Loading...
Logo TinLit
Read Story - A Missing Piece of Harmony
MENU
About Us  

Napasku menderu, langkah kakiku berderap tergesa-gesa, dan pengejar di belakang berteriak murka.

"Berhenti!" ketus pengejar kami.

Apa? Apa artinya ini?

"Sini, lewat sini!" seru gadis itu.

Tidak mungkin. Tidak mungkin.

Gadis itu menukik tajam di belokan depan. Berlari secepat angin berhembus. Aku dibawa olehnya, ditarik ulur hampir terjatuh.

Pendengaranku? Apa benar pendengaranku ini?

Pengejar masih mengekor. Tak terlalu jauh. Malah jarak kami semakin terpangkas. Jantungku seolah ingin meledak menyadari jarak kami tinggal beberapa meter lagi. Sementara itu, sang gadis membuat ulah.

"TOLONG! TOLONG! ADA PENCURI! ORANG MESUM! ORANG GILA!!" teriak gadis yang menarik pergelangan tanganku itu.

Ini bukan ilusi. Ini kenyataan. Benar. Ini kenyataan.

Sembari berlari, sembari juga gadis itu membuat kehebohan. Anjing menggonggong karenanya, klakson mobil bergema oleh ulahnya yang nekat menerobos lampu merah, dan deru napasnya semakin terasa seiring dadanya kembang kempis.

Pendengaranku kembali.

Kami memasuki gang kecil, memasuki tangga diapit dua pagar rumah, dan tiba di taman tempat truk minimarket Minamioka selalu singgah.

Kejar-kejaran berhenti di situ. Pengejar kami berlari ke arah berlawanan. Kami selamat. Lalu masalah lain muncul.

"Darah! Da-darah!"

Kumelirik ke balik bahu. Gadis yang menarikku itu membeliak. Matanya membola dan tangan kanannya membekap mulut. Sementara itu, pandanganku kian memudar dan perlahan tubuhku lemas. Kualihkan pandangan ke arah tatapan gadis itu tuju. Aku barulah tersadar, kalau aku tertusuk pisau. Perlahan aku ambruk.

๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ

Terdengar bunyi tuts piano ditekan. Lembut nan indah, seolah membawaku ke sebuah dunia fantasi. Nada-nada itu, terdengar familiar. Nada dasar C# dalam progresi akor minor. Itu lagu Moonlight Sonata.

Kemudian, kurasakan hembusan angin yang berdesir lembut membelai poni rambutku. Aku mengerjap, mengucek mata beberapa kali sebelum akhirnya bangkit berdiri.

Tempat itu, sangat indah. Terlalu cantik. Warna langit biru membentang di atas bangunan berlantai dua itu. Rumah tua dengan halaman dua kali lipat luas bangunannya. Di halaman depan, tampak piano berdebu yang tengah dimainkan seorang gadis. Jari lentiknya lihai menekan tuts piano, memainkan akor dan melodi. Dia terlalu tenggelam dalam senandung nada, tidak menyadari keberadaanku.

Siapa dia ya? Dan aku sedang berada di mana? Batinku.

Sekarang, lagu berganti. Lagu yang satu ini sangat asing di telingaku tidak seperti sebelumnya. Walau begitu, perasaan sang pianis itu entah bagaimana tersampaikan dengan jelas padaku. Perasaan sedih yang mengharu pilu. Lagu selesai setelah akor miring dan beberapa melodi pada nada dasar A minor. Gadis itu menoleh—

Lalu, aku terlonjak bangun. Sebuah dunia berwarna abu-abu menyambut. Kipas yang menggantung di langit-langit dan wajah Ibu yang terbujur lesu di tepian tempat tidur rumah sakit.

Ibu yang terlelap itu tiba-tiba terbangun, menyadari keberadaanku yang baru saja siuman.

Ruri. Ungkap Ibu lewat bahasa isyarat.

Raut wajahnya masih menunjukkan khawatiran. Kemudian, Ibu menceritakan apa yang terjadi. Setelah berhasil lolos dari kejaran, aku tergolek jatuh. Tak sadarkan diri karena kehabisan darah. Rupanya ketika aku menolong gadis itu dari serangan penjahat, aku malah tertusuk pisau. Aku baru menyadarinya ketika sudah lepas dari pengejar.

Tangan Ibu bergerak lebih cepat dari biasanya, aku agak kesulitan memahami bahasa isyarat Ibu. Kurang lebih ini yang beliau katakan. Masih ada yang terasa sakit?

Aku tidak apa-apa. Aku memberikan senyum lebar pada Ibu, guna mengurangi rasa khawatirnya.

Syukurlah Ruri baik-baik saja. Ibu khawatir.

Aku sudah tidak apa-apa ibu. Aku mengulangi kata-kataku lewat bahasa isyarat.

Ibu seketika meraih sesuatu dari kantong belanjaan. Cheesecake stroberi.

Ini? Ibu ini barang mahal aku

Tidak apa. Ayo habiskan saja. Ibu belikan khusus untuk kesembuhanmu. Ibu tahu Ruri sudah lama tidak makan keik stroberi. Wanita paruh baya itu memberikan senyum tulus yang hangat. Walau demikian, ada kesan memaksa di sana agar aku menuruti keinginannya. Tidak apa-apa Ruri. Soal uang, serahkan saja pada Ibu, yang terpenting adalah kebahagiaan Ruri.

Aku menjawab lewat seulas senyum, meraih potongan segitiga cheesecake strawberry.

Ibu baca di internet bila kebahagiaan bisa membantu proses penyembuhan. Ini makanlah. Tambah Ibu sementara aku mulai mengunyah.

Malamnya, waktu kami habiskan bersama. Dan Ibu bersikeras ingin tidur di tepian ranjang, menemaniku. Aku mengalihkan pandang dari wajah Ibu ke dunia luar jendela yang berwarna abu-abu.

Jadi tadi itu hanyalah mimpi. Tidak mungkin pendengaranku kembali. Sudah sepantasnya aku menyadarinya. Mimpiku hanyalah mimpi belaka.

Pemikiran itu berubah. Tepatnya tiga hari kemudian setelah aku keluar dari rumah sakit, saat aku sudah kembali duduk bersekolah.

Sementara anak-anak lain sibuk bercanda di kelas, aku duduk membaca novel karya Rein-Sensei. "Makhluk Pencuri Indra". Halaman demi halaman dibalik. Dan kemudian seseorang menahan tepian atas buku.

Halaman buku tertahan. Aku menoleh ke atas.

Okuda melambai. Ada yang ingin menemuimu.

Dahiku mengerucut. Aku mengerling kelas berwarna abu-abu ini. Sontak Okuda menegaskan lewat catatan ponselnya yang ditunjukkan padaku. Gadis yang kamu selamatkan menunggu di luar.

Oh begitu rupanya, batinku dalam hati.

Di depan koridor kelas, gadis itu menungguku.

"Halo, Takasaki–san, perkenalkan namaku Hyuga Akari," ucap gadis itu gugup, saling menautkan jemarinya. "Terima kasih atas bantuanmu waktu itu. Aku sangat berterima kasih. Ini sebagai bentuk terima kasihku." Gadis itu membungkuk rendah-rendah sambil menjulurkan kedua tangan. Sekotak bento dia sodorkan padaku.

Aku masih diam membisu. Beberapa detik. Satu dua siswa lain melirik ke arah kami. Suara mereka agak berdengung di belakang kami. Anehnya, pemandangan langit-langit sekitar gadis di hadapanku itu terisi warna.

Apa maksudnya ini?

Sementara gadis itu menengadah, aku bisa melihat warna bola matanya yang hitam bagaikan oniks dan kulit wajahnya yang putih. Sosoknya terlihat berkarisma dengan rambut panjang sepunggung. Ditambah ada jepit rambut di poninya, kupu-kupu biru, kesannya gadis di hadapanku ini adalah gadis yang sangat aktif.

Pikiranku tiba-tiba kembali tatkala gadis itu menepuk jidat.

"Oh iya benar, aku lupa soal kondisimu." Hyuga bangkit. Dia mengangkat tangannya, menggerakkannya, membentuk kalimat menggunakan bahasa isyarat. Terima kasih atas bantuanmu. Begitu katanya lewat isyarat.

Aneh. Aneh sekali, batinku dalam hati. Kemudian, aku berkata padanya lewat bahasa isyarat. Ikut aku.

Yang pertama terlintas di dalam benakku sekarang adalah memastikan asumsi yang kupikirkan. Tanpa ragu aku menyambar pergelangan tangan Hyuga. Membawanya menuju tangga sekolah.

Hyuga salah tingkah oleh tindakanku, tapi dia tetap menunjukkan raut wajah penuh keramahan seperti sebelumnya.

Aku menyambar kedua pundaknya. Tatapan mataku menyapu pandang Hyuga, dari ujung rambut hingga ujung sepatu. Aku tidak salah lihat, memang benar apa yang kusaksikan ini. Gadis rambut hitam panjang, mata hitam oniks, seragam model blazer dengan roknya berwarna biru navi, dan juga lirih heran gadis bernama Hyuga Akari itu.

“Eh? Eh? Apa? Takasaki-san? Ada sesuatu yang aneh menempel di seragamku?” imbuhnya terheran-heran.

Tanganku berhenti. Aku menghela napas dalam. Berdiri berhadapan dengan Hyuga Akari. Dia semakin menatap heran.

“Ada apa Takasaki—san? Oh kalau Takasaki-san mencemaskan soal luka yang kudapatkan pasca kejadian, tidak perlu cemas, aku tidak terluka sedikitpun berkat dirimu.” Hyuga memberikan seulas senyum manis.

Aku menggeleng. Kemudian berkata, Tidak apa-apa, lewat bahasa isyarat.

Hyuga kian bingung.

Aku meraih ponsel lalu mengetik di sana. Kuberikan ketikan itu pada Hyuga. [Tidak apa-apa Hyuga—san, aku hanya penasaran sesuatu. Dan terima kasih kembali juga soal bento-nya.]

Dialog berhenti di situ. Aku membungkuk sedikit lalu pamit untuk kembali ke kelas, meninggalkan Hyuga di tangga menuju lantai satu.

Ini memanglah nyata. Ini memang nyata. Kenapa bisa?

Entah bagaimana, gadis bernama Hyyga Akari itu berbeda dari yang lain. Entah bagaimana hanya suara dia, aku bisa mendengarnya. Hanya suara Hyuga Akari dan lingkungan sekitar yang dekat dari radius pijakannya. Lalu anehnya lagi, hanya Hyuga Akari dan sesuatu yang dekat dengan radius pijakannya pula yang memiliki warna di dalam dunia abu-abuku ini. Hanya dia.

Apa maksudnya ini?

Pikiranku dirasuki oleh pertanyaan tersebut bahkan sampai jam pelajaran usai hari itu.

๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ

Di depan pagar sekolah kami kembali berjumpa.

“Hi!” sapa Hyuga padaku. Melambaikan tangannya yang bebas sambil tersenyum manis. Sementara tangan yang lain memegang sepeda.

Aku menoleh ke samping, menatap heran Okuda. Okuda balik melemparkan tatapan heran itu padaku. Setelah beberapa detik saling tatap, akhirnya Okuda berkata padaku lewat bahasa isyarat. Kuberikan kalian waktu berdua. Aku pulang duluan. Begitu ungkapnya yang lalu entah bagaimana suaranya bisa kudengar meski sangat kecil. Dia berbicara pada Hyuga.

“Jaga Ruri.” Okuda melambai, kemudian beranjak pergi.

“Sudah pasti,” sapa balik Hyuga. Dia lalu menatapku. Tatapan sangat serius. “Takasaki-san, ini mungkin terdengar konyol, tapi aku yakin kau pasti bisa mendengarku bukan?”

Eh?

Aku diam mematung beberapa detik sebelum akhirnya Hyuga berkata lagi padaku, “Mari. Kuceritakan nanti di perjalanan pulang.” Dia tersenyum banyak arti.

Tanpa persetujuan atau aba-aba atau semacamnya, Hyuga sudah saja setengah menaiki sepedanya. Dari garis-garis wajahnya, bisa disimpulkan kalau dia menyuruhku naik di jok belakang.

Kami pun berboncengan menuruni tanjakan curam. Dan keajaiban itu, terjadi lagi. Aku bisa mendengar suara. Lebih ajaib lagi sekarang, aku bisa melihat warna.

Duniaku makin aneh. Sekelilingku berwarna abu-abu; bahu jalan, gedung sekolah, siswa-siswi yang melintas, dan banyak lagi. Tapi semua itu tidak berlaku pada radius dekat Hyuga. Entah magis apa. Semua seolah berwarna di sekitar Hyuga. Penuh bunyi-bunyian dan kehidupan. Rasanya, seolah hanya dunia sekitar Hyuga-lah yang hidup.

Aku menjelaskan semua keadaan itu lewat punggung Hyuga. Agak tidak lazim. Dua gadis berboncengan naik sepeda. Satu gadis fokus mengayuh sepeda, satu lagi sedang menulis menggunakan rangkaian kanji dan hiragana menggunakan telunjuk di punggung si pengayuh pedal. Aku gadis aneh yang kedua. Menulis di papan—punggung Hyuga.

“Eh? Begitu rupanya. Pantas saja.”

Pantas saja? Aku menulis di punggung Hyuga.

“Jawabannya adalah ketika pertemuan kita pertama waktu pagi tadi. Aku memperkenalkan diri padamu secara sembrono, tanpa mengetahui kalau kau tidak bisa mendengar,” ucap Hyuga, berfokus mengayuh pedal sepeda. Berbelok di pertigaan berikutnya, melintasi jembatan untuk menuju kota sebelah selatan. “Tapi nyatanya, kau bisa tahu namaku padahal harusnya tidak bisa. Jadi kusimpulkan, secara ajaib kau bisa mendengarku bukan?”

Tidak salah. Jawabku lewat tulisan.

“Kenapa hanya aku?” tanya Hyuga ketika sudah sampai di taman dekat ceruk. Kali ini dia melirik ke balik bahu sejenak lalu kembali memandang jalan. “Aku tidak paham. Mengapa Takasaki-san yang kehilangan semua indra tiba-tiba kembali bisa mendengar dan melihat warna, hanya ketika berada di dekatku?”

Aku juga ingin tahu alasannya.

Telunjukku berhenti. Aku memandang langit abu-abu yang membentang di atas kota kembar ini. Kenapa hanya ketika dekat Hyuga? Pertanyaan serupa yang ingin aku tanyakan kepada yang berada di atas sana.

Kemudian, persis seperti waktu itu, secarik benda asing melintas di atas langit kota. Membentangkan ekornya, lalu tenggelam ke dalam cakrawala.

“Lihat! Ada bintang jatuh lagi." Hyuga menunjuk benda langit itu sebelum menghilang di kaki langit.

Warnanya seperti apa? Apakah indah? Telunjukku kemudian berhenti di udara setelah menulis kalimat itu.

Hening sejenak. Sebelum akhirnya Hyuga menjawab.

"Cantik sekali, berwarna hijau," ucap Hyuga.

๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ๐ŸŒธ

"Maaf mengganggu. Di rumahmu tidak ada orang?" tanya Hyuga tanpa basa-basi, memasukkan sepatu ke dalam rak.

Aku menggeleng. Ibu masih bekerja. Ungkapku lewat bahasa isyarat.

"Ayahmu?"

Sudah berpisah.

"Oh maaf," lirih Hyuga hampir tidak terdengar.

Tatapanku tertaut pada gadis itu. Beberapa saat. Kemudian aku membalasnya lewat senyuman kecil. Tidak apa.

“Apa yang menyebabkan mereka berpisah?”

Musik.

Kedua alis Hyuga terangkat. “Musik?”

Betul. Ini salahku. Aku yang menyebabkannya.

Hyuga hanya berdeham seolah memikirkan sesuatu.

Kemudian, kami memasuki ruang tamu lalu memasuki lorong hubung untuk menjajaki tangga ke lantai dua.

“Apa masih ada kemungkinan orang tuamu kembali bersama lagi?”

Tidak ada.

“Tapi apa Taksaki-san ingin mereka kembali bersama?”

Seandainya bisa. Aku ingin mereka kembali bersama.

"Begitu ya. Hm. Jadi, sejak kapan kau kehilangan pendengaranmu?" tanya Hyuga lagi, tiba-tiba mengganti topik.

Langkahku terhenti. Aku berbalik. Sejak, SMP.

"Penglihatanmu soal warna?"

Sejak SMP juga.

"Sejak SMP juga? Apa kata dokter soal kondisimu?"

Kami melenggang menuju kamarku. Aku baru menjawab pertanyaan Hyuga ketika tiba di depan pintu kamarku.

Kerusakan di bagian otak dan keajaiban. Ungkapku lewat bahasa isyarat.

"Keajaiban ya?"

Pintu terbuka. Sekali lagi hening dan denging mengisi. Aku berpaling pada Hyuga yang terdiam kagum. Langkahnya mewarnai kamar abu-abu ini. Hyuga berhenti di depan piano berdebu yang kini tersinari oleh cahaya mentari, alih-alih tersiram cahaya abu-abu.

"Kau, bisa bermain piano?" tanya Hyuga. Pandangannya masih tertaut pada piano. Dia lalu mengedarkan pandang pada barang-barang usang di samping lemari. Alat musik yang dulu pernah kumainkan. Biola, gitar, dan kahon. "Dan semua ini? Yokohama International Music Festival 2023?"

Ya... dulu. Jawabku singkat.

"Pasti sesuatu yang menyakitkan. Lantas apa yang kau lakukan sekarang Takasaki-san?" tanyanya lagi sambil mengusap kap piano.

Maksudnya?

"Aku tak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila aku harus merelakan impianku. Pasti menyakitkan," kata Hyuga penuh simpati, baik nada bicaranya hingga manik matanya.

Jari lentik Hyuga menyapu tuts piano. Hyuga melirik ke arahku yang kini berdiri di depan rak buku. Dia menghampiriku.

"Penggemar Rein–sensei juga ya?" imbuh Hyuga, lebih kepada buku yang dia ambil. Hyuga melirik ke arahku sesaat. "Buku mana yang paling kamu sukai?"

Semua.

"Makhluk Pencuri Indra juga?" Hyuga menarik punggung buku novel Rein–sensei yang berjudul "Makhluk Pencuri Indra".

Kecuali yang itu.

"Benar juga," gumam Hyuga, membolak-balikkan halaman buku.

Hidup terus berjalan. Bila aku hilang pendengaran, maka sudah sewajarnya aku melupakan impianku menjadi musisi. Pada akhirnya aku menjawab pertanyaan Hyuga yang sebelumnya.

"Sangat disayangkan ya," lirihnya sambil mengusap halaman buku novel. "Tapi ..."

Kemudianlah gadis itu menaruh novel itu ke tempat semula dan berjalan menghampiri piano bermerek Steinsway & Sons yang menyendiri di sudut asing kamarku.

Dari netranya, ada sebuah pancaran iseng seolah ingin melakukan sesuatu yang luar biasa. Hyuga menggeser kursi belajarku ke depan piano. Dan seperti itulah seringai usilnya merekah.

"Mau bermain?" Tangannya seolah mengajakku kembali bermain piano.

Kami saling pandang cukup lama. Seringai usil Hyuga membuatku tak nyaman.

Tidak. Tidak. Aku tidak bisa.

Seringai miliknya makin lebar. "Yakin? Bukankah kamu sendiri yang bilang bila berdiri di dekatku, pendengaranmu akan kembali?"

Lagi, kami saling bertatapan. Beberapa detik. Dan entah mengapa, kali ini aku yakin aku telah menebar senyuman tulus yang sesungguhnya, bukan senyum palsu seperti yang sering aku tunjukkan. Lalu, tanpa disadari, aku sudah duduk di kursi. Menjulurkan tangan. Siap bermain. Jemariku pun menekan-nekan tuts piano. Perlahan. Itu nada Fa. Bunyi nada Fa. Itu nada Re, benar-benar nada Re. Pendengaranku memang kembali.

Terdengar bunyi nada-nada dari tangga nada pentatonik.

Kemudian tanpa disadari, aku mulai memainkan sebuah lagu. Sangat mendalami. Dunia berdenging itu perlahan terisikan oleh bunyi nada-nada indah.

"He, tak kusangka Takasaki penggemar anime. My Dearest, lagu pembukaan Guilty Crown." Hyuga memberikan senyuman usil, seakan-akan menantangku untuk memainkan lagu yang bisa membuatnya terkagum.

Akor dan melodi bersatu padu menjadi harmoni yang melenakkan telinga. Aku sangat merindukan ini. Aku sangat rindu sensasi bermain piano seperti ini.

Lalu, jemariku menyapu tuts piano. Bergantilah nada dasar yang kumainkan. Sekarang aku bermain lagu—

"Transisi yang hebat juga. Sekarang lagu maestro Frederic Chopin. Etude No.1!"

Tak kusangka Hyuga mengenal lagu-lagu itu.

Jemariku semakin menari di atas tuts piano. Licah dan presisi menekan tuts piano. Cepat dan cepat sekali.

"Beethoven, Sonata no 29!"

Nada dasar sekali lagi berganti. C# minor.

"Yang ini baru Moonlight Sonata!"

Tapi kemudian muncullah memori itu. Memori atas kejadian sebelum aku kehilangan semua ini. Dua tahun lalu, di panggung sekolah. Tangan-tanganku berhenti. Jemari-jemariku seakan-akan tak ingin melakukan perintahku.

Ini salah. Tak seharusnya aku melakukan ini. Tak seharusnya aku bermain musik lagi. Duniaku sudah kehilangan impian, duniaku yang sekarang adalah dunia tanpa impian. Piano ini tahu itu. Dan piano tidak pernah berbohong.

Aku tidak bisa melakukannya. Maaf. ungkapku pada Hyuga lewat bahasa isyarat.

Lagi-lagi Hyuga memberikan senyuman usilnya.

"Takasaki-san, kau seorang penggemar novel Rein-sensei bukan?" tanya Hyuga tiba-tiba. "Kau pasti sudah membaca novel yang berjudul 'Makhluk Pencuri Indra' bukan?"

Dia menarik tanganku lalu segera melepaskannya setelah aku dipaksanya berdiri. Hyuga berputar anggun, memunggungiku. "Aku pernah dengar dari teman klubku soal cerita seseorang yang buta, tiba-tiba bisa mendapatkan penglihatan. Lalu orang yang tuli tiba-tiba bisa mendengar bunyi. Bagaimana jika rupanya cerita 'Makhluk Pencuri Indra' adalah kenyataan, bukan karangan Sensei saja?"

Eh, maksudnya. Maksudnya

"Bagaimana bila indramu hilang karena ada yokai yang mencurinya?"

Hyuga berputar anggun, melompat ke depanku. "Baiklah. Sudah kuputuskan. Aku akan menghabiskan waktuku untuk membantu mendapatkan indramu yang hilang sebagai rasa terima kasihku."

Aku tak mampu berkata-kata. Kenapa aku tidak terpikirkan sebelumnya. Kenapa? Atau sebetulnya bukan tidak terpikirkan, tapi aku tidak mau menerimanya.

"Bagaimana, Takasaki-san? Apa kau mau menerima tawaranku berpetualang mencari kehidupanmu yang hilang?"

Hening yang berkepanjangan itu, kilas cahaya yang menyilaukan mataku itu, juga senyum menggoda itu, bagaimana bisa aku menolak ajakannya untuk meraih tujuan hidupku yang hilang?

Tentu saja aku mengangguk.

“Kalau begitu mohon kerja samanya ya, Ruri.” Kali ini senyuman manis.

Gadis ini bahkan tidak segan-segan langsung menggunakan nama panggilanku.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
My First love Is Dad Dead
55      52     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Negaraku Hancur, Hatiku Pecah, Tapi Aku Masih Bisa Memasak Nasi Goreng
707      352     1     
Romance
Ketika Arya menginjakkan kaki di Tokyo, niat awalnya hanya melarikan diri sebentar dari kehidupannya di Indonesia. Ia tak menyangka pelariannya berubah jadi pengasingan permanen. Sendirian, lapar, dan nyaris ilegal. Hidupnya berubah saat ia bertemu Sakura, gadis pendiam di taman bunga yang ternyata menyimpan luka dan mimpi yang tak kalah rumit. Dalam bahasa yang tak sepenuhnya mereka kuasai, k...
Segitiga Sama Kaki
799      477     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Dream of Being a Villainess
1422      809     2     
Fantasy
Bintang adalah siswa SMA yang tertekan dengan masa depannya. Orang tua Bintang menutut pertanggungjawaban atas cita-citanya semasa kecil, ingin menjadi Dokter. Namun semakin dewasa, Bintang semakin sadar jika minat dan kemampuannya tidak memenuhi syarat untuk kuliah Kedokteran. DI samping itu, Bintang sangat suka menulis dan membaca novel sebagai hobinya. Sampai suatu ketika Bintang mendapatkan ...
Secret Love
356      240     3     
Romance
Cerita ini bukan sekedar, cerita sepasang remaja yang menjalin kasih dan berujung bahagia. Cerita ini menceritakan tentang orang tua, kekasih, sahabat, rahasia dan air mata. Pertemuan Leea dengan Feree, membuat Leea melupakan masalah dalam hidupnya. Feree, lelaki itu mampu mengembalikan senyum Leea yang hilang. Leea senang, hidup nya tak lagi sendiri, ada Feree yang mengisi hari-harinya. Sa...
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3067      1168     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Your Secret Admirer
2297      796     2     
Romance
Pertemuan tak sengaja itu membuat hari-hari Sheilin berubah. Berubah menjadi sesosok pengagum rahasia yang hanya bisa mengagumi seseorang tanpa mampu mengungkapkannya. Adyestha, the most wanted Angkasa Raya itulah yang Sheilin kagumi. Sosok dingin yang tidak pernah membuka hatinya untuk gadis manapun, kecuali satu gadis yang dikaguminya sejak empat tahun lalu. Dan, ada juga Fredrick, laki-l...
Kisah Kita
2080      737     0     
Romance
Kisah antara tiga sahabat yang berbagi kenangan, baik saat suka maupun duka. Dan kisah romantis sepasang kekasih satu SMA bahkan satu kelas.
Varian Lara Gretha
5548      1710     12     
Romance
Gretha harus mempertahankan persahabatannya dengan Noel. Gretha harus berusaha tidak mengacuUhkan ayahnya yang berselingkuh di belakang ibunya. Gretha harus membantu ibunya di bakery untuk menambah biaya hidup. Semua harus dilakukan oleh Gretha, cewek SMA yang jarang sekali berekspresi, tidak memiliki banyak teman, dan selalu mengubah moodnya tanpa disangka-sangka. Yang memberinya semangat setiap...
Matahari untuk Kita
1066      548     9     
Inspirational
Sebagai seorang anak pertama di keluarga sederhana, hidup dalam lingkungan masyarakat dengan standar kuno, bagi Hadi Ardian bekerja lebih utama daripada sekolah. Selama 17 tahun dia hidup, mimpinya hanya untuk orangtua dan adik-adiknya. Hadi selalu menjalani hidupnya yang keras itu tanpa keluhan, memendamnya seorang diri. Kisah ini juga menceritakan tentang sahabatnya yang bernama Jelita. Gadis c...