Loading...
Logo TinLit
Read Story - Semesta Berbicara
MENU
About Us  

Dalam sebuah mobil SUV, Fabian dan Akasia duduk berdampingan di bangku tengah. Mereka baru kembali dari pertemuan dengan Akasia. Sopir taksi online melajukan mobil itu menuju kediaman keluarga Suci.

“Jadi apa yang sudah kamu tahu tentang Akasia?” Fabian menguji gadis itu.

“Akasia perempuan yang baik, dia sahabat baik kamu sewaktu kuliah di Amsterdam. Dia tinggal lama di homestay milik keluargamu,” Suci mengucapkan dengan senyum. “Kamu dulu sedikit nakal, sedikit pemalas, sedikit nggak bertanggung jawab, terlalu easy going, tapi Akasia bantu mengubah kamu jadi lebih baik.”

Fabian menggaruk kepalanya, malu-malu. “Nggak usah pakai kata ‘sedikit’, Ci. Pakai diperhalus,” ia menampakkan cengirannya.

“Intinya kamu pribadi yang bebas. Dan sekarang kamu mendewasakan diri jadi lebih bertanggung jawab, dan setia… sepertinya,” Suci menyimpulkan ragu-ragu. “Dan kamu masih susah move on dari Akasia.”

Fabian terkejut mendengar kesimpulan terakhirnya. Dia sadar? Matanya melebar.

Suci tersenyum, “Aku tahu kok, kamu suka Akasia sampai sekarang. Tapi aku nggak akan menyerah. Kamu memang perlu move on, dan aku akan bantu kamu. Aku yang akan bikin kamu jatuh hati lagi… kali ini ke aku,” Suci berkata lirih, malu-malu.

“Kata-katamu berani, tapi mukamu merah tuh!” Fabian terkekeh melihat wajah merona gadis itu.

“Mukaku nggak usah dibahas, pokoknya aku nggak akan mundur!” gadis itu menegaskan. “Dan oh iya, Oma kamu orang Indonesia, ya?”

Yup, aku dekat banget sama Oma,” sahut Fabian riang.

“Jadi pengin kenal,” gumam Suci lirih.”

 

-oOo-

 

Surya sudah kembali ke rumah keluarga kecilnya, bersama istri dan anaknya, karena hari libur telah habis. Kini, di rumah megah itu, tinggal Bapak Mulyadi, Suci, dan Fabian. Suci sedikit panik ditinggal kakaknya bersama Fabian, ia khawatir akan canggung. Untunglah masih ada bapaknya, serta para asisten rumah tangga yang tinggal di bangunan belakang rumah dan hilir mudik setiap hari. Lagipula siapa tahu ini bisa semakin mendekatkannya dengan Fabian.

Malam itu tenang. Selepas makan malam sekeluarga, Fabian dan Suci menuju balkon lantai dua. Mereka duduk di bangku sana, menikmati udara malam Jakarta sambil memegang cangkir teh hangat. Suara jangkrik dari pekarangan rumah Suci yang luas mengiringi.

Fabian menyeruput tehnya. “Ini rumah yang hangat, nyaman banget. Mengingatkan pada rumahku sendiri.”

“Memang iya?” Suci terkejut dengan penilaian pemuda itu. “Aku rasa bapakku orang yang dingin. Tapi kalau suasananya hangat menurutmu, syukur deh. Rumah memang bukan tentang ruang, tapi tentang siapa yang mengisi di dalamnya.”

“Sepakat!” Fabian mengangkat cangkirnya. Ia melirik Suci, teringat dengan kecurigaannya bahwa Suci seorang hacker.

Fabian menatap Suci, “Sepertinya kamu jago menenangkan situasi. Termasuk masalah komputer tempo hari,” ia menyenggol sedikit.

“Itu… kebetulan aja aku tahu sedikit cara mengatasinya,” Suci merendah dengan tawa gugupnya. Ia sebenarnya menyadari kecurigaan Fabian kepadanya.

Fabian tersenyum kecil, melaksanakan rencananya. “Aku ingat sebuah berita, tentang hacker paling terkenal di Asia Tenggara, Mr. Wolf. Kabarnya dia bisa menembus firewall dalam hitungan menit. Kamu mirip seperti dia...”

Suci terdiam sesaat, pura-pura memberi senyum santai, “Ih, kok serem. Itu kan kriminal.”

Fabian mengalihkan agar lebih santai, “Ya tapi beberapa dari mereka, malah direkrut pemerintah sekarang. Ada juga yang hacking untuk menolong orang, bukan merusak… seperti MidnightFox… dan Guardian Angel.”

Suci tersentak, “Itu keren sih, semacam ethickal hacking. Membongkar kasus korupsi, kecurangan. Pintar itu, tekniknya bersih.”

“Kamu tahu tentang Guardian Angel? Ini kan masih rahasia di kantor,” Fabian mengecek reaksinya. Setahunya kejadian ini rahasianya dengan Bapak Arman dan timnya saja. Ia semakin curiga.

“Ya aku kan tim IT Support Specialist kantor, pasti diberitahu soal ini,” Suci berkilah.

Apa iya ya? Fabian memikirkan kembali.

“Kamu… nggak anti dengan mereka?” Suci menanyakan. “Banyak orang menganggap hacker jahat.”

“Nggak, mereka hebat, aku malah senang,” Fabian menjawab jujur dengan tatapan penuh arti. “Dunia perlu lebih banyak orang seperti mereka.”

“Kamu nggak takut?” Suci mengecek reaksi pemuda di depannya, mengamati raut wajahnya.

“Nggak, karena orang yang bisa menghancurkan sistem…juga yang paling tahu cara menyelamatkannya,” Fabian berkata dengan mantap.

“Ah ternyata udah jam segini ya. Aku pamit ya!” Suci teringat jadwal kuliah online-nya. Ia langsung kabur dari tempat itu menuju kamarnya.

“Oh, okay,” Fabian hanya menatap kepergiannya,  lalu mengangkat bahu.

 

Saat Fabian kembali masuk ke rumah dan melewati pintu kamar Suci untuk menuju ke kamar tamu, sayup-sayup ia mendengar suara obrolan dengan bahasa British yang kental. Fabian yang terlanjur penasaran menempelkan telinganya ke pintu kamar. Masa sih cuma suara film? ia ragu.

Tanpa sengaja pintu kamar terbuka sedikit. Ia bisa melihat Suci menghadap laptopnya, berbicara dengan orang di monitor laptop dengan bahasa British yang fasih. Fabian terkesiap, lalu menggeleng-gelengkan kepala dengan senyum takjub.

Suci, kamu benar-benar penuh kejutan. Berapa lapis lagi rahasia yang kamu punya dan belum terungkap? pikirnya, mulai terbiasa dengan kejutan yang ditemuinya dari sosok gadis itu. Kalau kamu besok mengaku sebagai anggota NASA pun kayaknya aku akan percaya, ia tertawa menyadari pikirannya.

 

-oOo-

 

Sisa waktu Fabian di Jakarta dihabiskannya berkutat di kantor Surya untuk menggambar desain rumah Suci di masa depan. Tanpa terasa, Fabian sudah menuntaskan visual 3D rancangannya, tinggal menunggu umpan balik dari Suci.

Laptop terbuka di atas meja kayu di depan sofa ruang kerja Surya, monitornya menampakkan tampilan 3D rumah Suci dalam gaya Japan Minimalist.

Fabian menunjukkan bagian ruang tengah, “Di dinding bagian sini aku buka, ganti sliding door kayu-rice paper. Supaya cahaya pagi masuk dari arah timur.”

Suci mengernyitkan dahi. “Aku mau bahan yang lebih durable, bisa nggak tanpa pakai rice paper tapi tetap terkesan Jepang?”

“Bisa, pintu sliding door bisa murni dari kayu, tapi dibuat bertekstur kotak-kotak ala Jepang.” Fabian menyanggupinya.

Mata Suci mengamati lekat. “Seperti rumah di Kyoto ya, sederhana tapi terang. Jangan terlalu banyak furniture, ya. Aku nggak suka riweuh.”

“Tenang. Furniture cuma yang fungsional. Low table buat duduk lesehan, build in lemari, rak terbuka di dinding. Pokona sakumaha karep anjeun, ceunah (pokoknya sesuai kemauan kamu)!” ucapan Fabian tadi mengagetkan Suci.

Mendadak meledak tawa gadis itu, “Dengan muka bule begitu, aneh banget lihat kamu tiba-tiba pakai basa sunda, Fab.”

Fabian ikut tertawa, “Ya udah nasib, domisilinya di sana, atuh kumaha?”

Suci masih menyisakan tawanya, “Back to topic deh!” pintanya.

“Kamu juga muka tropikal, tapi British English-mu lancar banget,” Fabian balik menyindir.

Suci terpaku. “Tahu dari mana?” ia terkejut, lalu teringat kuliah online-nya semalam dengan laptop lama. “Semalam ya?” tebaknya takut-takut.

“Maaf ya, nggak sengaja terdengar waktu lewat,” Fabian berkata, berlagak santai. Dalam hati takut ketahuan menguping. “Ngobrol sama siapa semalam?” sebenarnya ia penasaran.

Suci mendadak gugup, “Sama teman,” ia langsung mengalihkan perhatian, menunjuk bagian dapur. “Bagian ini bisa dibuat seolah hilang nggak? Aku pengin dapur nggak mendominasi ruang, tapi tetap fungsional.”

Fabian tersenyum, “Aku suka ide itu. Kita pakai panel geser dari kayu, tone-nya senada tembok. Waktu nggak dipakai, dapur nyaru.”

“Bagian halaman belakang, bisa dikasih kolam ikan mini nggak?” Suci menanyakan.

“Kamu mau punya kolam? Maintenance-nya ribet loh, apalagi ngurus ikan,” Fabian mengangkat alisnya.

“Ya… mungkin, tapi pokoknya bikinin kolam aja. Nggak tahu deh mau diisi apa, yang penting ada unsur airnya,” Suci bersikeras.

Fabian tertawa kecil, “Okay, saya tambahkan, Non.”

“Terima kasih, Meneer,” Suci membalas jenaka.

Mereka berdua tergelak lagi, saling pandang dengan geli.

 

-oOo-

 

Tidak terasa, rancangan rumah Suci sudah final dan disetujui, tepat seminggu setelah Suci ke Jakarta. Ini waktunya Suci dan Fabian untuk kembali ke Bogor, menjalani pekerjaan utama mereka di RumahWaktu. Tobi dan Widuri juga sudah sering menelepon Suci karena khawatir dan merindukannya.

“Besok kalian pulang bareng aja ya, supaya hemat,” Surya mencetuskan kepada Suci dan Fabian yang sedang bersantai di ruang tengah rumahnya. Suci sih dengan senang hati menerimanya.

“Oh, nggak masalah, Kak,” Fabian mengangguk.

“Maaf nih nggak bisa ikut anterin. Kalian nanti pulang ke Bogor diantar sopir saya aja, nggak apa-apa kan?” Surya bertanya lagi ke Fabian.

“Iya Kak, ngerti kok, sana cari duit yang banyak!” Suci tidak sabar menyelesaikan obrolan ini. “Aku mau packing dulu.”

Packing apaan, perasaan lu kesini nggak bawa apa-apa,” Surya heran.

“Oleh-oleh,” Suci menjawab singkat.

“Oleh-oleh apa lu dari Jakarta doang? Ondel-ondel?” Surya meledeknya.

“Roti buaya!” jawab Suci asal.

Fabian tak bisa menahan tawa melihat interaksi kakak beradik yang dirasanya lucu itu.

“O iya, Fab. Nanti kamu bisa sampaikan ke pihak kontraktor kan untuk rancangan rumahnya? Mereka minta dibriefing besok pagi,” Surya menyampaikan.

“Oke bisa. Pakai kontraktor yang mana, Kak?” tanya Fabian ingin tahu.

Naratama,” jawaban singkat Surya cukup membuat mata Fabian melebar dan berbinar.

“Oh, punya si Anjar?” Fabian sontak berujar.

“Kamu kenal Anjar juga? Dia itu adik ipar saya,” Surya memberitahukan.

“Astaga, Anjar kenal Suci dong?” Fabian baru paham. “Dia sahabat saya loh, kantor kami sering pakai jasa dia juga,” ia menceritakan. Tapi kok sewaktu ketemu Suci seolah nggak kenal? pikirnya heran.

Kemudian ia melirik Suci yang menatapnya dengan telunjuk di depan bibirnya, isyarat menutup mulut. Ia baru mengerti alasannya, Suci sangat menutup rapat mengenai keluarganya di kantor. Itu juga yang pasti membuat Anjar berpura-pura tidak mengenal gadis itu. Tapi kan kamu bisa kasih tahu aku di luar kantor, dasar Anjar! kesalnya pada Anjar dalam hati.

 

-oOo-

 

Anjar sedang bersiap ke kantor Klassiek.co, tempat Surya, abang iparnya, yang memanggilnya untuk briefing dengan pihak arsitek mengenai rancangan rumah masa depan Suci. Ia melangkah dengan beberapa timnya; ini spesial, karena proyek ini adalah milik abang iparnya. Jika tidak menunjukkan kualitas maksimal, ia khawatir kredibilitas perusahaan dan keluarganya akan turun, dan ia tentu saja tidak mau dipecat sebagai adik ipar yang baik.

Saat masuk ke ruang rapat perusahaan, ia terkejut menemukan Fabian di sana, beserta Suci yang tampak jauh lebih modis dan menawan daripada yang terakhir kali dilihatnya.

“Wah, kamu disini toh Fab! Kok nggak bilang, kamu yang jadi arsiteknya?” Anjar mendekat dengan ekspresi riang, berjabat tangan dengan cara khas mereka. “Sama Suci juga, kamu udah resmi bakal masuk keluarga ini, Fab?”

Fabian menyambutnya dengan pelototan. “Hei, sembarangan ya ngomongnya! Kukira kamu yang merekomendasikan aku ke Kak Surya.”

“Mana ada, aku juga kaget tahu!” Anjar berkata terus terang. “Ciee, panggilnya Kak!” godanya lagi.

“Kamu juga, kenapa selama ini pura-pura nggak kenal dengan Suci? Masih ipar ternyata,” Fabian menyindirnya, mengalihkan rasa malunya karena terus digoda.

“Aktingku bagus kan?” Anjar cengengesan. “Jangan salahin aku, Suci tuh yang takut ketahuan orang kantornya. Dia nggak mau ketahuan punya relasi pimpinan perusahaan, bisa dibedain dia nanti di sana.”

Fabian berpikir ulang, “Benar juga. Udah ah, yuk duduk!” ia mempersilakan Anjar dan timnya duduk di barisan bangku di hadapannya dan Suci. “Langsung aja kita mulai bicarakan proyek ini, soalnya setelah ini aku dan Suci harus pulang ke Bogor.”

“Ecieee pulang bareng!” Anjar menggoda dengan tatapan genit. “Aku curiga. jangan-jangan rumah masa depan Suci ini, ujung-ujungnya ditempati sama kamu juga, Fab.”

Stop it!” Fabian memelototi Anjar, lalu melirik Suci,  pandangan mereka bertemu, keduanya malu dan tidak enak hati.

Aman nggak ya jantungku selama perjalanan? Suci mulai memikirkan ulang keputusan ini.

 

-oOo-

 

Suci duduk berdampingan dengan Fabian. Kali ini mereka menaiki bangku tengah mobil SUV milik Surya yang lebih kokoh. Suci sedikit gugup, pasalnya perjalanan ke Bogor bisa memakan waktu cukup lama, tergantung situasi jalanan. Tapi, baru kali ini ia berharap waktu tempuhnya bisa diperlambat, agar bisa lebih  lama berduaan dengan pria Belanda memesona ini.

“Ingat ya, Fab. Jangan sampai informasi tentang keluargaku bocor ke orang-orang di kantor!” Suci mengultimatum sesaat setelah menutup pintu.

“Siap, komandan!”   Fabian memberi gestur hormat di dahi.

“Sudah semua, Non, Pak?” Supir Surya memastikan.

“Sudah, Pak!” Fabian dan Suci menjawab berbarengan, lalu saling pandang dan tersenyum.

 

Mobil melaju membelah jalanan. Di dalamnya Fabian dan Suci duduk canggung, saling lirik, tersenyum kikuk, lalu kembali melemparkan pandangan ke luar kaca jendela di sisi mereka.

“Nyalain musik kali ya?” Suci  berinisiatif, berusaha mengusir kecanggungan.

“Iya nyalain aja, supaya nggak ngantuk,” Fabian mengangguk setuju.

Suci memilih lagu di ponselnya, lalu menyambungkannya dengan bluetooth ke tape di mobil. Terdengar lagi ‘Kau yang Kunanti’ menggaung di dalam mobil, membuat Fabian terhibur.

“Kamu suka lagu ini juga?” Fabian terkejut menemukan selera musik Suci yang mirip dengannya.

“Banget!” Suci lalu menoleh ke arah wajah Fabian, seperti mendapat suatu kesimpulan. “Kamu juga?”

Fabian meresponnya dengan tersenyum dan ikut bernyanyi. Ia hapal liriknya, bukti bahwa ia telah sering mendengarnya. Mata Suci berbinar, tidak mau kalah, ia ikut bernyanyi bersama. Kini mereka menikmati perjalanan dengan berkaraoke bersama di mobil hitam itu.

 

Perjalanan ini sudah menghabiskan waktu yang lama, jarak tempuh sudah cukup jauh. Suci tertidur bersandarkan bangku. Kepalanya yang mendongak terbanting-banting kesana-kemari karena guncangan mobil, bahkan terantuk kaca jendela. Fabian yang tidak tega mengambil bantal kecil di mobil dan mengalasi kepalanya dengan bantal untuk bersandar ke sudut bangku.

Sesaat kemudian, kepala Suci sudah kembali berubah posisi, kembali terguncang-guncang. Kepala itu mendarat di bahu Fabian; ia terkesiap, namun pemilik kepala tampaknya tak menyadarinya. Gadis itu lelap dalam tidurnya, meninggalkan Fabian yang serba salah. Ia melirik kepala gadis itu, memutuskan pasrah menjadi sandaran sementara.

Fabian mengamati Suci: wajah Asia tenggara yang mungil, berkontur lembut, hidung kecil nan menggemaskan, bulu mata lentik, alis tebal rapi. Kulit kuning kecokelatan berkilau sehat, hal yang disukai Fabian dari orang-orang tropis. Tanpa sadar senyum tersungging.

Suka? Aku ini mikir apa sih? Fabian berusaha mengontrol pikiran dan ekspresinya. Sesaat kemudian, kepala Suci kembali terlempar ke arah kaca jendela, beralaskan bantal yang tadi ditaruh Fabian sehingga aman dari tubrukan. Fabian lega, Suci tampaknya telah menemukan posisi nyamannya bersandarkan bantal. Ia menenangkan deru hatinya yang tadi sempat terbawa suasana.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
  • papah.al

    Menarik
    Selalu penasaran kedepannya

    Comment on chapter Prolog
  • baba

    Ceritanya mindblowing ya ..

    Comment on chapter 6. Semut pun Bisa Menggigit
  • guardian angel

    Prolognya menarik.

    Comment on chapter Prolog
  • guardian angel

    Mulai seru... hacker perempuan keren bgt!

    Comment on chapter 1. Kekecewaan Menghentak
Similar Tags
Help Me to Run Away
2660      1189     12     
Romance
Tisya lelah dengan kehidupan ini. Dia merasa sangat tertekan. Usianya masih muda, tapi dia sudah dihadapi dengan caci maki yang menggelitik psikologisnya. Bila saat ini ditanya, siapakah orang yang sangat dibencinya? Tisya pasti akan menjawab dengan lantang, Mama. Kalau ditanya lagi, profesi apa yang paling tidak ingin dilakukannya? Tisya akan berteriak dengan keras, Jadi artis. Dan bila diberi k...
Monday vs Sunday
282      212     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Penantian Panjang Gadis Gila
364      271     5     
Romance
Aku kira semua akan baik-baik saja, tetapi pada kenyataannya hidupku semakin kacau. Andai dulu aku memilih bersama Papa, mungkin hidupku akan lebih baik. Bersama Mama, hidupku penuh tekanan dan aku harus merelakan masa remajaku.
Di Antara Luka dan Mimpi
968      525     68     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
My Doctor My Soulmate
123      110     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
Premium
Sepasang Mata di Balik Sakura (Complete)
15035      2082     0     
Romance
Dosakah Aku... Jika aku menyukai seorang lelaki yang tak seiman denganku? Dosakah Aku... Jika aku mencintai seorang lelaki yang bahkan tak pernah mengenal-Mu? Jika benar ini dosa... Mengapa? Engkau izinkan mata ini bertemu dengannya Mengapa? Engkau izinkan jantung ini menderu dengan kerasnya Mengapa? Engkau izinkan darah ini mengalir dengan kencangnya Mengapa? Kau biarkan cinta ini da...
PUZZLE - Mencari Jati Diri Yang Hilang
682      492     0     
Fan Fiction
Dazzle Lee Ghayari Rozh lahir dari keluarga Lee Han yang tuntun untuk menjadi fotokopi sang Kakak Danzel Lee Ghayari yang sempurna di segala sisi. Kehidupannya yang gemerlap ternyata membuatnya terjebak dalam lorong yang paling gelap. Pencarian jati diri nya di mulai setelah ia di nyatakan mengidap gangguan mental. Ingin sembuh dan menyembuhkan mereka yang sama. Demi melanjutkan misinya mencari k...
Is it Your Diary?
203      165     0     
Romance
Kehidupan terus berjalan meski perpisahan datang yang entah untuk saling menemukan atau justru saling menghilang. Selalu ada alasan mengapa dua insan dipertemukan. Begitulah Khandra pikir, ia selalu jalan ke depan tanpa melihat betapa luas masa lalu nya yang belum selesai. Sampai akhirnya, Khandra balik ke sekolah lamanya sebagai mahasiswa PPL. Seketika ingatan lama itu mampir di kepala. Tanpa s...
Diary of Rana
251      209     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...
Katakan saja!!
113      106     0     
Short Story
Gadis yg menyukai seorang lelaki namun tidak berani mengungkapkan perasaan ny karna dia laki-laki yg sangat lah disukai oleh banyak wanita.namun tak disangka laki-laki ini juga menyukai gadis in karna dia sangat lah berbeda dengan gadis yg selama ini di kenal Hari hari mereka jalani dengan canggung. Dan akhirnya laki laki ini mengungkap kan isi hatinya pada gadis ituu. Bagaimana kisah ny ayo ba...