“Yup, selesai!” Suci puas melihat ranselnya penuh barang. Suci telah selesai mengepak barang-barangnya yang ada di rumah Widuri. Sebagian ditinggalkan di kamar sementaranya itu karena tidak muat lagi.
“Kenapa kamu nggak di sini aja, Ci?” Widuri masih membujuk gadis manis berambut gelombang yang telah cukup lama menemaninya.
“Aku lagi masa ujian, Nek. Supaya fokus,” Suci beralasan. Lagipula aku nggak enak juga dengan pandangan orang. Cucunya, Anya, sedang hidup susah, aku malah dimanjakan di sini, pikirnya. “Kontrakan kan juga perlu dibersihin, Nek. Sayang biaya sewanya, masih ada 6 bulan lagi.”
“Yaudah, kamu jangan lupa makan ya,” Widuri mengingatkan. “Kalau Nenek kirim makanan harus diterima ya.”
“Iya Nek,” Suci tersenyum. “Nanti sesekali aku menginap di sini lagi deh.”
“Nanti saat perayaan ulang tahun kantormu, kamu berangkat dari sini aja ya, bareng Nenek,” Widuri mengingatkan.
Gadis di depannya tertegun, “Memang kapan ulang tahun RumahWaktu, Nek? Aku belum tahu, belum dapat kabar,” katanya jujur.
“Dua bulan lagi,” Widuri menginformasikan.
“Bisa kok, Nek,” Suci menjanjikan, karena saat itu masa ujiannya pasti sudah selesai.
-oOo-
Surya melihat laporan yang dibawa pria suruhannya. Ia memakai jaket hoodie seperti biasa.
“Kenapa kamu baru kasih tahu sekarang, kalau Suci pernah dibawa ke UGD gara-gara Anya?” Surya kesal, ketinggalan berita.
Ya karena reaksi anda akan seperti ini, pikir pria itu. “Maaf, Pak. Saya khawatir Anda akan mengambil langkah ekstrim.”
“Ya ini sih emang nggak bisa dibiarin. Kita harus buat perhitungan sama cewek itu! Gue nggak peduli siapa keluarganya!” Surya bangkit dari duduknya.
“Maaf Pak, tolong pikirkan juga reaksi Suci. Dia tidak mau sampai keluarganya ketahuan, Suci pasti punya alasan dibalik semua itu,” pria itu mengingatkannya.
“Benar sih, kita nggak boleh gegabah,” Surya kembali duduk. “Mungkin dia menyiapkan kejutan besar ini untuk serangan terakhir,” ia menyeringai. “Untuk sekarang saya juga mau pantau kantornya itu, perusahaan RumahWaktu akan merayakan anniversary kan?” ia mengingat-ingat. “Saya sudah terima undangannya. Tobi, nanti kamu ikut, kamu awasi Suci dari belakang buat berjaga-jaga!” komandonya tegas ke arah pria ber-hoodie itu.
Pria itu mengangguk, hoodie-nya tersingkap. “Siap, Pak!” jawabnya tegas dengan mata berbinar penuh rencana.
-oOo-
Suci mendongak memandang awan yang menumpahkan hujan deras.
“Kapan hujannya selesai ya?” gumamnya, ingin segera pulang ke kontrakannya yang nyaman. Ia terjebak di gedung kantor RumahWaktu, padahal waktu bekerjanya sudah usai.
“Sepertinya nggak dalam waktu dekat, Ci,” Fabian menyahut dari belakangnya.
Suci lalu teringat, ada payung yang terabaikan di pantry, tampaknya masih bagus. Ia segera ke sana untuk mengambilnya, lalu kembali ke luar lobi untuk menyerahkannya ke Fabian. Mata hijau pria itu membelalak, ia terenyuh.
“Nih, Pak. Payung kantor, pakai aja!” kata gadis di depannya penuh senyum, menyerahkan payung itu ke tangan Fabian.
“Kamu gimana?” pria kaukasia itu tidak enak hati.
“Aku masih ada kerjaan yang belum selesai di dalam,” Suci membuat alasan. “Kamu duluan aja!” ia segera memasuki lagi gedung kantor.
Fabian tertunduk. Gadis setulus itu jangan sampai jatuh ke tangan orang yang salah, pikirnya, merasa tersentuh dengan kebaikan Suci.
Suci mengecek dari balik jendela lantai dua, Fabian masih belum beranjak dari tempatnya semula, meski sudah memegang payung. Suci yang penasaran kemudian kembali menghampiri Fabian.
“Kok masih di sini?” herannya.
“Nungguin kamu, yuk bareng pakai payungnya!” ajak Fabian.
Suci menatap wajah Fabian, tersentuh. Jadi sejak tadi dia menungguku? ia lalu menatap langit yang semakin gelap, tampaknya hujan kali ini akan lama redanya. “Boleh deh,” Suci menerima tawaran itu. Ia berniat mengantarkan Fabian dulu ke mobilnya, setelahnya ia bisa kembali lagi ke lobi gedung untuk mencari taksi online.
Mereka melangkah berdua di bawah payung yang sama. Fabian memegang kokoh payung, merapatkan tubuh agar Suci tertudungi. Suci tersipu, irama degup jantungnya meningkat, namun juga terenyuh dengan situasi ini. Ia senang punya alasan untuk berdua dengan Fabian dalam jarak sedekat ini. Ditambah derai hujan yang tampak seperti tirai kristal berkilauan dari atas langit mengiringi langkah mereka. Semua terasa lebih indah.
“Yuk, masuk!” Pria kulit putih itu menawarkan ketika mereka sampai ke samping mobil dinas Fabian.
“Loh, nggak usah. Saya nganter aja,” Suci sungkan.
“Ayo cepat, hujan ini loh,” Fabian memaksa.
Suci akhirnya membuka pintu di sebelah pengemudi. Setelah Suci menutup pintu, barulah Fabian membawa payungnya ke sisi pengemudi.
Mereka kini berdua di mobil, terjebak hujan yang membuat pemandangan di luar jendela sedikit kabur. Dingin, namun hati Suci menghangat, wajahnya apalagi.
“Suci, nanti kamu tunjukin jalannya ya,” Fabian berkata sebelum melajukan mobilnya.
“Ke mana?” gadis itu bingung.
“Ke surga,” jawab Fabian asal. “Ya ke rumah kamu lah, aku kan belum tahu,” pria itu mengingatkannya sambil tertawa renyah, manis sekali.
“Oh oke,” Suci hanya bisa menjawab singkat, disibukkan dengan debaran hatinya sendiri.
Sampai di kontrakan, Suci hanya bisa berterima kasih singkat sebelum berlari cepat menuju atap depan kontrakan yang menaunginya. Suci bersyukur kontrakannya berada di jalan yang bisa dilewati mobil. Ia melambaikan tangan dari jauh, sesaat kemudian mobil Fabian berlalu pergi. Suci melonjak-lonjak kesenangan sampai ke dalam kontrakannya.
-oOo-
Acara yang diantisipasi semua pekerja di kantor RumahWaktu akhirnya tiba. Perayaan hari jadi perusahaan RumahWaktu diadakan di sebuah aula besar yang luas tidak jauh dari lokasi perusahaan. Malam itu adalah perayaan yang mewah dengan tamu-tamu yang hadir berbusana formal dan tampak elegan. Para wanita mengenakan gaun malam terbaik mereka, sementara para pria mengenakan setelan jas sehingga tampak berkelas. Yang hadir pada hari ini bukan cuma pegawai di RumahWaktu saja, tetapi juga perwakilan perusahaan lain yang berhubungan baik dengan perusahaan RumahWaktu. Termasuk di antaranya Widuri, undangan VIP.
Gemerlap lampu pesta berkilauan di aula besar itu ketika Suci menggandeng tangan Nyonya Widuri memasuki ruang pesta. Sesaat semua menghentikan aktivitasnya, semua mata memandang mereka, takjub.
Suci dan Widuri sama-sama mengenakan gaun berwarna ungu tua namun dengan desain berbeda. Widuri memakai gaun sutra berlengan panjang dengan gaya mutton sleeves. Sementara Suci mengenakan gaun off shoulder berwarna ungu tua bergradasi dengan sedikit magenta dan toska.
“Kok aku merasa dilihatin kayak unicorn ya, Nek?” bisik Suci cemas, meski masih berusaha tersenyum.
“Itu karena penampilan kita menarik. Lihat aja gaun custom kita ini, kalau sukses mencuri perhatian berarti desainernya berhasil!” Widuri menenangkan.
“Begitu ya?” Suci berusaha memompa kepercayaan dirinya.
Di satu sisi ruang aula itu, Fabian yang menyadari kehadiran Suci yang baru memasuki ruangan terperangah takjub. Gadis itu tampak berkilau dengan gaunnya, roknya mengembang gemerlapan. Wajah gadis itu dipulas sangat cantik, hingga Fabian tidak bisa mengalihkan pandangannya. Gadis itu bersinar magis, layaknya aurora borealis di langit Antartika.
Benar Suci, kan? ia memastikan lagi, hampir tak percaya gadis itu bisa tampil seelegan ini. Jasnya berwarna ungu tua, ia baru menyadari, serupa dengan gaun Suci. Ini bisa menjadi bahasan obrolan mereka.
Fabian mendekati Suci dengan senyum ramahnya.
“Kamu baru datang?” sapanya berbasa-basi.
Suci mengangguk, sempat terkesima dengan penampilan Fabian malam ini berbalut jas yang berkelas.
“Sepertinya ungu jadi warna keberuntungan kita ya?” Fabian berkata sambil terkekeh.
Gadis itu tertawa kecil menyadari kekompakan mereka. “Ternyata kita seragaman, kebetulan banget.”
“Kebetulan yang manis,” gumam pria kulit putih itu sebelum menyesap minum di gelas yang dibawanya. Hati Suci melonjak, berusaha memaknai gumamannya.
“Kadang semesta suka punya selera humor yang bagus,” Suci berusaha mengalihkan degup jantungnya yang berpacu sambil mencairkan suasana.
Fabian tertawa mendengarnya, begitupun Suci. Selama acara Fabian terus saja mendampingi Suci di sebelahnya. Sementara di kejauhan Tougo menatap dengan tatapan takjub, tak percaya melihat kesan teman masa kecilnya yang tampak berbeda hari ini, begitu anggun dan memikat.
“Ih kamu, ceweknya di sini, matanya malah jelalatan!” Anya yang mengenakan gaun halter neck sutra panjang berwarna pearly white berkilauan bersungut-sungut.
“Iya maaf, cuma kaget aja. Suci bisa dandan ternyata,” Tougo menenangkan degup jantungnya yang memburu.
Sementara Anya memendam kesal karena Suci berhasil menjadi pusat perhatian. Bukan cuma Tougo dan Fabian, tapi seisi ruangan sempat takjub melihat penampilan gadis itu dengan gaunnya yang unik dan indah. Ia kemudian tersenyum licik, teringat sesuatu.
Widuri asyik menyapa para relasi bisnisnya dari perusahaan lain, sementara Suci sedang berbincang dengan Fabian, ketika satu tim perwakilan perusahaan lain memasuki tempat acara.
Mata Suci terbelalak, begitu pula Anya dan Tougo. Surya melangkah masuk bersama para asistennya, ia mengenakan jas biru tua yang sempurna membalut tubuh tegapnya. Ia menyalami beberapa perwakilan perusahaan lain dengan kharismanya.
“Kak Surya kenapa di sini?” Suci berbisik kepada Fabian, panik.
“Mana aku tahu, kan yang Adiknya kamu,” Fabian membalas, sama bingungnya.
Surya menghampiri Widuri, lalu menyalaminya.
“Ibu Widuri, perkenalkan saya Surya, pimpinan perusahaan Klassiek Corporation. Saya mau berterima kasih, selama ini sudah menjaga adik saya dengan baik,” Surya menunjuk Suci sambil memanggil gadis itu agar mendekat.
“Astaga, jadi Suci Adikmu?” Widuri tak ayal terkejut.
“Iya Bu, tapi memang dia ngeyel anaknya, nggak mau dimanjain katanya,” Surya menceritakan.
Sementara Anya dan Tougo yang melihat gerak-gerik mereka dari jauh, heran.
“Tougo, itu siapa sih? Kok terang-terangan banget tunjukin kedekatan ke Suci? Kalau dia Sugar Daddy-nya, harusnya mereka malu dong!” Anya menanyakan. Tougo masih berusaha mengingat-ingat, kemudian ia tersentak.
“Astaga, itu saudara laki-lakinya Suci, Kak Surya. Hampir aku nggak kenal karena pangling,” Tougo baru sadar.
Anya tercengang, “Apa? Jadi Suci…”
Baru Anya mengetahuinya, Surya telah diminta panitia untuk menuju panggung memberi sambutan. Suci semakin tercekat, begitupun Anya.
Surya berdiri gagah di depan mikrofon. “Terima kasih kepada perusahaan RumahWaktu atas undangannya, dan selamat atas hari jadinya yang ke sepuluh tahun. Saya Surya, pemimpin perusahaan Klassiek Corporation, ingin mengucapkan terima kasih juga, selama ini sudah menjaga Adik perempuan saya dengan baik, Suci!” ia menunjuk Suci yang segera menutup wajahnya malu.
Seluruh hadirin di ruangan menatap Suci dengan terkejut. Mereka tidak menyangka, Suci merupakan Adik pemilik perusahaan sebesar Klassiek.co. Kejadian ini sekaligus mematahkan isu buruk mengenai gadis itu yang beredar di kantor RumahWaktu.
“Apa-apaan ini? Kok kamu nggak kasih tahu, Suci adik pemilik perusahaan?” Anya memarahi Tougo.
“Mana aku tahu, terakhir ketemu usaha keluarganya masih UMKM kok,” Tougo menolak disalahkan.
Anya keluar ruangan itu dengan wajah kesal.
Sementara Suci menutup wajahnya malu. Ia bahkan menutup dirinya dengan bersembunyi di belakang tubuh Fabian. Pria kulit putih itu hanya tersenyum maklum.
“Aku rasa Kakak kamu cuma mau orang-orang di sini lebih menghargai kamu, makanya bertindak begitu,” pria Amsterdam itu berbisik, membujuk Suci untuk ikut memaklumi. “Lagipula sekaligus mematahkan rumor tentang kamu dan Kak Surya, kan.”
“Ya tapi kan malu. Aku nggak mau dapat perlakuan berbeda di kantor, cuma karena tahu latar belakang keluargaku,” Suci merengut kesal, masih memegang bagian belakang jas Fabian, bersembunyi dari tatapan orang-orang terhadapnya.
Seorang pria berseragam petugas katering membawa nampan berisi tiga gelas berisi cairan bening lewat di dekat mereka, Fabian segera mengambilnya segelas. “It’s okay, minum dulu supaya tenang,” ia menyerahkan gelas itu ke Suci, sementara dari sudut mata ia melihat kedatangan Anjar di pintu aula. “Aku samperin Anjar dulu ya,” pamitnya sebelum menjauh.
Dengan lugunya gadis berambut gelombang itu meminum cairan di gelas itu hingga habis, tanpa tahu apa isinya.
Sementara Anya yang mengintip Suci menyeringai, gadis itu kena jebakannya.
Dengan langkah sempoyongan Suci mencari tempat untuk duduk hingga ke luar aula acara, ia mendudukkan diri di sofa terdekat yang bisa ditemuinya, di pojok ruangan, menjauh dari keramaian. Kelopak matanya terasa berat, ia memejamkannya pasrah.
Di belakangnya, sosok seorang pria dengan jaket bertudung menguntit, memastikan keamanan gadis itu. Ia bersembunyi ketika melihat Anya membawa lima pria tegap bersamanya menghampiri Suci, tapi segera mengaktifkan kamera ponselnya.
“Kalian bawa dia ke tempat yang gue suruh, kurung, setelah itu terserah mau kalian apain!” Anya berujar sambil menunjuk Suci yang tak berdaya. “Setelah pesta ini, gue temui kalian di tempat itu,” Anya kembali berjalan dan masuk ke area acara, seolah tidak terjadi apapun. Sementara pria berhoodie itu segera menghajar lima pria tegap yang hendak membawa Suci pergi. Perkelahian tidak terelakkan.
Fabian yang tengah mencari-cari Suci, akhirnya keluar area acara dan menemukan gadis itu di antara pria-pria asing yang menggelepar tak sadarkan diri. Suci masih terbaring aman di sofa, seakan tak tersentuh. Ia juga menemukan pria berhoodie di dekatnya, masih berdiri kokoh meski napasnya terengah-engah.
“Cepat amankan Suci, gue yang tangani ini!” seru pria berhoodie itu.
Fabian mengintip sedikit wajah pria itu. “Tobi?” gumamnya terkejut.
Sementara pria berhoodie itu sibuk menelepon seseorang. “Cepat!” suruhnya lagi.
“Oh oke!” Fabian segera membopong Suci untuk menuju mobilnya, meski tidak yakin apa yang harus dilakukan. Perlahan ia membaringkan Suci di bangku depan mobilnya, kembali teringat ketika dulu menangani Akasia mabuk. Kejadiannya mirip seperti ini juga. Ia lalu mengusir pikirannya itu; ia masih terlalu sering teringat Akasia. Ia duduk di bangku pengemudi untuk menjalankan mobilnya.
Suci kenapa? Kelihatannya dia mabuk, pikir Fabian heran. Ia lantas teringat dengan gelas yang diserahkannya ke gadis itu. Warnanya memang jernih, tapi ia mencium aroma yang berbeda. Sial, itu whisky! ia baru menyadari ingatannya akan aroma itu, lalu menyalahkan dirinya sendiri.
Ia membawa Suci ke kontrakan gadis itu, sesuai ingatan terakhir ketika ia mengantar pulang gadis itu di waktu hujan. Fabian sibuk mencari kunci kontrakannya, ketika baru sadar di gelang yang dikenakan Suci tergantung benda kecil yang dia cari. Suci menggantungkan kuncinya menjadi gantungan charm bracelet-nya.
Fabian terkekeh. “Cewek aneh!” gumamnya, sebelum membuka dulu pintu rumah kontrakannya lebar-lebar, baru melanjutkan dengan menggendong gadis itu masuk ke dalam. Ia membaringkan Suci di kasurnya dengan hati-hati.
Matanya menangkap monitor laptop yang terbuka lebar di meja belajar, seakan menantangnya: menyala terang memperlihatkan beragam foto Fabian yang diambil diam-diam sebagai screensaver.
Pria berkulit putih itu terkesiap, matanya melebar, mulutnya terbuka setengah, menatap wajah gadis itu tak percaya. Debaran tak biasa merambati dadanya, wajahnya memanas. Tak pernah ada wanita memujanya sebesar ini, dan itu membuatnya tersanjung. Rasa asing menyusup ke hatinya, yang belum dikenali, mengetuk lembut. Bukan gairah membara seperti ketertarikannya pada Akasia dulu, melainkan ketenangan yang nyaman.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya