Loading...
Logo TinLit
Read Story - Semesta Berbicara
MENU
About Us  

Langit sore beranjak temaram, tak lagi menyengat seperti sebelumnya. Sebuah mobil hitam perlahan berhenti tak jauh dari pintu belakang tower B. Surya duduk di belakang kemudi, sementara Fabian, Hayashi, dan Tobi mengecek ulang denah unit dari hasil pelacakan mereka.

“Unit 1906. Tiga penjaga berjaga di depan lift lantai 19, dua lagi tepat di depan pintu unit. Pintu pakai smart-lock, tapi aku sudah tanamkan override sebelumnya. Begitu dekat, aku akan buka dari ponsel.” Tobi menunjukkan layar tabletnya sambil menjelaskan.

“Gue parkir dekat sini. Langsung kembali kalau ada apa-apa, usahakan bawa Suci!” Surya mengingatkan.

Mereka memasuki gedung tower B dengan sikap wajar. Berbekal kartu akses yang Tobi dapatkan sebelumnya, mereka langsung menaiki lift. Tiga pria berseragam petugas keamanan  berjaga di depan lift lantai 19, menatap mereka penuh selidik.

“Mau ke mana?” tanya salah satu petugas dengan nada curiga, tatapannya menyelidik.

“Ke unit 1905,” jawab Tobi mengarang cepat.

Petugas itu memandangi mereka, ketiganya saling bertukar pandang. Hening. Tanpa disangka petugas lainnya menyahut. “Unit 1905 kosong, tangkap mereka.”

 

Hayashi segera menghantam petugas di depannya, Tobi meninju petugas lain, sementara Fabian mengatasi petugas ketiga. Ketiganya tumbang dalam hitungan menit.

“Ssst, keep quiet!” Fabian berkata pelan sambil mengisyaratkan telunjuk di depan bibirnya. Mereka pun menarik ketiga orang itu ke ruangan sempit di dekat sana, ruang alat-alat kebersihan. Seragam para petugas itu dilucuti untuk dikenakan ketiganya.

Tobi dan Hayashi lalu menatap Fabian dengan kebingungan. Meski mengenakan seragam petugas keamanan, wajah kaukasia-nya tetap terlihat mencurigakan.

“Kayaknya nggak cocok deh,” Hayashi berkata jujur.

“Kami akan alihkan perhatian penjaga dulu, kamu sembunyi di belakang!” Tobi memberi komando.

Fabian menurut. Ia mengamati dari persembunyiannya ketika Tobi dan Hayashi maju mendekati unit 1906 yang dijaga dua petugas.

“Bu Anya bilang waktunya kalian ganti shift, kalian boleh pulang.” Hayashi berkata tegas.

Kedua petugas itu saling berpandangan, lalu mengamati Tobi dan Hayashi bergantian. Perawakan mereka memang tinggi tegap, sesuai untuk petugas keamanan, hanya saja wajah Hayashi yang terlalu Jepang yang sempat menimbulkan kecurigaan.

“Kenapa? Nggak pernah lihat petugas chindo sebelumnya?” Hayashi mengelak.

Akhirnya kedua petugas itu berjalan menjauh menuju lift, tak mau ambil pusing. Tobi membuka smart lock yang terdapat di pintu unit dengan ponselnya. “Buka sekarang!” perintahnya. Fabian menghampiri mereka dengan tergesa-gesa untuk ikut masuk. Ia terhenyak, menemukan Suci terbaring lemah di ranjang, dengan ruam merah tersebar di sekujur tubuhnya.

 

-oOo-

 

Tougo menatap Anya yang kini terlelap di sofa ruang persembunyian mereka. Sisa minuman kaleng yang terlah dicampur obat tidur masih tergeletak di meja di depannya.

“Kali ini kamu keterlaluan,” gumam Tougo sambil menyelimuti Anya, sebelum diam-diam meninggalkan ruangan itu. Ia menutup pintu unit apartemen tersebut pelan, kemudian bergegas menuju gedung tower B. Beruntung, tempat persembunyian mereka berada di kompleks apartemen yang sama dengan kamar penyekapan Suci, sehingga ia lebih mudah menjangkau sahabat masa kecilnya itu.

 

-oOo-

 

“Suci, kamu kenapa?” Fabian memekik miris, terkejut sekaligus tak heran. Ia segera mendekati Suci, kekhawatiran menyergapnya. “Alergi?”

Ada rasa pedih dalam hatinya melihat Suci menjadi lemah seperti ini. “Nggak bisa dibiarkan!” ia geram.

Suci membuka matanya, terkejut menemukan Fabian di hadapannya. Tobi juga berdiri di dekat pintu, beserta seorang pria bermata sipit bersamanya, Hayashi.

“Kalian… datang juga.” Suci tampak lemas.

Fabian membantu Suci untuk duduk, lalu menggendongnya di punggungnya.

Sementara itu, petugas keamanan tadi merasakan kejanggalan ketika melihat ketiga rekannya tidak ada di sekitar lift. Mereka kembali ke arah unit 1906.

Tobi yang melihat kedatangan mereka segera mengambil sikap. “Fabian, lari! Biar kami yang hadapi,” Tobi mengomando, sementara ia dan Hayashi mulai berjibaku dengan para petugas keamanan itu. Perkelahian tidak terelakkan.

Fabian berlari menuju lift dengan membawa Suci di punggungnya. Setelah mereka memasuki lift, Fabian segera menutup pintu lift.

“Aku masih bisa jalan,” Suci meminta diturunkan, meski suaranya lemah.

Fabian menurut, berpikir lebih baik keluar dengan sikap wajar agar mereka bisa mencapai mobil Surya tanpa dicurigai siapa pun. Sayangnya, begitu sampai di lantai lobi, harapan Fabian tidak terwujud. Enam orang berseragam petugas keamanan sudah mengepung mereka.

“Suci, lari ke pintu belakang gedung!” Fabian berseru sambil sibuk melawan para petugas yang mengeroyoknya.

Suci yang dilema hanya bisa terdiam, diliputi kebingungan. Saat itulah Tougo datang, menarik tangan Suci untuk berlari bersamanya. Tanpa diduga Tougo mengarahkannya ke pintu belakang gedung tower B. Ia membantunya, bahkan sempat tersenyum kepada sahabat masa kecilnya itu demi menenangkan Suci. Gadis itu tersentuh.

Beberapa petugas keamanan mengejar keduanya begitu mereka keluar gedung dari pintu belakang. Ketika pasukan pengejar semakin dekat, Tougo melindungi Suci dengan badannya dari serangan petugas keamanan yang menghajar membabi buta. Suci menjerit, terkejut, takut, tak tahu apa yang bisa diperbuat.

Surya yang melihat Tougo dan Suci terdesak segera keluar dari mobil untuk membantu, meskipun para petugas keamanan menghalanginya. Ia menarik lengan Suci, mengeluarkannya dari kerumunan para petugas keamanan yang marah. “Suci, masuk ke mobil!” pekiknya, membuat Suci tersentak dan berlari ke mobil hitam yang dikenalnya. Surya sibuk menghantam para petugas keamanan yang mengerubungi Tougo dengan murka. Saat para petugas berseragam tumbang, barulah Surya menyadari Tougo juga sudah tumbang.

Tobi dan Hayashi yang baru turun dari lift segera membantu Fabian menghajar para petugas keamanan yang menyerangnya di sekitar lift. Setelah semua tumbang mereka baru teringat dengan Suci.

Fabian, Tobi, dan Hayashi segera keluar pintu belakang gedung dan terkejut melihat Surya memeriksa Tougo yang terbaring penuh luka. Beberapa petugas keamanan terkapar di sekitarnya.

“Kalian masuk ke mobil, Suci udah aman di sana!” Surya menginformasikan sambil berupaya mengangkat tubuh Tougo menuju mobil, dibantu Tobi dan Hayashi. Sementara itu, Fabian langsung mengecek keadaan Suci dan tercekat melihat gadis itu sudah tak sadarkan diri di mobil. Mobil hitam itu segera melaju menuju rumah sakit terdekat.

 

-oOo-

 

Langit malam yang kelam menyelimuti kota Jakarta. Lampu-lampu di koridor rumah sakit menyala redup. Di ruang ICU, dua ranjang terpisah menyimpan dua kisah luka. Satu ditempati Suci, terlelap dalam ketenangan yang semu. Satunya lagi, Tougo terbaring dengan wajah lebam dan alat bantu napas yang menyembul dari sela-sela lukanya.

Fabian duduk di tepi ranjang Suci, menggenggam tangannya yang dingin. Matanya menatap wajah pucat itu dengan tatapan seolah tak ingin berpaling sedetik pun. Surya berdiri di sampingnya, menatap kosong ke monitor detak jantung Suci. Sesekali ia memandangi ponselnya, memastikan kabar dari orang tua Tougo yang tengah menuju rumah sakit dengan mobil mereka dari Bogor.

Surya menatap wajah Suci, dadanya terasa sesak. “Suci, bangun dong. Besok udah 3 September nih, ulang tahun lu.” Ia yakin Suci bisa mendengarnya.

Fabian mendongak, terkejut. “Ulang tahun Suci besok, Kak?” ia memastikan pendengarannya. Pantas aja, dia minta jawabanku untuk pernyataan cintanya ditunda sampai tanggal itu, batinnya, barulah ia paham.

“Iya. Makanya, bangun ya Dek. Nanti gue beliin boneka upset duck yang banyak deh, sesuai kemauan lu, meski gue nggak tahu apa bagusnya blind box begitu,” Surya berupaya membujuk lagi. Ucapannya turut membuat hati Fabian perih, teringat keluguan Suci yang senantiasa tersenyum tulus seperti anak kecil.

 

Tobi dan Hayashi duduk di bangku depan ruang ICU, terdiam dalam kelelahan dan ketegangan. Hayashi menatap lantai. Tobi hanya menatap lurus ke dinding, tangannya masih menggenggam botol air mineral yang belum disentuh.

Dokter masuk, seorang perempuan paruh baya berjas putih dengan clipboard di tangan. “Pak Surya?” matanya mencari-cari. Surya segera berdiri dan menghampiri. Fabian tetap duduk, namun telinganya menangkap setiap kata.

“Kondisi adik Anda stabil untuk saat ini, tapi dia mengalami serangan anafilaksis berat. Kami menemukan reaksi alergi parah yang terus-menerus dipicu oleh konsumsi protein hewani tertentu. Dia alergi udang, ya? Sepertinya dia mengkonsumsi itu berulang-ulang.”

Wajah Surya mengeras, menahan amarah.

“Beruntung dia cepat ditindak. Kami sudah memberikan epinefrin dan antihistamin. Sekarang dia masih dalam pengawasan intensif.”

Surya mengangguk. “Terima kasih, Dok.”

“Kondisi pasien satu lagi… Tougo,” Dokter berkata dengan nada berat. “Cedera kepalanya cukup serius, pendarahan dalam juga telah kami tangani, tapi dia belum sadarkan diri. Kami akan terus memantau, tapi kondisinya… masih sangat kritis.”

Surya menarik napas dalam. Fabian hanya menunduk, menggenggam lebih erat tangan Suci.

Tougo terbaring dengan kepala diperban dan wajah lebam. Monitor di sebelahnya terus berbunyi pelan, nada detak jantungnya yang stabil terasa ironis.

 

Hening menyelimuti ruangan. Namun di tengah hening itu, setetes air mata mengalir dari sudut mata Tougo. Perlahan turun ke sisi pipinya.

“Biip biiip biip…” Bunyi monitor mulai melambat.

“Biip… biiip… biiiiiiiiiiiiiiiib.” Akhirnya, grafik menunjukkan garis lurus stagnan, membuat mesin monitor berbunyi nyaring. Suara tanda darurat itu menggema di ruangan. Fabian dan Surya menoleh, terperanjat kaget.

Perawat dan dokter masuk dengan terburu-buru, memberi aba-aba cepat. CPR dan AED segera disiapkan. Nihil. Grafik tetap menunjukkan satu garis lurus yang panjang. Tougo tak lagi bernapas, jantungnya tak lagi berdenyut.

 

-oOo-

 

Langit mendung. Di ruang tamu bergaya kolonial modern itu, Widuri duduk dengan anggun namun tegang, secangkir teh masih utuh di hadapannya. Di seberangnya, duduk dua pria berkemeja rapi, ekspresi mereka tegas. Adrian, CEO dan Endry, CTO sekaligus pendiri perusahaan Random Walk, menatap tajam.

“Saya sungguh terkejut mendengar kabar Suci disekap. Tapi saya sama sekali tidak tahu-menahu soal itu.” Widuri tersenyum ramah, menahan gelisah.

Adrian menatapnya dingin. “Ibu mungkin tidak menyekapnya secara langsung, tapi data kami menunjukkan komunikasi terakhir Suci adalah dengan nomor ponsel Anda. Siapa lagi yang memiliki akses ke ponsel Anda, mungkin Anya?” tebaknya tenang. “Terekam juga mobil milik perusahaan Anda yang membawa Suci dari bandara. Terlalu kebetulan.”

“Itu pasti ulah Anya, tapi saya tidak tahu apa-apa.” Widuri menegang. Tangannya meremas saputangan di pangkuan. “Anak itu, nanti saya akan menghukumnya begitu dia kembali!” Widuri memperlihatkan wajah geram.

“Dan mobil itu menuju salah satu properti Anda, Apartemen Grand Cendana. Apa mungkin Anya bisa memakai properti itu tanpa otorisasi dari Anda?” kali ini Endry menyudutkannya.

Widuri tidak langsung menjawab. Matanya bergerak sedikit gugup, tapi ia segera memulihkan sikapnya. “Anya sering menggunakan properti keluarga untuk acara bersama teman-temannya. Saya tidak tahu saat itu Anya ada di mana dan membawa siapa.”

“Ibu Widuri, kami tidak sedang menanyakan tentang kebiasaan cucu Anda. Kami menanyakan tanggung jawab Anda yang pasti telah memfasilitasi Anya. Jika dia menyalahgunakan akses dan menyebabkan kerugian terhadap nyawa orang lain, maka Ibu tetap ikut bertanggung jawab.”

“Kami sudah hampir bisa mengurai semua jalur digitalnya. Bukti keterlibatan properti keluarga Ibu tidak akan hilang begitu saja dari sistem. Tapi kami tidak ingin menuntut Anda. Kami hanya ingin Anda tidak lagi melindungi Anya, jika kami menuntutnya hingga masuk penjara,” Endry kali ini menjelaskan. “Apalagi sebelumnya Anda sudah berjanji akan mengirimkan Anya ke luar negeri, tapi tidak kunjung terealisasi.”

Widuri menelan ludah. “Tidak, saya tidak akan menghalangi Anda, saya akan bantu mencari di mana Anya sekarang,” janjinya.

Anjar yang awalnya menunggu di mobil mendadak mendatangi mereka dengan tergesa-gesa, wajahnya syok. “Suci sudah di rumah sakit. Tougo… nggak selamat.”

Adrian dan Endry menoleh ke arahnya terkejut, begitupun Widuri.

 

-oOo-

 

Hari sudah kembali berganti. Langit tampak cerah dari balik jendela rumah sakit, tapi ruang rawat itu masih terasa suram. Bau antiseptik memenuhi udara. Monitor detak jantung Suci berbunyi stabil.

Fabian duduk di sisi ranjang, setia mendampinginya sejak kemarin. Surya berdiri di dekat jendela, tangannya menyilang, wajahnya murung. Tiba-tiba Suci membuka mata.

Napasnya pendek, ia refleks meraih dada, tubuhnya gemetar. Area sekitar matanya masih pucat, namun pandangannya langsung menyapu ruangan. Fabian mendekat, menggenggam tangannya dengan lembut.

“Fabian… Tougo gimana?” tanya gadis itu lirih.

“Suci, kamu aman sekarang.” Fabian menenangkannya.

Suci menggoyangkan kepalanya lemah. “Aku tanya, Tougo di mana? Dia sempat lindungi aku pakai badannya, Fab. Dia itu dari kecil tubuhnya lemah, jadi gimana kondisinya? Aku khawatir. Kenapa malah diam? TOLONG JAWAB!” ia berusaha duduk dengan panik. Tubuhnya lemah, tetapi histerianya menguatkan dorongannya. Napasnya mulai berat.

Fabian memeluknya erat, menahan agar ia tidak bangkit dari ranjang. “Suci, tolong tenang dulu.”

“Tougo nggak kenapa-kenapa kan? Kok kalian nggak jawab?” Suci menangis histeris, mengguncang lengan Fabian, lalu melirik ke Surya.

Surya akhirnya mendekat. Suaranya pelan tapi dalam. “Orangtua Tougo udah bawa dia ke Bogor. Dia… udah nggak ada, Ci.”

Sunyi, waktu seolah membeku. “Nggak mungkin!” tangis Suci pecah. Tubuhnya merosot di pelukan Fabian yang ikut menunduk, menahan emosi. Surya hanya berdiri terpaku, matanya memerah.

“NGGAK MUNGKIN!” ia menjerit sambil memukul-mukul dada Fabian. “Dari kecil aku awasin dia, supaya dia nggak kenapa-kenapa. Aku banyak mengalah, karena kasihan dia sakit-sakitan terus. Dia itu tubuhnya lemah, kenapa malah melindungi aku?” Suci terus berkata kalut. “Aku ngerepotin banyak orang, bahkan bikin Tougo sampai meninggal!”

“Jangan bilang begitu!” Fabian berbisik sambil memeluk lebih erat. “Dia menyelamatkanmu karena kemauannya sendiri, karena dia peduli padamu, Suci. Dia nggak mau kamu terluka.”

“Aku beban… aku merepotkan… aku bikin temanku mati…” Suci tersedu-sedu. Tubuhnya gemetar. Ia lalu menangis dalam diam. Setelah beberapa saat, suaranya keluar lirih. “Dari dulu aku jaga Tougo. Orangtuanya bilang di paru-parunya ada flek, makanya sering sakit-sakitan. Aku kasihan, khawatir, karena itu aku sering temani dia, ngekorin dia, meski dia sok kuat. Sekarang aku malah kehilangan dia.”

Surya yang baru tahu menoleh, terkejut, begitu pun Fabian yang tersentak. Ternyata kedekatan Suci denganTougo bukan semata karena rasa suka, tapi lebih karena khawatir dan peduli. Suci kembali tenggelam dalam tangis. Fabian hanya bisa menggenggam tangannya erat, sementara Surya berdiri mematung, beban dan kesedihan bercampur di wajahnya.

 

-oOo-

 

Langit beranjak gelap. Di dalam unit apartemen mewah namun suram itu, Anya masih terlelap di atas sofa, selimut tipis tersampir tak rapi. Di atas meja, tergeletak sisa makanan ringan dan minuman kaleng. Tirai masih tertutup rapat, suasana sepi. Seolah tersembunyi dari dunia luar.

“BRAK!” suara pintu dibuka mendadak memecah keheningan. Beberapa anggota Reskrimum Polda, lengkap dengan rompi dan senjata api, masuk cepat dan senyap. IPTU Angkasa Aryasatya memimpin langsung operasi kecil itu. Di belakangnya ada Tobi, wajahnya tampak gelap dan tak bisa ditawar.

“Anya Eileen Sentani, Anda ditangkap atas dugaan penculikan dan penganiayaan terhadap Suci Riganna Latief!” IPTU Angkasa mengultimatumnya.

Anya terbangun, terperanjat dalam keterkejutan. Matanya mengerjap, tak percaya dengan derap langkah kaki dan suara perintah tegas yang mengelilinginya.

“Apa-apaan ini? Kalian nggak bisa tangkap aku! Kalian nggak tahu aku siapa? Aku cucu Widuri Grace Sentani, pemilik perusahaan Sentani Jaya!” Anya berkata panik sambil bangkit.

Dua polisi membekuknya dengan cepat, memborgol tangannya ke belakang.

“Ibu Widuri yang memberi tahu lokasi Anda. Anda berhak diam. Apa pun yang Anda katakan bisa digunakan terhadap Anda di pengadilan.” IPTU Angkasa menjelaskan.

Anya terkesiap, merasa dikhianati oleh neneknya sendiri. “Kalian seharusnya menangkap Suci! Gara-gara dia keluargaku hancur, semua berantakan!”  ia menjerit-jerit dan meronta, tapi tak berguna. “Tougo mana? Aku mau bicara sama dia!” jeritnya sambil celingak-celinguk mencari.

“Tougo udah meninggal, dihajar orang-orang lu, Nya!” Tobi yang berdiri tidak jauh dari sana menjawab, mendengarnya Anya tersentak, matanya terbelalak.

 Tobi hanya menatapnya tajam dan dingin, sebelum akhirnya berbalik. Tak ada belas kasihan sedikit pun di sorot matanya. Tangis Anya pecah; akhinya, penyesalan pun timbul di hati wanita itu.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • papah.al

    Menarik
    Selalu penasaran kedepannya

    Comment on chapter Prolog
  • baba

    Ceritanya mindblowing ya ..

    Comment on chapter 6. Semut pun Bisa Menggigit
  • guardian angel

    Prolognya menarik.

    Comment on chapter Prolog
  • guardian angel

    Mulai seru... hacker perempuan keren bgt!

    Comment on chapter 1. Kekecewaan Menghentak
Similar Tags
My Teaser Devil Prince
6577      1674     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
TANPA KATA
27      24     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
Waktu Mati : Bukan tentang kematian, tapi tentang hari-hari yang tak terasa hidup
3831      1345     26     
Romance
Dalam dunia yang menuntut kesempurnaan, tekanan bisa datang dari tempat paling dekat: keluarga, harapan, dan bayang-bayang yang tak kita pilih sendiri. Cerita ini mengangkat isu kesehatan mental secara mendalam, tentang Obsessive Compulsive Disorder (OCD) dan anhedonia, dua kondisi yang sering luput dipahami, apalagi pada remaja. Lewat narasi yang intim dan emosional, kisah ini menyajikan perj...
Monday vs Sunday
283      213     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Halo Benalu
1469      602     1     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Perahu Jumpa
347      282     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
Interaksi
515      384     1     
Romance
Aku adalah paradoks. Tak kumengerti dengan benar. Tak dapat kujelaskan dengan singkat. Tak dapat kujabarkan perasaan benci dalam diri sendiri. Tak dapat kukatakan bahwa aku sungguh menyukai diri sendiri dengan perasaan jujur didalamnya. Kesepian tak memiliki seorang teman menggerogoti hatiku hingga menciptakan lubang menganga di dada. Sekalipun ada seorang yang bersedia menyebutnya sebagai ...
A Sky Between Us
59      51     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
In Her Place
1225      769     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Batas Sunyi
2165      1010     108     
Romance
"Hargai setiap momen bersama orang yang kita sayangi karena mati itu pasti dan kita gak tahu kapan tepatnya. Soalnya menyesal karena terlambat menyadari sesuatu berharga saat sudah enggak ada itu sangat menyakitkan." - Sabda Raka Handoko. "Tidak apa-apa kalau tidak sehebat orang lain dan menjadi manusia biasa-biasa saja. Masih hidup saja sudah sebuah achievement yang perlu dirayakan setiap har...