Seperti yang kuduga, dan sudah pasti terjadi, Ibu marah besar seraya berteriak padaku seakan aku sengaja melakukannya hanya untuk membuat Ibu kesal. Aku menanggapi dengan lelah kalau aku sama sekali tidak mengikuti prosesi pengkremasian dan segala macamnya. Aku hanya menangis di luar krematorium.
“Itu bukan sebuah alasan agar kau bisa bertindak seenaknya,” kata Ibu seakan aku baru saja berbuat hal melanggar hukum.
“Aku ingin melihatnya untuk kali terakhir,” jawabku letih. Energiku sudah habis hanya untuk menangis di krematorium tadi. Tak ada yang tersisa untuk meladeni amarah Ibu.
“Jika orangtua bilang tidak, ya tidak!” Ayah turut membentakku. Aku menahan napas melihat aksi pengeroyokan ini kembali terjadi. Setelah ini, mereka pasti ikut menyalahkan Bang Joule sebagai kakak tertua.
“Kau juga!” Tentu saja, Ayah langsung meneriaki Bang Joule yang terlihat lelah sehabis kerja. “Sudah tahu adikmu seperti itu, kenapa tidak beri penegasan?! Kau itu kakaknya.”
Aku menghela napas melihat Bang Joule tak dapat berkutik.
“Ayah, Mili baru kehilangan Layden, biarkan saja dia melihatnya.” Mbak Esla yang justru buka suara meski agak ragu. Dia melirikku tajam dan mengerling, seakan menyiratkanku segera naik ke lantai dua.
Namun, aku hanya terpaku di anak tangga dasar. Tanganku mengepal dengan napas memburu dan tatapan panas. Tak habis pikir dengan pandangan orangtuaku terhadap apa yang sedang terjadi.
“Sekarang kau tidak boleh pergi ke mana-mana lagi yang berhubungan dengan keluarga mereka,” perintah Ibu dengan telunjuk terangkat di atas dagu. Telinga, mata, dan tubuhku panas mendengar omongan keji itu.
“Mereka sudah meninggal, bagaimana aku bisa punya hubungan lagi dengan dia?!” teriakku kesal. Bahkan ketika semua sudah tiada pun Ibu tetap coba mengatur mengenai batasanku dengan keluarga Layden. Sungguh ironis.
“Karena merekalah kau selalu membantah.” Ayah mendorong telunjuknya ke dahiku berkali-kali hingga aku mundur beberapa langkah.
“Apa yang kalian harapkan untuk aku lakukan?” Tanganku mengepal pada dinding yang kusandari karena terpojok. “Mereka sudah tidak ada dan kalian pikir aku begini karena mereka? Orang yang sudah tidak ada?”
Aku mengelap hidung dengan punggung tangan. “Setiap hari, setiap malam, otakku selalu berputar. Bingung. Aku bingung dengan apa yang terjadi di sana, di koran, di TV. Satu Indonesia berbondong-bondong mengabariku jika Layden dan keluarganya mati. Tewas. Tapi hanya kalian, keluargaku, yang beranggapan seolah-olah ini tidak ada apa-apanya. Seolah-olah…” Napasku tersekat. “Mati atau tidak itu bukan urusanku. Tapi ini urusanku!”
“Ketika bangun tidur, aku sudah tak mengenal hari. Aku tak pernah yakin jika Layden mati, yang kuyakini dia hanya menghilang dan suatu saat akan meneleponku dan mengabariku jika dia ada di suatu tempat.” Pandanganku perlahan turun dan bibirku bergetar. Aku melihat kedua telapak tangan yang gemetar dan berkeringat. “Jadi aku perlu ke sana. Aku harus melihat jasadnya. Untuk memastikan jika semua orang benar, dia sudah pergi. Aku tadi mengelus rambutnya, aku mengelus rambutnya.” Aku menunjukkan tangan kananku kepada Ibu dan Ayah. “Sebelum dikremasi, aku menyentuh rambutnya. Dan sekarang aku sadar jika dia memang tidak ada.”
Ayah mundur satu langkah, memberikan ruang untuk aku menepi dari dinding.
Aku mengelap air mata dan menaiki anak tangga satu per satu. “Sementara Ibu selalu memanipulasi semua, membuat aturan agar aku menjadi manusia berhati dingin.”
“Sekarang kau menjelek-jelekkan orangtuamu.” Terdengar langkah cepat di belakangku. Napas Ibu terengah-engah. “Benar,” ucapnya tepat di belakangku. “Kami memang tidak penting, kami tidak punya peran apa pun dalam hidup kalian.”
“Ibu berperan besar,” kataku malas.
“Lihat? Kau bahkan berdecak di hadapanku.” Ketika sudah mencapai lantai atas, Ibu menahanku dan mengubah posisiku hingga berhadapan langsung dengannya. “Katakan Mili, katakan jika kami tidak penting!” Tatapannya kembali menekan dan dagunya terangkat. “Katakan kami tidak memberimu makan, tidak menyekolahkanmu, tidak—”
“Ibu berbohong padaku,” potongku dengan suara gemetar hebat. Setiap beradu mulut dengannya, aku selalu punya baskom sebesar danau dalam hatiku. Aku selalu menampung semua penghinaan dan rasa rendah diriku akan kalimat-kalimat yang Ibu lontarkan. Namun kali ini, aku tidak kuat, baskomnya sudah terlampau penuh. Sampai-sampai kali ini aku tidak berteriak, melainkan merengek.
“Aku tidak bohong padamu.”
Aku menggeleng pelan. “Ibu berbohong. Hari ketika Layden ke sini… Ibu mengatakan jika dia ingin melindungiku, mengarang cerita seolah-olah dia bertindak kurang ajar dan merendahkan kalian sebagai orangtua. Padahal, dia hanya berniat mengembalikan buku, tapi Ibu langsung menamparnya.”
Bola mata Ibu melebar dan aku menggigit bibir kencang.
“Tera yang mengatakan semua. Ibu langsung memukulnya. Dan tahu apa? Aku mendengar suara tamparan itu dari seberang telepon.” Perlahan, aku menarik tanganku dari genggaman Ibu. Setelahnya aku mundur beberapa langkah dan menggeleng pelan. “Hari itu aku ingin mendengar kejujuran Ibu, tapi Ibu malah….”
Sudahlah. Aku menghela napas untuk yang kesekian kali kemudian melirik lantai bawah di mana orang-orang menatapku sendu.
“Rumah ini bahkan tidak punya ruang untuk berduka.”
***
Seperti minggu awal berita kematian itu, aku kembali mengalami kemunduran yang lebih parah. Kakiku terasa beku dan meleleh di atas ranjang. Sepanjang hari, aku hanya bersembunyi di balik selimut, tak ingin mendengar suara siapa pun terutama orangtuaku. Ajaibnya, aku tidak mendengar suara mereka lagi untuk beberapa hari yang terlewat.
Hanya ada suara Mbak Esla atau Tera—saat mengantarkan makanan, mengingatkanku untuk mandi, bicara tentang snack yang ada di kulkas, dan juga mengingatkan untuk salat—yang mengisi jeda kekosongan.
Sampai satu hari, entah pagi, siang, atau malam, Mbak Esla menyebut tentang pembagian rapor sebelum libur semester. Aku merapatkan selimut dan menekan bantal dengan kepala ketika dia mengajakku bicara. Setelahnya, terdengar helaan napas lelah sebelum langkah kakinya menjauh.
Hari berganti dan berlalu begitu saja hingga ponselku—seharusnya mati, tapi tampaknya ada yang mengisi daya baterainya—berdering dan membuatku mau tak mau kembali memeriksa ponsel. Aku menyipitkan mata ketika panggilan itu tak sempat kuangkat. Dari Hesti.
Ketika kubuka pesan Whatsapp, dia mengingatkanku mengenai pembagian rapor.
Aku lantas menghapus notifikasi-notifikasi orang asing sampai terhenti di salah satu surel.
Mataku mendelik. Itu email milik Layden. Siapa yang mengirim?
Tanggalnya sudah lama dan ketika kubandingkan dengan tanggal saat ini, sekitar delapan hari yang lalu. Dahiku mengernyit saat mengkalkulasikan dengan hari kremasi Layden yang berlangsung lima hari lalu.
Bukankah Layden sudah meninggal saat itu? Lalu siapa yang mengirimnya?
Woi Mili,
Bagi rapor sekitar dua minggu lagi sekaligus perpisahan. Tapi tidak salah jika kita liburan lebih dulu hitung-hitung supaya waktu liburan nanti terasa lebih panjang untuk kita berdua. Kita mulai perjalanannya! Semua rancangan harus dilakukan, tanpa terkecuali. Jika kamu takut ke Prabumulih bermotor, kita naik mobil saja. Oke?
Harus oke!
Jadi, besok kita mulai.
Waktu yang kita punya hanya dua minggu. Lewat dari itu kita gagal (soalnya sudah bagi rapor)—sekarang ini jangan menghela napas dan berdecak! Aku tahu kau melakukannya. Dan jangan sengaja digagalkan! Jangan bertindak seperti semester lalu.
Yuk! Sebut ini sebagai Rancangan Pernikahan.
Xoxo, Lay.
Detak jantungku mendadak kaku. Tidak mungkin ini orang lain yang menuliskan. Tidak ada yang tahu rencana ini selain kami. Jadi, siapa?
Kutunjukkan surel itu kepada Tera yang lumayan ahli mengotak-otik komputer—sebenarnya Tera ahli dalam segala hal—dan dia menanggapi hal ini dengan serius. “Mbak yakin ini tulisan Bang Layden?”
“Iya, dia dulu memintaku melakukan sesuatu bersama?”
“Melakukan apa?” Tatapan Tera tajam dan dalam. Aku tak akan memberitahu karena dia akan mengadukannya pada Ibu. Namun, percuma karena dia sudah membaca jika salah satu rancangannya pergi ke Prabumulih.
“Biasalah, Layden selalu punya ide-ide gila. Dia punya rencana ke beberapa tempat denganku. Tapi email ini dikirim ketika dia sudah meninggal.”
“Email ini jelas dijadwalkan.”
Aku menggeleng tak mengerti.
“Jadi di email, kita bisa menjadwalkan pesan yang ingin kita kirim. Di tanggal berapa, jam berapa, kepada siapa. Begitu.” Dia membenarkan letak kacamatanya.
“Jadi ini ditulis ketika Layden masih hidup?”
“Kalau bukan begitu, bagaimana lagi?” Tera mengedikkan bahu. “Mbak kira arwah yang mengirim? Macam drama Korea-nya Mbak Esla? Jangan naif.”
Dia mengatakan hal seperti itu padahal masih kelas delapan SMP. Aku merasa seperti Miko yang baru diajari bermain Talking Tom.
Sejenak kuhela napas pelan. Ada sedikit rasa kecewa setelah mendapat tamparan keras dari kenyataan. Entah mengapa secercah harapan dalam hatiku menginginkan keajaiban yang melampaui hukum fisika.
Aku kemudian berterima kasih pada Tera dan menutup ponsel.
“Meski terdengar agak konyol, tapi aku menyarankan Mbak Mili membalas surelnya. Memang sih sinting namanya berharap jawaban, tapi mungkin balasan Mbak Mili adalah keinginan terakhir darinya.” Dia tersenyum dan pergi dari kamar.
Aku melihat langkah Tera yang menghilang dari pintu dan termenung. Kutelaah lagi surelnya seraya mengerutkan dahi. Benar juga. Bagaimana jika ini permintaan terakhirnya?
Aku langsung bangun dari ranjang dan mencari tas sekolahku yang saat ini entah ke mana karena tak pernah kusentuh lagi. Aku sampai memeriksa di bawah ranjang dan ternyata benda itu ada di kolong kasur Mbak Esla.
Kubuka ritsleting ransel dan mengguncang-guncangnya dalam posisi terbalik sehingga semua isinya berhamburan di lantai.
Aku berjongkok untuk memunguti beberapa kertas dengan stiker Manjun dan Donto yang menghias di beberapa sisi. Kubaca bucket list Layden dengan berbagai rincian yang harus dilakukan.
Sesaat aku memalingkan wajah ke luar jendela dan meneliti suasana luar dengan langit biru cerahnya.
Bibirku terkatup dan rahangku mengeras. Aku memeluk kertas itu lalu memutuskan untuk memantapkan diri.