Capek, terus-menerus menjalani kodrat melakukan kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula. Boleh saja bukan, jika aku memilih untuk kejahatan yang orang-orang lakukan pada diriku, dibalas dengan kejahatan yang sama?
Bagaimana dengan Rusmini yang hatinya terus ngedumel, tetapi yang dipajang di luar sana dan dipertontonkan adalah sisi ketidakselarasan dari dalam hatinya.
Ketika Gustin, suaminya pengangguran yang juga tak ingin usai dengan sebatang rokok.
Gustin bekerja dengan urat jari-jari tangannya yang melepaskan semburat pelangi di langit-langit yang kosong.
Meski terkadang, harus menyerap energi kehampaan kala semua dinding, kanvas penuh. Dan dia kembali pulang dengan masih membawa harapan itu.
Saat satu hembusan napas berat itu keluar dari mulut istrinya, disitulah letak kelemahan seorang Gustin. Rusmi memutar otaknya, agar dirinya dan seisi rumah itu tetap memakan lauk pauk yang sama.
Dan ketika itu pula, Samirah berkunjung ke rumahnya dan meminta izin untuk tinggal selamanya di sana. Sementara Abdul, suaminya Samirah masih tinggal bersama anak ketiganya, Akmal.
Samirah, giginya yang kian lepas satu demi satu, akan tetapi rambutnya masih hitam pekat berkilau tak ingin tinggal di rumah Rusmini dengan cuma-cuma saja. Dia bersikeras ingin membangun sebuah toko di depan rumah anak perempuannya itu. Meski Rusmini, menolak setuju. Tetapi dirinya juga tak ingin terus-menerus menyaksikan kegetiran hidup ini.
“Bagaimana denganmu, Pak? Pasti izinin Ibu buka warung, kan?” tanya Rusmini menaikkan alisnya satu.
“Ini pertanyaan atau sebuah pernyataan?” jawab Gustin keningnya mengerut. Rusmini merunduk lalu melangkah pergi ke kamarnya.
Di bawah langit malam yang kabur. Di atas kerasnya kursi lincak yang perlahan bisa melembutkan hati Gustin.
“Aku merasa enggak enak, terus-terusan ngerepotin Ibu. Rumah ini pemberian dari Ibu dan Bapak, terus Ibu suruh buka warung lagi!” keluh Rusmini membuat Gustin yang duduk di sampingnya sedikit mengangkat pantat.
Gustin mengelap napas pelan. “Kamu salah, Rum. Rumah ini kita bangun hasil dari uang tabungan selama bertahun-tahun, kalau sebidang tanah memang benar pemberian dari Ibu dan Bapak! Jangan kamu salah kaprah!” Pernyataan yang baru saja keluar dari mulut Gustin, membuat Rusmini merenung sambil menundukkan kepala.
Rusmi memang telah memahaminya, akan tetapi orang-orang di luar sana, yang selalu menghujatnya lantaran telah mendapatkan warisan berubah tanah dan rumah dari kedua orang tuanya, sementara adik-adiknya harus bersusah payah membangun rumahnya seorang diri tanpa bantuan sepeserpun dari kedua orang tua mereka.
Sebab perspektif orang-orang yang keliru tentang Rusmini dan keluarganya, membuat ikatan Rusmini bersama adik-adik kandungnya jadi sedikit renggang.
“Sudah lah, Pak! Aku enggak mau bahas masalah ini lagi, kalau misal kamu enggak setuju, ya aku enggak akan maksa. Tapi jangan suruh aku buat bilang masalah ini ke Ibu yah!” tegas Rusmini beranjak meninggalkan Gustin di teras rumah seorang diri.
Tak lama kemudian, dari kejauhan tersorot jelas lampu sein depan pagar rumahnya. Lalu tampak seorang wanita turun dari motor sambil melepas helm yang melindungi kepalanya itu.
Matanya seketika terbelalak, mulutnya terperangkap telapak tangannya yang gemetaran. Ternyata, sosok wanita yang baru saja turun dari motor adalah putri kesayangannya, Gemi.
Gustin secepat kilat bersikap tegas, sambil memanyunkan bibirnya, saat Gemi mulai berjalan ke arahnya.
“Assalamualaikum, Pak!” ucap salam Gemi sambil mencium punggung tangan Bapaknya, “Bapak tumben belum tidur?”
“Waalaikumsalam, Bapak mah udah biasa kali begadang. Kamu nih yang tumben baru pulang jam segini?” jawab Gustin sambil celingak-celinguk, “Tadi siapa? Pacar kamu yah?”
Gemi melongo, sambil meringis. “Ya kali Gemi jadian sama Pak Slamet, Pak!”
Gemi pun memilih masuk ke dalam rumah lebih dulu.
Gustin masih terdiam sambil geleng-geleng kepala. “Pak Slamet, duda tua kaya itu kan?”
Saat kakinya mendarat di ambang pintu rumah, seketika tubuhnya terdorong keras hingga terasa melayang setelah melihat sosok wanita tua di hadapannya itu.
Nenek Mirah, membuat mata dan mulutnya terbuka lebar-lebar.
“Nenek! Kapan Nenek kemari? Kok enggak kasih kabar sih kalau mau main ke rumah? Biar bisa bikinin aku kue bakiak dulu sebelum ke sini,” ucap Gemi sambil merengut.
Wanita tua itu tersenyum hingga menampakkan gigi gerahamnya yang tinggal hitungan jari saja. Nenek Mirah meraih kedua tangan cucu perempuannya itu dengan lembut.
“Maafin, yah. Karena buru-buru nenek jadi lupa!”
Rusmini pun keluar dari kamarnya.
“Kamu sudah pulang? Sekarang aja kalau gitu yah!” cetus Rusmini pada Gemi, “Mulai sekarang sampai seterusnya kamu akan tidur bersama Nenek Mirah di kamar kamu. Kamu juga yang akan jagain Nenek Mirah selama di rumah!”
Gemi melongo. “Jadi Nenek Mirah bakal tinggal di rumah ini seterusnya gitu, Bu?”
Rusmini mengangguk cepat.
“Bagus dong, Gem. Kamu jadi bisa bikin kue bakiak sendiri nantinya!” sahut Gustin.
Kehadiran Nenek Mirah begitu berarti bagi Rusmini setelah bertahun-tahun menahan rindu pada Ibunya itu. Menjadi anugerah terindah karena dengan begitu, Rusmini selalu punya alasan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kerap dilayangkan para tetangga kanan-kiri nya kepada dirinya sendiri tentang apa yang dilakukan Gemi setelah memilih untuk resign. Rusmini tidak kesal, tetapi dia kerap merasa kecewa pada Gemi yang selalu menghindari kenyataan ini.
Makanya Gemi lebih suka keluar di jam malam, ketimbang harus bertemu dengan orang-orang yang rasa keingintahuan dalam diri mereka pada kehidupan Gemi membara.
Meski mungkin bagi sebagian manusia, pertanyaan seperti itu adalah hal yang begitu wajar. Akan tetapi bagi orang-orang tertentu, apalagi bagi mereka yang memang masih awam atau baru saja menapak di dunia yang nyata tentunya belum merasa siap menerima kejutan-kejutan yang bahkan belum pernah mereka dengar dan tahu.
Di sekolah pun, hanya mempelajari perihal bagaimana cara bersikap yang baik ketika dalam sesi wawancara kerja atau interview, bukan soal kisi-kisi untuk bertahan hidup dari kerasnya dunia orang-orang dewasa.
Gemi yang apa-apa merasa mental nya terjatuh, setelah mendapatkan ucapan-ucapan yang terasa menyayat hatinya, lalu melenyapkan rasa traumatis itu sangat sukar dan tak bisa hilang dalam waktu 24 jam seperti di wadah story media sosial. Apalagi harus mencari orang-orang yang bersedia memahami dan menemani dirinya dalam pulih, seperti seorang psikolog. Mencari kesembuhan dengan cara free, menunggunya tiba-tiba lumayan lama. Sebab jika berbayar pun, Gemi masih berpikir masak-masak. Dia lebih memilih belajar untuk mengontrol dirinya.
Rusmini pasti telah merasa lelah, menghadapi sikap dan perilaku putrinya itu yang terasa begitu berbeda dengan anak-anak seusianya. Hanya Gemi saja yang memang tak pandai menyimpan duka nya. Untung ada Neneknya, yang datang bukan sebagai Pahlawan ketika diminta hadir memberi pertolongan, seorang Nenek tanpa kata Pahlawan, dia selalu ada dan datang memberi perlindungan untuk cucu-cucunya.