Jangan lukai perasaan nenek mu, sebab sewaktu dirimu kecil dia kerap berusaha untuk mengerem ucapannya yang kasar agar tak melukai hatimu.
Saat memijakkan kakinya di rumah, Gustin sambil menggendong tas ranselnya pun berhenti mendadak. Lalu menundukkan pandangannya lekat-lekat ke ubin. Dia melangkah pelan-pelan sambil sedikit menjinjit karena takut sepatu kets nya itu akan membuat sang ibu mertuanya terbangun, yang tengah terbaring di atas sofa ruang tamu.
Matanya sesekali melirik pada jarik yang dikenakan ibu mertuanya itu, yang tengah terjuntai ke lantai. Sejak pagi tadi ibu memakai pakaian itu, apa dia sama sekali enggak mau mandi yah. Apa kalau nanti Rusmini tua, dia akan seperti itu juga, kalau orang jawa bilang buang awak, batinnya gelisah. Matanya pun langsung kembali menatap ubin. Bruuk! Nenek Mirah tersentak, matanya terbelalak dan seketika mengambil posisi duduk sambil mengerlip-ngerlip matanya.
Gustin menggigit bibir.
“Bapak ngapain sih jalan nunduk-nunduk gitu? Untung aja yang bapak tabrak Ibu!” ucap Rusmini kesal.
“Ya maaf Rum, mata aku silau. Jadi biar enggak kunang-kunang jalan sambil nunduk aja gitu!”
Nenek Mirah beranjak dari sofa, lalu menatap ke arah pintu kamar Gemi yang masih tertutup rapat.
Bahkan, saat Bapaknya telah pulang pun Gemi enggan keluar dari kamarnya.
Rusmini juga melirik ke arah kamar putrinya.
Sampai langit berganti malam.
“Gemi mana? Kok dari tadi enggak keliatan anaknya?” tanya Gustin sambil celingak-celinguk mencari batang hidung putrinya, “Ah, itu dia!”
Gustin mengapa lebar sambil menunjuk Gemi yang berdiri di depan daun pintu kamarnya, dengan pakaian dan sisiran rambutnya yang rapi.
Rusmini dan Gustin yang tengah duduk bersama di ruang tengah itu beranjak menghampiri putrinya.
Gemi membuang muka, sambi mengepal erat tangannya.
“Gem, mau pergi ke mana? Apa perlu Bapak antar kamu?”
“Ibu enggak akan izinin kamu pergi malam ini!” tegas Rusmini membuat Gustin menoleh cepat ke arahnya sambil mengangkat alis, “Kamu tuh udah gede, bukan kayak anak yang baru aja masuk SMP. 25 tahun loh Gem..”
“Masih 24 tahun, Bu!” sahut Gemi memotong ucapan Ibunya yang membuat Rusmini geram. Gustin manggut-manggut.
“Kalau kamu memang beneran sudah merasa dewasa, hadapi saja lah orang-orang di luar sana dengan santai. Enggak perlu harus kabur-kaburan kayak gini!” pekik Rusmini membuat wajah Gemi merah padam.
Terdengar suara riuh dari luar rumah, nyaring suara gesekan dari sandal yang menggilas kerikil-kerikil di halaman depan membuat Gustin dan Rusmini saling bersitatap. Rusmini langsung menyadari, karena merasa sudah tak asingagi kalau yang bertamu itu adalah tetangganya, Bu Leya. Gemi masih berdiri di depan pintu kamar, tak berkutik.
“Assalamualaikum, Bu Rusmini!” ucap salam Bu Leya yang lantang.
“Waalaikumsalam, Bu Leya. Mari silakan masuk!”
Saat duduk di ruang tamu, tak lama kemudian datanglah piring terbang berisi kue putu dan secangkir teh manis yang disuguhkan untuk Bu Leya.
Bu Leya menatap lekat-lekat baju yang tengah dikenakan di badan wanita tua yang menyajikan teh dan kue di hadapannya, sampai matanya bercahaya.
Belum lagi, saat melihat kalung emas besar yang melilit leher wanita tua itu, makin dibuatnya menelan ludah meski sudah meneguk teh manis.
“Duh, senangnya yah menjadi Ibu pengasuh seperti Ibu ini. Kerjanya rapih, dan makanannya enak lagi. Pantas Bu Rusmini enggak tanggung-tanggung kasih semuanya! Ibu harus banyak bersyukur, karena mendapatkan tuan seperti Ibu Rusmini ini!” tukas Leya sambil melirik ke arah Rusmini. Gemi tampak meremas-remas lututnya yang merasa gatal ingin menyumpal mulut Bu Leya itu.
“Terima kasih, Bu. Saya sudah sangat bersyukur dianugerahi Rusmini yang sangat sayang pada keluarganya!”
“Cukup, Ibu! Sebenarnya ada perihal apa Ibu kemari?” sahut Rusmini dengan sedikit penekakan.
Bu Leya berdeham. “Saya cuma mau sampaikan sama Gemi, saya kemari bawa dua pilihan untuk dirinya. Pertama, ada lowongan pekerjaan untuk Gemi dan tempatnya juga enggak jauh kok dari sini. Tepatnya di perumahan depan sana! Kerjanya gampang kok, cuma ajarin ibu-ibu sosialita itu buat belajar memasukkan roti ke dalam plastik opp. Mudah, kan? Secara dulu Gemi pernah bekerja di toko roti!” Rusmini dan Gustin saling berpandangan.
“Nah, poin yang kedua adalah. Anak saya, mencari perempuan yang masih single untuk dijadikan seorang istri buat teman kantornya!” imbuh Leya membuat Samirah melongo. Gemi memejamkan matanya.
“Cukup Bu Leya! Ternyata ini yang dari dulu ingin Ibu sampaikan? Anak saya, Gemi meskipun pengangguran. Dia enggak leha-leha kok, dia justru semakin rajin mengerjakan pekerjaan rumah!”
“Satu lagi, Gemi masih belum saya izinkan buat nikah! Oh iya, asal Bu Leya tahu. Orang yang Ibu tadi sebut sebagai pengasuh, ya dia memang pengasuh, pengasuh saya dari sejak dalam kandungannya sampai Gemi sebesar ini!”
Leya melotot. “Maaf Bu Rusmini, Saya mana tahu bila Ibu enggak kasih tahu di awal! Masalah dua poin tadi, Ibu harusnya sadar kalau niat saya tuh baik. Mau bantu keluarga Ibu keluar dari orang-orang parasit!”
“Apa Bu Leya bilang, parasit?” teriak Rusmini sambil beranjak dari sofa.
“Sudah Bu, yang tenang yah. Bu Leya, maaf nih. Sebaiknya Ibu pulang yah, biarkan saya tenangin istri saya dulu yah! Terima kasih!” sahut Gustin.
“Iya Pak Gustin, saya pulang. Sukses yah, Gemi!” ucap Leya sambil memiringkan bibirnya dan langsung berkelebat pergi tanpa mengucapkan salam.
Rusmini meremas-remas telapak tangannya, yang hampir saja ingin melampiaskannya ke wajah Bu Leya. Gustin pun memerintah Gemi untuk pergi ke luar rumah, agar tak berlarut-larut dalam emosi. Nenek Mirah melangkah pergi menyusul cucunya. Sementara Rusmini agar damai di pundak Suaminya. Gemi terus berjalan menyusuri jalanan, tak tentu arah akan membawanya ke mana. Dengan langkah kecil, Samirah mengikuti ke mana cucunya itu akan pergi. Gemi pun menghentikan langkahnya, dia menoleh ke belakang dengan matanya yang penuh air mata. Tubuhnya terjatuh di atas tanah, Samirah berjalan setengah berlari menghampiri cucunya yang merasa tak berdaya. Samirah kini merangkul cucunya dengan sangat erat, sambil mengelus lembut kepalanya. Meniup-niupnya, mungkin saja terasa terbakar rasanya seakan-akan ingin meledak saat itu juga. Di mana Rahma, dia tak ada ketika sahabatnya butuhkan. Semua orang punya masalah, tetapi yang mampu menenangkan adalah orang-orang yang mengerti dirimu.