Suasana ruang makan itu rapi dan hangat, tapi bagi Arzul, rasanya seperti duduk di ruang ujian yang lain—tanpa soal, tapi penuh penilaian.
Ayah duduk di ujung meja, mengenakan baju batik lengan pendek dan peci hitam yang tak pernah dilepas meski hanya makan malam bersama keluarga inti. Di sampingnya, ibu sibuk menuangkan sup ke mangkuk-mangkuk. Kakaknya, Farid, sedang menceritakan tentang kegiatan kampus tempatnya mengajar. Sedangkan si tengah, Rizal, baru saja pulang dinas dari kantor pajak dan langsung disambut dengan tepuk bahu serta komentar bangga dari sang ayah.
“Alhamdulillah ya, dua anak Bapak sudah mapan semua,” kata ayah, sambil tersenyum lebar. “Farid sudah jadi dosen tetap. Rizal sudah dapat SK mutasi ke Palu. Tinggal kamu, Zul.”
Arzul mengunyah perlahan, berusaha menyembunyikan napas yang tertahan. Ia meneguk air tanpa menoleh. Kalimat itu, yang diucapkan dengan nada gurauan, terasa seperti beban tambahan di punggungnya.
“Tes tadi bagaimana, Nak?” tanya ibu, dengan suara lembut yang tak kalah menekan.
“Lumayan,” jawab Arzul pendek.
“Yakin bisa?” Farid menimpali sambil mengambil sambal. “Kalau jurusannya sih cocok-cocok saja, tinggal kamu fokus.”
“InsyaAllah bisa lah,” sahut Rizal cepat. “Zul itu tekun kok, ya kan, Zul?”
Arzul mengangguk. Ia tersenyum. Sebisa mungkin tetap tersenyum. Tapi dalam pikirannya, ia hanya ingin beranjak dari meja, kembali ke kamar, dan mengunci diri sampai semua percakapan ini lenyap.
Ayah menatapnya beberapa detik, lalu berkata pelan, “Kakekmu dulu juga gagal berkali-kali sebelum jadi guru. Tapi beliau tidak menyerah. Kita ini darahnya darah pejuang, Zul. Kalau kakek bisa mengangkat martabat keluarga dari kemiskinan, kita tinggal melanjutkan saja.”
Ibu mengangguk setuju. “Keluarga besar kita ini tidak akan seperti sekarang kalau bukan karena kakekmu. Pegawai negeri itu bukan sekadar pekerjaan, Nak. Itu amanah. Itu warisan.”
Arzul menatap sendoknya. Dalam benaknya, kalimat ibu itu seperti mantra kuno yang sudah berulang kali ia dengar, namun kini terasa semakin asing. Warisan? Amanah? Atau jebakan?
Seusai makan, Arzul membantu ibu membereskan piring. Di sela aktivitas itu, ibunya menepuk bahunya pelan.
“Bunda tahu kamu sudah berusaha, Zul. Tapi jangan putus semangat, ya. Tahun depan coba lagi. Kalau perlu ikut bimbel. Kak Rizal dulu juga begitu, kan?”
Ia mengangguk lagi. Diam. Tak ingin berkata bahwa tadi siang, untuk pertama kalinya, ia tidak merasa takut akan hasil ujiannya. Ia hanya merasa… hampa.
Malam itu, setelah semua lampu dimatikan dan rumah tenggelam dalam keheningan, Arzul duduk di meja belajarnya. Di hadapannya terbentang selembar kertas pengumuman hasil CPNS yang belum ia buka. Ia menatapnya lama, tapi tidak menyentuh.
Akhirnya ia menulis di buku catatannya:
"Kalau aku gagal lagi, apa aku masih tetap menjadi bagian dari keluarga ini?"