Aku takut, bila kapal penuh tangki keluh ini berlabuh di tempat yang keliru
Bisa-bisa seorang yang usil berniat rancam, atau sengaja melubangi tangki itu agar bocor
Rupanya, badan kapal ini masih ingin terus berlayar, meski tak pernah jumpa dengan kapal-kapal yang lainnya.
Kepada Sang Pengayom Lautan pun tak terlintas untuk pinta lagi memaksa
Karena, aku hanya mampu berlabuh bila bahan bakar ku habis
Untuk itu, badan kapal ku ini tak miliki jangkar kapal. Agar aku sesekali bisa terbang.
Senja mungkin bisa tabah, keindahannya kerap dicari-cari yang mengaguminya. Meski habis ditelan mulut samudera, lalu reinkarnasi dalam wujud yang tetap diinginkan.
Di usia menjelang seperempat abad ini, semakin tak ingin hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Pengkhianatan, penolakan adalah kejahatan dunia paling sadis. Nenek Mirah, wanita pekerja keras di usia muda hingga di usianya yang ke 76 tahun masih bersikeras untuk mencari pertahanan hidup.
Dia selalu bilang, tak pernah takut akan kematian. Karena semua yang bernyawa di dunia ini pasti akan mati. Nenek Mirah telah menggantungkan hidupnya itu pada Yang Kuasa sejak anak-anaknya memisahkan dirinya dengan sang suami, Abdul yang kini tinggal bersama anak bungsunya.
Nenek Mirah pun sudah kenyang perihal pedas, pahit nya rasa cobaan hidup. Perasaanya merasa lebih baik saat semua keluh kesahnya dibebankan pada The Toras ‘Kumpulan Tonggo Rumpi Ana Ing Teras’
Para tetangga, yang semua beranggotakan para perempuan yang merasa kesepian ditinggal anak-anaknya kerja merantau, perempuan yang memiliki suami overdose introvert, atau perempuan yang memilih untuk janda.
Di kampung halamannya, bersama mereka, perasaan Nenek Mirah merasa lebih lega.
Suka dan duka dinikmati bersama-sama dengan lirih, luruh, begitu banyak yang tersimpan.
Dan kini, Nenek Mirah melanjutkan hidup dengan kesunyian, dia harus tidur terpisah dari suaminya dan kini dia mulai mencintai kesunyian itu.
“Ingat banget, dulu Nenek tuh yah sampai bibirnya monyong gitu kalau udah beber informasi yang up to date! Sampai Kakek kesel lihatnya, karena jadi sulit tidur dan akhirnya enggak jadi bobok siang!” ucap Gemi sambil tertawa kecil yang tidur telentang di atas kasurnya bersama Nenek Mirah di sampingnya, “Nenek masih ingat, kan?”
Nenek Mirah matanya bersinar menatap langit-langit kamar, mengangguk pelan dengan sudut bibirnya yang sedikit terangkat. Gemi menoleh ke arah Neneknya, sambil meraih tangan Nenek Mirah untuk digenggamnya dengan erat.
“Nenek pasti kangen yah, sama Kakek Abdul?” tanya Gemi membuat Nenek Mirah memejamkan kedua matanya, dan genggaman tangannya mulai melemah. Gemi seketika terperanjat, lalu mengoyak-oyak tubuh Nenek nya itu dengan bibir yang gemetaran.
“Apa sih, Emi? Nenek ngantuk, nih!” ucap Nenek Mirah tiba-tiba, membuat dada Gemi sedikit longgar, “Tidur, yuk! Karena besok, kamu haru mulai bangun lebih pagi dari Ibu kamu loh!”
Dari masih usia Gemi 7 tahun, Nenek Mirah memang lebih suka menyebut nama cucunya itu dengan panggilan, Emi.
Entah apa sebabnya, mungkin saja pelafalannya lebih mudah, apalagi di usia Nenek Mirah yang mulutnya sangat sedikit memiliki gigi. Dan yang mampu memahami dirinya, tak akan pernah mau untuk menghardiknya.
Sebelum kaki langit keluar, lalu menyandarkan wujudnya untuk menyangga sang Surya, Gemi sudah duduk berjongkok di depan tungku belakang rumahnya, yang berdinding bilah bambu yang mulai rapuh.
Gemi masih berusaha mengajak semprong bambu untuk bekerja sama menyalakan api.
Sampai terbatuk-batuk, hingga semprong pun diambil alih oleh Nenek nya.
Korek api di tangannya ditekan, secepatnya geser kepala korek dari satu sisi penyala ke sisi lainnya, hingga api semburat dan Nenek Mirah meletakkannya pada serumpun blarak yang dia ambil di kandang kayu samping rumah, tempat penyimpanan kayu bakar. Api menyala besar, lalu dimasukkannya ke dalam lubang tungku yang sudah tersedia beberapa kayu bakar.
Nenek Mirah menatap Gemi sambil mengangguk, membuat cucunya itu manggut-manggut.
“Mengapa kamu harus belajar memasak di tungku?” ucap Nenek Mirah sambil mengupas sebonggol bawang putih, “Karena dia ramah lingkungan, cocok buat bantu Ibu kamu di masa-masa seperti ini!”
Gemi matanya basah, dan terus menggigit bibirnya. Nenek Mirah mengerutkan kening sambil mengangkat alisnya.
“Kamu, kenapa? Kok nangis!”
“Pedes, Nek! Dari tadi enggak berhenti ngupas bawang merah ini!” jawab Gemi sambil mengusap air matanya yang nyaris terjun itu. Nenek Mirah geleng-geleng kepala.
Meski zaman sudah serba instan, Nenek Mirah ini masih dengan kesetiaannya melestarikan budaya kegiatan sehari-harinya dengan serba dimulai dari masih bibit. Setiap harinya, harus ada keluar tenaga juga keringat yang banyak. Nenek Mirah pribadi yang super perfeksionisme, dari dalam, belakang, sisi dan depan rumah di kampungnya bersih tak berkerikil, bahkan rumput, ilalang yang baru berbentuk ekor kecambah pun langsung ditebas habis. Bahkan, kalau masih mampu di usianya yang terbilang sudah tak muda lagi. Nenek Mirah masih mampu mengelap debu-debu kosmik yang melekat di daun-daun tanaman bunganya.
"Jadi gimana Em, bisa kan kamu melakukan semua apa yang Nenek bicarakan barusan?" tanya Nenek Mirah menatap penuh harap pada Gemi.
Gemi mengembuskan napas pelan. "Pelan-pelan saja yah, Nek. Intinya Gemi tetap ada yang dikerjakan!" jawab Gemi sambil menarik ulur kaus yang dikenakannya itu lepek karena banjir keringat di tubuhnya.
Di tengah perjalanan menuju ke rumah, Rusmini berpapasan dengan Bu Leya.
"Bu Rus! Akhirnya ketemu di sini!" ucap lantang Leya sambil berjalan mendekati Rusmini, "Ada hal yang mau saya bicarakan sama Bu Rus!"
Rusmini terdiam, lalu mengangguk setuju.
"Jadi saya ada kenalan, dan sebenarnya mau bicarakan hal ini juga sama anak Ibu, Gemi!" jelas Leya membuat Rusmini tersentak, "Kapan saya bisa main ke rumah Bu Rus membicarakan hal ini?"
Rusmini menelan ludahnya yang tersisa, lalu mengamati sekelilingnya. "Sebisanya Bu Leya saja, deh!"
Leya mengangguk-anggukkan kepalanya lalu pamit pulang lebih dulu. Rusmini terdiam sejenak, dan langsung berkelebat pergi.
Sesampainya di rumah, tengah hari yang musti terasa sunyi. Kini, gelak tawa menggema sampai ke sudut-sudut bangunan rumah itu. Hingga, rumah senar laba-laba pun turut bergetar, seperti gitar yang dipetik. Akan tetapi yang tak sampai mematahkannya. Saat kakinya melangkah ke ruang tengah, tawa itu semakin memekakkan daun telinganya. Rupanya, anak perempuannya sedang bersama sang nenek duduk lesehan di atas karpet menonton tayangan opera Jawa Timur-an di layar televisi. Merasakan kehadiran Rusmini, Gemi dan Nenek Mirah kompak menoleh ke belakang. Rusmini tersenyum getir.
"Bu, makanannya sudah siap di meja makan. Ibu belum sarapan, kan? Biar Gemi aja yah yang ambilkan makan buat Ibu!" ucap Gemi membuat Rusmini langsung menggeleng cepat.
"Gemi, tadi di jalan Ibu bertemu Bu Leya. Bu Leya tadi tanyain kamu, terus dia juga bilang kalau punya kenalan, dan...," jelas Rusmini yang terpotong ucapannya karena Gemi.
"Bu, Gemi masih ingin belajar banyak hal. Belajar masak, atau apalah. Pokoknya Gemi enggak mau sampai bikin Bapak sama Ibu malu lagi!" tegas Gemi beranjak pergi dengan langkah cepat dan masuk ke dalam kamarnya.
Rusmini merunduk. Sekilat dia menatap Ibunya, Samirah yang tak berucap sepatah kata pun.