Loading...
Logo TinLit
Read Story - Two Little Fish
MENU
About Us  

Kamis adalah hari paling buruk untuk kabur dari rumah. Hujun turun dan aku kuyup kedingin, di kursi halte sendirian, seperti anak ayam kesepian.

Tidak. Aku tidak sedang bergurau mengatakannya. Aku memang sedang dalam perjalanan meninggalkan rumahku—ah, bukan, maksudku, rumah nenekku. Meski separuh dari enam belas tahun usiaku, kuhabiskan di sana—makan, tidur, bernapas, dan dipaksa melakukan apa-apa yang tidak kusuka—bagiku itu bukanlah rumah. Tempat besar itu terlalu banyak perintah, kuno, dan terlalu mengekang.

Yap. Aku lari dari rumah. Jika kau berpikir kalau aku melakukanya demi sebuah alasan pemberontakan klise karena telah dibentak dan diceramahi, percayalah, aku bukanlah gadis yang seperti itu. Tapi mungkin tidak pula sepenuhnya benar. Namun alasanku kabur lebih problematik dari yang kau sangka.

Aku tidak benci Nenek. Untuk beberapa alasan, aku bahkan menyayanginya. Dia adalah wali yang tidak gagal ketimbang ayah. Laki-laki yang bahkan tak kunali wajahnya sampai sekarang, yang tega meninggalkan ibuku ketika aku menangis dalam ayunan dengan kulit masih memerah. Namun di rumah itu, tampuk kekuasaan tertinggi ada dalam genggaman Nenek. Semua titahnya adalah mutlak. Semua larangannya adalah ayat. Nenek adalah raja tangan besi, sementara aku mengambil peran rakyat jelata tanpa bisa melawan.

Pagi-pagi sekali Nenek akan menggedor pintu kamarku, menggiringku yang masih bertampang anak musang kelelahan menuju masjid di sebelah rumah, menunaikan salat subuh berjamaah. Pulang dari masjid, tugasku selanjutnya adalah menyiapkan sarapan. Empat piring di meja harus berisi sebelum pukul enam, sebelum kedua tanteku turun dari lantai atas. Aku tidak dizinkan untuk pulang telat dari sekolah. Kedisiplinan di sana diatur seperti kedisiplinan tentara. Sekali mengabaikannya, aku akan dicecar banyak sekali pertanyaan, diperlakukan bagai pencuri gorengan yang ketahuan di kantin sekolah.

Banyak lagi aturan yang melelahkan lainnya. Seperti maghrib dan isya harus dengan Nenek di masjid. Pakaian harus tertutup, jilbab harus turun menutup dada saat ke luar rumah. “Kamu harus hati-hati, Kara,” kata Nenek bernasehat suatu kali saat aku menemaninya ke pasar, “bahaya dari laki-laki itu datang karena kamu sendiri yang mengundangnya.”

Pokoknya aturan Nenek semuanya adalah tentang adab dan ajaran islam. Dan yang mengherankannya, Nenek hanya memaksakan semua itu pada aku seorang. Cucu satu-satunya di rumahnya. Pada kedua tanteku? Entahlah. Nenek sepertinya tidak mau peduli.

“Kak Nora nggak pernah subuh di mesjid. Kak Raia nggak pakai hijab kalau ke kantor,” kataku saat mencoba protes.

“Mereka sudah dewasa. Semuanya adalah tanggung jawab mereka. Sementara kamu masih tanggung jawab nenek.”

“Aku juga sudah dewasa,” kataku, menarik selimut di bawah kakiku lagi dan bilang kalau aku masih halangan.

“Kamu belum dewasa. Subuh saja masih dibangunkan.” Nenek lalu menarik kupingku dan mengetahui kebohonganku.

Tentu saja aku pernah melakukan pemberontakkan. Menurutku, masa SMA adalah masa yang tepat untuk mencoba banyak hal. Masa warna-warni yang mestinya dipakai untuk bersenang-senang.

Aku iri pada teman-teman di sekolah. Aku ingin merasakan serunya aktif kegiatan berorganisasi dan menyibukkan diri. Aku ingin menonton film di bioskop. Ingin nongkrong di McDonald’s bersama gadis-gadis sebaya, ditemani kentang goreng dan minuman soda, menggosip asik tentang cowok-cowok keren di sekolah sampai matahari di barat jadi rendah.... Eh, eh, kabarnya kemarin si A ditembak si itu loh? Siapa? Si B, si jago basket itu. Oh, dia? Terus, terus? Diterima? Nggak ditolak, Si A sukanya sama si C. Bego. Ih, nggak bersyukur banget tuh cewek.... Bukankah semua itu terdengar wajar untuk remaja seusiaku?

Maka suatu hari aku sengaja pulang terlambat. Ponsel kumatikan dan aku sampai di rumah tepat saat azan maghrib berkumandang. Nenek menghadangku di depan pintu dengan raut wajah bergelenyar marah. Tidak mengizinkan untuk masuk. Namun aku tak gentar. Ini yang kutunggu. Aku telah siap berdebat dengannya.

Segalanya lalu tercurahkan begitu saja, dalam banyak kata. Mataku basah, tenggorokanku perih, tapi Nenek masih berkeras dengan aturannya. Ego keras seperti batu karang yang sulit sekali dilunakaan. Merasa frustasi, kata-katu itu akhirnya meluncur sendiri dari mulutku.

“Aku sepertinya memang tidak beruntung dilahirkan di keluarga Nenek. Ayah dan ibu pun bahkan tidak punya.”

Nenek terbelalak. Perlahan-lahan raut wajahnya berubah terluka. Aku menerobos dan tergesa-gesa menuju kamar sambil menyeka air mata. Meringkuk tidur di kasur, mengambil bantal, melanjutkan tangis dengan suara teredam.

Namun tetap saja aku tak bisa membenci Nenek. Karena satu jam setelahnya, ketika aku sudah merasa sedikit tenang, Nenek masuk ke kamarku. Mengusap lembut punggungku saat aku berpura-pura tertidur.

“Maaf ya, Kara. Maaf kan Nenek, ya,” katanya serak menahan tangis, “Nenek hanya takut kamu kenapa-kenapa seperti ibumu.”

Aku mati-matian menahan diriku tidak bergerak. Menyedihkan rasanya ketika merasa kalau kau sudah menjadi cucu yang gagal.

Keesokan paginya Nenek mengumumkan kalau akan merevisi peraturannya. Aku diizinkan pulang terlambat. Hanya satu jam. Dengan syarat harus aku memberi kabar terlebih dulu.

Lumayan juga. Satu jam yang berharga. Tapi aku tidak menghabiskannya untuk aktif berorganisasi atau bergosip. Menjadi murid paling kudet dan tidak keren di sekolah bukan sesuatu yang penting untuk dirisaukan.

Waktu satu jam dari Nenek kugunakan untuk latihan renang.

Iya, jadi atlet renang. Tentu saja dengan melepas kerudung, berpakaian sempit, memamerkan bentuk tubuh. Jelas itu sesuatu yang mudah menyulut kemarahan Nenek. Terlebih lagi di kota ku hanya ada kolam renang campur. Dan aku cukup percaya diri untuk mengatakan kalau penampilan fisikku bagus. Jadi tidak mungkin ada laki-laki yang tidak melirik, secara sembunyi atau terang-terangan. Namun siapa peduli. Hal-hal kecil tidak akan menggangu fokusku. Tujuanku jelas. Lolos kualifikasi PON untuk mewakili provinsi-ku.

Kemurkaan Nenek akhirnya datang juga enam bulan setelahnya. Aku ketahuan karena Kak Raia memergoki di kolam renang hari itu.

Hari sial. Benar-benar lagi sial. Kenapa dia bisa sampai di tempat ini sih? Kantornya kan jauh dari sini. Padahal aku sudah lolos kualifikasi tingkat kota dan lanjut ke tingkat provinsi.

Mestinya aku mengejar dan melakukan tawar-menawar. Aku mau menyisihkan uang jajanku yang tidak seberapa seandainya Kak Raia memerasku. Aku bahkan rela menjadi budaknya selama satu kalender penuh asalkan dia mau menutup mulut. Namun sayangnya dia sudah keburu meluncur pulang.

Aku menghadapi kemarahan Nenek saat tiba di rumah. Aku tak bisa mengelak karena Nenek punya bukti dari mataku yang memerah karena sisa klorin. Yeah, memangnya apa yang bisa diharapkan dari kolam renang jelek di kota terkutuk ini.

“Ingatlah dosa, Nak.”

“Berenang itu bukan dosa, Nek,” kataku membela diri.

“Lalu bagaimana dengan aurat?”

Aurat, aurat, dan aurat. Aku mulai jengkel karena tiap hari itu-itu saja yang disumbatkan ke kupingku ketika kami berdebat.

“Orang arab kalau berenang juga lepas gamis dan kerudung, Nek,” ketusku.

“Astagfirullah, Kara.” Suara Nenek jadi tinggi, keriput-keriput marah makin kentara di wajahnya. “Ingatlah Allah, Kara. Jangan pernah mencoba menjadi seperti ibu kamu yang gagal.”

Kata-kata terakhir itu memukulku dengan sangat keras, rasanya seperti dihantam sesuatu yang tumpul tepat di belakang kepala. Setelah lima detik terdiam karena terguncang, aku berlari ke kamar dan membanting pintu dengan kasar, menguncinya dan tak mengizinkan siapa pun masuk.

Ini sudah tiga hari sejak pertengkaran itu, tapi tiap kali mengulang kembali kata-kata Nenek dalam kepalaku, masih membuatku menggertakan gigi. Kupikir aku sudah benar dengan sikapku. Meninggalkan Nenek dengan ego besarnya adalah keputusan yang benar.

******

Kutegadahkan wajah. Awan hitam terlihat menyungkup langit. Dari sanalah rintik hujan yang dingin turun, menimpa atap bangunan, jatuh di ujung cucuran, melimpir ke gorong-gorong. Jalan raya di depanku menggenang dan sepi. Tidak ada kendaraan yang lewat. Kulirik jendela toko dibalik jalan. Seorang laki-laki paruh baya duduk di balik kaca, menatap ponsel di tangan, mengabaikan cangkir yang tersaji di meja. Dari sini, wajahnya nampak berpendar di bawah sinar cahaya lampu keemasan, dan bisa kurasakan kehangatan yang menyelimutinya di dalam sana. Namun kemudian kupikir, meski rintik hujan di penghujung bulan Agustus turun kian banyak, tapi ini bukan waktunya untuk merasa iri.

Tempias hujan miring, angin dingin menyengat, membuatku menggigil. Kuperbaiki posisi dudukku, menjauh ke tengah-tengah agar tak makin basah, kueratkan kedua lengan pada ransel dalam pangkuan.

“Kamu mau aku pinjamkan payung?” Terdengar suara asing. Saat aku menoleh, kudapati wajah ramah seorang gadis.

Gadis berkerudung, kerudung yang dalamnya setengah badan, hampir-hampir menyembunyikan sweater rajut yang dia kenakan.

“Eh?” Hal pertama yang aku pikirkan saat menatap wajahnya adalah apakah telingaku tidak salah dengar.

“Ini panyungku,” katanya, aku melirik gagang payung putih teracung ke arahku. “Mau pakai?” tanyanya lagi. “Kamu sepertinya baru di sini. Jadwal bus hanya sampai jam enam.”

Kuabaikan dia dan kuperiksa jam di pergelangan tanganku. Aku mendecak. Sudah lewat pukul enam. Karena langitnya, kupikir sekarang masih pukul lima.

“Ini,” kata gadis itu, “sebentar lagi maghrib.” Kali ini sorot mata hitam itu berkilat-kilat sedih. Mungkin dia melihatku sebagai tunawisma mengenaskan yang lagi kedinginan dan kelaparan, serta tidak punya tempat tujuan. Entah kenapa memikirkan pendapat orang lain tentang keadaanku sekarang, membuatku merasa kesal. Aku benci dikasihani. Apalagi oleh orang asing.

“Kenapa?” tanyaku. “Mau terlihat baik?”

Raut wajahnya berubah seperti baru kena jotos. Bukan salahku kalau aku bersikap begitu defensif. Justru sikapnya itu yang aneh. Maksudku, dengan senang hati menawarkan sesuatu pada orang yang tidak dikenal, oh, bercahaya sekali hatinya? Atau ini punya maksud lain. Jadi, jika kau masih dibawah umur dan berpergian jauh tanpa pengawasan orangtua, alarm waspada mesti selalu kau jaga.

Meski begitu aku tak sekejam nenekku. “Kalau aku pakai, kau nanti pakai apa?” tanyaku, mencoba menghiburnya.

Dia menurunkan payung yang teracung. “Ah, tidak usah khawatir. Sebentar lagi jemputan kami datang.”

Kami? tanyaku dalam hati. Terlambat kusadari, ada sesuatu di samping gadis itu berdiri. Demi Tuhan! Sejenak kupikir itu adalah Teru-teru-Bozo-Kuning-Besar-Menakutkan. Namun untungnya benda itu punya dua kaki mungil yang menginjak beton trotoar.

“Kakak suka bebek, nggak?” tanya Si Teru-teru-Bozo-Kuning-Besar-Menakutkan padaku. Dua kaki kecilnya melangkah di tempat seperti pasukan tentara, dan karena sepatunya yang menampung air, makanya menimbulkan bunyi seperti suara bebek.

“Hah?”

“Itu loh Kak, bebek. Yang bunyi mbeek-mbeek.”

“Itu mah kambing.”

“Ih, bukan-bukan. Bukan, Kak.” Dia menggeleng sangat dramatis sekali. Dalam balutan jas hujan kuning super kedodoran yang menutupi seluruh tubuh mungilnya, akhirnya wajah Si Teru-teru-Bozo ini terlihat. Dan aku bengong sebentar. Terpana dengan mata bulatnya yang jernih seperti mata boneka yang terbuat dari kaca.

“Kalau kambing itu bunyinya, yang mbing-mbing,” lanjutnya.

“Hah?”

“Ah, ini Ava. Adikku. Umurnya lima tahun.”

Kualihkan pandangan pada wajah gadis di depanku, dan spontan kubilang, “Aku kan tidak tanya,” seketika cengirannya hilang dan rautnya menampilkan kena jotos untuk kedua kali.

Karena aku tidak sekejam nenekku, maka kuambil panyung di tangannya dan bilang, “Terima kasih. Nanti aku kembalikan. Kau tinggal di mana?”

Kebahagian kembali merona di wajah gadis itu. “Ah, simpan saja. Kami punya banyak.”

Ada mobil pick up berhenti di belakangnya. Sambil memengangi satu tangan kakaknya, Si Teru-teru-Bozo berteriak girang dan melompat senang. Air menyembur dari ujung sepatunya yang basah.

“Namaku Quina.”

Aku kan tidak tanya. Kali ini hanya kucapkan dalam hati. “Aku Kara,” kataku.

“Senang bertemu denganmu Kara.”

“Ih, ayo, dong, Kak.” Si Teru-teru-Bozo mulai rewel. Dia menarik tangan Qunia, tak sabar masuk ke mobil yang pintunya telah dibukakan. Di belakang bulatan setir, kulihat ada perempuan paruh baya.   

Mereka meninggalkan aku dan aku hanya bengong memandang mobil mereka yang mengecil. Belakang pick up itu diisi oleh tumpukan singkong yang menggunung, dibiarkan terbuka dan ditimpa hujan begitu saja.

Lalu, lama-lama aku bengong lagi. Kulirik toko seberang dan sekarang aku benar-benar merasa iri. Hujan lebat ini kapan berhentinya? Kendaaraan umun juga tidak ada. Apa sebaiknya kuterobos saja? Aku kedingingan, mengantuk, dan sangat kelaparan.

Kupandangi payung di tanganku. Jujur aku tidak tersingung. Aku datang ke kota ini bukannya tidak ada tempat untuk dituju. Hanya saja. Dunia ini makin tua dan krisis kepercaayaan makin bertambah tiap hari. Orang jahat ada dimana-mana. Nenek sering bilang begitu ketika kami memasak di dapur. Kau tidak tahu kapan akan dikhianati dan kapan akan dicampakan setelah memupuk kepercayaan pada seseorang banyak-banyak. Karena itu aku mearasa aneh pada sifat Quina tadi yang terlalu murah hati.

Ah, entahlah. Lagipula ini kan hanya sebuah payung. Seperti katanya, dia mungkin bisa membelinya lagi karena harganya yang tak seberapa.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Heavenly Project
50      31     5     
Inspirational
Sakha dan Reina, dua orang remaja yang tau seperti apa rasanya kehilangan dan ditinggalkan. Kehilangan orang yang dikasihi membuat Sakha paham bahwa ia harus menjaga setiap puing kenangan indah dengan baik. Sementara Reina, ditinggal setiap orang yang menurutnya berhaga, membuat ia mengerti bahwa tidak seharusnya ia menjaga setiap hal dengan baik. Dua orang yang rumit dan saling menyakiti sat...
Rumah?
25      25     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Aku Ibu Bipolar
15      12     1     
True Story
Indah Larasati, 30 tahun. Seorang penulis, ibu, istri, dan penyintas gangguan bipolar. Di balik namanya yang indah, tersimpan pergulatan batin yang penuh luka dan air mata. Hari-harinya dipenuhi amarah yang meledak tiba-tiba, lalu berubah menjadi tangis dan penyesalan yang mengguncang. Depresi menjadi teman akrab, sementara fase mania menjerumuskannya dalam euforia semu yang melelahkan. Namun...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
49      15     6     
Fantasy
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Mimpi & Co.
85      48     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?
Yang Tertinggal dari Rika
162      108     5     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Perempuan yang Meminjam Masa Depan Orang Lain
8      8     0     
Fantasy
Ada saat-saat sunyi ketika Parasayu duduk sendirian di bangku kayu tua perpustakaan, dan dunia di sekelilingnya terasa seperti gema yang menjauh perlahan. Buku-buku tersusun rapi di rak, kertas-kertas riset berserakan di meja, tetapi pikirannya… kosong. “Kenapa hidupku jadi serumit ini?” “Kenapa aku tak pernah berani mengatakan apa yang sebenarnya kuinginkan dulu?” Jemarinya meny...
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
75      57     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berh...
Je te Vois
34      30     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandungan—klaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menja...
Sebab Pria Tidak Berduka
9      7     1     
Inspirational
Semua orang mengatakan jika seorang pria tidak boleh menunjukkan air mata. Sebab itu adalah simbol dari sebuah kelemahan. Kakinya harus tetap menapak ke tanah yang dipijak walau seluruh dunianya runtuh. Bahunya harus tetap kokoh walau badai kehidupan menamparnya dengan keras. Hanya karena dia seorang pria. Mungkin semuanya lupa jika pria juga manusia. Mereka bisa berduka manakala seluruh isi s...