Suci memandang Surya dengan wajah datar, sementara kakaknya itu sibuk melahap soto mi Bogor di warung yang cukup dekat dengan tempat kerjanya.
“Kak, lain kali bisa nggak sih, nggak usah pakai ngebekap segala? Panik tau, kirain bakal diculik!” Suci menggerutu.
“Siapa yang mau culik lu? Kolong wewe?” respon Surya asal, masih sambil mengunyah. “Lagian kalo nggak gitu, lu nggak inget pulang ke rumah.”
“Jadi aku beneran diculik nih sampai rumah?” Suci baru menangkap niatnya.
“Tapi makan dulu, habisin dulu itu soto mi lu,” Surya mensyaratkan sambil menunjuk mangkok di hadapan Suci. “Mana ada penculik kasih makan soto mi dulu.”
“Aku belum prepare apa-apa, Kak. Nggak bawa baju ganti, alat mandi, daleman,” Suci menyuap makanannya sambil berkeluh kesah.
“Tinggal beli. Lagian di rumah masih ada kan,” Surya menjawab enteng.
Suci terdiam, menyesali laptopnya yang tak sempat terbawa. Pasrah, ia mengirim pesan kepada Widuri, mengabarkan kepulangannya ke Jakarta untuk beberapa hari sekaligus meminta izin kantor. Diam-diam ia bersyukur. Punya kenalan orang penting ternyata senyaman ini, pikirnya lega.
“Kontrakan lu kosong. Selama ini tinggal dimana?” tanya Surya, langsung pada intinya.
Suci terkejut, tidak menyangka kakaknya sudah mengetahui hal itu. “Aku diajak tinggal di rumah nenek Widuri, Kak,” jawabannya membuat Surya tersedak.
“Widuri yang… istrinya pendiri PT Sentani Jaya?” mata Surya menatap Suci tak percaya. Tentu ia sebagai pelaku bisnis tahu ketenaran nama besar wanita itu.
“Iya, Widuri Grace Sentani,” Suci mengkonfirmasi. “Aku dianggap cucu oleh beliau karena pernah tolong beliau. Nenek juga khawatir aku tinggal sendiri,”
Surya terhenyak mendengar informasi tersebut. “Okelah, setidaknya lu aman dari kelaparan, dan ada sepuh yang awasi lu,” ia mengangguk mengizinkan.
“Sebenarnya kenapa aku mendadak dibawa ke rumah begini?” Suci menyatakan keheranannya.
“Bokap tau lu menang lomba bikin essay di kampus,” Surya memberi tahu singkat.
“Hah, tahu dari mana?” mata Suci terbelalak. Seingatnya ia tidak pernah memberitahu siapa pun mengenai kegiatan akademisnya maupun tempat kuliahnya.
“Hadiah lomba buat lu dikirim ke rumah,” seiring Surya selesai mengatakannya, Suci menepuk jidatnya sendiri. Ia lupa waktu mendaftar masih menggunakan alamat rumahnya, karena khawatir kontrakannya hanya sementara. “Ternyata lu benar kuliah ya? Dibayarin siapa, Dek?” kali ini Surya menatapnya penasaran.
“Bayar sendiri lah, kan gue kerja. Yakali minta bayarin orang random!” Suci menegaskan dengan kesal. “Jadi hubungannya dengan itu apa? Bapak minta aku jelasin?” ia menebak dengan ragu-ragu.
“Bukan, Bapak justru senang selama ini lu ternyata kuliah juga, nggak cuma kerja, menang lomba essay pula. Jadi lu mau dikasih hadiah rumah. Gue aja bangga sama lu!” Surya menceritakan, seraya mengacak pangkal kepala Suci. Gadis itu tersedak, saking terkejutnya.
“Rumah buat gue?” Suci hampir tidak percaya. Matanya membesar.
“Iya, rumah lama, masih perlu direnov. Jadi untuk renovasi ini lu dilibatkan, supaya desainnya semaulu deh, yang penting bikin lu betah jadi nggak merantau jauh lagi,” Surya menceritakan. Suci baru paham maksudnya. “Besok arsiteknya mau datang, lu diskusi deh sama dia nanti. Arsitek ternama nih, emang expert di bangunan tua!” ia menjelaskan lagi.
Andai arsiteknya dari kantorku, Fabian. Dia juga hebat di bidang itu, Suci membatin.
-oOo-
Setibanyak di kediaman lamanya di Jakarta, Suci menyalimi tangan bapaknya, Mulyadi, begitu pula Surya. Suci menatap rumah megahnya, ternyata ia juga merindukan bangunan ini.
Suci segera naik ke lantai atas, menuju kamarnya tercinta untuk membersihkan badan sekaligus berganti baju yang lebih nyaman. Lalu ia kembali turun, menuju meja makan untuk makan malam bersama, rutinitas keluarga ini. Bapak Suci kini bersikap lebih lunak kepadanya. Dalam hati, pria paruh baya itu sebenarnya bangga dengan kemandirian Suci, meski dulu ucapannya sering tajam karena khawatir Suci salah jalan. Kini, Mulyadi lebih banyak bungkam, menikmati kebersamaan dengan anak-anaknya di meja makan. Ia mulai mengakui Suci karakter yang bisa dipercaya dan diandalkan.
-oOo-
Hari telah berganti, jalanan pusat bisnis di Jakarta kembali padat merayap. Suci telah berada di kantor Surya, bersantai di ruang kerjanya yang luas. Sejak tadi gadis itu sibuk menonton film dari televisi besar di sana sambil duduk bersandar di sofa seakan di rumah sendiri. Ia dan Surya menantikan kedatangan arsitek hebat yang akan datang pagi ini. Suci mengenakan gaun berkerah sabrina bercorak bunga warna-warni sepanjang lutut dari bahan sifon yang melambai-lambai, gaun yang ia tinggalkan di rumah justru karena kurang nyaman memakainya, meski cantik dilihat mata.
“Arsiteknya mana, Kak? Kok belum datang?” baru saja Suci bilang begitu, pintu ruangan sudah diketuk.
“Nah itu dia!” Surya menghampiri pintu untuk membukakannya langsung.
Suci terkesiap menjumpai sosok yang dilihatnya di ambang pintu.
“Suci?” gumam pria itu terkejut.
“Fabian?” Suci hampir jantungan. Ia langsung membenahi duduknya.
“Loh jadi kalian saling kenal?” Surya tersenyum mengerti.
“Kami sekantor, Pak,” ungkap Fabian sambil masuk ke ruangan dengan sungkan. Ia mengamati wajah pengusaha yang memanggilnya itu, dan baru sadar wajah itulah yang berdiri di foto bersama Suci, yang pernah beredar di kantor sebagai sumber gosip miring.
“Duduk aja Fabian!” Surya mempersilakan dengan kasual, menunjuk sofanya yang lebar. Fabian duduk di dekat Suci, membuat gadis itu menahan kikuknya. Fabian harum, mengenakan kemeja krem berlengan digulung santai dan celana bahan coklat; ia tampak profesional dan modis.
“Sebenarnya Suci nggak pernah mau orang tahu kalau dia itu Adik saya,” Surya berkata tanpa tedeng aling-aling.
“Kak!” Suci menegurnya kesal, membuat Fabian paham situasi ini.
Fabian ingat, Surya dikenal mengelola perusahaan besar yang bonafide warisan keluarganya. Ia, pengusaha muda di bidang minuman kemasan, bahkan kini berhasil merambah camilan lokal yang dipasarkannya secara berkelas hingga ke seluruh pelosok negeri. Jika Suci adiknya, berarti Suci bukan dari keluarga biasa, melainkan terbiasa bergelimang harta.
Kemudian ia terperangah menyadari status Suci yang sebenarnya. Gadis itu hanya ingin tampak sederhana, padahal berasal dari keluarga yang jelas-jelas berkecukupan. Dalam hatinya ia takjub dan kagum. Bagaimana Suci bisa menyembunyikannya selama ini? Hanya untuk merendah? pikirnya hampir tak percaya.
Surya duduk di hadapan Fabian untuk mulai menjelaskan. “Saya Surya, yang waktu itu telepon kamu. Saya juga panggil kamu ke sini, karena ingin merenovasi rumah buat Adik saya ini. Rencananya rumah ini untuk Suci tinggali di masa depan, agar dia betah.”
Surya menghadap ke Suci, “Ini rumah atas nama lu, Ci. Terserah mau ditinggali langsung atau buat nanti sesudah nikah. Jadi supaya lu betah di sini, lu bahas berdua deh gimana konsep desain yang lu mau.”
Muka Suci memerah, membayangkan pernikahannya. Tuh kan jadi kebayang Fabian pakai tuxedo, ah Kakak sih bahas-bahas nikah segala! ia meringis menggigit bibirnya, salah tingkah.
Fabian tersenyum paham. “Gimana, Ci? Ada gambaran?” tanyanya ke Suci yang diam seribu bahasa. Masih terkejut.
Yang ada malah gambaran pelaminan. Berasa mau siapin rumah tangga ini! Suci menyimpan sendiri pikirannya sambil tersenyum kikuk.
“Atau kita mau langsung ke lokasinya dulu aja? Supaya tahu jelas bentuknya,” Surya menawarkan.
“Oh, boleh juga. Memang dekat dari sini ya?” Fabian menanyakan.
“Nggak jauh kok, saya anterin,” Surya memimpin dengan bangkit lebih dulu.
Di mobil suasana terasa hening. Surya duduk di depan, tepat di samping sopir. Sementara Suci dan Fabian duduk berdampingan di bangku belakang mobil sedan itu. Suci merasa senang sekaligus canggung, ini jarak terdekat mereka.
Fabian sejak tadi terhibur mengamati ekspresi syok Suci. Lucu! pikirnya gemas. Ia juga sejujurnya terkejut dengan latar belakang keluarga Suci yang baru ia ketahui. Pasti nanti dia akan meminta ini dirahasiakan! Fabian bisa menebak pikiran Suci.
“Fabian, tolong rahasiakan tentang keluargaku ini ke orang-orang di kantor, ya,” bisik Suci.
Tuh kan, benar! Fabian tersenyum geli. “Iya, kamu tenang aja. Aku janji, akan dirahasiakan!” ia menangkupkan tangannya di dadanya, gestur disumpah. Suci menepaknya, kesal campur geli melihat tingkahnya yang berlebihan.
“Santai aja Fab, sama gue. Gue nggak suka formalitas berlebih. Nggak usah panggil Pak, berasa tua gue!” Surya mencairkan suasana.
“Jadi panggil apa ya enaknya?” Fabian bingung. Nggak mungkin langsung panggil nama kan? pikirnya.
“Karena lu teman adik gue, samain aja panggil Kak,” Surya menyarankan.
“Iya deh, Kak,” Fabian mengikuti saja keinginan kliennya, meski belum terbiasa.
“Siapa tahu gue jadi kakak iparlu,” sambungan ucapan Surya itu membuat Suci menimpuknya dengan boneka yang ada di mobilnya.
“Congorlu sembarangan banget!” Suci menggeram, malu.
“Tapi lu mau kan? Tinggal aminin doang!” Surya menggoda adiknya.
“Diem nggak lu, Kak!” Suci memaksa tersenyum di depan Fabian, menahan kesalnya.
Fabian hanya tertawa melihat pertikaian kakak beradik yang lucu itu. Situasi ini tanpa sadar mendekatkan jarak mereka, tidak hanya secara fisik, tapi hati mereka juga semakin akrab.
Surya, Fabian, dan Suci memandangi rumah tua di hadapan mereka.
“Ini sih rumah jin, bukan rumah orang, Kak!” Suci mengomentari jujur. Ia skeptis melihat alang-alang tinggi, dinding yang gelap karena kusam dan jamur, serta atap yang sudah bolong-bolong.
Fabian tanpa ragu memasuki area rumah meski harus melintasi alang-alang. “Sepertinya ada yang masih bisa dipertahankan,” Fabian mulai memegang dan mengetuk dinding bangunan yang kotor, tanpa jijik sama sekali. Ia tampak terbiasa.
“Tapi kalau membahayakan, diruntuhin semua juga nggak apa-apa sih, Fab. Daripada Adik gue nanti ketimpa tembok,” Surya menawarkan opsi lain.
“Don’t worry, Kak. Safety tetap prioritas kita,” Fabian tersenyum menenangkan, membuat hati Suci terkulai lemas. “Pondasinya ini kokoh kok, fasadnya masih bisa dipakai,” pemuda kulit putih itu mulai mengecek. “Jadi gimana, Ci? Kamu udah bayangin konsep desain yang kamu mau?”
Suci mengamati struktur bangunan khas rumah lama, kotak, lurus, membosankan. Lalu ia terpikir suatu konsep yang bisa menyulap bangunan berstruktur simpel menjadi lebih estetik tanpa perlu terlalu banyak perubahan bentuk. “Japan minimalis, dengan jendela berbentuk bulat,” katanya yakin.
Fabian terperangah. “Pilihan yang bagus. Minim effort, kalem, tapi perubahan kesannya maksimal.”
Suci tersenyum lega, sudah terbayang apa yang ia mau. Tinggal perbanyak unsur warna kayu alami, dinding cat putih, dan rumah itu akan kembali nyaman untuk ditinggali.
Fabian memeriksa seluk beluk dalam rumah, beberapa kali memotretnya dengan ponselnya. Suci mengikuti dengan ragu untuk lanjut berdiskusi, sementara Surya lebih memilih menunggu di luar rumah.
Suci sedang asyik mengamati ruangan ketika reptil kecil di dekatnya bersuara, membuatnya terlonjak kaget. Suci refleks memeluk lengan Fabian; mata mereka bertemu ketika Fabian menenangkannya. Meskipun merasa terhanyut oleh bola mata hijau terang itu, Suci segera melepaskan tangannya dari Fabian dan menegakkan tubuhnya canggung.
“Maaf, tadi refleks. Aku kaget!” Suci berkata kikuk, wajahnya merona.
“Cuma cicak, Ci,” Fabian merasa lucu melihat ekspresi salah tingkah gadis itu. “Biasa aja, Ci. Nggak usah salting,” ia tak tahan untuk tidak menggodanya. Tangannya mengucek-ucek kepala gadis itu, membuat Suci tertegun dan membatu.
“Dih siapa yang salting?” Suci mengelak, meski wajahnya sudah seperti kepiting rebus.
“Udah belom? Gue dinyamukin nih. Kita pergi dari sini yok!” Surya berseru dari luar rumah.
Mereka segera menghampiri Surya untuk kembali berkumpul.
“Fabian, sorry nih. Tadi orang suruhan gue bilang, mereka lupa pesan hotel buat akomodasi lu kemarin. Sekarang malah penuh semua, weekend sih ya,” Surya mengungkapkan dengan tidak enak hati. “Gimana kalau sementara lu nginep di rumah gue dulu? Gue punya kamar tamu yang nyaman kok, gue pastikan lu betah deh.”
“Oh ya, nggak apa-apa, Kak,” Fabian mengangguk, menenangkan.
Mataku membulat mendengarnya, menelan ludah. Tunggu, itu berarti Fabian nginep di rumah aku dong? Kita nginep bareng? Meski beda kamar sih. Tapi aku bisa lihat dia 24 hours? Bisa lihat dia baru bangun tidur dan pakai piyama? Suci dalam benaknya antusias, sekaligus tersipu malu.
“Lu kerjainnya di ke kantor gue aja, supaya lu bisa fokus gambar sketsa awal. Gue pinjamin meja kerja nanti,” Surya mengusulkan. Fabian menurut.
-oOo-
Adegan ini sungguh di luar imajinasi terliar Suci sekalipun. Ia duduk di meja makan, bersama bapaknya, Surya, serta Fabian yang sedang dijamu dengan ramah. Makan malam, berupa makanan rumahan lokal biasa, telah disajikan asisten rumah tangga mereka.
“Silakan makan, Nak Fabian. Maaf seadanya,” bapak mereka mempersilakan, bahkan mengambilkan nasi ke piringnya.
“Terima kasih, Pak. Wah ini sih justru mewah banget buat saya,” Fabian tersenyum sumringah, menerima piringnya yang sudah berisi nasi. “Saya suka banget makanan lokal sini, apalagi makanan rumahan begini.”
“O ya? Makanan apa aja yang sudah kamu coba?” bapak itu tampak penasaran, senang menemukan orang asing menyukai makanan Indonesia.
“Banyak Pak, saya begitu sampai di sini langsung berpetualang kuliner, Pak!” Fabian menjawab akrab.
Suci diam-diam memerhatikan situasi ini. Ini kayak mengintip ke masa depan, begini ya proses penerimaan calon menantu? Kalau aku pilih Fabian sebagai calon suami, sepertinya semua keluargaku bakal setuju deh, Ia mengulum senyum, lega melihat Fabian akrab dengan keluarganya.
“Padahal gue bisa tunjukin tempat-tempat kulineran lokal enak,” Surya menawarkan. “Lu biasanya kulineran sama siapa?”
“Sama… teman sih, Akasia. Itupun udah lama, sebelum dia menikah,” Raut wajah Fabian tampak sungkan saat mengungkapkannya.
“Tunggu, Akasia yang istrinya Adrian itu bukan?” Surya memastikan, Fabian mengangguk. “Lah kita punya mutualan!” Surya sumringah.
“Kakak kenal?” Mataku membulat terkejut. Kakak kenal Akasia? Perempuan yang selama ini buat aku penasaran. Apa aku mulai selidiki dari Kakak?
“Gue lebih kenal Adrian sih, sohib gue seperjuangan itu waktu merintis usaha ini!” Surya menceritakan. “Yang orang Belanda itu loh Ci, sempat bantu kelola perusahaan kita. Ah lu masih kecil sih waktu itu.”
“Sok tua lu Kak, kita kan cuma beda lima tahun,” aku mengingatkannya.
“Dan itu kejadiannya udah lima tahun lalu kayaknya, waktu gue awal banget merintis perusahaan. Lu masih SMP berarti!” Surya mengingat-ingat. “Masih bareng Tougo kemana-mana.”
“Tougo?” Fabian tertegun saat mendengar nama itu, melirik Suci.
“Iya, anak tetangga dulu, diintilin melulu sama dia dari kecil,” Surya menunjuk Suci. “Sampai orangtuanya tertarik jadiin dia menantu. Lu sih Ci, kecentilan dari bocah!” Surya menceritakan garis besarnya.
“Tougo gimana kabarnya sekarang, Ci? Kamu sekantor sama dia kan?” bapak Mulyadi ikut teringat sosok itu. “Pernah ketemu orangtuanya lagi?”
“Baik kok, Pak. Orangtuanya juga sehat,” Suci menjawab malas-malasan. Bisa nggak sih, nggak usah bahas cowok itu lagi? gerutunya dalam hati, tidak enak pada Fabian yang tampak sesekali melirik ke arahnya. Suci menutup wajahnya dengan satu tangan yang disandarkannya ke meja, pening karena harus membahas pria menyebalkan itu.
“Fabian juga kenal dong ya, kan kalian sekantor?” Surya menyimpulkan.
“Kenal, Kak,” Fabian mengangguk. “Tapi nggak dekat.”
“Jangan bahas Tougo, bisa nggak sih?” Suci akhirnya mengungkapkan kekesalannya.
“O iya, Tougo udah punya cewek ya,” Surya teringat ucapan Suci sebelumnya di telepon. “Maaf ya, yang heartbroken,” godanya usil.
“Kak, lu mau nyobain keselek sendok, ya?” ancam Suci geram.
Fabian hanya memerhatikan interaksi keluarga itu dengan senyum. Ternyata benar, Tougo sudah dekat dengan mereka sejak kecil, benaknya mengamati.
Menarik
Comment on chapter PrologSelalu penasaran kedepannya